Anda di halaman 1dari 37

MATA KULIAH : PERINATOLOGI DAN NEONATOLOGI

DOSEN : Dr.dr. Martira Maddepungeng, Sp.A (K)

KEKERASAN PADA ANAK

Oleh :

KELOMPOK 9.B

1. CHANDRA ARIANI SAPUTRI ( P102172033 )


2. RISMAWATI RASUD ( P102172034 )
3. DWI IRMAWATI ( P102172035 )
4. SITI NURBAYA ( P102172036 )

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak
memberikan nikmat kepada kita umat Nya. Rahmat beserta salam semoga
tetap tercurahkan kepada junjungan kita, pemimpin akhir zaman yang sangat
diteladani oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.Tugas makalah
Mata kuliah “Perinatologi dan Neonatologi” yang berjudul Kekerasan pada
Anak ini sengaja di bahas karena sangat penting untuk kita khususnya
sebagai mahasiswa yang ingin lebih mengenal tentang bagaimana kekerasan
pada anak, jenis serta dampaknya terhadap tumbuh kembang.
Selanjutnya kami mengucapkan terimakasih kepada semua teman
yang telah bekerja dalam menyelesaikan tugas mata kuliah Perinatologi dan
Neonatologi ini, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Tidak lupa ucapan terima kasih juga kepada dosen pembimbing
dan teman-teman yang lain untuk memberikan sarannya kepada kami agar
penyusunan makalah ini lebih baik lagi.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun
dan umumnya kepada semua yang membaca makalah ini.

Makassar, Desember 2018

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang......................................................................... 1
B. Tujuan...................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Kekerasan dan Penelantaran pada Anak................................ 4
B. Jenis-jenis kekerasan pada Anak............................................ 10
C. Dampak kekerasan pada Anak............................................... 18
D. Strategi Penangangan, pencegahan dan perlindungan
Terhadap anak ........................................................................ 28

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.............................................................................. 31
B. Saran....................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010, pada 2014 penduduk
Indonesia diperkirakan mencapai 252,2 juta jiwa, dan sekitar 82,85 juta
jiwa (32,9 persen) diantaranya adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Dapat
dikatakan bahwa berinvestasi untuk anak adalah berinvestasi untuk
sepertiga penduduk Indonesia. Gambaran kondisi anak saat ini menjadi
dasar yang penting bagi pengambilan kebijakan yang tepat bagi anak.
Anak-anak merupakan kelompok penduduk usia muda yang mempunyai
potensi untuk dikembangkan agar dapat berpartisipasi aktif dalam
pembangunan di masa mendatang. Mereka adalah kelompok yang perlu
disiapkan untuk kelangsungan bangsa dan negara di masa depan (Profil
Anak Indonesia, 2015).
Kekerasan terhadap anak telah menjadi perhatian hampir di seluruh
Negara karena kasus tersebut memang tidak hanya terjadi di Negara
berkembang tetapi juga di Negara maju. Beberapa badan dunia serta
sejumlah lembaga non-pemerintah yang berkepentingan dengan masalah
kekerasan terhadap anak terus menyuarakan untuk mengakhiri terjadinya
kekerasan tersebut. Berbagai program dan kebijakan terkait perlindungan
terhadap anak terus didorong untuk dilaksanakan di seluruh Negara.
Bahkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals/SDGs) secara khusus memasukan aspek mengakhiri kekerasan
terhadap anak menjadi target yang harus dicapai pada 2030
(Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak, 2017).
Masalah kekerasan anak bukanlah masalah yang berdiri sendiri akan
tetapi dipengaruhi oleh beberapa factor yang saling berinteraksi.

1
Kekerasan pada anak atau yang dikenal dengan child abuse adalah
semua bentuk tindakan menyakitkan secara fisik atau emosional,
penyalahgunaan seksua, trafficking, penelantaran, eksploitasi yang
mengakibatkan cidera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap
kesehatan anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung
jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Kekerasan terhadap anak dapat
terjadi kapan saja dan dimana saja, termasuk pada saat di rumah, di
tempat bermain bahkan di sekolah (Children’s Bureau, 2016).
Jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan melalui sistem pelaporan
SIMFONI-PPA selama periode 2015-2016 mengalami kenaikan yang
sangat drastis. Kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan pada
tahun 2015 tercatat sebanyak 1975 kasus dan meningkat menjadi 6.820
kasus pada 2016, atau meningkat lebih dari tiga kali lipat. Meningkatnya
jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan melalui sistem
SIMFONI-PPA juga sejalan dengan jumlah kasus pengaduan anak yang
diterima oleh KPAI dalam periode yang sama. KPAI mencatat selama
periode 2015-2016 jumlah kasus pengaduan anak meningkat dari 4.309
kasus menjadi 4.620 kasus. Bahkan KPAI mencatat, meskipun ada
fluktuasi, selama periode 2011-2016 jumlah kasus pengaduan anak
cenderung meningkat.
Komitmen pemerintah dalam melindungi anak telah ditunjang oleh
peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak diperbaharui dan dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014. Dalam tataran implementasi, beberapa
Keppres dan Inpres juga dikeluarkan untuk mendukung program
perlindungan anak yang mencakup Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun
2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial Anak; Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk Bentuk Pekerjaan Terburuk

2
Untuk Anak; Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan
Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak (GN-AKSA).
Terkait Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 dikeluarkan dalam
rangka merespon banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Inpres tersebut memerintahkan Para Menteri, Jaksa Agung, Kepala
Kepolisian RI, Para Kepala Lembaga Pemerintah dan Non Kementerian,
Para Gubernur dan Para Bupati/ Walikota untuk secara bersama-sama
melakukan pencegahan dan penanganan serta reintegrasi pada
kekerasan terhadap anak (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Pelindungan Anak, 2017).
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka
kekerasan pada anak, namun dukungan dari lingkungan social anak
tentunya menjadi factor penting untuk menghindarkan anak dari
kekerasan. Dalam makalah ini akan dibahas terkait kekerasan dan
penelantaran, jenis-jenis kekerasan dan dampak dari kekerasan.

B. Tujuan
1. Mampu menjelaskan kekerasan dan penelantaran pada anak serta
undang-undang terkait perlindungan anak
2. Mampu menjelaskan jenis-jenis kekerasan pada anak
3. Mampu menjelaskan dampak kekerasan pada anak

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kekerasan dan Penelantaran Anak


1. Definisi
Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 merupakan
perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Undang-undang tersebut merupakan bentuk dari
hasil ratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC). Konvensi
ini merupakan instrumen Internasional di bidang Hak Asasi Manusia
dengan cakupan hak yang paling komprehensif. CRC terdiri dari 54
pasal yang hingga saat ini dikenal sebagai satu-satunya konvensi di
bidang Hak Asasi Manusia khususnya bagi anak-anak yang mencakup
baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya (Profil Anak Indonesia, 2015).
Dalam UU No. 35 Tahun 2014, pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Definisi kekerasan
sendiri Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 adalah setiap perbuatan
terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Sedangkan
menurut WHO (2013) kekerasan terhadap anak mencakup semua
bentuk perlakuan yang salah baik secara fisik dan/atau emosional,
seksual, penelantaran, dan eksploitasi yang berdampak atau
berpotensi membahayakan kesehatan anak, perkembangan anak,
atau harga diri anak dalam konteks hubungan tanggung jawab. Dalam

4
Children’s Bureau (2016) dijelaskan kekerasan atau penelantaran
pada anak (Child abuse or neglect) berarti cedera fisik atau
penelantaran, cedera mental, pelecehan seksual, eksploitasi seksual,
atau penganiayaan terhadap anak di bawah usia 18 tahun oleh
seseorang dalam keadaan yang mengindikasikan bahwa kesehatan
atau kesejahteraan anak itu dirugikan atau diancam.
Kekerasan terhadap anak juga dapat dipandang dari sisi
perlindungan anak. UNICEF (2014) mendefiniskan ‘perlindungan anak’
sebagai cara yang terukur untuk mencegah dan memerangi
kekerasan, eksploitasi, memperlakukan tidak semestinya terhadap
anak termasuk eksploitasi seksual untuk tujuan komersial,
perdagangan anak, pekerja anak dan tradisi yang membahayakan
anak seperti sunat perempuan dan perkawinan anak. Dalam kontek
tersebut jelas bahwa kekerasan anak tercermin dalam berbagai aspek
terkait perlindungan anak sesuai dengan definisi dari UNICEF. Dalam
UU No. 35 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 2 disebutkan Perlindungan Anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Menurut Sinha (2013), akar dari semua bentuk kekerasan terkait
dengan berbagai jenis ketidakadilan yang muncul dan tumbuh di
masyarakat. Kekerasan terhadap anak merupakan cerminan dari
ketidakseimbangan pengaruh/kuasa antara korban dan pelaku.
Kekerasan terhadap anak mungkin terjadi hanya sekali tetapi mungkin
melibatkan berbagai dampak yang secara tidak langsung dirasakan
dalam jangka panjang, atau mungkin juga bisa terjadi berkali-kali dan
semakin sering selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Dalam

5
segala bentuknya, kekerasan dan salah perlakuan berdampak pada
keselamatan, kesehatan dan perkembangan anak.
Ada empat sifat kekerasan yang dapat diidentifikasi, yaitu:
pertama, kekerasan terbuka (overt) yaitu kekerasan yang dapat dilihat
seperti perkelahian. Kedua, kekerasan tertutup (covert) yaitu
kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti perilaku
mengancam. Ketiga, kekerasan agresif yaitu kekerasan yang tidak
untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu. Keempat,
kekerasan defensif yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan
perlindungan diri (Harianti dan Nina, 2014).

2. Kasus kekerasan
Jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan melalui Sistem Informasi
Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) yang
diberlakukan di Unit Layanan Perempuan dan Anak seluruh Indonesia
selama periode 2015-2016 mengalami kenaikan yang sangat drastis.
Kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan pada tahun 2015
tercatat sebanyak 1975 kasus dan meningkat menjadi 6.820 kasus
pada 2016, atau meningkat lebih dari tiga kali lipat. Meningkatnya
jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan melalui sistem
SIMFONI-PPA juga sejalan dengan jumlah kasus pengaduan anak
yang diterima oleh KPAI dalam periode yang sama. KPAI mencatat
selama periode 2015-2016 jumlah kasus pengaduan anak meningkat
dari 4.309 kasus menjadi 4.620 kasus. Bahkan KPAI mencatat,
meskipun ada fluktuasi, selama periode 2011-2016 jumlah kasus
pengaduan anak cenderung meningkat.

6
3. Faktor-faktor kekerasan pada anak
Indriyani (2017) menyebutkan pemicu kekerasan terhadap anak
dilatar belakangi oleh :
a. Kekerasan dalam rumahtangga yaitu dalam keluarga terjadi
kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara
lainnya.
b. Disfungsi keluarga yaitu peran orangtua yang tidak berjalan
sebagaimana seharusnya
c. Faktor ekonomi yaitu kekerasan timbul karena adanya masalah
dalam ekonomi keluarga. Tertekannya kondisi keluarga yang

7
disebabkan oleh himpitan ekonomi merupakan faktor yang banyak
terjadi. Kemiskinan dapat mengarah pada isolasi sosial, perasaan
stigma, dan tingkat stres yang tinggi. Stres yang meresap dapat
menyulitkan orang tua untuk mengatasi tuntutan psikologis, fisik
dan material dari menjadi orang tua (Wilkinson & Sussannah,
2017).
d. Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga yaitu kondisi
perekonomian keluarga yang sulit membuat tingginya tingkat stres
dimana anak menjadi pelampiasan atau dengan membiarkan anak
dan tidak memenuhi kebutuhannya
e. Latar belakang keluarga yaitu kekerasan yang dilakukan bertujuan
agar anak menghormati orangtua dan melakukan seluruh
perkataan yang dilakukan orangtua.

Sementara itu, Huraerah (2015) menyatakan bahwa kekerasan


terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor : internal
dan eksternal. Faktor-faktor tersebut, yaitu :
a. Faktor Internal
1) Berasal dalam diri anak
Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh
kondisi dan tingkah laku anak. Kondisi anak tersebut misalnya :
Anak menderita gangguan perkembangan, ketergantungan
anak pada lingkungannya, anak mengalami cacat tubuh,
retardasi mental, gangguan tingkah laku, anak yang memiliki
perilaku menyimpang dan tipe kepribadian dari anak itu sendiri
(Huraerah, 2015).
2) Keluarga / orang tua
Faktor orang tua atau keluarga memegang peranan penting
terhadap terjadinya kekerasan pada anak. Beberapa contoh

8
seperti orang tua yang memiliki pola asuh membesarkan
anaknya dengan kekerasan atau penganiayaan, keluarga yang
sering bertengkar mempunyai tingkat tindakan kekerasan
terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga
yang tanpa masalah, orangtua tunggal lebih memungkinkan
melakukan tindakan kekerasan terhadap anak karena faktor
stres yang dialami orang tua tersebut, orang tua atau keluarga
belum memiliki kematangan psikologis sehingga melakukan
kekerasan terhadap anak, riwayat orang tua dengan kekerasan
pada masa kecil juga memungkinkan melakukan kekerasan
pada anaknya (Huraerah, 2015).
b. Faktor Eksternal
1) Lingkungan luar
Kondisi lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya
kekerasan terhadap anak, diantaranya seperti kondisi
lingkungan yang buruk, terdapat sejarah penelantaran anak,
dan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam lingkungannya
(Huraerah, 2015). Orang yang tumbuh di lingkungan dimana
kekerasan sering dipertontonkan, sehingga kekerasan dipahami
sebagai perilaku yang wajar. Terkadang kekerasan yang
dilakukan individu digunakan sebagai cara-cara memengaruhi
orang lain untuk mengendalikan situasi (Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak, 2017).
2) Media massa
Media massa merupakan salah satu alat informasi. Media
massa telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-
hari dan media ini tentu mempengaruhi penerimaan konsep,
sikap, nilai dan pokok moral. Seperti halnya dalam media cetak
menyediakan berita-berita tentang kejahatan, kekerasan,

9
pembunuhan. Kemudian media elektronik seperti radio, televisi,
video, kaset dan film sangat mempengaruhi perkembangan
kejahatan yang menampilkan adegan kekerasan,
menayangkan film action dengan perkelahian, acara berita
kriminal, penganiayaan, kekerasan bahkan pembunuhan dalam
lingkup keluarga. Pada hakekatnya media massa memiliki
fungsi yang positif, namun kadang dapat menjadi negative
(Huraerah, 2015).
3) Budaya
Budaya yang masih menganut praktek-praktek dengan
pemikiran bahwa status anak yang dipandang rendah sehingga
ketika anak tidak dapat memenuhi harapan orangtua maka
anak harus dihukum. Bagi anak laki-laki, adanya nilai dalam
masyarakat bahwa anak laki-laki tidak boleh cengeng atau
anak laki-laki harus tahan uji. Pemahaman itu mempengaruhi
dan membuat orangtua ketika memukul, menendang, atau
menindas anak adalah suatu hal yang wajar untuk menjadikan
anak sebagai pribadi yang kuat dan tidak boleh lemah
(Huraerah, 2015).

B. Jenis-jenis Kekerasan pada Anak


1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik didefiniskan sebagai penyalahgunaan kekuatan
fisik terhadap anak yang mengakibatkan atau memiliki potensi untuk
menghasilkan cidera fisik. Kekerasan fisik termasuk tindakan fisik
mulai dari yang tidak meninggalkan tanda fisik pada anak, tindakan
fisik yang menyebabkan cacat/cacat tetap, atau kematian. Tindakan
fisik mencakup memukul, menendang, meninju, menusuk, menggigit,

10
mendorong, melempar, menarik, menyeret, mencekik, membakar dan
meracuni (Children’s Bureau, 2016).
Kekerasan fisik ini kemudian akan menimbulkan efek yang
berkepanjangan dimana jenis kekerasan di masa kanak-kanak juga
dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih tinggi mengalami IPV fisik
pada saat dewasa. Adapun upaya untuk mencegah kekerasan
terhadap anak-anak dengan memberikan perawatan dan dukungan
yang tepat untuk korban sangat penting (Chiang L et al, 2018).
Hasil Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) pada tahun 2013,
menunjukkan prevalensi kekerasan fisik terhadap anak menurut
kelompok umur menunjukkan bahwa persentasi anak laki-laki lebih
tinggi dibanding anak perempuan yaitu 40,6% pada kelompok umur
18-24 tahun yang mengalami kekerasan fisik sebelum umur 18 tahun
dan 29,0% pada kelompok umur 13-17 tahun yang mengalami
kekerasan dalam 12 bulan terakhir.

11
2. Kekerasan Seksual
Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan
prakontak seksual antara anak dengan orang dewasa (melalui kata,
sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak
seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest,
perkosaan, dan eksploitasi seksual) (Indriyani, 2017).
Faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak
diantaranya kurangnya pendidikan, penggunaan narkoba, serta social
ekonomi rendah ( B Judizeli et al, 2017).
Hasil Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) pada tahun 2013,
menunjukkan prevalensi kekerasan seksual terhadap anak menurut
kelompok umur menunjukkan bahwa persentasi anak laki-laki lebih
tinggi dibanding anak perempuan yaitu 6,4% pada kelompok umur 18-
24 tahun yang mengalami kekerasan fisik sebelum umur 18 tahun dan
8,3% pada kelompok umur 13-17 tahun yang mengalami kekerasan
dalam 12 bulan terakhir, meskipun perbedaan antara laki-laki dan
perempuan pada kelompok umur 18-24 tahun tidak terlalu signifikan.

12
3. Kekerasan Emosional
Suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat
mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Contohnya
seperti pembatasan gerak, sikap atau tindakan yang meremehkan
anak, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau
menertawakan, atau perlakuan lain yang kasar atau penolakan
(Indriyani, 2017).
Hasil Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) pada tahun 2013,
menunjukkan prevalensi kekerasan seksual terhadap anak menurut
kelompok umur menunjukkan bahwa persentasi anak laki-laki lebih
tinggi dibanding anak perempuan yaitu 13,4% pada kelompok umur
18-24 tahun yang mengalami kekerasan fisik sebelum umur 18 tahun
dan 12,6% pada kelompok umur 13-17 tahun yang mengalami
kekerasan dalam 12 bulan terakhir. Perbedaan pada kelompok umur
18-24 tahun antara anak laki-laki dan perempuan sangat jauh
berbeda, dimana anak perempuan hanya sebesar 3,8%.

13
4. Penelantaran anak
Penelantaran pada anak berupa Ketidakpedulian orang tua atau
orang yang bertanggung jawab atas anak pada kebutuhan mereka.
Kelalaian di bidang kesehatan seperti penolakan atau penundaan
memperoleh layanan kesehatan, tidak memperoleh kecukupan gizi
dan perawatan medis. Kelalaian di bidang pendidikan meliputi
pembiaran mangkir (membolos) sekolah yang berulang, tidak
menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak, atau
kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus. Kelalaian di
bidang fisik meliputi pengusiran dari rumah dan pengawasan yang
tidak memadai. Kelalaian di bidang emosional meliputi kurangnya
perhatian, penolakan atau kegagalan memberikan. perawatan
psikologis, kekerasan terhadap pasangan di hadapan anak dan
pembiaran penggunaan rokok,alkohol dan narkoba oleh anak.
Penelantaran hak-hak anak merupakan kekerasan sosial pada
anak. Dalam usia yang tidak layak anak harus bekerja membanting
tulang, yang tidak saja dapat merugikan fisiknya namun juga secara
psikis anak. Secara fisik, tubuh anak yang belum berkembang
sempurna, tinggi dan berat badan yang belum berkembang optimal,
tulangnya yang masih kecil dan belum mampu mengangkat beban
yang berat, pikirannya juga belum dewasa untuk menerima pekerjaan
yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini tentu saja
dapat mempengaruhi tumbuh kembang fisik anak, yang kemungkinan
bisa saja karena sering menerima dan memikul beban berat, tubuh
anak berkembang tidak sempurna. Selain itu, anak yang seharusnya
belajar untuk mempersiapkan masa depan yang gemilang, pada
akhirnya tidak mempunyai kesempatan belajar apalagi untuk bermain
dan bersosialisasi bersama teman-temannya. Banyak waktu anak-

14
anaknya akan terkorbankan karena penelantaran yang dilakukan oleh
orangtua (Rianawati,2018).
Dalam UU No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, pasal
53 berbunyi :
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk
memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau
pelayanan khusus bagi Anak dari Keluarga kurang mampu, Anak
Terlantar, dan Anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
(2) Pertanggungjawaban Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula mendorong
Masyarakat untuk berperan aktif.”

Pasal 55 :

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan


pemeliharaan, perawatan, dan rehabilitasi sosial Anak terlantar, baik di
dalam lembaga maupun di luar lembaga.

(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat.

(3) Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan Anak


terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat mengadakan kerja sama dengan
berbagai pihak yang terkait.

(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengawasannya dilakukan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
sosial.”

15
5. Eksploitasi anak
Eksploitasi anak merujuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan
sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau
masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan
sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa
memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan
sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya
(Indriyani, 2017). Penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas
lain untuk keuntungan orang lain, termasuk pekerja anak dan
prostitusi. Kegiatan ini merusak atau merugikan kesehatan fisik dan
mental, perkembangan pendidikan, spiritual, moral dan sosial -
emosional anak. Efek ini dapat dipahami berasal dari stres,
penggunaan zat (sebagai fasilitator kekerasan ), dan kerusakan
neurologis akibat paparan jenis kekerasan ini (Hernandes W, 2018).
Anak-anak korban eksploitasi tentunya membutuhkan
perlindungan. Dalam UU No. 35 tahun 2014, Pasal 66 berbunyi :
Perlindungan Khusus bagi Anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)
huruf d dilakukan melalui:
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Anak
yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya
masyarakat, dan Masyarakat dalam penghapusan eksploitasi
terhadap Anak secara ekonomi dan/atau seksual.”

16
Jumlah Kasus Kekerasan Berdasarkan Jenisnya
Dari beberapa jenis kekerasan yang dilaporkan, ternyata kekerasan
seksual menempati posisi teratas diikuti kekerasan psikis dan kekerasan
fisik. Selama tahun 2016, Jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak
mencapai 35% dari total jumlah kasus kekerasan terhadap anak,
sementara kekerasan fisik dan kekerasan psikis masing-masing sebanyak
28% dan 23% dari total kasus. Jenis kasus kekerasan anak lain yang
persentasenya cukup besar adalah kasus penelantaran yaitu sekitar 7%.

Sedangkan survey yang dilakukan oleh SIMFONI-PPA dan KPPPA


tahun 2016 jumlah kasus kekerasan terhadap anak menurut jenis kelamin
dan jenis kekerasan yang dialami dominan dialami oleh anak perempuan
terutama pada jenis kekerasan seksual dengan jumlah 4483 kasus dan
jenis kekerasan terendah yaitu eksploitasi dengan jumlah 18 kasus. Hal
ini menunjukkan bahwa anak perempuan lebih rentan untuk mengalami
kekerasan, khususnya kekerasan seksual.

17
Hal berbeda ditunjukkan dari Hasil penelitian dalam jurnal “The
severity, consequences and risk factors of child abuse in China – An
empirical Study of 5836 children in China's mid-western regions (2018)”
menunjukkan bahwa kekerasan dengan persentasi tertinggi di cina adalah
kekerasan emosional yaitu sebanyak 69,6%, dengan tingkat keparahan
14,3% dan persentasi terendah adalah kekerasan seksual yaitu 6,1%
dangan tingkat keparahan 1%, baik di kabupaten dengan etnis minoritas
miskin maupun tidak.

18
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan di China, penelitian oleh
Wilkinson & Sussannah (2017) di Inggris juga menunjukkan jenis
kekerasan emosional dengan persentase tertinggi dibanding jenis
kekerasan lainnya.

Di Indonesia, dalam UU No.35 tahun 2014 telah diatur pula terkait


perlindungan anak untuk berbagai jenis kekerasan pada Pasal 54 yang
berbunyi :

(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib


mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan
seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh


pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.”

C. Dampak Kekerasan terhadap Anak


Konsekuensi dari kekerasan terhadap anak mungkin bervariasi
tergantung pada jenis kekerasan dan keparahannya, tetapi seperti halnya
pada kekerasan terhadap perempuan, dampak dari kekerasan terhadap
anak dan masyarakat secara umum bisa serius dan membahayakan baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

19
Menurut Violence Prevention Initiative (2015), kekerasan yang dialami
oleh anak dalam berbagai jenisnya akan memengaruhi perkembangan
kognitif, social, emosional dan fisik anak. Violence Prevention Initiative
(2015) mencoba memahami kekerasan yang terjadi pada anak dengan
melihat dampak yang diakibatkan dari setiap jenis kekerasan. Secara
lebih detail, dampak dari kekerasan yang terjadi untuk setiap jenis
kekerasan dapat dilihat dari berbagai tanda atau ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kekerasan fisik:
 Adanya luka lebam, bekas gigitan atau patah tulang yang tidak
terjelaskan
 Sering tidak masuk sekolah
 Cedera tetapi sering ditutup-tutupi
 Tampak ketakutan ketika ada kehadiran orang tertentu
 Sering lari dari rumah
b. Kekerasan seksual:
 Sering mimpi buruk
 Adanya perubahan nafsu makan anak
 Anak memperlihatkan perilaku seksual yang aneh/tidak pantas
 Memperlihatkan kurang rasa percaya pada seseorang
 Perubahan yang tiba-tiba pada kepribadian anak
c. Kekerasan emosional:
 Anak memperlihatkan perilaku yang ekstrim
 Perkembangan fisik dan emosional anak lambat
 Anak sering complain sakit kepala atau perut sakit karena alasan
yang tidak jelas
 Anak terlihat frustasi ketika mengerjakan tugas
 Anak mencoba bunuh diri

20
d. Penelantaran anak:
 Tidak masuk sekolah tanpa keterangan
 Anak terlibat dalam kegiatan illegal untuk memperoleh kebutuhan
dasar hidupnya
 Anak terlihat kotor
 Anak kekurangan pakaian yang pantas dan tampak tidak berenergi
e. Anak terpapar kekerasan dalam rumah tangga:
 Meskipun anak tidak mengalami kekerasan, tetapi dia sering
melihat atau menyaksikan kekerasan yang terjadi dalam
rumahtangga, maka dampaknya dapat dilihat pada perubahan
perilaku anak seperti anak terlihat agresif, depresi, suka marah,
dan suka ketakutan
 Dampak social dari anak menyaksikan kekerasan bisa berupa
kesulitan dalam bergaul, berpotensi merasa terisolasi dan
terpinggirkan, dan masalah kepercayaan pada seseorang.
 Selanjutnya dari aspek psikologis, anak yang terpapar kekerasan
dalam rumahtangga bisa berdampak pada stress, tidur tidak teratur
dan trauma.
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rianawati (2018)
menjelaskan Kekerasan akan menimbulkan berbagai dampak negatif
pada anak. Dampak yang ditimbulkan pada fisik, psikis, dan moral.
Dampak kekerasan pada anak, sebagai berikut :
a. Dampak kekerasan fisik, yaitu dampak kekerasan yang dialami oleh
anak, dimana dampak yang dirasakan oleh anak bisa berupa sakit
secara fisik yaitu luka-luka, benjolan di tubuhnya, dan memar. Dampak
yang terjadi dapat secara langsung maupun tidak langsung atau
dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang. Pertumbuhan

21
dan perkembangan anak yang mengalami kekerasan pada umumnya
lebih lambat pada anak yang normal, yaitu:
1) Dampak langsung terhadap kejadian child abuse 5% mengalami
kematian, 25% mengalami komplikasi serius seperti patah tulang,
luka bakar, cacat menetap.
2) Terjadi kerusakan menetap pada susunan syaraf yang dapat
mengakibatkan retardasi mental, masalah belajar/kesulitan belajar,
buta, tuli, masalah dalam perkembangan motorik/pergerakan kasar
dan halus, kejadian kejang, ataksia, ataupun hidosefalus.
3) Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak
sebayanya. Kekerasan fisik pada anak sangat berdampak tidak
baik pada fisik anak. Seperti luka pada beberapa bagian tubuh
anak, atau pada sekujur tubuh anak yang akan menimbulkan rasa
sakit dan penderitaan. Bila kekerasan mengenai kepala anak yang
merupakan pusat syaraf atas atau mengenai bagian belakang
tubuh anak bawah punggung adalah pusat syaraf bawah, maka
bisa dipastikan akan terjadi kerusakan syaraf atas atau bawah,
sehingga anak akan mengalami cacat tetap, misalnya kebutaan,
bisu, tuli, kesulitan memusatkan perhatian, anggota badan seperti
tangan bergerak sendiri tanpa kendali, anak menjadi idiot dan sulit
berpikir serius atau berpikir sederhana, pelupa, menurunnya
kecerdasan anak, atau kelumpuhan.
b. Dampak kekerasan psikis, yaitu anak menarik diri dari lingkup rumah
tangganya dan kata-kata kasar yang selalu diterimanya itu menjadi
kebiasaan sendiri untuk berbicara seperti ini. Perkembangan kejiwaan
juga mengalami gangguan, yaitu:
1) Kecerdasan, berbagai penelitian melaporkan bahwa terdapat
keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca,
dan motorik. Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung

22
pada kepala, juga karena malnutrisi. Anak juga kurang mendapat
stimulasi adekuat karena gangguan emosi.
2) Emosi, masalah yang sering dijumpai adalah gangguan emosi.
Kesulitan belajar/sekolah, kesulitan dalam mengadakan hubungan
dengan teman, kehilangan kepercayaan diri, fobia, cemas.
Beberapa anak menjadi ageresif atau bermusuhan dengan orang
dewasa, atau menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka
mengompol, hyperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal
sekolah, sulit tidur, temper tantrum.
3) Konsep diri, anak yang mendapat kejadian child abuse merasa
dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak
bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas, dan melakukan
percobaan bunih diri.
4) Agresif, anak yang mendapat kejadian child abuse lebih agresif
tersebut meniru tindakan orang tua mereka atau mengalihkan
perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil
kurangnya konsep diri.
5) Hubungan sosial, pada anak-anak tersebut kurang dapat bergaul
dengan teman sebaya atau dengan orang dewasa, misalnya
melempari batu, perbuatan kriminal lainnya.
6) Akibat dari sexual abuse, tanda akibat trauma atau infeksi lokal,
seperti nyeri perineal, sekret vagina, nyeri dan perdarahan anus,
tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi kurang, enuresis,
enkopresis, anoreksia dan perubahan tingkah laku, kurang percaya
diri, sering menyakiti diri sendiri, dan sering mencoba bunuh diri,
tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai
dengan umumnya

23
Dampak kekerasan psikis sebagai ulasan di atas, sangat berakibat
fatal bagi pertumbuhan dan perkembangan mental anak. Anak yang
didera kekerasan psikis secara terus menerus akan tumbuh suatu
kepribadian yang tidak wajar. Utamanya anak tidak dapat
bersosialisasi dengan baik dengan orang lain, memandang orang lain
penuh kecurigaan, dan memiliki sifat pendendam kepada siapa saja
yang mempnyai kemiripan dengan orang yang pernah melakukan
kekerasan pada dirinya. Anak seperti ini sangat mudah
membahayakan orang lain dan terperangkap pada lingkungan yang
tidak baik atau lingkungan rusak sekelilingnya. Dia akan mudah
menyakiti orang lain atau bahkan sangat mudah melukai dan
membunuh orang lain.
Kekerasan psikis nampaknya merupakan hal yang sepele,
khususnya bagi orangtua. Kadang-kadang orangtua tanpa sadar atau
sengaja mengeluarkan kata-kata kotor pada anaknya, namun orangtua
tidak pernah berpikir, bahwa akibat yang ditimbulkan dari kekerasan
psikis sesungguhnya akan menimbulkan dampak negatif, yang
bahayanya tidak saja akan membahayakan bagi anaknya sendiri
namun juga akan dapat membahayakan orang lain.
c. Dampak kekerasan yang bersifat social, yaitu akibat dari penelantaran
yang dilakukan oleh orangtua adalah anak harus melakukan
mengerjakan tugas yang dilakukan oleh ayahnya dan pendidikannya
yang bermasalah. Pada umumnya orangtua yang mempunyai ekonomi
kelas menengah ke bawah sering tanpa sadar telah menelantarkan
hak-hak anaknya. Hak-hak anak untuk memperoleh makanan dan
minum yang sehat dan cukup, pendidikan yang layak bagi anak,
pakaian dan kebutuhan sandang anak lainnya juga tercukupi,
pemberian waktu bermain, istirahat, belajar, dan kebersamaan yang
cukup pula bagi anak. Sebaliknya, fenomena yang terjadi pada anak

24
adalah anak dipaksa dan dieksploitasi untuk bekerja, bahkan ada
orangtua yang tega menjual anaknya kepada orang lain (untuk
diadopsi, dijadikan wanita penghibur, dikawinkan pada usia dini atau
pembantu rumah tangga). Keadaan ini seperti sangat
mengkhawatirkan bagi tumbuhkembang anak untuk mendapatkan
masa depan yang baik dan penuh harapan baginya.
Penelantaran hak-hak anak adalah merupakan kekerasan sosial
pada anak. Dalam usia yang tidak layak anak harus bekerja
membanting tulang, yang tidak saja dapat merugikan fisiknya namun
juga secara psikis anak. Secara fisik, tubuh anak yang belum
berkembang sempurna, tinggi dan berat badan yang belum
berkembang optimal, tulangnya yang masih kecil dan belum mampu
mengangkat beban yang berat, pikirannya juga belum dewasa untuk
menerima pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa.
Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi tumbuh kembang fisik anak,
yang kemungkinan bisa saja karena sering menerima dan memikul
beban berat, tubuh anak berkembang tidak sempurna. Selain itu, anak
yang seharusnya belajar untuk mempersiapkan masa depan yang
gemilang, pada akhirnya tidak mempunyai kesempatan belajar apalagi
untuk bermain dan bersosialisasi bersama teman-temannya. Banyak
waktu anak-anaknya akan terkorbankan karena penelantaran yang
dilakukan oleh orangtua.

Hasil Survei & Penelitian terkait Dampak Kekerasan


Hasil Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) pada tahun 2013,
persentase anak laki-laki korban kekerasan fisik/seksual/emosional
menurut kelompok umur dan jenis dampak terhadap perilaku
menunjukkan perilaku merokok memiliki persentase lebih tinggi dibanding

25
perilaku mabuk/miras dengan persentase 75,62% pada kelompok umur
18-24 tahun yang mengalami kekerasan sebelum umur 18 tahun dan
42,2% pada kelompok umur 13-17 tahun yang mengalami kekerasan
dalam 12 bulan terakhir.

Sedangkan Pada kelompok perempuan korban kekerasan, selain


perilaku merokok dan minum minuman keras juga dilaporkan dampak lain
seperti menyakiti diri sendiri, terpikir untuk bunuh diri, mau bunuh diri, dan
menggunakan narkoba. Perempuan kelompok umur 18-24 tahun yang
mengalami kekerasan fisik sebelum umur 18 tahun didominasi oleh
perilaku mabuk/minum minaman keras dengan persentase 14%.
Sementara itu pada kelompok umur 13-17 tahun yang mengalami
kekerasan dalam 12 bulan terakhir menunjukkan persentase perilaku
merokok yang tinggi yaitu 13%.
Tampaknya dampak kekerasan emosional yang dialami perempuan
secara mental dan psikologis jauh lebih mengkhawatirkan. Sekitar 43%
perempuan umur 18-24 tahun yang mengalami kekerasan emosional
berperilaku menyakiti diri sendiri, sementara yang mencoba bunuh diri
dan terpikir bunuh diri masing-masing sebanyak 34,4% dan 32,6%. Hal

26
yang sama juga terlihat pada perempuan kelompok umur 13-17 tahun
yang mengalami kekerasan dalam 12 bulan terakhir, meskipun dengan
persentase yang lebih rendah.

Sedangkan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Inggris


oleh Wilkinson & Sussannah (2017) tentang The Impact of Abuse and
Neglect on Children;and Comparison of Different Placement Option,
menunjukkan bahwa kekerasan pada anak ini dapat menimbulkan
berbagai gangguan baik yang langsung ditampakkan maupun tidak,
namun lebih dominan ke gangguan yang ditampakkan setelah kanak-
kanak. Dalam hal ini, penelitian menunjukkan gangguan mental
dengan persentase tertinggi, baik pada usia 5-10 tahun maupun pada
usia 11-17 tahun dengan masing-masing 42% dan 49% yang
ditampakkan setelah masa kanak-kanak.

27
D. Strategi Pencegahan, Penanganan dan Perlindungan Terhadap Anak
Anak yang menjadi korban kekerasan sudah seharusnya
mendapatkan perlindungan dan penanganan dari berbagai pihak.
Dibutuhkan strategi dalam penanganan kekerasan terhadap anak.
Strategi yang dilakukan harus mampu mencegah dan menangani tindak
kekerasan. Dalam hal ini dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak agar
strategi yang dilakukan berjalan secara holistik dan komprehensif (Ending
Violence Against Children : Six Strategies for Action, UNICEF : 2014).
Seperti yang telah disusun oleh UNICEF yaitu strategi penanganan
dan pencegahan kekerasan serta perlindungan terhadap anak meliputi:
a. Supporting parents, caregivers and families
Pendekatan ini berusaha untuk mencegah kekerasan terjadi,
mengurangi faktor-faktor yang membuat keluarga dengan memperkuat
keterampilan pengasuhan anak. Menyediakan layanan dukungan
lembaga seperti persiapan penyalur pengasuh anak yang terlatih.
Home visit yang dilakukan oleh pekerja sosial dan ahli lainnya untuk
meningkatkan dan memberikan pengetahuan kepada orang tua dan
pengasuh tentang interaksi orang tua dan anak yang positif termasuk
penerapan disiplin anti kekerasan dalam pengasuhan anak. Strategi ini

28
berupaya penuh dalam mendukung orang tua, pengasuh dan keluarga
dalam penyediaan informasi, pendidikan dan pengetahuan mengenai
“parenting skill” . dengan tujuan mengurangi atau dapat mencegah
potensi perilaku kekerasan terhadap anak.
b. Helping children and adolescents manage risk and challenges
Pendekatan ini memberikan keterampilan terhadap anak-anak dan
remaja untuk mengatasi dan mengelola resiko kekerasan sehingga
dapat membantu anak untuk mengurangi terjadinya kekerasan di
sekolah dan masyarakat. Mengajarkan anak berpikir kritis, bertindak
asertif, berani menolak dan mengeluarkan pendapat, memecahkan
masalah secara kooperatif sehingga mereka dapat melindungi dirinya
sendiri dari tindak kekerasan yang terjadi di lingkungannya.
c. Chainging attitudes and socisl norms that encourage violence and
discrimination
Pendekatan ini merupakan pengetahuan mengenai cara merespon
ketika melihat dan mengalami tindak kekerasan. Memahami ketika ada
perbedaan yang terjadi pada norma dan nilai yang berlaku di
masyarakat sehingga ketika kita melihat ada perilaku salah, itu dapat
dikatakan sebagai tindakan yang wajar atau tidak, dapat ditoleransi
atau tidak. Mengubah pola pikir masyarakat yang menganggap
kekerasan adalah bentuk dari disiplin sehingga dapat membedakan
antara norma yang sesuai dan norma sosial yang membahayakan
bagi anak. Disini terlihat peran dari masyarakat yang turut menjadi
agen perubahan.
d. Promoting and providing support services for children
Pendekatan ini berupaya menyediakan layanan bagi anak, seperti
layanan pengaduan ketika mengalami tindak kekerasan. Memberikan
informasi dan bantuan agar anak mendapatkan pemulihan dan

29
tindakan yang tepat. Pemerintah dan masyarakat harus sadar akan
pentingnya ketersediaan layanan dilingkungan tempat tinggal.
e. Implementing laws and policies that protect children
Pembuat kebijakan memainkan peran penting untuk melindungi
anak-anak. Mereka dapat memastikan bahwa negara memiliki proses
nasional untuk mencegah dan menanggapi kekerasan terhadap anak.
Pemerintah harus membangun kerangka hukum yang kuat bahwa
implementasi dan monitoring perlu dilakukan.
f. Carryng out data collection and research
Peningkatan pengumpulan data nasional dan sistem informasi
untuk mengidentifikasi kelompok rentan. Hal ini dilakukan untuk
memantau kekerasan yang terjadi pada anak. Mengoptimalkan
ketersediaan data tentang isu-isu kekerasan anak (Ending Violence
Against Children : Six Strategies for Action, UNICEF : 2014).

Di Indonesia sendiri strategi perlindungan terhadap anak diatur Dalam


UU No.35, Pasal 45B berbunyi :

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua wajib


melindungi Anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh
kembang Anak.

(2) Dalam menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua harus
melakukan aktivitas yang melindungi Anak.”

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di Negara-negara
berkembang, tetapi juga di Negara-negara maju. Hasil Survei Kekerasan
terhaap Anak (SKtA) 2013 menunjukkan bahwa di Indonesia secara
umum prevalensi laki-laki yang mengalami kekerasan lebih tinggi
dibandingkan perempuan. 1 dari 2 remaja laki-laki berumur 18-24 tahun
mengalami minimal satu jenis kekerasan seksual, fisik atau emosional
sebelum umur 18 tahun, sementara 1 dari 6 remaja perempuan berumur
18-24 mengalami kekerasan minimal satu jenis kekerasan tersebut
sebelum berumur 18 tahun.
Dampak kekerasan terhadap anak berupa perubahan perilaku anak.
Sebagian anak laki-laki korban kekerasan berperilaku merokok dan
mabuk-mabukan, sementara dampak kekerasan terhadap anak
perempuan tidak hanya pada perilaku merokok dan minum miras, tetapi
juga pada perilaku lain seperti menyakiti diri sendiri, terpikir untuk bunuh
diri, mau bunuh diri, dan menggunakan narkoba.
Oleh karena itu dibutuhkan perhatian dari semua pihak untuk
mencegah berbagai kekerasan pada anak, mengingat dampaknya sangat
besar terhadap tumbuh kembang anak serta meninggalkan trauma
berkepanjangan pada anak.

B. Saran
1. Masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama untuk mencegah
terjadinya kekerasan pada anak

31
2. Masyarakat dan pemerintah harus menyediakan layanan pelaporan
kekerasan pada anak dan mendampingi serta memberikan
perlindungan anak korban kekerasan.
3. Program peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat juga
menjadi salah satu kunci yang dapat mengurangi tingkat kekerasan
terhadap anak, mengingat prevalensi kekerasan yang lebih tinggi
terjadi pada kelompok miskin dibandingkan pada kelompok kaya.

32
DAFTAR PUSTAKA

B Judizeli et al, 2017, Prevalence and Factors Related to Sexual Violence


Against Women, Salud Publica19 (6).

Chiang L, 2018,Cycle of violence among young Kenyan women: The link


between childhood violence and adult physical intimate partner violence in
a population-based survey”ELSEVIER.

Children’s Bureau, 2016, Definitions of Child Abuse and Neglect ,


https://www.childwelfare.gov/topics/systemwide/laws-policies/state/.

Di Qi , Wang Yongjie & Wan Guowei, 2018, The severity, consequences and
risk factors of child abuse in China – An empirical Study of 5836 children
in China's mid-western regions. Children and Youth Services Review,
Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2018.10.039.

Harianti dan Nina, 2014, Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan


Orangtua Terhadap Anak, Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik
2(1):44-56

Hernandes W, 2018, Violence With Femicide Risk: Its Effects on Women and
Their Children, Journal of Interpersonal Violence 1–27.
Huraerah, A, 2015, Kekerasan Terhadap Anak, Jakarta : Erlangga.
Indriyani, R, 2017, Bentuk dan Faktor Penyebab Child Abuse, Jurnal
Psikologi Muhammadiyah Purwokerto.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak, 2017,
Statistic Gender Tematik-Mengakhiri kekerasan terhadap Perempuan dan
Anak di Indonesia

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA),


2015, Profil Anak Indonesia 2015.

Rianawati, 2018, Perlindungan Hukum Terhadap Kekerasan Pada Anak


RAHEEMA: Jurnal Studi Gender dan Anak.
Sinha, M., 2013, Measuring violence against women and child: Statistical
trends, Juristat, Canadian Centre for Justice Statistics, no. 85-002-X
Undang–undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang perubahan
atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
UNICEF, 2014, Ending Violence Against Children : Six Strategies for Action.
UNICEF, 2014. Hidden in Plain Sight: A Statistical Analysis of Violence
against Children.

Violence Prevention Initiative, 2015. What Is Violence Against Children?,


Information Sheet.

Wilkinson, Julie.,& Sussannah, B., 2016, ‘The Impact of Abuse and Neglect
on Children;and Comparison of Different Placement Option’,London :
Department for Education.

World Health Organization, Department of Reproductive Health and


Research, London School of Hygiene and Tropical Medicine, South
African Medical Research Council, 2013. Global and regional estimates of
violence against women: prevalence and health effects of intimate partner
violence and non-partner sexual violence.

Anda mungkin juga menyukai