Anda di halaman 1dari 10

1.

All about RA
 Definisi : Rheumatoid arthritis is a chronic inflammatory disorder that can affect more
than just your joints. In some people, the condition also can damage a wide variety of
body systems, including the skin, eyes, lungs, heart and blood vessels.
 Penyebab : An autoimmune disorder, rheumatoid arthritis occurs when your immune
system mistakenly attacks your own body's tissues. Rheumatoid arthritis occurs when
your immune system attacks the synovium — the lining of the membranes that
surround your joints. The resulting inflammation thickens the synovium, which can
eventually destroy the cartilage and bone within the joint. The tendons and ligaments
that hold the joint together weaken and stretch. Gradually, the joint loses its shape and
alignment.
 Gejala :
Pain areas: in the joints, back, or muscles
Joints: stiffness, swelling, tenderness, or weakness
Whole body: fatigue, anaemia, or malaise
Skin: lumps or redness
Hand: bump on the finger or swelling
Also common: flare, physical deformity, or sensation of pins and needles
 Pencegahan :
 Makan makanan yang mengandung anti oksidan tinggi
 Kurangi konsumsi lemak
 Lakukan olahraga
 Hindari makan makanan jeroan
 Kurang aktivitas yang berat
 Lakukan diet
 Istirahat yang cukup
 Melakukan perubahan pola makan
 Diagnosis : Rematik sulit didiagnosis pada stadium awal karena gejala awalnya mirip
dengan penyakit lain. Dokter dapat mendiagnosis dengan melihat riwayat kesehatan,
pemeriksaan sendi, dan pemeriksaan x-ray. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu laju
endap darah (LED) yang mengukur inflamasi; darah lengkap; dan tes faktor rheumatoid
(RF).
 Penyembuhan : Cara terbaik untuk menangani rematik yaitu dengan menggunakan
obat-obatan, terapi, olahraga, dan melakukan aktivitas untuk mencegah kelemahan
sendi. Obat NSAID, seperti naproxen dan ibuprofen bisa membantu mengurangi nyeri
dan bengkak. Dokter juga dapat memberikan disease-modifying antirheumatic drugs
(DMARDs). Obat ini dapat memperlambat progresivitas rematik dan menyelamatkan
sendi dan jaringan lain dari kerusakan permanen. DMARD yang sering diberikan yaitu
methotrexate (trexall), leflunomide (Arava), hydroxychloroquine (plaquenil) dan
sulfasalazine (Azulfidine). Dokter akan menganjurkan terapi fisik dan olahraga khusus
untuk mengurangi gejala, seperti berendam dengan air panas, menggunakan lampu
pemanas, kompresan panas, dan terapi whirpool. Pembedahan rematik dapat dibagi
dalam beberapa prosedur berikut ini:
 Total joint replacement. Saat operasi, dokter bedah akan mengangkat bagian
sendi yang rusak dan memasukan alat buatan dari metal dan plastic
 Tendon repair. Peradangan dan kerusakan sendi dapat menyebabkan tendon di
sekitar sendi Anda melonggar atau sobek. Dokter bedah dapat memperbaiki
tendon di sekitar sendi Anda
 Fusi sendi. Operasi penyatuan sendi dianjurkan untuk menstabilkan sendi atau
meluruskannya kembali, dan jika menghilangkan nyeri saat penggantian sendi
bukanlah pilihan.

Berikut adalah gaya hidup dan pengobatan rumahan yang dapat membantu Anda
mengatasi rematik:

 minum obat sesuai anjuran


 kurangi berat badan jika berat badan Anda berlebih
 bicaralah dengan orang lain, membaca buku atau mendengarkan musik untuk
mengatasi stress
 olahraga teratur. Anda harus menanyakan pada dokter Anda mengenai olahraga
yang tepat
 hubungi dokter Anda atau pergi ke instalasi gawat darurat jika Anda demam dan
sendi Anda merah serta hangat
 jangan mengkonsumsi alkohol berlebihan, terutama selama menjalankan terapi
 Complications : Rheumatoid arthritis increases your risk of developing:
 Osteoporosis. Rheumatoid arthritis itself, along with some medications used for
treating rheumatoid arthritis, can increase your risk of osteoporosis — a
condition that weakens your bones and makes them more prone to fracture.
 Rheumatoid nodules. These firm bumps of tissue most commonly form around
pressure points, such as the elbows. However, these nodules can form
anywhere in the body, including the lungs.
 Dry eyes and mouth. People who have rheumatoid arthritis are much more
likely to experience Sjogren's syndrome, a disorder that decreases the amount
of moisture in your eyes and mouth.
 Infections. The disease itself and many of the medications used to combat
rheumatoid arthritis can impair the immune system, leading to increased
infections.
 Abnormal body composition. The proportion of fat compared to lean mass is
often higher in people who have rheumatoid arthritis, even in people who have
a normal body mass index (BMI).
 Carpal tunnel syndrome. If rheumatoid arthritis affects your wrists, the
inflammation can compress the nerve that serves most of your hand and
fingers.
 Heart problems. Rheumatoid arthritis can increase your risk of hardened and
blocked arteries, as well as inflammation of the sac that encloses your heart.
 Lung disease. People with rheumatoid arthritis have an increased risk of
inflammation and scarring of the lung tissues, which can lead to progressive
shortness of breath.
 Lymphoma. Rheumatoid arthritis increases the risk of lymphoma, a group of
blood cancers that develop in the lymph system.

Rheumatic heart disease is heart disorders that can occur as a result of rheumatic fever.
One common result of rheumatic fever is heart valve damage. This damage to the heart
valves may lead to a valve disorder. Rheumatic fever is an inflammatory disease that
may affect many connective tissues of the body, especially those of the heart, joints,
brain or skin. It usually starts out as a strep throat (streptococcal) infection. Anyone can
get acute rheumatic fever, but it usually occurs in children between the ages of 5 and 15
years. About 60% of people with rheumatic fever develop some degree of subsequent
heart disease. Every part of the heart, including the outer sac (the pericardium), the
inner lining (the endocardium) and the valves may be damaged by inflammation caused
by acute rheumatic fever. However, the most common form of rheumatic heart disease
affects the heart valves, particularly the mitral valve. It may take several years after an
episode of rheumatic fever for valve damage to develop or symptoms to appear.

Eritema marginatu ruam kemerahan yang menjalar dari satu sisi ke bagian sisi lain yang
mengelilingi kulit yang tampak normal. Tanda stadium awal rheumatic heart disease.

Nodul subkutan merupakan benolan keras yang banyak ditemuka disetiap ruas’’ sendi
dan merupakan tanda chronic rheumatic heart disease.

 Risk factor : Factors that may increase your risk of rheumatoid arthritis include:
 Your sex. Women are more likely than men to develop rheumatoid arthritis.
 Age. Rheumatoid arthritis can occur at any age, but it most commonly begins
between the ages of 40 and 60. Rematik terjadi pada 1–5 % orang dewasa di
seluruh dunia dan lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun. Wanita 2 – 3 kali
lipat menderita rematik dibanding laki-laki.
 Family history. If a member of your family has rheumatoid arthritis, you may
have an increased risk of the disease.
 Smoking. Cigarette smoking increases your risk of developing rheumatoid
arthritis, particularly if you have a genetic predisposition for developing the
disease. Smoking also appears to be associated with greater disease severity.
 Environmental exposures. Although uncertain and poorly understood, some
exposures such as asbestos or silica may increase the risk for developing
rheumatoid arthritis. Emergency workers exposed to dust from the collapse of
the World Trade Center are at higher risk of autoimmune diseases such as
rheumatoid arthritis.
 Obesity. People who are overweight or obese appear to be at somewhat higher
risk of developing rheumatoid arthritis, especially in women diagnosed with the
disease when they were 55 or younger.
2. All about SLE

 Definisi : Lupus adalah penyakit peradangan (inflamasi) kronis yang disebabkan oleh
sistem imun atau kekebalan tubuh yang menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh
sendiri.
 Penyebab : Autoimun. Beberapa faktor yang diduga dapat memicu timbulnya SLE pada
seseorang, antara lain adalah:
 Faktor genetik. Diduga terdapat hubungan antara pengaruh faktor genetik dan
lupus karena seringkali ditemukan adanya anggota keluarga penderita yang juga
merupakan penderita lupus.
 Hormon. Sembilan dari sepuluh penderita lupus adalah wanita. Wanita
menghasilkan hormon estrogen lebih banyak dibanding pria. Estrogen diketahui
sebagai hormon yang memperkuat sistem kekebalan tubuh
(immunoenhancing), yang artinya wanita memiliki sistem kekebalan tubuh yang
lebih kuat dibanding dengan pria. Untuk alasan ini, wanita lebih mudah
terserang penyakit autoimun bila dibandingkan dengan pria. Perubahan hormon
saat masa pubertas atau kehamilan juga dapat memicu timbulnya lupus.
Tingginya kadar estrogen saat hamil diduga memicu lupus.
 Lingkungan. Berbagai macam faktor lingkungan yang diduga dapat memicu
timbulnya lupus antara lain infeksi bakteri dan virus (salah satunya virus Epstein
Barr), stres, paparan sinar matahari (ultraviolet), merokok, serta beberapa zat
kimia seperti merkuri dan silika.
 Jenis : Penyakit lupus terbagi ke dalam beberapa jenis, antara lain:

 Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE)


Lupus ini terjadi secara menyeluruh (sistemik) pada tubuh penderita dan
merupakan jenis lupus yang paling sering terjadi. Dinamakan lupus sistemik
dikarenakan terjadi pada berbagai organ, terutama sendi, ginjal, dan kulit.
Gejala utamanya adalah inflamasi kronis pada organ-organ tersebut.

 Lupus eritematosus kutaneus (cutaneous lupus erythematosus/CLE)


Merupakan manifestasi lupus pada kulit yang dapat berdiri sendiri atau
merupakan bagian dari SLE. CLE dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu acute
cutaneous lupus erythematosus (ACLE), subacute cutaneous lupus
erythematosus (SCLE), dan chronic cutaneous lupus erythematosus (CCLE).

 Lupus akibat penggunaan obat


Beberapa jenis obat dapat menimbulkan gejala yang terlihat mirip dengan gejala
lupus, pada orang yang tidak menderita SLE. Akan tetapi jenis lupus ini bersifat
sementara dan akan menghilang dengan sendirinya beberapa bulan setelah
berhenti mengonsumsi obat yang memicu gejala lupus tersebut. Beberapa jenis
obat yang dapat menyebabkan lupus jenis ini, antara lain metildopa,
procainamide, D-penicillamine (obat untuk mengatasi keracunan logam berat),
serta minocycline (obat jerawat).

 Lupus Eritematosus Neonatal


Lupus eritematosus neonatal merupakan jenis lupus yang terjadi pada bayi baru
lahir. Lupus neonatal diakibatkan oleh autoantibodi, yaitu anti-Ro, anti-La, dan
anti-RNP. Ibu yang melahirkan anak yang menderita lupus eritematosus
neonatal belum tentu mengidap lupus. Biasanya lupus eritematosus neonatal
hanya terjadi pada kulit dan akan menghilang dengan sendirinya. Namun pada
kasus yang jarang, lupus neonatal dapat menyebabkan congenital heart block,
yaitu gangguan irama jantung pada bayi baru lahir. Kondisi ini dapat diatasi
dengan cara memasang alat pacu jantung.

 Gejala : Tiga gejala utama yang umumnya selalu muncul, yaitu:


 Rasa lelah yang ekstrem.
 Ruam pada kulit.
 Nyeri pada persendian.
Gejala-gejala lain yang dapat dialami oleh penderita SLE:
 Sariawan berulang.
 Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
 Hipertensi.
 Limfadenopati.
 Sakit kepala.
 Migrain.
 Rambut rontok.
 Mata kering.
 Depresi.
 Nyeri dada.
 Hilang ingatan.
 Napas pendek akibat anemia, inflamasi paru-paru atau jantung.
 Retensi dan akumulasi cairan tubuh, salah satunya terjadi pembengkakan pada
pergelangan kaki.
 Jari-jari tangan dan kaki yang memutih atau membiru jika terpapar hawa dingin
atau karena stres (fenomena Raynaud).
 Diagnosis :
Pemeriksaan Laboratorium
 Penghitungan sel darah lengkap (complete blood count). Penderita lupus dapat
mengalami anemia sehingga dapat diketahui melalui pemeriksaan sel darah
lengkap. Selain terjadinya anemia, penderita lupus juga dapat mengalami
kekurangan sel darah putih atau trombosit.
 Analisis urine. Urine pada penderita lupus dapat mengalami kenaikan
kandungan protein dan sel darah merah. Kondisi ini menandakan bahwa lupus
menyerang ke ginjal.
 Pemeriksaan ANA (antinuclear antibody). Pemeriksaan ini digunakan untuk
memeriksa keberadaan sel antibodi tertentu dalam darah dimana kebanyakan
pengidap SLE memilikinya. Sekitar 98% penderita lupus memiliki hasil positif jika
dilakukan tes ANA sehingga ini merupakan metode yang paling sensitif dalam
memastikan diagnosis.
 Pemeriksaan imunologi. Di antaranya adalah anti-dsDNA antibody, anti-Sm
antibody, antiphospholipid antibody, syphilis, lupus anticoagulant, dan Coombs’
test. Pemeriksaan imunologi tersebut merupakan salah satu kriteria dalam
penentuan diagnosis SLE.
 Tes komplemen C3 dan C4. Komplemen adalah senyawa dalam darah yang
membentuk sebagian sistem kekebalan tubuh. Level komplemen dalam darah
akan menurun seiring aktifnya SLE.
Pemindaian
 Ekokardiogram. Ekokardiogram berfungsicara mendeteksi aktivitas jantung dan
denyut jantung menggunakan gelombang suara. Kerusakan katup dan otot
jantungpada penderita lupus, dapat diketahui melalui ekokardiogram.
 Foto rontgen. Lupus dapat menyebabkan peradangan pada paru-paru, ditandai
dengan adanya cairan pada paru-paru. Pemeriksaan Rontgen dapat mendeteksi
adanya cairan paru-paru tersebut.
 Penyembuhan : Berikut ini adalah obat-obatan yang mungkin dibutuhkan oleh penderita
SLE
 Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Nyeri sendi atau otot merupakan salah
satu gejala utama SLE. Dokter akan meresepkan obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAIDs) untuk mengurangi gejala ini seperti ibuprofen dan diclofenac. Meski
demikian, penderita SLE sebaiknya waspada terhadap efek samping OAINS
seperti perdarahan lambung, masalah pada ginjal, dan peningkatan risiko
penyakit jantung. Untuk mencegah efek samping perdarahan lambung, dokter
dapat memberikan obat tambahan untuk melindungi lambung.
 Kortikosteroid. Kortikosteroid dapat mengurangi peradangan dengan cepat dan
efektif. Obat ini biasanya diberikan oleh dokter jika penderita SLE mengalami
gejala yang parah atau sedang aktif. Pada tahap awal. obat ini akan diberikan
dalam dosis tinggi. Dosis akan diturunkan secara bertahap seiring membaiknya
kondisi penderita. Beberapa efek samping yang akan timbul dari obat ini,
terutama jika digunakan dalam jangka panjang dan dengan dosis tinggi meliputi
pengeroposan tulang, penipisan kulit, bertambahnya berat badan, peningkatan
tekanan darah, peningkatan gula darah, dan risiko infeksi. Namun kortikosteroid
merupakan pengobatan yang aman dan efektif selama dikonsumsi dengan
benar dan di bawah pengawasan dokter.
 Hydroxychloroquine. Selain pernah digunakan untuk menangani malaria, obat
ini juga efektif untuk mengobati beberapa gejala utama SLE, seperti nyeri sendi
dan otot, kelelahan, dan ruam pada kulit. Dokter umumnya akan menganjurkan
konsumsi obat ini untuk jangka panjang. Tujuannya adalah untuk mencegah
terjadinya serangan gejala yang parah, mencegah aktifnya penyakit, dan
mencegah munculnya komplikasi yang lebih serius. Keefektifan
hydroxychloroquine biasanya akan dirasakan oleh penderita SLE setelah
menggunakannya selama 1,5 hingga 3 bulan. Efek samping yang mungkin timbul
dari penggunaan obat ini meliputi gangguan pencernaan, diare, sakit kepala,
dan ruam pada kulit.
 Obat Imunosupresan. Cara kerja obat ini adalah dengan menekan sistem
kekebalan tubuh. Ada beberapa jenis imunosupresan yang biasanya diberikan
dokter, yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil, cyclophosphamide, dan
methotrexate. Imunosupresan akan meringankan gejala SLE dengan
menghambat kerusakan pada bagian-bagian tubuh yang sehat akibat serangan
sistem kekebalan tubuh. Obat ini dapat diberikan bersamaan dengan
kortikosteroid, sehingga dosis kortikosteroid dapat diturunkan. Beberapa efek
samping yang dapat ditimbulkan oleh obat imunosupresan antara lain adalah:

 Muntah.
 Kehilangan nafsu makan.
 Pembengkakan gusi.
 Diare.
 Kejang-kejang.
 Mudah lebam atau berdarah.
 Jerawat.
 Sakit kepala.
 Bertambahnya berat badan.
 Pertumbuhan rambut secara berlebihan.

Risiko terjadinya infeksi akan meningkat akibat penekanan sistem kekebalan


tubuh oleh imunosupresan. Gejala infeksi tersebut terkadang mirip dengan
gejala aktifnya lupus. Beberapa di antaranya adalah : batuk disetai dengan
sesak, demam, diare, sensasi terbakar saat buang air kecil, serta kencing darah
(hematuria).

Hindarilah kontak dengan orang yang sedang mengalami infeksi seringan apa
pun, meski sudah memiliki kekebalan tubuh terhadap infeksi tersebut, misalnya
cacar air atau campak. Penularan mungkin akan tetap terjadi karena kinerja
sistem kekebalan tubuh sedang menurun akibat penekanan oleh obat
imunosupresan. Obat ini juga dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Karena
itu, penderita SLE membutuhkan pemeriksaan kesehatan dan tes darah secara
rutin selama menggunakan imunosupresan.

 Rituximab. Jika obat-obat lain tidak efektif bagi penderita SLE, dokter akan
menganjurkan rituximab. Obat ini awalnya dikembangkan untuk menangani
kanker, seperti limfoma. Tetapi rituximab terbukti efektif untuk menangani
penyakit autoimun, seperti SLE dan rheumatoid arthritis. Cara kerja rituximab
adalah dengan mengincar dan membunuh sel B, yaitu sel yang memproduksi
antibodi yang menjadi pemicu gejala SLE. Obat ini akan diberikan melalui infus.
Efek samping yang dapat muncul dari penggunaan rituximab meliputi pusing,
muntah, serta gejala yang mirip flu, misalnya demam dan menggigil. Obat ini
juga dapat menimbulkan reaksi alergi, namun jarang terjadi.

Selain obat-obatan yang diberikan, melindungi kulit dari sinar matahari sangat
penting bagi penderita lupus. Ruam pada kulit yang dialami penderita SLE dapat
bertambah parah jika terpapar sinar matahari. Langkah yang dapat dilakukan
untuk melindungi kulit dari sinar matahari adalah:

 Mengenakan pakaian yang menutupi seluruh bagian kulit.


 Memakai topi yang lebar dan kacamata hitam.
 Mengoleskan krim tabir surya (minimal SPF 55 ketika keluar rumah) agar
kulit tidak terbakar sinar matahari.

Dengan menghindari paparan sinar matahari, penderita lupus berisiko


kekurangan vitamin D, karena sebagian besar vitamin D dibentuk dalam tubuh
dengan bantuan paparan sinar matahari. Oleh karena itu, diperlukan pemberian
suplemen vitamin D untuk mencegah osteoporosis.

3. DMARD’s
Methotrexate
 Methotrexate adalah obat dengan fungsi untuk mengganggu pertumbuhan sel-sel
tertentu dari tubuh, terutama sel-sel yang berkembang biak dengan cepat, seperti sel-
sel kanker, sel-sel sumsum tulang, dan sel-sel kulit.
 Obat ini termasuk ke dalam risiko kehamilan kategori X menurut US Food and Drugs
Administration (FDA). Berikut referensi kategori risiko kehamilan menurut FDA :
A= Tidak berisiko
B=Tidak berisiko pada beberapa penelitian
C=Mungkin berisiko
D=Ada bukti positif dari risiko
X=Kontraindikasi
N=Tidak diketahui
 Dosis Dewasa biasa untuk Rheumatoid Arthritis
Dosis tunggal: 7,5 mg oral mingguan.
Dosis terbagi: 2,5 mg oral setiap 12 jam 3 dosis selama sekali seminggu.
Dosis maksimum mingguan: 20 mg
 Dosis anak-anak biasa untuk Rheumatoid Arthritis
5 sampai 15 mg / m2 IM atau oral sekali seminggu.
 Efek samping yang serius berikut ini:
 Batuk kering, sesak napas;
 Diare, muntah, bercak putih atau luka di dalam mulut atau bibir Anda;
 Adanya darah dalam urin atau tinja;
 Kencing lebih sedikit dari biasanya atau tidak sama sekali;
 Demam, menggigil, nyeri tubuh, gejala flu;
 Tenggorokan sakit dan sakit kepala dengan kulit melepuh parah, mengupas, dan
ruam kulit merah;
 Kulit pucat, mudah memar atau perdarahan, kelemahan; atau
 Mual, sakit perut, demam, kehilangan nafsu makan, urin gelap, tinja berwarna
seperti tanah liat, sakit kuning (menguningnya kulit atau mata)
 Efek samping yang tidak begitu serius mungkin termasuk:
 Mual, muntah, sakit perut;
 Pusing, perasaan lelah;
 Sakit kepala;
 Pendarahan gusi; atau
 Penglihatan kabur

Folic acid

 Dosis normal untuk orang dewasa biasa untuk Megaloblastik Anemia:


1 mg diminum langsung, lewat otot, di bawah kulit atau IV sekali sehari. Diminum terus-
menerus sampai gejala klinis defisiensi folat dan profil hematologi telah dinormalisasi.
 Dosis normal untuk orang dewasa untuk Kekurangan Asam Folat
400-800 mcg diminum langsung, lewat otot, di bawah kulit atau IV sekali sehari.
Wanita usia subur, hamil, dan wanita menyusui: 800 mcg diminum langsung, lewat otot,
di bawah kulit atau IV sekali sehari

Leflunomide. Leflunomide menghambat sintesis enzim pirimidine dan digunakan per oral,
dengan dosis awal 100mg per oral perhari selama 3 hari. Selanjutnya dengan dosis 10-20mg mg
peroral perhari (4-12 minggu), kemudian diturunkan pada dosis maintenance. Metabolitnya
memiliki waktu paruh 15-18 hari. Penggunaannya dibatasi karena efek samping gastrointestinal
dan teratogenik. Serum transaminase dapat meningkat pada pemakaiannya.
Hidroksikloroquin. Hidroksikloroquin 200-400mg per oral perhari atau kloroquin 125-250 mg
per oral perhari (2-6 bulan), selanjutnya dipertahankan pada dosis maintenance. Hati-hati efek
samping pada makula (mata).

Sulfasalazine. Sulfasalazine diberikan 2-3 gram peroral perhari dalam dosis terbagi (1-3 bulan) ,
selanjutnya diturunkan dalam dosis maintenance.

Hydrokloroquine dan sulfasalazine digunakan untuk RA ringan, dikombinasikan dengan DMARs


lain. Mekanisme kerja hidrokloroquin belum sepenuhnya diketahui, tetapi dapat disebabkan
karena akumulasinya pada sel sehingga mengganggu peptide otoangiogenik. Sulfasalazine dapat
menghambat fungsi leukosit dan oimfosit.

Azanthioprine diberikan 50-150 mg peroral perhari (2-3 bulan), selanjutnya diturunkan pada
dosis maintenance.

4. Penderita rheumatoid arthritis dapat melakukan terapi untuk membuat persendian lebih
fleksibel, serta membantu meningkatkan kekuatan otot dan kebugaran tubuh. Beberapa terapi
yang bisa dilakukan adalah terapi okupasi, podiatry, dan fisioterapi.
Terapi Okupasi adalah bentuk layanan kesehatan kepada masyarakat atau pasien yang
mengalami gangguan fisik dan atau mental dengan menggunakan latihan/aktivitas mengerjakan
sasaran yang terseleksi(okupasi) untuk meningkatkan kemandirian individu pada area aktivitas
kehidupan sehari-hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat.Tujuan utama dari Okupasi Terapi adalah memungkinkan individu
untuk berperan serta dalam aktivitas keseharian

Anda mungkin juga menyukai