Anda di halaman 1dari 13

SOLÖFÖ APRILMAN HAREFA

TAHUN PELAJARAN 2018/2019

FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA REFORMASI DI INDONESIA


Banyak faktor yang mem-pengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi,

dan hukum. Pemerintahan orde baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak

konsisten dan konsekuen dalam melak-sanakan cita-cita orde baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966,

orde baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945. Orde baru adalah tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara berdasarkan pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan orde baru banyak melakukan penyimpangan terhadap

nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan

rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan

kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu telah melahirkan krisis multidimensional yang menjadi

penyebab umum lahirnya gerakan reformasi, seperti: 

 Krisis politik

Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik

pemerintahan orde baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan orde baru selalu

dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebe-narnya terjadi

adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya,

demokrasi yang dilaksa-nakan pemerintahan orde baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan

demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk

rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa.

Pemerintahan orde baru selalu melakukan intervensi terhadap ke-hidupan politik. Misalnya, ketika

Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua partai,

sedangkan pemerintahan Suharto menunjuk Drs. Suryadi sebagai ketua PDI. Keja-dian itu

mengakibatkan keadaan politik dalam negeri mulai memanas. Namun, pemerintahan orde baru yang

didukung Golongan Karya (Golkar) merasa tidak bersalah. Keadaan itu sengaja direkayasa oleh

pemerintah dalam rangka memenangkan pemilihan umum secara mutlak seperti tahun-tahun

sebelumnya.Rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah orde baru sehingga pasal 2 UUD

1945 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pasal 2 UUD 1945 berbunyi bahwa: 'Kedaulatan

ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MajelisPermusyawaratan Rakyat'. Namun

dalam kenyataannya, kedaulatan ada di tangan seke-lompok orang tertentu. Anggota MPR sudah diatur

dan direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila anggota MPR/DPR terdiri dari para istri, anak, dan kerabat

dekat para pejabat negara. Keadaan itu mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya masya-rakat
terhadap institusi pemerintah, MPR, dan DPR. Ketidakpercayaan itulah yang menyebabkan lahirnya

gerakan reformasi yang dipelopori para mahasiswa dan didukung oleh para dosen maupun kaum

cendekia-wan. Mereka menuntut agar segera dilakukan pergantian presiden, reshuffle kabinet,

menggelar Sidang Istimewa MPR, dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya. Gerakan reformasi

menuntut untuk mela-kukan reformasi total dalam segala bidang kehidupan, termasuk keang-gotaan

MPR dan DPR yang dipandang sarat KKN. Di samping itu, gerakan reformasi juga menuntut agar

dilakukan pembaruan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap sebagai sumber

ketidakadilan. Keadaan partai-partai politik dan Golkar dianggap tidak mampu menampung dan

memperjuangkan aspirasi masyarakat. Pembangunan nasional selama pemerintahan orde baru

dipandang telah gagal mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur

dalam keadilan. Bahkan, pembangun-an nas

Krisis politik semakin memanas, setelah terjadi peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996.

Peristiwa itu sebagai akibat pertikaian internal dalam tubuh PDI. Kelompok PDI pimpinan Suryadi

menyerbu kantor pusat PDI yang masih ditempati oleh PDI pimpinan Megawati. Peristiwa itu

menimbulkan kerusuhan yang membawa korban, baik kendaraan, rumah, pertokoan, perkantoran, dan

korban jiwa. Pada dasarnya, peristiwa itu merupakan ekses dari kebijakan dan rekayasa politik yang

dibangun pemerintahan orde baru. 

Pada masa orde baru, kehidupan politik sangat represif, yaitu ada-nya tekanan yang kuat dari

pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik

yang represif, di antaranya:

 Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan

subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).

 Pelaksanaan Lima Paket UU Politik  yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.

 Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak

memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.

 Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk

ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.

 Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi

presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak

demokratis.Ciri-ciri itulah yang menjadi isi tuntutan atau agenda reformasi di bidang politik. 
Sepanjang tahun 1996, telah terjadi pertikaian sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat.

Kerusuhan terjadi di mana-mana, seperti pada bulan Oktober 1996 di Situbondo (Jatim), Desember

1996 di Tasikmalaya (Jabar) dan di Sanggau Ledo yang meluas ke Singkawang dan Pontianak (Kalbar).

Ketegangan politik terus berlanjut sampai menjelang Pemilu Tahun 1997 yang berubah menjadi konflik

antar etnik dan agama. Pada bulan Maret 1997, terjadi kerusuhan di Pekalongan (Jateng) yang meluas

ke seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, kerusuhan di Banjarmasin meminta korban jiwa yang tidak

sedikit jumlahnya. Keadaan itulah yang ikut mendorong lahirnya gerakan reformasi.

Kekecewaan rakyat semakin memuncak ketika semua fraksi di DPR/MPR mendukung pencalonan

Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 1998-2003. Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998,

Suharto terpilih sebagai Presiden RI dan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden untuk masa jabatan 1998-

2003. Bahkan, MPR menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan kewenangan khusus kepada

presiden untuk mengendalikan negara. Semua itu tidak dapat dipisahkan dari komposisi keanggotaan

MPR yang lebih mengarah pada hasil-hasil nepotisme.

Kekecewaan masyarakat terus bergulir dan berusaha menekan kepemimpinan Presiden Suharto

melalui berbagai demonstrasi. Para mahasiswa, anggota LSM, cendekiawan semakin marah ketika

bebe-rapa aktivitis ditangkap oleh aparat keamanan. Gerakan reformasi tidak dapat dibendung dan

dipandang sebagai satu-satunya jawaban untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih

baik. 

 Krisis hukum

Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan orde baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam

bidang hukum pun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan

untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh

keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan

dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf menyatakan bahwa 'kehakiman me-miliki kekuasaan yang

merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif)'. 

Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori para mahasiswa, masalah hukum telah menjadi

salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar setiap

persoalan dapat ditempatkan pada posisinya secara proporsional. Terjadinya ke-tidakadilan dalam

kehidupan masyarakat, salah satunya disebabkan oleh sistem hukum atau peradilan yang tidak berfungsi

sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, para mahasiswa menuntut agar reformasi di bidang hukum

dipercepat pelaksanaannya. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar
terwujudnya kehidupan yang demo-kratis, sekaligus sebagai wahana untuk mengadili seseorang sesuai

dengan kesalahannya. 

 Krisis ekonomi

Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi

perkembangan perekonomian Indonesia. Ter-nyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis

global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah

terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agus-tus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp

2,575.oo menjadi Rp 2,603.oo per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar

rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.oo per dollar. Bahkan, pada bulan Maret

1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.oo per dollar.

Melemahnya nilai tukar rupaih mengakibatkan pertumbuhan eko-nomi Indonesia menjadi 0% dan

iklim bisnis semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan dan beberapa

bank harus dilikuidasi pada akhir tahun 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah,

pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit

Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Ternyata, usaha pemerintah itu tidak dapat mem-berikan hasil

karena pinjaman bank-bank bermasalah justru semakin besar. 

Keadaan di atas mengakibatkan pemerintah harus menanggung beban hutang yang sangat besar. Di

samping itu, kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia semakin menurun dan gairah investasi

pun semakin melemah. Pada tahun 1998, pemerintah Indonesia mem-buat kebijakan uang ketat dan

bunga bank tinggi guna membangun kepercayaan dunia internasional. Namun, krisis moneter tetap tidak

dapat diatasi.

Banyak perusahaan yang tidak mampu membayar hutang-hutang luar negerinya, meskipun telah jatuh

tempo. Oleh karena itu, beberapa perusahaan harus mengurangi kegiatannya dan sebagian lagi harus

menghentikan kegiatannya sama sekali. Akibatnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-

mana. Angka penganggguran pun terus meningkat dan daya beli masyarakat terus melemah.

Kesenjangan ekonomi yang telah terjadi sebelumnya semakin melebar seiring dengan terjadinya krisis

ekonomi. 

Kondisi perekonomian nasional semakin memburuk pada akhir tahun 1997 sebagai akibat

persediaan sembako semakin menipis dan menghilang dari pasar. Akibatnya, harga-harga sembako

semakin tinggi. Kekurangan makanan dan kelaparan melanda beberap wilayah Indonesia, seperti di

Irian Barat (Papua), Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah di pulau Jawa. Untuk mengatasi

persoalan itu, peme-rintah meminta bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Namun,
bantuan dana dari IMF belum dapat direalisasikan. Padahal, pemerintah Indonesia telah

menandatangani 50 butir kesepahaman, Letter of Intent (LoI) pada tanggal 15 Januari 1998.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:

 Hutang Luar Negeri Indonesia. 

Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi.

Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap

upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi. Sampai bulan Februari 1998, sebagaimana disampaikan

Radius Prawiro pada Sidang Pemantapan Ketahanan Ekonomi yang dipim-pin Presiden Suharto di Bina

Graha, hutang Indonesia telah menca-pai 63,462 dollar Amerika Serikat, sedangkan hutang swasta

menca-pai 73,962 dollar Amerika Serikat.

 Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945. 

Pemerintah orde baru ingin men-jadikan negara RI sebagai negara industri. Keinginan itu tidak

sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah

masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-rata). Oleh karena itu,

mengubah Indonesia menjadi negara industri merupakan tugas yang sangat sulit karena masyarakat

Indonesia belum siap untuk bekerja di sektor industri. Itu semua merupakan kesalahan pemerintahan

orde baru karena tidak dapat melaksanakan pasal 33 UUD 1945 secara konsisten dan kon-sekuen.

 Pemerintahan Sentralistik. 

Pemerintahan orde baru sangat sentral-istik sifatnya sehingga semua kebijakan ditentukan dari

Jakarta. Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan peme-rintah daerah hanya

sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Misalnya, dalam bidang ekonomi, di mana semua

kekayaan diangkut ke Jakarta sehingga peme-rintah daerah tidak dapat mengembang-kan daerahnya.

Akibatnya, terjadilah ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah. Keadaan itu mempersulit

Indonesia dalam menga-tasi krisis ekonomi karena daerah tidak tidak mampu memberikan kontribusi

yang memadai. 

·         Krisis sosial

Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan

politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar

etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah.

Pelaksanaan hukum yang berkeadilan sering menim-bulkan ketidakpuasan yang mengarah pada
terjadinya demonstrasi-demonstrasi maupun kerusuhan. Sementara, ketimpangan perekono-mian

Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako

yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor

yang rentan terhadap krisis sosial. 

Krisis sosial dapat terjadi di mana-mana tanpa mengenal waktu dan tempat. Tingkat pendidikan

masyarakat yang rendah dapat menjadi faktor penentu karena sebagian besar warga masyarakat tidak

mampu mengendalikan dirinya. Sementara, para mahasiswa dan para cende-kiawan dengan

kemampuannya dapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Untuk itu, salah satu jalan yang

sering ditempuh adalah melakukan demonstrasi secara besar-besaran. Semangat para maha-siswa telah

mendorong para buruh, petani, nelayan, pedagang kecil untuk melakukan demonstrasi. Semua itu

merupakan sumber krisis sosial.

Demonstrasi-demonstrasi yang tidak terkendali mengakibatkan kehidupan di perkotaan diliputi

kecemasan, rasa takut, tidak tenteram dan tenang. Situasi yang tidak terkendali telah mendorong

sebagian masyarakat, terutama dari etnis Cina untuk memilih pergi ke luar negeri dengan alasan

keamanan.

·         Krisis kepercayaan

Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat

terhadap kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan

politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan pelaksanaan

pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.

Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah pemerintah

mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi

mahasiswa terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang

berlangsung secara damai telah berubah menjadi aksi kekerasan, setelah tertembaknya empat orang

mahasiswa, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Lesmana, Heri Hertanto, dan Hafidhin

Royan. Sedangkan para mahasiswa yang menderita luka ringan dan luka parah pun tidak sedikit jumlah,

setelah bentrok dengan aparat keamanan yang berusaha membubarkan para demonstran.

Pada waktu tragedi Trisakti terjadi, Presiden Suharto sedang menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir.

Masyarakat menuntut Presiden Suharto sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan bertanggung jawab

atas tragedi tersebut. Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden Suharto kembali ke Tanah Air dan masyarakat

menuntut agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Bahkan, beberapa kawan terdekatnya men-desak

agar Presiden Suharto segera mengundurkan diri. Dengan demi-kian, tuntutan pengunduran diri itu tidak
hanya datang dari para maha-siswa dan para oposisi politiknya.Kunjungan para mahasiswa ke gedung

DPR/MPR yang semula untuk mengadakan dialog dengan para pimpinan DPR/MPR telah berubah

menjadi mimbar bebas. Para mahasiswa lebih memilih tetap tinggal di gedung wakil rakyat itu, sebelum

tuntutan reformasi total dipenuhinya. Akhirnya, tuntutan mahasiswa tersebut mendapat tanggap-an dari

Harmoko sebagai pimpinan DPR/MPR. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR mengeluarkan

pernyataan agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Namun, himbauan pimpinan DPR/MPR agar

Presiden Suharto mengundurkan diri dianggap sebagai pendapat pribadi oleh pimpinan ABRI. Oleh

karena itu, ketidakjelasan sikap elite politik nasional telah mengundang banyak mahasiswa untuk

berdatangan ke gedung DPR/MPR. Untuk menyikapi perkembangan yang terjadi, Presiden Suharto

mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian,

Presiden Suharto mengumumkan tentang pembentukan DewanReformasi, perombakan Kabinet

Pembangunan VII, segera melakukan Pemilu, dan tidak bersedia dicalonkan kembali. Namun, usaha

Presiden Suharto tersebut tidak dapat dilaksanakan karena sebagian besar orang menolak untuk duduk

dalam Dewan Reformasi dan seorang menteri menyatakan mundur dari jabatannya. Keadaan itu

merupakan bukti bahwa Presiden Suharto telah menghadapi krisis kepercayaan, baik dari para

mahasiswa, aktivis LSM, pihak oposisi, para cendekiawan, tokoh agama dan masyarakat, maupun dari

kawan-kawan terdekatnya.Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto menyatakan

mengundurkan diri (berhenti) sebagai Presiden RI dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden.

Pada saat itu juga Wakil Presiden B.J. Habibie diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai

Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara. 

1.Agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa mencangkup beberapa tuntutan, seperti :

2.Adili suharto dan kroni – kroninya,

3.Laksanakan amandemen UUD 1945

4.Penghapusan dwi fungsi ABRI

5.Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas – luasnyan

6.Tegakan supremasi hokum

7.Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN

KONDISI INDONESIA PADA BERBAGAI BIDANG PASCA REFORMASI

A.     Bidang Politik
Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi diartikan sebagai keseluruhan kegiatan yang
berlangsung di Indonesia pasca reformasi berkaitan dengan kekuasaan, pengambilan keputusan,
kepentingan umum, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Harus diakui, perubahan sistem politik di Indonesia yang berjalan sangat cepat sejak reformasi
1998 tidak sepenuhnya berada di dalam kontrol kaum pergerakan, untuk tidak dikatakan telah jatuh ke
tangan kelompok ideologis lain.  Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kekuatan liberal yang
memasukkan ide-ide liberalisasi politik sekaligus liberalisasi ekonomi, lebih dominan. Jika pun terjadi
sirkulasi kepemimpinan elit politik di negeri ini, sesungguhnya perputaran itu sekaligus menyingkirkan
kalangan “kiri” dan “sosial-demokrasi”, meski ide reformasi sebetulnya digagas oleh kelompok ini.
Berbagai alasan penyebab bisa diuraikan, namun yang paling pokok adalah kegagalan membangun
organisasistrategis di dalam mengarahkan perubahan. Kaum kiri dan sosial-demokrat, selain miskin
inovasi di dalam menyusun skema organisasi perjuangannya, juga gagal meyakinkan publik mengenai
platform perjuangan yang lebih praktikal. Kebiasaan berwacana di tataran “ideologi abstrak”
menyebabkannya tak begitu mendapatkan dukungan publik yang lebih luas, selain persoalan-persoalan
konflik internal yang tak berkesudahan. Oleh karena itu, dengan gampang desain kaum liberal
“diterima” menjadi desain baru sistem politik Indonesia, sementara sistem ekonomi kapitalistik tinggal
meneruskan skema ekonomi Orde Baru dengan berbagai polesan kecil ditambah penetrasi ide
neoliberalisme ke dalam sistem ekonomi. Penguasaan yang lemah akan modal sosial, finansial dan
jaringan sosial-politik yang miskin, ditambah miskinnya kreasi, mendorong kaum kiri dan sosial-
demokrat berada di pinggiran.
Dalam posisi seperti inilah kemudian format ketatanegaraan kita disusun, dimana dominasi kaum liberal
menjadi begitu dominan, selain kelompok pragmatis yang memang merupakan pemain lama di dalam
pentas politik dan ekonomi nasional, kita sebut saja sebagai “broker politik dan ekonomi” suatu istilah
yang mungkin secara akademik kurang tepat. Tidak heran, bila kemudian arah reformasi sistem politik
menjadi hampir tidak terkawal. Perubahan konstitusi mau pun akibatnya terhadap perubahan institusi
dan norma perilaku berpolitik, kebijakan dan praktek politik pemerintahan jauh dari apa yang dicita-
citakan kaum kiri dan sosial-demokrat.
Secara singkat dapat dilihat beberapa kelebihan dan kekurangan pada masa pasca reformasi
       a. Kelebihan Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi adalah sebagai berikut.
1.        Adanya kebebasan berpendapat dan kepentingan yang tidak pernah direalisasikan pada masa
Orde Baru
2.      Berkurangnya cara-cara kekerasan terhadap masyarakat yang berusaha mengkritik pemerintah.
Dimana pada masa Orde Baru, tokoh-tokoh pengkritik pemerintah akan dipenjarakan, dan adanya
para Petrus (penembak misterius) yang diduga pembunuh bayaran pemerintah yang bertugas untuk
“menghabisi” orang-orang yang berusaha membuka kedok pemerintah.
3.       Perbaikan bidang HAM yang pada masa Orde Baru banyak dilanggar oleh pemerintah sendiri
4.      Semakin tingginya partisipasi dan antusiasme masyarakat dalam berbagai kegiatan politik,
terutama dalam pembentukan partai. Pada perhitungan awal reformasi, ada lebih dari 80 parati
politik yang terbentuk walau banyak pula yang tergusur pada saat masa pendaftaran resmi dibuka
5.      Semakin diterapkannya otonomi daerah, dimana kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh
pemerintah pusat tetapi daerah juga diberi kewenangan dalam mengurus rumah tangganya sendiri
6.      Keadilan semakin terasa menyeluruh pada masyarakat Indonesia. Seperti dikemukakan penulis
pada bab pendahuluan, bahwa masyarakat etnis Tionghoa menjadi sama haknya dengan WNI
lainnya, pengakuan agama Konghucu, dan menjadikan Hari Raya Imlek sebagai libur nasional
b. Kekurangannya adalah sebagai berikut.
1.        Maraknya kerusuhan akibat demonstrasi yang dilakukan para aktivis sebagai bentuk
penyaluran aspirasi masyarakat. Sumber Daya Manusia Indonesia yang tidak mengerti bagaimana
seharusnya demonstrasi yang baik malah melakukan tindakan anarkis sebagai bentuk kepedulian
pada kepentingan masyarakat.
2.      Merajalelanya KKN sebagai akibat diberlakukannya otonomi daerah. Pejabat-pejabat daerah
berpendapat bahwa bukan hanya pemerintah pusat saja yang mampu melakukan KKN, tetapi
mereka juga mampu.
3.       Kebebasan pers disalah gunakan banyak pihak (penguasa) untuk mencari keburukan dari elit-
elit politik yang menjadi saingan politiknya. Sehingga yang terjadi perpecahan antar partai koalisi,
bahkan perpecahan ditubuh partai itu sendiri.
4.      Semakin maraknya intervensi asing (teroris) sebagai akibat kelemahan pertahanan dan
keamanan dalam negeri. Juga akibat sifat pemerintahan Indonesia yang terlalu terbuka terhadap luar
negeri.
5.      Meningkatnya kriminalitas akibat perlindungan HAM yang tidak seimbang. Semua pelaku
criminal tersebut akan membela diri dengan mengatakan bahwa ia melakukan kejahatan karena hak
nya tidak terpenuhi.

B.      Bidang Sosial
Perubahan politik di Indonesia sejak bulan Mei 1998 merupakan babak baru bagi penyelesaian
masalah Timor Timur. Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie telah
menawarkan pilihan, yaitu pemberian otonomi khusus kepada Timor Timur di dalam Negara
Kesatuan RI atau memisahkan diri dari Indonesia. 

Melalui perundingan yang disponsori oleh PBB, di New York,Amerika Serikat pada tanggal 5 Mei
1999 ditandatangani kesepakatan tripartit antara  Indonesia, Portugal, dan PBB untuk melakukan
jajak pendapat mengenai status masa depan Timor Timur.
PBB kemudian membentuk misi PBB di Timor Timur atau United Nations Assistance Mission in
East Timor (UNAMET). Misi ini bertugas melakukan jajak pendapat. Jajak pendapat
diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Jajak pendapat diikuti oleh 451.792 penduduk Timor
Timur berdasarkan kriteria UNAMET. Jajak pendapat diumumkan oleh PBB di New York dan Dili
pada tanggal 4 September 1999. 

Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa 78,5% penduduk Timor Timur menolak menerima
otonomi khusus dalam NKRI dan 21,5% menerima usul otonomi khusus yang ditawarkan
pemerintah RI. Ini berarti Timor Timur harus lepas dari Indonesia. Ketetapan MPR No.
V/MPR/1999  tentang Penentuan Pendapat Rakyat di Timor Timur menyatakan mencabut
berlakunya Tap. MPR No. V/MPR/1978. Selain itu, mengakui hasiljajak pendapat tanggal 30
Agustus 1999 yang  menolak otonomi khusus.
Pengalaman lepasnya Timor Timur dari Indonesia menjadikan pemerintah lebih waspada terhadap
masalah Aceh dan Papua. Sikap politik pemerintah di era reformasi terhadap penyelesaian masalah
Aceh dan Papua dilakukan dengan memberi otonomi khusus pada dua daerah tersebut. 

Untuk lebih memberi perhatian dan semangat pada penduduk Irian Jaya, di era kepemimpinan Presiden
Abdurrahman Wahid nama Irian Jaya diganti menjadi Papua. Pemerintah pusat juga memberi otonomi
khusus pada wilayah Papua. 

Dengan demikian, pemerintah telah berusaha merespon sebagian keinginan warga Papua untuk dapat
lebih memaksimalkan segala potensinya untuk kesejahteraan rakyat Papua sendiri. Meskipun begitu,
masih saja terjadi usaha untuk memisahkan diri dari NKRI, terutama yang dipimpin oleh Theys H.
Eluoy, Ketua Presidium Dewan Papua. 

Gerakan Papua Merdeka sempat mereda setelah Theys H. Eluoy tewas tertembak pada tanggal 11
November 2001 yang diduga dilakukan oleh beberapa oknum TNI dari Satgas Tribuana X. Penyelesaian
konflik seperti itu sebenarnya tidak dikehendaki pemerintah, namun ada saja oknum yang memancing di
air keruh sehingga menimbulkan ketegangan.
Keinginan sebagian rakyat untuk merdeka telah menyebabkan pemerintah bertindak keras. Apalagi
setelah pengalaman Timor Timur dan pemberian otonomi khusus pada rakyat tidak memberikan hasil
maksimal. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, Aceh telah mendapat otonomi
khusus dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, keinginan baik pemerintah kurang mendapat
sambutan sebagian rakyat Aceh. 

Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap pada tuntutannya, yaitu ingin Aceh merdeka.
Akibatnya, di Aceh sering terjadi gangguan keamanan, seperti penghadangan dan perampokan truk-truk
pembawa kebutuhan rakyat, serta terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh yang
memihak Indonesia. 

Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah pusat dengan persetujuan DPR, akhirnya melaksanakan
operasi militer di Aceh. Hukum darurat militer diberlakukan di Aceh. Para pendukung Gerakan Aceh
Merdeka ditangkap. Namun demikian, operasi militer juga tetap saja menyengsarakan warga sipil
sehingga diharapkan dapat segera selesai.
Gejolak politik di era reformasi juga ditandai dengan banyaknya teror bom di Indonesia. Teror bom
terbesar terjadi di sebuah tempat hiburan di Legian, Kuta, Bali yang menewaskan ratusan orang asing.
Pada tanggal 12 Oktober 2002 bom berikutnya sempat memporak-porandakan Hotel J.W. Marriot di
Jakarta beberapa waktu lalu.

Keadaan yang tidak aman dan banyaknya teror bom memperburuk citra Indonesia di mata internasional
sehingga banyak investor yang batal menanamkan modal di Indonesia. Kondisi politik Indonesia yang
kurang menguntungkan tersebut diperparah dengan tidak ditegakkannya hukum dan hak asasi manusia
(HAM) sebagaimana mestinya. 
Berbagai kasus pelanggaran hukum dan HAM terutama yang menyangkut tokoh-tokoh politik,
konglomerat, dan oknum TNI tidak pernah terselesaikan secara adil dan jujur. Oleh karena itu, rakyat
makin tidak percaya pada penguasa meskipun dua kali telah terjadi pergantian pimpinan negara sejak
Soeharto tidak menjadi Presiden RI.

Saat Krisis Moneter


Sejak krisis moneter tahun 1997, perusahaan swasta mengalami kerugian dan kesulitan dalam
membayar gaji karyawan. Sementara itu harga-harga kebutuhan bahan pokok semakin melambung
tinggi. Hal ini berakibat langsung kepada para pekerja. Sehingga banyak karyawan yang menuntut
kenaikan gaji pada perusahaan.
Keadaan inilah yang menjadi masalah cukup berat, karena satu sisi perusahaan mengalami kerugian dan
di sisi lain para pekerja menuntut kenaikan gaji. Tuntutan tersebut sangat sulit dipenuhi dan pada
akhirnya berimbas pada mem-PHK karyawannya. 
           
Karyawan yang di PHK itu menambah jumlah pengangguran sehingga jumlah pengangguran pada saat
itu diperkirakan mencapai 40 juta orang. Dampaknya adalah maraknya tindakan kriminalitas yang
terjadi dalam masyarakat.
Oleh karena itu pemerintah harus membuka lapangan kerja baru yang dapat menampung para
penganggur tersebut. Dan juga menarik kembali para investor untuk menanamkan modalnya ke
Indonesia sehingga dapat membuka lapangan kerja

C.      Bidang Ekonomi
Sejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan 1997, ekonomi Indonesia mengalami
keterpurukan. Indonesia mengalami kondisi yang cukup terpuruk dengan terjadinya
inflasi. . Terlihat dari nilai rupiah yang masih bertahan di kisaran Rp 8.000 – Rp 9.000 per dollar AS.
Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat makin menurun. Banyak investor
asing yang lari keluar negeri dengan alasan tidak ada jaminan keamanan di Indonesia dan Indonesia
dinilai bukan lagi tempat investasi yang menarik. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi sangat
terbatas dan pendapatan perkapita cenderung memburuk sejak tahun 1997.

Pemerintah juga tidak sanggup mengontrol mata uang asing yang beredar di Indonesia,
terutama mata uang Amerika Serikat, keadaan kas Negara dan bea cukai dalam keadaan nihil,
begitu juga dengan pajak. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa pemerintah Indonesia
mencari pinjaman dana dari luar negeri seperti Amerika, tetapi semua itu tidak memberikan
hasil dan malah memperburuk keadaan rakyat. Banyak peristiwa yang mengakibatkan
defisitnya keuangan negara salah satunya adalah pejabat negara yang korupt.  Usaha-usaha yang
telah dilakukan oleh pemerintah RI untuk mengatasi masalah ekonomi adalah
menyelenggarakan konferensi ekonomi dengan agenda utamanya adalah usaha peningkatan
produksi pangan dan cara pendistribusiannya, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan milik swasta/asing. Catatan 14 tahun terakhir menunjukkan betapa kondisi sosial-
ekonomi, politik, hukum dan budaya kian masuk ke dalam suatu krisis multi-dimensional.
Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa banyak masyarakat semakin kehilangan makna
atas proses demokratisasi di Indonesia, dan karenanya semakin tidak percaya dengan proses-
proses politik yang sedang berjalan atau mengalami krisis kepercayaan  (distrust) terhadap
sistem politik, kepemimpinan politik, organisasi politik serta lembaga-lembaga politik (formal
mau pun non-formal). Kondisi ini paling tidak oleh sebagian kalangan dikuatirkan akan menuju
stagnasi politik, dengan demikian projek reformasi pun akan gagal, yang ujungnya akan bisa
menimbulkan krisis politik dan ekonomi yang jauh lebih parah dari yang sebelumnya pernah
dialami.

Anda mungkin juga menyukai