dan hukum. Pemerintahan orde baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak
konsisten dan konsekuen dalam melak-sanakan cita-cita orde baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966,
orde baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Orde baru adalah tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara berdasarkan pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan orde baru banyak melakukan penyimpangan terhadap
nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan
rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan
Krisis politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik
pemerintahan orde baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan orde baru selalu
dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebe-narnya terjadi
adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya,
demokrasi yang dilaksa-nakan pemerintahan orde baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan
demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk
rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa.
Pemerintahan orde baru selalu melakukan intervensi terhadap ke-hidupan politik. Misalnya, ketika
Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua partai,
sedangkan pemerintahan Suharto menunjuk Drs. Suryadi sebagai ketua PDI. Keja-dian itu
mengakibatkan keadaan politik dalam negeri mulai memanas. Namun, pemerintahan orde baru yang
didukung Golongan Karya (Golkar) merasa tidak bersalah. Keadaan itu sengaja direkayasa oleh
pemerintah dalam rangka memenangkan pemilihan umum secara mutlak seperti tahun-tahun
sebelumnya.Rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah orde baru sehingga pasal 2 UUD
1945 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pasal 2 UUD 1945 berbunyi bahwa: 'Kedaulatan
ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MajelisPermusyawaratan Rakyat'. Namun
dalam kenyataannya, kedaulatan ada di tangan seke-lompok orang tertentu. Anggota MPR sudah diatur
dan direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila anggota MPR/DPR terdiri dari para istri, anak, dan kerabat
dekat para pejabat negara. Keadaan itu mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya masya-rakat
terhadap institusi pemerintah, MPR, dan DPR. Ketidakpercayaan itulah yang menyebabkan lahirnya
gerakan reformasi yang dipelopori para mahasiswa dan didukung oleh para dosen maupun kaum
menggelar Sidang Istimewa MPR, dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya. Gerakan reformasi
menuntut untuk mela-kukan reformasi total dalam segala bidang kehidupan, termasuk keang-gotaan
MPR dan DPR yang dipandang sarat KKN. Di samping itu, gerakan reformasi juga menuntut agar
dilakukan pembaruan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap sebagai sumber
ketidakadilan. Keadaan partai-partai politik dan Golkar dianggap tidak mampu menampung dan
dipandang telah gagal mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur
Krisis politik semakin memanas, setelah terjadi peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996.
Peristiwa itu sebagai akibat pertikaian internal dalam tubuh PDI. Kelompok PDI pimpinan Suryadi
menyerbu kantor pusat PDI yang masih ditempati oleh PDI pimpinan Megawati. Peristiwa itu
menimbulkan kerusuhan yang membawa korban, baik kendaraan, rumah, pertokoan, perkantoran, dan
korban jiwa. Pada dasarnya, peristiwa itu merupakan ekses dari kebijakan dan rekayasa politik yang
Pada masa orde baru, kehidupan politik sangat represif, yaitu ada-nya tekanan yang kuat dari
pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik
Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan
Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.
Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk
Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi
presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak
demokratis.Ciri-ciri itulah yang menjadi isi tuntutan atau agenda reformasi di bidang politik.
Sepanjang tahun 1996, telah terjadi pertikaian sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat.
Kerusuhan terjadi di mana-mana, seperti pada bulan Oktober 1996 di Situbondo (Jatim), Desember
1996 di Tasikmalaya (Jabar) dan di Sanggau Ledo yang meluas ke Singkawang dan Pontianak (Kalbar).
Ketegangan politik terus berlanjut sampai menjelang Pemilu Tahun 1997 yang berubah menjadi konflik
antar etnik dan agama. Pada bulan Maret 1997, terjadi kerusuhan di Pekalongan (Jateng) yang meluas
ke seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, kerusuhan di Banjarmasin meminta korban jiwa yang tidak
sedikit jumlahnya. Keadaan itulah yang ikut mendorong lahirnya gerakan reformasi.
Kekecewaan rakyat semakin memuncak ketika semua fraksi di DPR/MPR mendukung pencalonan
Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 1998-2003. Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998,
Suharto terpilih sebagai Presiden RI dan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden untuk masa jabatan 1998-
2003. Bahkan, MPR menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan kewenangan khusus kepada
presiden untuk mengendalikan negara. Semua itu tidak dapat dipisahkan dari komposisi keanggotaan
Kekecewaan masyarakat terus bergulir dan berusaha menekan kepemimpinan Presiden Suharto
melalui berbagai demonstrasi. Para mahasiswa, anggota LSM, cendekiawan semakin marah ketika
bebe-rapa aktivitis ditangkap oleh aparat keamanan. Gerakan reformasi tidak dapat dibendung dan
dipandang sebagai satu-satunya jawaban untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih
baik.
Krisis hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan orde baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam
bidang hukum pun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan
untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh
keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan
dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf menyatakan bahwa 'kehakiman me-miliki kekuasaan yang
Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori para mahasiswa, masalah hukum telah menjadi
salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar setiap
persoalan dapat ditempatkan pada posisinya secara proporsional. Terjadinya ke-tidakadilan dalam
kehidupan masyarakat, salah satunya disebabkan oleh sistem hukum atau peradilan yang tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, para mahasiswa menuntut agar reformasi di bidang hukum
dipercepat pelaksanaannya. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar
terwujudnya kehidupan yang demo-kratis, sekaligus sebagai wahana untuk mengadili seseorang sesuai
dengan kesalahannya.
Krisis ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi
perkembangan perekonomian Indonesia. Ter-nyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis
global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agus-tus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp
2,575.oo menjadi Rp 2,603.oo per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.oo per dollar. Bahkan, pada bulan Maret
1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.oo per dollar.
Melemahnya nilai tukar rupaih mengakibatkan pertumbuhan eko-nomi Indonesia menjadi 0% dan
iklim bisnis semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan dan beberapa
bank harus dilikuidasi pada akhir tahun 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Ternyata, usaha pemerintah itu tidak dapat mem-berikan hasil
Keadaan di atas mengakibatkan pemerintah harus menanggung beban hutang yang sangat besar. Di
samping itu, kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia semakin menurun dan gairah investasi
pun semakin melemah. Pada tahun 1998, pemerintah Indonesia mem-buat kebijakan uang ketat dan
bunga bank tinggi guna membangun kepercayaan dunia internasional. Namun, krisis moneter tetap tidak
dapat diatasi.
Banyak perusahaan yang tidak mampu membayar hutang-hutang luar negerinya, meskipun telah jatuh
tempo. Oleh karena itu, beberapa perusahaan harus mengurangi kegiatannya dan sebagian lagi harus
menghentikan kegiatannya sama sekali. Akibatnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-
mana. Angka penganggguran pun terus meningkat dan daya beli masyarakat terus melemah.
Kesenjangan ekonomi yang telah terjadi sebelumnya semakin melebar seiring dengan terjadinya krisis
ekonomi.
Kondisi perekonomian nasional semakin memburuk pada akhir tahun 1997 sebagai akibat
persediaan sembako semakin menipis dan menghilang dari pasar. Akibatnya, harga-harga sembako
semakin tinggi. Kekurangan makanan dan kelaparan melanda beberap wilayah Indonesia, seperti di
Irian Barat (Papua), Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah di pulau Jawa. Untuk mengatasi
persoalan itu, peme-rintah meminta bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Namun,
bantuan dana dari IMF belum dapat direalisasikan. Padahal, pemerintah Indonesia telah
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi.
Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap
upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi. Sampai bulan Februari 1998, sebagaimana disampaikan
Radius Prawiro pada Sidang Pemantapan Ketahanan Ekonomi yang dipim-pin Presiden Suharto di Bina
Graha, hutang Indonesia telah menca-pai 63,462 dollar Amerika Serikat, sedangkan hutang swasta
Pemerintah orde baru ingin men-jadikan negara RI sebagai negara industri. Keinginan itu tidak
sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah
masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-rata). Oleh karena itu,
mengubah Indonesia menjadi negara industri merupakan tugas yang sangat sulit karena masyarakat
Indonesia belum siap untuk bekerja di sektor industri. Itu semua merupakan kesalahan pemerintahan
orde baru karena tidak dapat melaksanakan pasal 33 UUD 1945 secara konsisten dan kon-sekuen.
Pemerintahan Sentralistik.
Pemerintahan orde baru sangat sentral-istik sifatnya sehingga semua kebijakan ditentukan dari
Jakarta. Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan peme-rintah daerah hanya
sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Misalnya, dalam bidang ekonomi, di mana semua
kekayaan diangkut ke Jakarta sehingga peme-rintah daerah tidak dapat mengembang-kan daerahnya.
Akibatnya, terjadilah ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah. Keadaan itu mempersulit
Indonesia dalam menga-tasi krisis ekonomi karena daerah tidak tidak mampu memberikan kontribusi
yang memadai.
· Krisis sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan
politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar
etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah.
Pelaksanaan hukum yang berkeadilan sering menim-bulkan ketidakpuasan yang mengarah pada
terjadinya demonstrasi-demonstrasi maupun kerusuhan. Sementara, ketimpangan perekono-mian
Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako
yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor
Krisis sosial dapat terjadi di mana-mana tanpa mengenal waktu dan tempat. Tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah dapat menjadi faktor penentu karena sebagian besar warga masyarakat tidak
mampu mengendalikan dirinya. Sementara, para mahasiswa dan para cende-kiawan dengan
kemampuannya dapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Untuk itu, salah satu jalan yang
sering ditempuh adalah melakukan demonstrasi secara besar-besaran. Semangat para maha-siswa telah
mendorong para buruh, petani, nelayan, pedagang kecil untuk melakukan demonstrasi. Semua itu
kecemasan, rasa takut, tidak tenteram dan tenang. Situasi yang tidak terkendali telah mendorong
sebagian masyarakat, terutama dari etnis Cina untuk memilih pergi ke luar negeri dengan alasan
keamanan.
· Krisis kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat
politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan pelaksanaan
pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah pemerintah
mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi
mahasiswa terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang
berlangsung secara damai telah berubah menjadi aksi kekerasan, setelah tertembaknya empat orang
Royan. Sedangkan para mahasiswa yang menderita luka ringan dan luka parah pun tidak sedikit jumlah,
setelah bentrok dengan aparat keamanan yang berusaha membubarkan para demonstran.
Pada waktu tragedi Trisakti terjadi, Presiden Suharto sedang menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir.
Masyarakat menuntut Presiden Suharto sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan bertanggung jawab
atas tragedi tersebut. Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden Suharto kembali ke Tanah Air dan masyarakat
menuntut agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Bahkan, beberapa kawan terdekatnya men-desak
agar Presiden Suharto segera mengundurkan diri. Dengan demi-kian, tuntutan pengunduran diri itu tidak
hanya datang dari para maha-siswa dan para oposisi politiknya.Kunjungan para mahasiswa ke gedung
DPR/MPR yang semula untuk mengadakan dialog dengan para pimpinan DPR/MPR telah berubah
menjadi mimbar bebas. Para mahasiswa lebih memilih tetap tinggal di gedung wakil rakyat itu, sebelum
tuntutan reformasi total dipenuhinya. Akhirnya, tuntutan mahasiswa tersebut mendapat tanggap-an dari
Harmoko sebagai pimpinan DPR/MPR. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR mengeluarkan
pernyataan agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Namun, himbauan pimpinan DPR/MPR agar
Presiden Suharto mengundurkan diri dianggap sebagai pendapat pribadi oleh pimpinan ABRI. Oleh
karena itu, ketidakjelasan sikap elite politik nasional telah mengundang banyak mahasiswa untuk
mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian,
Pembangunan VII, segera melakukan Pemilu, dan tidak bersedia dicalonkan kembali. Namun, usaha
Presiden Suharto tersebut tidak dapat dilaksanakan karena sebagian besar orang menolak untuk duduk
dalam Dewan Reformasi dan seorang menteri menyatakan mundur dari jabatannya. Keadaan itu
merupakan bukti bahwa Presiden Suharto telah menghadapi krisis kepercayaan, baik dari para
mahasiswa, aktivis LSM, pihak oposisi, para cendekiawan, tokoh agama dan masyarakat, maupun dari
mengundurkan diri (berhenti) sebagai Presiden RI dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden.
Pada saat itu juga Wakil Presiden B.J. Habibie diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai
1.Agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa mencangkup beberapa tuntutan, seperti :
A. Bidang Politik
Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi diartikan sebagai keseluruhan kegiatan yang
berlangsung di Indonesia pasca reformasi berkaitan dengan kekuasaan, pengambilan keputusan,
kepentingan umum, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Harus diakui, perubahan sistem politik di Indonesia yang berjalan sangat cepat sejak reformasi
1998 tidak sepenuhnya berada di dalam kontrol kaum pergerakan, untuk tidak dikatakan telah jatuh ke
tangan kelompok ideologis lain. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kekuatan liberal yang
memasukkan ide-ide liberalisasi politik sekaligus liberalisasi ekonomi, lebih dominan. Jika pun terjadi
sirkulasi kepemimpinan elit politik di negeri ini, sesungguhnya perputaran itu sekaligus menyingkirkan
kalangan “kiri” dan “sosial-demokrasi”, meski ide reformasi sebetulnya digagas oleh kelompok ini.
Berbagai alasan penyebab bisa diuraikan, namun yang paling pokok adalah kegagalan membangun
organisasistrategis di dalam mengarahkan perubahan. Kaum kiri dan sosial-demokrat, selain miskin
inovasi di dalam menyusun skema organisasi perjuangannya, juga gagal meyakinkan publik mengenai
platform perjuangan yang lebih praktikal. Kebiasaan berwacana di tataran “ideologi abstrak”
menyebabkannya tak begitu mendapatkan dukungan publik yang lebih luas, selain persoalan-persoalan
konflik internal yang tak berkesudahan. Oleh karena itu, dengan gampang desain kaum liberal
“diterima” menjadi desain baru sistem politik Indonesia, sementara sistem ekonomi kapitalistik tinggal
meneruskan skema ekonomi Orde Baru dengan berbagai polesan kecil ditambah penetrasi ide
neoliberalisme ke dalam sistem ekonomi. Penguasaan yang lemah akan modal sosial, finansial dan
jaringan sosial-politik yang miskin, ditambah miskinnya kreasi, mendorong kaum kiri dan sosial-
demokrat berada di pinggiran.
Dalam posisi seperti inilah kemudian format ketatanegaraan kita disusun, dimana dominasi kaum liberal
menjadi begitu dominan, selain kelompok pragmatis yang memang merupakan pemain lama di dalam
pentas politik dan ekonomi nasional, kita sebut saja sebagai “broker politik dan ekonomi” suatu istilah
yang mungkin secara akademik kurang tepat. Tidak heran, bila kemudian arah reformasi sistem politik
menjadi hampir tidak terkawal. Perubahan konstitusi mau pun akibatnya terhadap perubahan institusi
dan norma perilaku berpolitik, kebijakan dan praktek politik pemerintahan jauh dari apa yang dicita-
citakan kaum kiri dan sosial-demokrat.
Secara singkat dapat dilihat beberapa kelebihan dan kekurangan pada masa pasca reformasi
a. Kelebihan Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi adalah sebagai berikut.
1. Adanya kebebasan berpendapat dan kepentingan yang tidak pernah direalisasikan pada masa
Orde Baru
2. Berkurangnya cara-cara kekerasan terhadap masyarakat yang berusaha mengkritik pemerintah.
Dimana pada masa Orde Baru, tokoh-tokoh pengkritik pemerintah akan dipenjarakan, dan adanya
para Petrus (penembak misterius) yang diduga pembunuh bayaran pemerintah yang bertugas untuk
“menghabisi” orang-orang yang berusaha membuka kedok pemerintah.
3. Perbaikan bidang HAM yang pada masa Orde Baru banyak dilanggar oleh pemerintah sendiri
4. Semakin tingginya partisipasi dan antusiasme masyarakat dalam berbagai kegiatan politik,
terutama dalam pembentukan partai. Pada perhitungan awal reformasi, ada lebih dari 80 parati
politik yang terbentuk walau banyak pula yang tergusur pada saat masa pendaftaran resmi dibuka
5. Semakin diterapkannya otonomi daerah, dimana kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh
pemerintah pusat tetapi daerah juga diberi kewenangan dalam mengurus rumah tangganya sendiri
6. Keadilan semakin terasa menyeluruh pada masyarakat Indonesia. Seperti dikemukakan penulis
pada bab pendahuluan, bahwa masyarakat etnis Tionghoa menjadi sama haknya dengan WNI
lainnya, pengakuan agama Konghucu, dan menjadikan Hari Raya Imlek sebagai libur nasional
b. Kekurangannya adalah sebagai berikut.
1. Maraknya kerusuhan akibat demonstrasi yang dilakukan para aktivis sebagai bentuk
penyaluran aspirasi masyarakat. Sumber Daya Manusia Indonesia yang tidak mengerti bagaimana
seharusnya demonstrasi yang baik malah melakukan tindakan anarkis sebagai bentuk kepedulian
pada kepentingan masyarakat.
2. Merajalelanya KKN sebagai akibat diberlakukannya otonomi daerah. Pejabat-pejabat daerah
berpendapat bahwa bukan hanya pemerintah pusat saja yang mampu melakukan KKN, tetapi
mereka juga mampu.
3. Kebebasan pers disalah gunakan banyak pihak (penguasa) untuk mencari keburukan dari elit-
elit politik yang menjadi saingan politiknya. Sehingga yang terjadi perpecahan antar partai koalisi,
bahkan perpecahan ditubuh partai itu sendiri.
4. Semakin maraknya intervensi asing (teroris) sebagai akibat kelemahan pertahanan dan
keamanan dalam negeri. Juga akibat sifat pemerintahan Indonesia yang terlalu terbuka terhadap luar
negeri.
5. Meningkatnya kriminalitas akibat perlindungan HAM yang tidak seimbang. Semua pelaku
criminal tersebut akan membela diri dengan mengatakan bahwa ia melakukan kejahatan karena hak
nya tidak terpenuhi.
B. Bidang Sosial
Perubahan politik di Indonesia sejak bulan Mei 1998 merupakan babak baru bagi penyelesaian
masalah Timor Timur. Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie telah
menawarkan pilihan, yaitu pemberian otonomi khusus kepada Timor Timur di dalam Negara
Kesatuan RI atau memisahkan diri dari Indonesia.
Melalui perundingan yang disponsori oleh PBB, di New York,Amerika Serikat pada tanggal 5 Mei
1999 ditandatangani kesepakatan tripartit antara Indonesia, Portugal, dan PBB untuk melakukan
jajak pendapat mengenai status masa depan Timor Timur.
PBB kemudian membentuk misi PBB di Timor Timur atau United Nations Assistance Mission in
East Timor (UNAMET). Misi ini bertugas melakukan jajak pendapat. Jajak pendapat
diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Jajak pendapat diikuti oleh 451.792 penduduk Timor
Timur berdasarkan kriteria UNAMET. Jajak pendapat diumumkan oleh PBB di New York dan Dili
pada tanggal 4 September 1999.
Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa 78,5% penduduk Timor Timur menolak menerima
otonomi khusus dalam NKRI dan 21,5% menerima usul otonomi khusus yang ditawarkan
pemerintah RI. Ini berarti Timor Timur harus lepas dari Indonesia. Ketetapan MPR No.
V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat Rakyat di Timor Timur menyatakan mencabut
berlakunya Tap. MPR No. V/MPR/1978. Selain itu, mengakui hasiljajak pendapat tanggal 30
Agustus 1999 yang menolak otonomi khusus.
Pengalaman lepasnya Timor Timur dari Indonesia menjadikan pemerintah lebih waspada terhadap
masalah Aceh dan Papua. Sikap politik pemerintah di era reformasi terhadap penyelesaian masalah
Aceh dan Papua dilakukan dengan memberi otonomi khusus pada dua daerah tersebut.
Untuk lebih memberi perhatian dan semangat pada penduduk Irian Jaya, di era kepemimpinan Presiden
Abdurrahman Wahid nama Irian Jaya diganti menjadi Papua. Pemerintah pusat juga memberi otonomi
khusus pada wilayah Papua.
Dengan demikian, pemerintah telah berusaha merespon sebagian keinginan warga Papua untuk dapat
lebih memaksimalkan segala potensinya untuk kesejahteraan rakyat Papua sendiri. Meskipun begitu,
masih saja terjadi usaha untuk memisahkan diri dari NKRI, terutama yang dipimpin oleh Theys H.
Eluoy, Ketua Presidium Dewan Papua.
Gerakan Papua Merdeka sempat mereda setelah Theys H. Eluoy tewas tertembak pada tanggal 11
November 2001 yang diduga dilakukan oleh beberapa oknum TNI dari Satgas Tribuana X. Penyelesaian
konflik seperti itu sebenarnya tidak dikehendaki pemerintah, namun ada saja oknum yang memancing di
air keruh sehingga menimbulkan ketegangan.
Keinginan sebagian rakyat untuk merdeka telah menyebabkan pemerintah bertindak keras. Apalagi
setelah pengalaman Timor Timur dan pemberian otonomi khusus pada rakyat tidak memberikan hasil
maksimal. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, Aceh telah mendapat otonomi
khusus dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, keinginan baik pemerintah kurang mendapat
sambutan sebagian rakyat Aceh.
Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap pada tuntutannya, yaitu ingin Aceh merdeka.
Akibatnya, di Aceh sering terjadi gangguan keamanan, seperti penghadangan dan perampokan truk-truk
pembawa kebutuhan rakyat, serta terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh yang
memihak Indonesia.
Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah pusat dengan persetujuan DPR, akhirnya melaksanakan
operasi militer di Aceh. Hukum darurat militer diberlakukan di Aceh. Para pendukung Gerakan Aceh
Merdeka ditangkap. Namun demikian, operasi militer juga tetap saja menyengsarakan warga sipil
sehingga diharapkan dapat segera selesai.
Gejolak politik di era reformasi juga ditandai dengan banyaknya teror bom di Indonesia. Teror bom
terbesar terjadi di sebuah tempat hiburan di Legian, Kuta, Bali yang menewaskan ratusan orang asing.
Pada tanggal 12 Oktober 2002 bom berikutnya sempat memporak-porandakan Hotel J.W. Marriot di
Jakarta beberapa waktu lalu.
Keadaan yang tidak aman dan banyaknya teror bom memperburuk citra Indonesia di mata internasional
sehingga banyak investor yang batal menanamkan modal di Indonesia. Kondisi politik Indonesia yang
kurang menguntungkan tersebut diperparah dengan tidak ditegakkannya hukum dan hak asasi manusia
(HAM) sebagaimana mestinya.
Berbagai kasus pelanggaran hukum dan HAM terutama yang menyangkut tokoh-tokoh politik,
konglomerat, dan oknum TNI tidak pernah terselesaikan secara adil dan jujur. Oleh karena itu, rakyat
makin tidak percaya pada penguasa meskipun dua kali telah terjadi pergantian pimpinan negara sejak
Soeharto tidak menjadi Presiden RI.
C. Bidang Ekonomi
Sejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan 1997, ekonomi Indonesia mengalami
keterpurukan. Indonesia mengalami kondisi yang cukup terpuruk dengan terjadinya
inflasi. . Terlihat dari nilai rupiah yang masih bertahan di kisaran Rp 8.000 – Rp 9.000 per dollar AS.
Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat makin menurun. Banyak investor
asing yang lari keluar negeri dengan alasan tidak ada jaminan keamanan di Indonesia dan Indonesia
dinilai bukan lagi tempat investasi yang menarik. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi sangat
terbatas dan pendapatan perkapita cenderung memburuk sejak tahun 1997.
Pemerintah juga tidak sanggup mengontrol mata uang asing yang beredar di Indonesia,
terutama mata uang Amerika Serikat, keadaan kas Negara dan bea cukai dalam keadaan nihil,
begitu juga dengan pajak. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa pemerintah Indonesia
mencari pinjaman dana dari luar negeri seperti Amerika, tetapi semua itu tidak memberikan
hasil dan malah memperburuk keadaan rakyat. Banyak peristiwa yang mengakibatkan
defisitnya keuangan negara salah satunya adalah pejabat negara yang korupt. Usaha-usaha yang
telah dilakukan oleh pemerintah RI untuk mengatasi masalah ekonomi adalah
menyelenggarakan konferensi ekonomi dengan agenda utamanya adalah usaha peningkatan
produksi pangan dan cara pendistribusiannya, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan milik swasta/asing. Catatan 14 tahun terakhir menunjukkan betapa kondisi sosial-
ekonomi, politik, hukum dan budaya kian masuk ke dalam suatu krisis multi-dimensional.
Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa banyak masyarakat semakin kehilangan makna
atas proses demokratisasi di Indonesia, dan karenanya semakin tidak percaya dengan proses-
proses politik yang sedang berjalan atau mengalami krisis kepercayaan (distrust) terhadap
sistem politik, kepemimpinan politik, organisasi politik serta lembaga-lembaga politik (formal
mau pun non-formal). Kondisi ini paling tidak oleh sebagian kalangan dikuatirkan akan menuju
stagnasi politik, dengan demikian projek reformasi pun akan gagal, yang ujungnya akan bisa
menimbulkan krisis politik dan ekonomi yang jauh lebih parah dari yang sebelumnya pernah
dialami.