Anda di halaman 1dari 23

KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA II

“ASUHAN KEPERAWATAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN”

Di susun Oleh:

Sury D. Dayo 18061027

Dosen Pembimbing :

Syenshie V. Wetik, S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.J

KELAS A/5

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE MANADO

2020
KONSEP DASAR

1. Defenisi
Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang menunjukkan bahwa ia dapat
membayangkan diri sendiri atau orang lain atau lingkungan, baik secara fisik, emosional,
seksual, dan verbal (NANDA, 2016). Resiko perilaku kekerasan terbagi menjadi dua yaitu
risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan risiko
perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed violence. NANDA 2016
menyatakan bahwa risiko perilakunkekerasan terhadap diri sendiri merupakan perilaku yang
rentan dimana seorang individu bisa menunjukkan atau mendemonstrasikan tindakan yang
membahayakan dirinya sendiri, baik secara fisik, emosional, maupun seksual. Hal yang sama
juga berlaku untuk risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain, hanya saja ditujukan
langsung kepada orang lain.

2. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


(Stuart dan Sundeen, 1995)

a. Respon marah yang adaptif meliputi :


1. Pernyataan (Assertion)
Respon marah dimana individu mampu menyatakan atau mengungkapkan rasa
marah, rasa tidak setuju, tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain. Hal ini
biasanya akan memberikan kelegaan.
2. Frustasi
Respons yang terjadi akibat individu gagal dalam mencapai tujuan, kepuasan,
atau rasa aman yang tidak biasanya dalam keadaan tersebut individu tidak
menemukan alternatif lain.
b. Respon marah yang maladaptif meliputi :
1. Pasif
Suatu keadaan dimana individu tidak dapat mampu untuk mengungkapkan
perasaan yang sedang di alami untuk menghindari suatu tuntutan nyata.
2. Agresif
Perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan individu untuk
menuntut suatu yang dianggapnya benar dalam bentuk destruktif tapi masih
terkontrol.
3. Amuk dan kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilang kontrol, dimana
individu dapat merusak diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

3. Etiologi
Untuk menegaskan keterangan diatas, pada klien gangguan jiwa, perilaku kekerasan bisa
disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian
individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan
ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap
diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.

4. Tanda dan Gejala ( Keliat, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, 1998 )


Data subyektif :
1. Mengatakan mudah kesal dan jengkel ,
2. Merasa semua barang tidak ada harganya sehingga dibanting-banting.
Data obyektif :             
1. Muka merah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Menegepalkan tangan
5. Jalan mondar-mandir
6. Bicara kasar
7. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
8. Mengancam secara verbal atau fisik
9. Melempar atau memukul benda/ orang lain
10. Merusak barang atau benda
11. Tidak memiliki kemampuan mencegah/ mengendalikan perilaku kekerasan
Menurut Fitria (2009)  tanda dan gejala perilaku kekerasan diantaranya adalah :
1. Fisik : mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang serta postur tubuh kaku.
2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, bicara dengan nada keras,
kasar dan ketus.
3. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri, atau orang lain, merusak
lingkungan, amuk atau agresif.
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral
dan kreatifitas terhambat.
7. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
8. Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.

Menurut Direja (2011) tanda dan gejala pada pasien data yang perlu dikaji adalah :
Masalah Keperawatan Data Yang Perlu Dikaji
Perilaku Kekerasan Subjektif
1.      Klien mengancam.
1. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor.
2. Klien mengatakan dendam dan jengkel.
3. Klien mengatakan ingin berkelahi.
4. Klien menyalahkan dan menuntut.
5. Klien meremehkan.
Objektif
 Mata melotot/pandangan tajam.
 Tangan mengepal
 Rahang mengatup
 Wajah memerah dan tegang
 Postur tubuh kaku
 Suara keras.
5. Proses Kemarahan
Stress, cemas, harga diri rendah, dan bersalah dapat menimbulkan kemarahan. Respons
terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal maupun internal.
a. Eksternal yaitu konstruktif, agresif.
b. Internal yaitu perilaku yang tidak asertif dan merusak diri sendiri.

Modul ekspresi marah


Rendah diri

Rasa bersalah Kecemasan

Bermusuhan

Ekspresi Eksternal Ekspresi Internal

c. Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-


kata yang dapt di mengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, akan
memberikan perasaan lega, keteganganpun akan menurun dan perasaan marah
teratasi.
d. Marah di ekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan
individu karena ia merasa kuat. Cara ini tidak menyelesaikan masalah bahkan dapat
menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dandapat menimbulkan tingkah
laku yang destruktif, amuk yang ditujukan pada orang lain maupun lingkungan.
e. Perilaku tidak asertif seperti menekan perasaan marah atau melarikan diri dan rasa
marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan
yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang
ditujukan pada diri sendiri.
6. Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi
Faktor Predisposisi
a) Teori biologi
Beardasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian stimulus elektris
ringan pada hipotalamus ternyata menimbulkan prilaku agresif, dimana jika terjadi
kerusakan fungsi limbic (untuk emosi dan perilaku) lobus frontal (untuk pemikiran
rasional), lobius temporal (untuk interprestasi indra penciuman dan memori) akan
menimbulakn mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menyerang objek
yang ada disekitarnya.
1) Neurologic faktor, beragam komponen dari sistem saraf seperti synap,
neurotransmitter, dendrit, axon terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau
menghambat rangsangan dan pesan-pesan yamg akan mempengaruhi sifat
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
bermusuhan dan respons agresif.
2) Genetic faktor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi
potensi perilaku agresif. Menurut riset Kazuo Murakami (2007) dalam gen
manusia terdapat dormant (potensi) agresif yang sedang tidur dan akan bangun
jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karkotype
XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta
orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif.
3) Cyrcardian Rhytm (irama sirkardian tubuh), memegang peranan pada individu.
Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia menghalangi peningkatan
cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan
menjelang berakhirnya pkerjaan sekitar jam 9 dan jam 13. Pada jam tertentu
orang lebih mudah terstimulasi untul bersikap agresif.
4) Biochemistry faktor (Faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmiter di otak
(epinephrin, norepinephrin, dopamin, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan
dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh, adanya
stimulus dari luar tubuh yang di anggap mengancam atau membahayakan akan
dihantar melalui implus neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui
serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan norephinephrin serta
penurunan serotonin dan GABA pada cairan cerebospinal vertebra dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
5) Brain Area dirsorder, gangguan pada sistem imbik dan lobus temporal, sindrom
otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilesi ditemukan
sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b) Faktor psikologis
1) Teori Psikoanalisa
Agresif dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang
seseorang (life span hystori). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpusan
fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapatkan kasih sayang dan
pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cendurung mengembangkan sikap
agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompesasi adanya
ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa
aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
yang rendah.Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaanya dan rendahnya harga diri
pelaku tindak kekerasan.
2) Imitation, modeling, and information processing theory:
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang
menolelir kekerasan.Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari madia
atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut.
Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan
pamukulan pada boneka dengan raward positif (makin keras pukulanya akan
diberi coklat), anak lain menonton tayangan cara mengasihii dan mencium
boneka tersebut dengan reward positif pula (makin baik belainya mendapat
hadiah coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-
masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah dialaminya.
3) Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan
terdekatnya.Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima kekecewaan
dan mengamati bagaimana respons ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa dengan
agresifitas lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan
menganggap bahwa dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan. (Yosep, 2011)
Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan
orang lain. Kondisi klien seperti ini kelemahan fisik (penyakit fisik), keputus asaan,
ketidak berdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya / pekerjaan dan kekerasan merupakan
factor penyebab yang lain. Interaksi yang profokatif dan konflik dapat pula memicu
perilaku kekerasan.
Menurut Yosep (2011) Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan
sering kali berkaitan dengan:
a) Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam
sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
b) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c) kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuati dalam keluarga serta tidak membisakan
dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam
menyelesaikan konflik.
d) ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e) adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f) kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa reancam, baik berupa
imjury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa factor pencetus injury
perilkau kekerassan adalah sebagai berikut (Wati, 2010) :
a) Klien: kelemahan fisik, keputasasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh
dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, mersa
terancam baik internal dari permasalan diri klien sendiri maupun eksternal dari
lingkungan.
c) Lingkungan: panas, padat, dan bising.
7. Tingkah Laku
a. Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebar.
b. Memaksakan kehendak, merampas makanan, memukul jika tidak senang
perilaku yang berkaitan dengan marah antara lain :
1. Menyerang atau menghindar (flight or fight)
Timbul karena kegiatan sistem saraf otonom bereaksi terhadap sekresi
epineprin menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah,
pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat, peristaltik usus menurun,
pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan
meningkat disertai ketegangan otot, seperti rahang terkatub, tangan dikepal,
tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
2. Menyatakan dengan jelas (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku
asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah disamping
dapat dipelajari juga akan mengembangkan pertumbuhan diri pasien.
3. Memberontak (acting out)
Perilaku biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku acting out
untuk menarik perhatian orang lain.
4. Amuk atau kekerasan (violence)
Perilaku dengan kekerasan atau amuk dapat ditujukan pada diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan.

8. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelasaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan sundeen, 1998 hal : 33)
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara
lain :
a) Sublimasi : menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyaluranya secara
normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada
obyek lain seperti meremas remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya,
tujuanya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b) Proyeksi : menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan
seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temanya tersebut
mencoba merayu, mencumbunya
c) Represi : mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk kealam
sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan.
Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya.
d) Reaksi formasi : mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakanya sebagai
rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat.
e) Deplacement : melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada
obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu. Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan
hukuman dari ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai
perang-perangan dengan temanya.
Sumber Koping
Menurut Suart Sundeen 1998 :
1. Aset ekonomi
2. Kemampuan dan keahlian
3. Tehnik defensif
4. Sumber sosial
5. Motivasi
6. Kesehatan dan energi
7. Kepercayaan
8. Kemampuan memecahkan masalah
9. Kemampuan sosial
10. Sumber sosial dan material
11. Pengetahuan
12. Stabilitas budaya

9. Penatalaksanaan Umum
a. Farmakoterapi
Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat. Adapun
pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi contohnya
Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak
ada dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya Trifluoperasine estelasine, bila
tidak ada juga maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat anti psikotik seperti
neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti
cemas, dan anti agitasi.
b. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca Koran, main catur
dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak
berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya.
Terapi ini merupakan langkah awal yangb harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannyan seleksi dan ditentukan program kegiatannya.
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan langsung
pada setiap keadaan(sehat-sakit) klien. Perawat membantu keluarga agar dapat
melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga,
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada
pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptive (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptive (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku
adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan kieluarga dapat
ditingkatkan secara opti9mal. (Budi Anna Keliat,1992).
d. Terapi somatic
Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang
diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang
mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindankan yang ditunjukkan
pada kondisi fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien
e. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi
kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik
melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini ada awalnya
untukmenangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan
adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses untuk tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan
terdiri dari pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien.

Data yang dikumpulkan melalui data biologis, psikologis, sosial dan spritual
pengelompokkan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor presipitasi,
penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan yang dimiliki klien.

a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, tanggal pengkajian, tanggal dirawat, No. MR.

b. Alasan Masuk
Alasan klien datang ke RSJ, biasanya klien memukul anggota keluarga atau orang lain,
merusak alat “RT dan marah”.

c. Faktor Predisposisi
1) Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang berhasil dalam
pengobatan.
2) Pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan dalam keluarga.
3) Klien dengan perilaku kekerasan bisa herediter.
4) Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat mengganggu
d. Fisik
Pada saat marah tensi biasanya meningkat.

e. Psikososial
1) Genogram
Pada genogram biasanya ada terlihat ada anggota keluarga yang mengalami kelainan
jiwa, pada komunikasi klien terganggu begitupun dengan pengambilan keputusan dan
pola asuh.

2) Konsep diri
a) Gambaran diri : Klien biasanya mengeluh dengan keadaan tubuhnya, ada
bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai.
b) Identitas klien : Klien biasanya tidak puas dengan status dan posisinya baik
sebelum maupun ketika dirawat tapi klien biasanya puas
dengan statusnya sebagai laki-laki / perempuan.
c) Peran diri : Klien menyadari peran sebelum sakit, saat di rawat peran klien
terganggu.
d) Harga diri : Klien biasanya memiliki harga diri rendah sehubungan dengan
sakitnya.
e) Ideal diri : Klien biasanya memiliki harapan masa lalu yang tidak
terpenuhi.
3) Hubungan Sosial
Klien kurang dihargai di keluarga dan lingkungan.

4) Spritual
a) Nilai dan keyakinan
Biasanya klien dengan sakit jiwa dipandang tidak sesuai dengan norma dan
budaya.

b) Kegiatan ibadah
Klien biasanya menjalankan ibadah di rumah sebelumnya, saat sakit ibadah
terganggu atau sangat berlebihan.

f. Status Mental
1) Penampilan
Biasanya penampilan diri yang tidak rapi, tidak cocok / serasi dan berubah dari
biasanya.

2) Pembicaraan
Pembicaraan cepat, keras

3) Aktivitas motorik
Meningkat, klien biasanya terganggu dan gelisah

4) Alam perasaan
Berupa suasana emosi yang memanjang akibat dari faktor presipitasi misalnya : sedih
dan putus asa.
5) Afek
Afek klien biasanya sesuai

6) Interaksi selama wawancara


Selama berinteraksi dapat dideteksi sikap klien yang tampak bermusuhan dan mudah
tersinggung.

7) Persepsi
Klien dengan perilaku kekerasan biasanya tidak memiliki kerusakan persepsi.

8) Proses pikir
Biasanya klien mampu mengorganisir dan menyusun pembicaraan logis dan keheran.

9) Isi Pikir
Keyakinan klien konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya
klien.

10) Tingkat Kesadaran


Biasanya klien tidak mengalami disorientasi terhadap orang, tempat dan waktu.

11) Memori
Tidak terjadi gangguan daya ingat jangka panjang maupun jangka pendek klien
mampu mengingat kejadian yang baru saja terjadi.

12) Tingkat konsentrasi dan berhitung


Klien tidak mengalami gangguan konsentrasi dan berhitung

13) Kemampuan penilaian


Klien mampu dalam mengambil keputusan jika menghadapi masalah yang ringan
klien mampu menilai dan mengevaluasi diri sendiri.

14) Daya tilik diri


Klien biasanya mengingkari penyakit yang diderita dan tidak memerlukan
pertolongan, klien juga sering menyalahkan hal-hal diluar dirinya.

g. Kegiatan Persiapan Pulang


1) Makan
Pada keadaan berat, klien cenderung tidak memperhatikan dirinya termasuk tidak
peduli makanan karena tidak memiliki minat dan kepedulian.

2) BAB / BAK
Observasi kemampuan klien untuk BAB / BAK serta kemampuan klien untuk
membersihkan dirinya.

3) Mandi
Biasanya klien mandi berulang / tidak mandi sama sekali

4) Berpakaian
Biasanya tidak rapi, tidak sesuai dan tidak diganti

5) Istirahat
Observasi tentang lama dan waktu tidur siang dan malam, biasanya istirahat klien
terganggu karena klien gelisah dengan masalah yang dihadapi.

6) Aktivitas dalam rumah


Klien mampu melakukan aktivitas dalam rumah seperti menyapu

h. Aspek Medis
Obat yang diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan biasanya diberikan anti
psikotik seperti CPZ, TFZ, THP.
Pohon Masalah
Resiko menciderai diri sendiri
Orang lain atau lingkungan. E

Perlaku kekerasan CP

Mekanisme koping individu in efektif C

Gambar 1 : pohon masalah PK ( Budi Anna Keliat )

2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko menciderai diri sendiri, orang lain atau lingkungan : perilaku kekerasan.
2. Perilaku kekerasan : Mekanisme koping individu in efektif.

3. Intervensi
1. Resiko menciderai diri dan orang lain : perilaku kekerasan.
TUM : Klien dapat melanjutkan peran sesuai dengan tanggung jawab.
TUK : 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria hasil :
 Klien mau menjawab salam
 Klien mau menjabat tangan
 Klien mau menyabutkan nama
 Klien mau tersenyum
 Ada kontak mata
 Mau mengetahui nama perawat
 Mau menyediakan waktu untuk kontak
Intervensi :
a. Memberi salam atau panggil nama klien
b. Sebutkan nama perawat sambil menjabat tangan
c. Jelaskan tujuan interaksi
d. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
e. Beri sikap aman dan empati
f. Lakukan kontrak singkat tapi sering

TUK 2 : Klien dapat mengnidentifikasi penyebab perilaku kekerasan


Kriteria Evaluasi :
 Klien dapat mengungkapkan perasaannya
 Klien dapat mengungkapkan penyebab marah, baik dari diri sendiri nmaupun
orang lain dan lingkungan.
Intervensi :
a. Anjurkan klien mengnungkapkan yang dialami saat marah.
b. Obsevasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien.
c. Simpulkan tanda-tanda jengkel atau kesal yang dialami klien.

TUK 3 : klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.


Kriteria Evaluasi :
 Klien dapat mengunngkapkan yang dialami saat marah.
 Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda marah yang dialami.
Intervensi :
a. Anjurkan klien mengnungkapkan yang dialami saat marah.
b. Obsevasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien.
c. Simpulkan tanda-tanda jengkel atau kesal yang dialami klien.

TUK 4 : Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.


Kriteria evaluasi :
 Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
 Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
 Klien dapat mengetahui cara yang biasa dapat menyelesaikan masalah atau tidak.
Intervensi :
a. Anjurkan klien mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b. Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
c. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya
selesai.
TUK 5: Klien dapat mengidentifikasi akibat dari perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi :
Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien.
Intervensi :
a. Berbicara akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan klien.
b. Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang digunakan oleh klien.
c. Tanyakan pada klien ”Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.

TUK 6 : Klien dapat mengidentifikasi cara kontruktif dalam berespon terhadap


kemarahan.
Kriteria evaluasi :
Klien dapat melakukan cara berespon terhadap kemarahan secara konstruktif.
Intervensi :
a. Tanyakan pada klien ”Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
b. Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat.
c. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat :
a. Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal atau memukul bantal atau
kasur atau olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.
b. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang kesal atau tersinggung atau
jengkel (saya kesal Anda berkata seperti itu : saya marah karen mami tidak
memenuhi keinginan saya).
c. Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat ; latihan
asertif.
d. Secar spiritual : anjurkan klien sembahyang, berdoa atau ibadah lain meminta
pada Tuhan untuk beri kesabaran, mengadu pada Tuhan kekerasan atau
kejengkelan.

TUK 7 : Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.


Kriteria evaluasi :
Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
Fisik : tarik nafas dalam olahraga menyiram tanaman
Verbal : mengatakan secara langsung dengan tidak menyakiti.
Spiritual : sembahyang, berdoa atau ibadah klien.
Intrevensi :
a. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
b. Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih.
c. Bantu klien untuk memaksimulasi cara tersebut (role play).
d. Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien mensimulasi cara tersebut.
e. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel atau
marah.

4. Implementasi
Implementasi keperawatan mencakup pengobatan psikososial yang luas serta
dilandasi pengkajian tentang kebutuhan dan kekuatan klien. Implementasi tindakan
keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan pada situasi nyata,
implementasi sering kali jauh berbeda dengan rencana. Sebelum melaksanakan tindakan
yang sudah direncanakan, perawat perlu memualidasi dengan singkat. Apakah rencana
tindakan masih sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini (here and now) perawat juga
menilai diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual dan
teknikal yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan, perawat juga menilai kembali
apakah tindakan aman bagi klien. Setelah tidak ada hambatan maka tindakan
keperawatan boleh dilakukan.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan hasil akhir dari proses keperawatan yang dilakukan untuk
menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Dari evaluasi dapat diketahui apakah
tujuan tercapai atau tidak tercapai.
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN H-1

SP 1 Pasien :
Membina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab perasaan marah,
tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan, akibatnya
serta cara mengontrol secara fisik I
ORIENTASI:
“Selamat Pagi pak, perkenalkan nama Sury Dayo, panggil saja saya sury Mahasiswa
Keperawatan Universitas Katolik De La Salle Manado yang akan praktek disini
selama 2 minggu. Hari ini saya dinas pagi dari pkl. 07.00-14.00 WITA. Saya yang
akan merawat bapak selama Bapak di rumah sakit ini. Nama bapak siapa? senangnya
dipanggil apa?”
“Bagaimana perasaan bpk Christian saat ini? Masih ada perasaan kesal atau
marah?”
“Baiklah kita akan berbincang-bincang sekarang tentang perasaan marah bapak”
“Berapa lama kita berbincang-bincang?” Bagaimana kalau 10 menit?
“Dimana enaknya kita duduk untuk berbincang-bincang, pak Christian? Bagaimana
kalau di ruangan ini?”

KERJA :
“Apa yang menyebabkan bpk Christian marah?, Apakah sebelumnya bpk pernah
marah? Terus, penyebabnya apa? Samakah dengan yang sekarang?. O...iya, apakah
ada penyebab lain yang membuat Bapak marah?
“Pada saat penyebab marah itu ada, bpk Christian stress karena menghitung
uangnya dan temannya selalu meminta sesuatu darinya (tunggu respon pasien), apa
yang bapak rasakan?”
“Apakah bpk Christian merasakan kesal kemudian dada bpk berdebar-debar, mata
melotot, rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?”
“Setelah itu apa yang bpk Christian lakukan?. Oia jadi bpk Christian marah-marah
dengan mengamuk, merusak barang yang ada dirumah, dan memukul orang. Apakah
dengan cara ini rasa jengkel bpk hilang? Iya, tentu tidak. Apa kerugian cara yang bpk
Christian lakukan? Betul, keluarga bpk jadi takut. Menurut bpk Christian adakah
cara lain yang lebih baik tanpa menimbulkan kerugian? Maukah bpk Christian
belajar cara mengungkapkan kemarahan dengan baik tanpa menimbulkan
kerugian?”
”Ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan, pak. Salah satunya adalah dengan
cara fisik. Jadi melalui kegiatan fisik disalurkanrasa marah.”
”Ada beberapa cara, bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu?”
”Begini pak Christian, kalau tanda-tanda marah tadi sudah bpk Christian rasakan
maka bpk berdiri, lalu tarik napas dari hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan/tiupu
perlahan –lahan melalui mulut seperti mengeluarkan kemarahan. Ayo coba lagi, tarik
dari hidung, bagus.., tahan, dan tiup melalui mulut. Nah, lakukan 5 kali. Bagus sekali,
bapak sudah bisa melakukannya. Bagaimana perasaannya?”
“Nah, sebaiknya latihan ini bpk Christian lakukan secara rutin, sehingga bila
sewaktu-waktu rasa marah itu muncul bpk Christian sudah terbiasa melakukannya”

TERMINASI :
“Oya Pak, karena sudah 10 menit, apakah perbincangan ini mau diakhiri atau
dilanjutkan?”
“Bagaimana perasaan bapak setelah berbincang-bincang tentang kemarahan
bapak?”
”Iya jadi ada 2 penyebab bpk Christian marah ........ (sebutkan) dan yang bpk
Christian rasakan ........ (sebutkan) dan yang bpk Christian lakukan ....... (sebutkan)
serta akibatnya ......... (sebutkan)
”Coba selama saya tidak ada, ingat-ingat lagi penyebab marah bapak yang lalu, apa
yang bapak lakukan kalau marah yang belum kita bahas dan jangan lupa latihan
napas dalamnya ya pak. ‘Sekarang kita buat jadual latihannya ya pak, berapa kali
sehari bapak mau latihan napas dalam?, jam berapa saja pak?”
”Baik, bagaimana kalau 2 jam lagi saya datang dan kita latihan cara yang lain untuk
mencegah/mengontrol marah. Tempatnya disini saja ya pak”
DAFTAR PUSTAKA

Ns. Sutejo, M.Kep.,Sp.Kep.J, Konsep Dan Praktik Asuhan Keperawatan Jiwa :


Gangguan Jiwa Dan Psikososial. Yokyakarta
Direktorat Jendral Kes. Wa, 1998, Standar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I,
Direktorat Kesehatan Jiwa RSJP, Bandung
Keliat B.A, 1998, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, ( Terjemahan ). Penerbit Buku
Kedokteran , EGC, Jakarta.
Stuart G. W, Sundeen. S. J. 1998 Buku Saku Keperawatan Jiwa. (Terjemahan) Edisi 3,
Alih Bahasa Yasmin Asih, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai