Dosen Pembimbing:
Disusun oleh
Kelompok I
JURUSAN S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. Manfaat
a) Mampu dan dapat membuat asuhan keperawatan penyakit kronik
pada anak sesuai dengan gangguan sistem respirasi yang dialami
b) Memberikan penanggulangan sejak dini penyakit kronik anak pada
sistem respirasi
c) Mampu memberikan penanganan yang tepat pada penyakit kronik
anak dengan gangguan sistem respirasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Etiologi
a. Merokok pasif / Merokok pasif bisa berdampak pada sistem
kekebalan anak, sehingga meningkatkan risiko tertular pajanan pada
asap rokok mengubah fungsi sel, misalnya dengan menurunkan
tingkat kejernihan zat yang dihirup dan kerusakan
kemampuan penyerapan sel dan pembuluh darah (Reuters Health,
2001).
b. Faktor Risiko TBC anak (admin , 2007).
1) Resiko infeksi TBC / Anak yang memiliki kontak dengan orang
dewasa dengan TBC aktif, daerah endemis, penggunaan obat -
obat intravena, kemiskinan serta lingkunganyang tidak sehat.
Pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius resiko timbulnya
transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika
pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum yang positif,
terdapat infiltrat luas pada lobus atas atau kavitas produksi sputum
banyak dan encer, batuk produktif dan kuat serta terdapat faktor
lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak
baik. pasienTBC anak jarang menularkan kuman pada anak lain
atau orang dewasa disekitarnya karena TBC pada anak jarang
infeksius, hal ini disebabkan karena kuman TBC sangat jarang
ditemukan pada sekret endotracheal, dan jarang terdapat batuk,
walaupun terdapat batuk tetapi jarang menghasilkan sputum.
Bahkan jika ada sputum pun, kuman TBC jarang sebab hanya
terdapat dalam konsentrasi yang rendah pada sektret endobrokial
anak.
2) Resiko penyakit TBC : Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih
besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC, mungkin
karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur),
namun, resiko sakit TBC ini akan berkurang secara bertahap
seiring pertambahan usia. Pada bayi ≤ 1 tahun yang terinfeksi
TBC, 43 % nya akan menjadi sakit TBC, sedangkan pada anak
usia 1 – 5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24 %, pada usia remaja
15 % dan pada dewasa 5 – 10%. Anak usia 1 – 5 tahun, memiliki
resiko lebih tinggi mengalami TBC diseminata dengan angka
kesakitan dan kematianyang tinggi. konversi tes tuberkulin dalam
1 – 2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromis,
diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan silicosis. status social
ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan
hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah.
3. Patofisiologi
Bakteri menyebar melalui jalan napas alveoli, dimana pada daerah
tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. Penyebaran basil ini
bisa juga melalui sistem limfe dan aliran darah kebagian tubuh lainnya
(ginjal, tulang, korteks serebri) dan area lain dari paru (lobus atas). Sistem
kekebalan tubuh berespons dengan inflames neutrofil dan makrofag
memfagositosis (menelan) bakteri. limfosit yang spesifik terhadap
tuberculosis menghancurkan (melisiskan) basil dari jaringan normal.
reaksi jaringan ini menyebabkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli
dan terjadilah bronco pneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam
waktu 2-10 minggu setelah terpapar. masa jaringan baru disebut
granuloma, yang berisi gumpalan basil yang hidup dan yang sudah mati,
dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding. granuloma berubah
bentuk menjadi masa jaringan fibrosa. bagian tengah dari masa tersebut
disebut ghon thubercle. materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri
menjadi nekrotik, membentuk perkijuan (necrotizing caseosa). Setelah itu
akan terbentuk klasifikasi, membentuk jaringan kolagen. bakteri menjadi
non aktif (Muttaqien, 2008 : 89).
Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal,
karena respons system yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat timbul
akibat infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang tidak aktif. Pada
kasus ini terjadi ulserasi pada ghon tubercle, dan akhirnya menjadi
perkijauan. tuberke yang ulserasi mengalami proses penyembuhan
membentuk parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang
mengakibatkan broncopneumonia. pembentukan tuberkel dan seterusnya.
Pneumonia saluran ini dapat sembuh dengan sendirinya. proses ini
berjalan terus dan basil terus difakosit (berkembang biak didalam sel).
basil sel juga menyebar melalui getah bening. makrofag yang mengandung
infiltasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel
tuberkel epiteloit yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari).
daerah yang mengalami nekrosis serta jaringan granulasi yang dikelilingi
sel epitoloid dan vibrolat akan menimbulkan respons yang berbeda dan
akhirnya membentuk kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel (Muttaqien,
2008 : 89).
4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala tuberculosis adalah :
a. Demam, malaise, anoreksia, berat badan menurun, kadang-kadang
batuk (batuk tidak selalu ada, menurun sejalan dengan lamanya
penyakit), nyeri dada, hemoptysis.
b. Gejala lanjut (jaringan paru sudah banyak yang rusak): pucat, anemia,
lemah, dan berat badan menurun.
c. Permulaan tuberkulosis primer biasanya sukar diketahui secara klinis
karena mulainya penyakit secara perlahan. Kadang-kadang
tuberkulosis ditemukan pada anak tanpa gejala atau keluhan.
Tetapi secara rutin dengan uji tuberculin dapat ditemukan penyakit
tersebut. Gejala tuberkulosis primer dapat berupa demam yang naik turun
selama 1 - 2 minggu dengan atau tanpa batuk dan pilek gambaran
klinisnya: demam, batuk, anoreksia, dan berat badan menurun. (Suriadi &
Yulianni, 2001 : 290). Gejala sistemik / Umum :
a. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam.
b. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
c. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah).
d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.(Marwoto, 2009, Paragraf : 1-2).
5. Komplikasi
Menurut Suriadi & Yulianni (2001, 288). Akibat lanjut yang terjadi
pada tuberkulosis paru adalah
a. Meningitis
b. Spondilitis
c. Bronchopneumonia
d. Atelektasis
6. Klasifikasi TBC
Klasifikasi 0 Tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak
menderita TBC
Klasifikasi I Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak
menderita TBC
Klasifikasi II Terinfeksi TBC/test tuberculin (+), tetapi tidak menderita
TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung
dan bakteriologi negatif)
Klasifikasi III Sedang menderita TBC
Klasifikasi IV Pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif
7. Penatalaksanaan Medis
Obat Anti TB (OAT). Pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu:
a. Fase awal intensif, dengan bakterisid untuk memusnahkan populasi
kuman yang membelah cepat.
b. Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan
jangka pendek dan kegiatan bakteriostatik pada pengobatan
konvensional.
OAT yang biasa digunakan antara lain isoniazid (INH), rifampisin
(R). Pirozinamid (Z), streptomisin (S) dan etambutol (E).
Dosis
Obat Setiap hari Dua kali Tiga kali / minggu
/minggu
Izoniazid 5 mg/kg max 300 mg 15 mg/kg max 15 mg/kg max 900
900 mg mg
Rifampisin 10 mg/kg max 600 10 mg/kg max 10 mg/kg max 900
mg 900 mg mg
Pirazinamid 15-30 mg/kg max 2 g 10 mg/kg max 50-70 mg/kg max 8
4g g
Etambutol 15-30 mg/kg max 2,5 50 mg/kg max 25-70 mg/kg
g 49
Straptomisi 15 mg/kg max 1 g 25-80 mg/kg 25-30 mg/kg max 1
n max 1,5 g g
Keterangan :
2 RHZ : tiap hari selama 2 bulan
4 RH : tiap hari selama 4 bulan
4 R3 H3 : 3 kali seminggu selama 4 bulan
8. Pathway
B. Asma pada Anak
1. Definisi
Asma merupakan suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang
menyebabkan peradangan dengan manifestasi mengi kambuhan, sesak
nafas, dan batuk terutama pada malam hari dan pagi hari. Asma
merupakan penyakit yang umumnya mempengaruhi orang-orang dari
semua usia, dan dapat mempengaruhi psikologis serta sosial yang
termasuk domain dari kualitas hidup. Penyakit ini pada umumnya dimulai
sejak masa anak-anak (Wong, 2009).
Asma pada anak merupakan masalah bagi pasien dan keluarga,
karena asma pada anak berpengaruh terhadap berbagai aspek khusus yang
berkaitan dengan kualitas hidup, termasuk proses tumbuh kembang baik
pada masa bayi, balita maupun remaja (Sidhartani, 2007).
Menurut Wong (2009) dampak penyakit kronis dan
ketidakmampuan pada anak cukup luas. Anak mengalami gangguan
aktivitas dan gangguan perkembangan. Serangan asma menyebabkan
anak dapat tidak masuk sekolah berhari-hari, berisiko mengalami masalah
perilaku dan emosional, dan dapat menimbulkan masalah bagi anggota
keluarga lainnya, orang tua sulit membagi waktu antara kerja dan
merawat anak, masalah keuangan, fisik dan emosional. Keadaan ini
berdampak pada pola interaksi orang tua dan anak serta upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas hidup anak.
2. Etiologi
Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003),
faktor lingkungan dan faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian
asma. Menurut Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et al (2006), pada
kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua
yang merokok merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma
pada anak. Menurut Corne et al (2002), Paparan terhadap infeksi juga
bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus
yang menyebabkan simptom infeksi saluran pernafasan bagian atas
memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma
bagi semua peringkat usia.Terdapat teori yang menyatakan bahwa
paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan
untuk anak tersebut diserang asma (Cockrill, 2008).
Selain faktor lingkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh
terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan
IgE diturunkan dalam keluarga (Abbas, 2007). Pasien yang alergi
terhadap alergen sering mempunyai riwayat keluarga yang turut
menderita asma dan ini membuktikan bahwa faktor genetik sebagai faktor
predisposisi asma (Cockrill, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro (2005)
dalam Eder et al (2006), Ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara
yang tercemar berperan dalam mengurangkan fungsi paru, mencetuskan
eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien yang dirawat
di rumah sakit. Mekanisme patogenik yang menyebabkan
bronkokonstriksi adalah disebabkan alergen yang memicu kepada
serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor sebagai
penyebab asma, namun alergen indoor turut memainkan peran seperti
house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma
terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel
mast yang telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator-mediator
ini yang akan menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan
permeabilitas epitel jalan nafas sehingga menyebabkankan antigen
menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast. Antara mediator
yang paling utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi
adalah histamin dan leukotrien (Cockrill, 2008).
Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot
polos bronkus, augmentasi permeabilitas vaskuler dan pembentukan
edema salur pernafasan serta menstimulasi reseptor iritan yang bisa
memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill, 2008). Menurut Drazen et
al (1999) dalam Kay A.B. (2001), sel mast turut memproduksi sisteinil
leukotriene yaitu C4, D4 dan E4. Leukotriene ini akan menyebabkan
kontraksi otot polos, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler
dan hipersekresi mukus apabila berikatan dengan reseptor spesifik.
3. Manifestasi Klinis
Menururt (Angga Saeful Rahmat, 2010). Gejala klinis yang muncul
pada penderita asma antara lain:
a. Sesak nafas: sesak nafas yang dialami oleh penderita asma terjadi
setelah berpaparan dengan dengan bahan allergen dan menetap
beberapa saat.
b. Batuk: batuk yang terjadi pada penderita asma merupakan usaha
saluran pernafasan untuk mengurangi penumpukan mukus yang
berlebihan pada saluran pernafasan dan partikel asing melalui gerakan
silia mucus yang ritmik keluar. Batuk yang terjadi pada penderita asma
sering bersifat produktif.
c. Suara pernafasan wheezing: suara ini dapat digambarkan sebagai bunyi
yang bergelombang yang dihasilkan dari tekanan aliran udara yang
melewati mukosa bronkus yang mengalami pembengkakan tidak
merata. Wheezing pada penderita asma akan terdengar pada saat
ekspirasi.
d. Pucat: tergantung pada tingkat penyempitan bornkus. Pada
penyempitan yang luas penderita dapat mengalami sianosis karena
kadar karbondioksida yang ada lebih tinggi daripada kadar oksigen
jaringan.
e. Lemah oksigen didalam tubuh difungsikan untuk respirasi sel yang
akan digunakan untuk proses metabolisme sel termasuk pembentukan
energy yang bersifat aerobic seperti glikolisis. Jumlah oksigen
berkurang maka proses pembentukan energy secara metabolic juga
menurun sehingga penderita mengeluh lemah.
4. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada prinsipnya
penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Penatalaksanaan Asma Akut: Serangan akut merupakan suatu
keadaan darurat dimana membutuhkan penanganan medis segera.
Penanganan harus cepat dan seharusnya dilakukan di rumah
sakit/gawat darurat. Penilaian berat serangan dilakukan berdasarkan
riwayat serangan, gejala, pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan
pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat
(Rengganis, 2008).
b. Penatalaksanaan Asma Kronik: Pasien asma kronik diupayakan untuk
dapat memahami sistem penanganan asma secara mandiri, sehingga
dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma.
Antiinflamasi merupakan suatu pengobatan rutin yang bertujuan
mengontrol penyakit serta mencegah serangan. Bronkodilator
merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi serangan
(Rengganis, 2008). Pada penatalaksanaan asma kronik bisa
diklasifikasikan menurut kontrol asma. Kontrol asma dapat
didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah kontrol
menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun
pada asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah kontrol
manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh
dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan
mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat
yang aman, dan tanpa efek samping (Rengganis, 2008). Dalam terapi
asma biasanya pasien-pasien asma belum mendapatkan terapi yang
optimal. Banyak pasien asma yang mengabaikan terapinya padahal
penyakit asma merupakan penyakit yang sulit disembuhkan. Ada
beberapa komponen dalam pengobatan asma, yaitu penilaian beratnya
asma, pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan,
penyuluhan atau edukasi kepada pasien (Sundaru, 2001).
Penatalaksanaan medis dibidang farmakologis pada dasarnya obat-
obat antiasma dipakai untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma.
Obat-obat anti asma tersebut adalah:
a. Antiinflamasi
Obat antiinflamsi khususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang
paling efektif sebagai pencegah. Obat antiinflamasi dapat mencegah
terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan supresi.
Dengan pengobatan antiinflamasi jangka panjang ternyata perbaikan
gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktivitas
bronkus lebih baik bila dibanding bronkodilator (Sundaru, 2001).
Mekanismenya yaitu dapat mengurangi jumlah eosinofil yang berada
dalam sirkulasi dan jumlah sel mast di saluran pernafasan dan
meningkatkan jumlah reseptor adrenergic β-2, selain itu juga
mengurangi hiperresponsivitas saluran nafas dengan mengurangi
inflamasi (Ikawati, 2006).
b. Bronkodilator
1) Agonis β2: stimulasi reseptor β2-adrenergik mengaktivasi adenil
siklase, yang menghasilkan peningkatan AMP siklik intraselular.
Menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi membrane sel mast,
stimulasi otot skelet (Depkes, 2008). Sedangkan formaterol
merupakan inhalasi agonis β2 kerja lama yang diindikasikan
sebagai kontrol tambahan jangka panjang untuk pasien yang telah
mengkonsumsi inhalasi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi.
Zat aksi pendek memberikan perlindungan penuh selama paling
sedikit 2 jam setelah dihirup, zat kerja lama setelah memberikan
perlindungan signifikan 8-12 jam pada awal pemberian, dan
durasi terapi ini akan berkurang apabila pemakaian rutin dan asma
mulai terkontrol (Depkes, 2008).
2) Metilxantin: seperti theophyline, theobromine dan caffeine.
Manfaat theophyline dalam pengobatan asma berkurang karena
efektivitas obat-obat adrenoreseptor per inhalasi untuk asma akut
asma kronik telah ditemukan (Katzung, 2001).
c. Antikolinergik: seperti ipratropium bromida, tiotropium dan
deptropium. Agen antikolinergik memperbaiki efek vegal yang
dimediasi bronkospasme tetapi bukan bronkospasme yang diinduksi
oleh alergen atau olahraga. Mekanisme kerja Ipratropium untuk
inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatomimetik) yang
akan menghambat refleks vegal dengan cara mengantagonis kerja
asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat
tertentu dan tidak bersifat sistemik. Ipratropium bromida (semprot
hidung) mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan lokal dapat
menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung
(Katzung, 2001).
d. Kortikosteroid: cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid.
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang
terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan
memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor,
atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhaler akan
menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik
minimal.
Penatalaksanaan dan perawatan dirumah untuk pasien anak dengan
asma sangat penting. Menurut Mutaqqin, (2008) pasien anak dengan
asma ditujukan untuk mencegah timbulnya serangan asma dengan
memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga pasien. Mencegah
serangan asma dengan menghilangkan faktor pencetus timbulnya
serangan. Pendidikan kesehatan yang diberikan tersebut antara lain :
a. Menghilangkan faktor pencetus misalnya debu rumah, bau-bau yang
merangsang, hawa dingin dan lainnya
b. Keluarga harus mengenali tanda-tanda akan terjadi serangan asma
c. Cara memberikan obat bronkodilator sebagai pencegahan bila
dirasakan anak akan mengalami serangan asma serta wajib
mengetahui obat mana yang lebih efektif bila anak mendapat serangan
asma
d. Menjaga kesehatan anak dengan memberi makanan yang cukup
bergizi tetapi menghindari makanan yang mengandung cukup alergen
bagi anaknya.
e. Kapan anak harus dibawa untuk konsultasi. Persediaan obat tidak
boleh sammpai habis. Lebih baik jika obat tinggal 1 – 2 kali
pemakaian anak sudah dibawa kontrol ke dokter atau jika anak batuk/
pilek walaupun belum terlihat sesak napas harus segera dibawa
berobat.
5. WOC
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian, merupakan tahap awal dari proses keperwatan yang sistematis dalam
pengumpulan data untuk evaluasi dan identifikasi status Kesehatan;
1.Biodata,meliputi identitas klien
2.Keluhan utama
3.Riwayat Kesehatan dahulu
4.Riwayat Kesehatan keluarga
5.Pemeriksaan fisik ;
a.Inspeksi,melakukan observasi kelainan bentuk dada,kesimetrisan bentuk dada,warna
kulit,lessi, massa,gangguan tulang belakang,tipe pernafasan (pernafasan
hidung,pernafasan diafragma dan penggunaan otot bantu nafas.
b.Palpasi,untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada danobservasi
abnormalitas,identifikasi keadaan kulit.
c.Perkusi,adanya resonan (sonor) nada bergaung,rendah terdapat pada jaringan paru
normal.
Dullness, bunyi yang pendek serta lemah ditemukan diatas perut,jantung,mammae dan
hati.
Timpani,bernada tinggi yang dihasilkan diatas perut yang berisi udara.
Hipersonar,lebih rendah disbanding resonan dan timbul pada bagian paru yang berisi
darah.
Flatness,nada lebih tinggi (terdengar pada perkusi daerah hati yang area seluruhnya
berisi jaringan.
d.Auskultasi,mendengarkan bunyi nafas.
B.Intervensi
1.Mempertahankan bersihan jalan nafas efektif
2.Memberikan posisi semi fowler,fowler
3.Tehnik batuk efektif
4.Monitor vital sign
5.latihan nafas dalam (tehnik relaksasi)
6.Kolaborasi
C.Implementasi
1.Hindari allergen
Salah satu penatalaksanaan asma adalah menghindari eksaserbasi. Pada anak yang rentan
tidak dibiarkan untuk terpajan cuaca yang sangat dingin atau cuaca ekstrim
lainnya,asap,spray atau iritan lainnya.
2.Meredakan bronkospasme
Anak diajari untuk mengenal tanda dan gejala awal serangan sehingga dapat dikendalikan
sebelum tanda gejala tersebut makin berat.Tanda obyektif yang dapat diobservasi orang tua
antara lain rinorea, batuk,demam,iritabilitas,gatal(terutama pada leher bagian depan dan
dada,ansietas,gangguan tidur,kehilangan nafsu makan.
Anak yang menggunakan nebulaizer,MDI,rotahaler untuk memberikan obat perlu
mempelajari cara penggunaan alat tersebut dengan benar
D.Evaluasi
1.Tanyakan keluarga mengenai upaya menghindari allergen
2.Amati anak untuk adanya tanda tanda gejala pernafasan
3.Kaji Kesehatan umum anak
4.Amati anak dan tanyakan keluarga mengenai infeksi atau komplikasi lainnya
5.Tanyakan anak tentang aktifitas sehari hari
6.Tentukan tingkat pemahaman anak dan keluarga terhadap kondisi anak dan tentang terapi
yang harus dilakukan.
III. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Bronchopneumonia
A. Konsep Dasar Medis Bronkopneumonia
a. Definisi
Bronkopneumonia adalah suatu peradangan pada parenkim paru
yang meluas sampai bronkioli atau dengan kata lain peradangan yang
terjadi pada jaringan paru melalui cara penyebaran langsung melalui
saluran pernafasan atau melalui hematogen sampai ke bronkus (Riyadi &
Sukarmin, 2009).
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia
yang mempunyai pola penyebaran bebercak, teratur dalam satu atau lebih
area terlokalisasi didalam bronki dan meluas keparenkim paru yang
berdekatan disekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area
bercak (Smelt-zer, 2001 dalam Wijayaningsih, 2013).
b. Etiologi
Penyebab tersering Bronkopneumonia pada anak adalah
pneumokokus sedang penyebab lainnya antara lain : streptococcus
pneumoniae, stapilokokus aureus, haemophilius influenza, jamur (seperti
candida albicans), dan virus. Pada bayi dan anak kecil ditemukan
staphylococcus aureus sebagai penyebab yang berat, serius dan sangat
progresif dengan mortalitas tinggi (Riyadi & Sukarmin, 2009).
c. Patofisiologi
Kuman masuk kedalam jaringan paru-paru melalui saluran
pernafasan dari atas untuk mencapai bronchiolus dan kemudian alveolus
sekitarnya. Kelainan yang timbul berupa bercak konsolidasi akibatkan
peningkatan tekanan pada paru, selain dapat berakibat penurunan
kemampuan mengambil oksigen dari luar juga mengakibatkan
berkurangnya kapasitas baru. Penderita akan berusaha melawan tingginya
kelainan tersebut menggunakan otot-otot bantu pernafasan (otot
interkosta) yang dapat menimbulkan peningkatan retraksi dada.
Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel)
mikroorganisisme yang terdapat didalam paru dapat menyebar ke
bronkus. Setelah terjadi fase peradangan lumen bronkus bersebukan sel
radang akut, terisi eksudat (nanah) dan sel epitel rusak. Bronkus dan
sekitarnya penuh dengan netrofil (bagian leukosit yang banyak pada saat
awal peradangan dan bersifat fagositosis) dan sedikit eksudat febrinosa.
Bronkus rusak akan mengalami fibrosis dan peleberan akibat tumpukan
nanah sehingga dapat timbul bronkiektasis. Selain itu organisasi eksudat
dapat terjadi karena absorpsi yang lambat. Eksudat pada infeksi yang
mula-mula encer dan keruh, mengandung banyak kuman penyebab
(streptokokus,virus dan lain-lain). Selanjutnya eksudat berubah menjadi
purulen, dan menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan
tersebut dapat mengurangi asupan oksigen dari luar sehingga penderita
mengalami sesak nafas.
Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan
mengakibatkan peningkatan produksi mukosa dan peningkatan gerakan
silia pada lumen bronkus sehingga timbul peningkatan reflek batuk.
Perjalanan patofisiologi di atas bisa berlangsung sebaliknya yaitu
didahului dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang menjadi
infeksi pada paru (Riyadi & Sukarmin, 2009 ).
d. Manifestasi Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktus
respiratorius bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik
sampai sangat mendadak 39-40 °C dan kadang disertai kejang karena
demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dyspnea, pernafasan cepat dan
dangkal disertai pernafasan cuping hidung serta sianosis sekitar hidung
dan mulut. Kadang-kadang disertai muntah dan diare. Batuk biasanya
tidak ditemukan pada permulaan penyakit, tetapi setelah beberapa hari
mula-mula kering kemudian menjadi produktif (Riyadi, 2009).
Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan
pemeriksaan fisik tetapi dengan adanya nafas dangkal dan cepat,
pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut dapat
diduga adanya pneumonia. Hasil pemeriksaan fisik tergantung daripada
luas daerah auskultasi yang terkena pada perkusi sering tidak ditemukan
kelainan dan pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronkhi basah
nyaring halus atau sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu
(konfluens) mungkin pada perkusi terdengar keredupan dan suara
pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi,
ronkhi terdengar lagi (Ngastiyah, 2014).
e. Komplikasi
Menurut Kartika, 2013 Ada beberapa komplikasi pada
bronkopneumonia yaitu:
1. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau
kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau reflex batuk
hilang.
2. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam
rongga pleura terdapat disatu tempat atau seluruh rongga pleura.
3. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang
meradang.
4. Infeksi sistemik.
5. Endocarditis yaitu peradangan pada setiap katup endocardial.
6. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah empyema, otitis media akut
mungkin juga komplikasi lain yang dekat seperti atelectasis, emfisema
atau komplikasi jauh seperti meningitis. Komplikasi tidak terjadi bila
diberikan antibiotic secara cepat (Ngastiyah, 2014).
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada anak dengan
bronkopneumonia :
1. Pemberian obat antibiotic penisilin 50.000 U/kg BB/hari, ditambah
dengan kloramfenikol 50-70 mg/kg BB/hari atau diberikan antibiotic
yang mempunyai spectrum luas seperti ampisilin. Pengobatan ini
diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari. Pemberian obat kombinasi
bertujuan untuk menghilangkan penyebab infeksi yang kemungkinan
lebih dari 1 jenis juga untuk menhindari resistensi antibiotik.
2. Koreksi gangguan asam basa dengan pemberian oksigen dan cairan
intravena, biasanya diperlukan campuran glukosa 5% dan Nacl 0,9%
dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan Kcl 10 mEq/500ml/botol
infus.
3. Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolic akibat
kurang makan dan hipoksia, maka dapat diberikan koreksi sesuai
dengan hasil analisis gas darah arteri.
4. Pemberian makanan enternal bertahap melalui selang nasogastrik pada
penderita yang sudah mengalami perbaikan sesak nafasnya.
5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin
normal dan beta agnosi untuk memberbaiki transport mukosilier
seperti pemberian terapi nebulizer dengan flexotid dan Ventolin.
Selain bertujuan mempermudah mengeluarkan dahak juga dapat
meningkatkan lebar lumen bronkus (Riyadi, 2009).
g. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Thoraks : Pada foto toraks bronkopneumonia terdapat bercak-
bercak infiltrate pada satu atau beberapa lobus. Jika pada pneumonia
lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus
(Ngastiyah, 2014).
Sinar x : mengidentifikasi distribusi structural; dapat juga menyatakan
abses luas/infiltrate, empyema (stapilococcus), infiltrasi menyebar
atau terlokalisasi (bacterial), atau penyebaran/ perluasan infiltrate
nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar x dada mungkin bersih
(Wijayaningsih, 2013).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan predominan
polymorphonuclear atau biasa disebut dengan PMN yang dapat
ditemukan leukopneia dan menandakan prognosis buruk. Dapat
ditemukan anemia ringan atau sedang (Riyadi, 2009).
JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi
pada infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan
berkembangnya pneumonia bacterial (Wijayaningsih, 2013).
3. Pemeriksaan serologi: titer virus atau legionella, agglutinin dingin.
4. Pemeriksaan mikrobiologik, dapat dibiak dari specimen usap
tenggorok sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau sputum, darah,
aspirasi trakea, fungsi pleura atau aspirasi paru (Riyadi, 2009).
h. Pencegahan Bronkopneumonia
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari
kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal yang dapat
dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kita terhadap
berbagai penyakit saluran nafas sepert: cara hidup sehat, makan makanan
yang bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup,
rajin berolahraga (Wijayaningsih, 2013).
B. Konsep Asuhan Keperawatan Bronkopneumonia pada Anak
Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi, dan
dokumentasi data (informasi) yang sistematis dan berkesinambungan (Kozier,
Erb, Berman, & Snyder, 2010).
1. Identitas
Bronkopneumonia dapat dijumpai pada bayi dan anak dibawah 6
tahun (Hidayat, 2009). Bronkopneumonia lebih banyak terjadi pada balita
laki-laki (Dinkes Jatim, 2018).
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama pada pasien bronkopneumonia adalah sesak
nafas(Wijaya dan Putri, 2013).
b. Riwayat penyakit sekarang
Bronkopneumonia biasanya didahului infeksi traktus respiratorius
bagian atas selama beberapa hari, dan biasanya timbul keluhan batuk
yang mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk yang
ada di pasaran. Awalnya keluhan batuk tidak produktif, tapi
selanjutnya akan berkembang menjadi produktif dengan mucus
purulent kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, kecoklatan atau
kemerahan, dan sering kali berbau busuk, pasien biasanya juga
mengalami demam tinggi dan menggigil. Adanya nyeri dada pleuritis,
sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan nyeri
kepala(Wijaya dan Putri, 2013).
c. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat infeksi saluran pernapasan sebelumnya seperti
batuk, pilek, demam, dan luka tenggorokan (Wijaya dan Putri, 2013).
d. Riwayat penyakit keluarga
Anggota keluarga lain yang menderita penyakit infeksi saluran
pernapasan dapat menularkan kepada anggota keluarga yang lainnya
(Wijaya dan Putri, 2013).
e. Riwayat kesehatan lingkungan
Pasien dengan bronkopneumonia sering dijumpai tinggal di
pemukiman padat penduduk dan sanitasi yang buruk (Wijaya dan
Putri, 2013).
3. Riwayat imunisasi
Anak yang tidak mendapatkan imunisasi beresiko tinggi untuk
mendapat penyakit infeksi saluran penafasan atas atau bawah karena
system pertahanan tubuh yang tidak cukup kuat untuk melawan infeksi
sekunder. Penyakit campak, pertussis, dan bakteri bisa juga menyebabkan
pneumonia atau merupakan penyakit penyerta pada pneumonia balita
(Wijaya dan Putri, 2013).
4. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Pertumbuhan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel di
seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, sedangkan
perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang
dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whalley dan
Wong, 2000 dalam Aziz Alimul, 2012).
Perkembangan emosional pada masa ini, anak sudah mengurangi
aktifitas bermain sendiri, lebih sering berkumpul dengan teman, interaksi
social selama bermain meningkat (Setiawan, 2014).
5. Pemeriksaan Fisik
a. Status penampilan kesehatan : lemah, gelisah, pernapasan cepat dan
dangkal
b. Tingkat kesadaran: kesadaran normal, letargi, stupor, koma, apatis
tergantung tingkat penyebaran penyakit.
c. Tanda-tanda vital
1) Frekuensi nadi : takikardi, hipertensi
2) Frekuensi pernapasan : takipnea, dyspnea progresif, pernapasan
dangkal, penggunaan otot bantu pernapasan, pelebaran nasal
3) Suhu tubuh : hipertermi akibat penyebaran toksis mikroorganisme
yang direspon oleh hipotalamus.
4) Berat badan dan tinggi badan : kecenderungan berat badan anak
mengalami penurunan (Riyadi, 2009).
d. Integumen
1) Warna : pucat sampai sianosis
2) Suhu : pada hipertermi kulit terbakar panas akan tetapi setelah
hipertermi teratasi kulit anak akan teraba dingin.
3) Tugor : menurun pada dehidrasi.
e. Kepala dan mata
1) Perhatikan bentuk dan kesimetrisan
2) Palpasi tengkorak akan adanya nodus atau pembengkakan yang
nyata.
3) Periksa hygiene kulit kepala, ada tidaknya lesi, kehilangan
rambut, perubahan warna.
f. Thorax
1) Inspeksi: peningkatan frekuensi nafas, nafas cepat dan dangkal,
nafas cuping hidung pada keadaan sesak berat, frekuensi irama,
kedalaman dan upaya bernafas antara lain: takipnea, dyspnea
progresif, pectus ekskavatum (dada corong), paktus karinatum
(dada burung), barrel chest.
2) Palpasi: adanya nyeri tekan, massa, peningkatan vocal fremitus
pada daerah yang terkena, gerakan dada saat bernafas dan taktil
fremitus biasanya normal dan seimbang antara kanan dan kiri.
3) Perkusi: pekak terjadi bila terisi cairan pada paru, normalnya
timpani (terisi udara) resonasi.
4) Auskultasi: suara pernafasan melemah dan bunyi nafas yang
meningkat intensitasnya :
a) Suara bronkovesikuler atau bronchial pada daerah yang terkena
b) Suara pernafasan tembahan-ronkhi inspiratory pada sepertiga
akhir inspirasi
(Riyadi dan Sukarmin, 2009)
6. Pemeriksaan Diagnostik Bronkopneumonia
Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada anak dengan
bronkopneumonia menurut Wijayaningsih (2013) adalah sebagai berikut:
1. Foto Thoraks : Pada foto toraks bronkopneumonia terdapat bercak-
bercak infiltrate pada satu atau beberapa lobus. Jika pada pneumonia
lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus
(Ngastiyah, 2014).
2. Sinar x: mengidentifikasi distribusi structural; dapat juga menyatakan
abses luas/infiltrate, empyema (stapilococcus), infiltrasi menyebar atau
terlokalisasi (bacterial), atau penyebaran/ perluasan infiltrate nodul
(virus). Pneumonia mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
3. GDA : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang
terlibat dan penyakit paru yang ada.
4. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah: diambil dengan biopsy
jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsy
pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.
5. JDL: leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi
pada infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan
berkembangnya pneumonia bacterial.
6. Pemeriksaan serologi: titer virus atau legionella, agglutinin dingin.
7. LED : meningkat.
8. Pemeriksaan fungsi paru : Volume mungkin menurun (kongesti dan
kolaps alveolar), tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan complain
menurun, hipoksemia
9. Elektrolit : Natrium dan klorida mungkin rendah.
10. Bilirubin: mungkin meningkat.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien,
keluarga, dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(PPNI, 2017). Pada studi kasus ini diagnosis yang diprioritaskan pada kasus
Bronkopneumonia adalah “Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan sekresi yang tertahan, proses infeksi”.
Perencanaan Keperawatan
Perencanaan adalah fase proses keperawatan yang penuh pertimbangan
dan sistematis dan mencakup pembuatan keputusan dan penyelesaian
masalah. Dalam perencanaan, perawat merujuk pada data pengkajian klien
dan pernyataan diagnosis sebagai petunjuk dalam merumuskan tujuan dan
merancang intervensi keperawatan yang diperlukan untuk mencegah,
mengurangi, atau menghilangkan masalah kesehatan (kozier et al, 2011).
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi 3x24 jam, status bersihan jalan
nafas meningkat dengan kriteria hasil:
1. Luaran Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
a. Batuk efektif meningkat
b. Produksi sputum menurun
c. Suara Mengi, wheezing menurun
d. Gelisah menurun
e. Frekuensi nafas membaik
f. Pola nafas membaik
Intervensi Keperawatan :
1. Pemantauan respirasi
Observasi
a. Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya nafas.
b. Monitor adanya produksi sputum
c. Monitor kemampuan batuk efektif
d. Monitor saturasi oksigen
e. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
f. Auskultasi bunyi nafas
Terapeutik
a. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
b. Dokumentasikan hasil pemantauan, jika perlu
Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil pemantauan,
2. Latihan batuk efektif
Observasi
a. Identifikasi kemampuan batuk
b. Monitor adanya retensi sputum
c. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
Terapeutik
a. Atur posisi semifowler atau fowler.
Edukasi
a. Anjurkan Tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan
bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik.
b. Anjurkan mengulangi Tarik nafas dalam hingga 3 kali.
c. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah Tarik nafas dalam
yang ke 3
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspetoran, jika perlu
3. Manajemen jalan nafas
Observasi
a. monitor bunyi nafas tambahan ( mis. Gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering)
b. monitor sputum (jumlah, warna, aroma).
Terapeutik
a. berikan minuman hangat
b. lakukan fisioterapi dada, jika perlu
c. lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
d. berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
a. ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
a. kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspetoran, mukolatik, jika
perlu.
Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan/ implementasi merupakan tahap keempat
dari proses keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana
keperawatan. Dengan rencana keperawatan yang dibuat berdasarkan
diagnosis yang tepat (perry, potter 2009). Pelaksanaan ini difokuskan
pada anak bronkopneumonia dengan Bersihan Jalan Nafas Tidak efektif.
Pelaksanaan dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan
validasi. Setelah selesai, pelaksanaan dilakukan dokumentasi yang
meliputi intervensi yang sudah dilakukan bagaimana respon pasien
(Mubrak, Chayatin, & Susanto, 2015).
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena
kesimpulan yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi
keperawatan harus diakhiri, dilanjutkan atau diubah(Kozier et al, 2010).
Evaluasi keperawatan menurut PPNI tahun 2018 terhadap pasien
dengan masalah Bersihan jalan nafas yang diharapkan adalah:
1. Batuk efektif meningkat
2. Suara nafas mengi menurun
3. Suara wheezing menurun
4. Frekuensi nafas membaik
5. Produksi sputum menurun
6. Pola nafas membaik.
Bakteri, Virus, Jamur
WOC
Infeksi saluran pernafasan atas
A. Kesimpulan
Dalam pelayanan kesehatan primer, gangguan respirasi merupakan
masalah yang paling sering dikeluhkan pasien. Hasil Survey Kesehatan
Rumah Tangga Depkes tahun 2001, urutan ke 2 sebagai penyebab kematian di
Indonesia adalah penyakit infeksi saluran napas bawah.
Penyakit tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar
menyerang paru-paru. Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar
mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC. Tetapi secara rutin dengan uji
tuberculin dapat ditemukan penyakit tersebut. Pengobatan TB dilakukan
melalui 2 fase (Fase awal intensif dan Fase Lanjutan).
Asma pada anak merupakan masalah bagi pasien dan keluarga, karena
asma pada anak berpengaruh terhadap berbagai aspek khusus yang berkaitan
dengan kualitas hidup, termasuk proses tumbuh kembang baik pada masa bayi,
balita maupun remaja. Selain faktor lingkungan, faktor genetik juga turut
berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk
menghasilkan IgE diturunkan dalam keluarga. Gejala klinis yang muncul pada
penderita asma antara lain sesak nafas, batuk, suara nafas wheezing, pucat,
dan lemah. Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2
golongan (Penatalaksanaan Asma Akut dan Penatalaksanaan Asma Kronik).
Penatalaksanaan dan perawatan dirumah untuk pasien anak dengan asma
sangat penting, pasien anak dengan asma ditujukan untuk mencegah timbulnya
serangan asma dengan memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga
pasien. Mencegah serangan asma dengan menghilangkan faktor pencetus
timbulnya serangan.
Daftar Pustaka
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2018. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun
2017. Dinas Kesehatan provinsi Jawa Timur. diakses pada tanggal 22 Agustus 2019
Hidayat, A. A., 2012. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba Medika
Kozier, G. E. A. B. &. S. J., 2010. Buku Aajar Fundamental Keperawatan. EGC ed. Jakarta:
Alih bahasa; Esty Wahyuningsih, Devi Yulianti, Yuyun yuningsih dan Ana Lusyana
Mubarak, W.I, C. &. S. J., 2015. Standar Asuhan Keperawatan Dan Prosedur Tetap Dalam
Praktik Keperawatan: Konsep Dan Aplikasi Dalam Praktik Klinik. Jakarta: Salemba
Medika
Potter, P., 2010. Fundamental Keperawatan. 7 Buku 1 ed. Jakarta: Salemba Medika
Tim Pokja, D. P., 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 2 ed. Jakarta Selatan:
Dewan Pengurus Pusat
Tim Pokja, D. P., 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 2 ed. Jakarta Selatan:
Dewan Pengurus Pusat
Tim Pokja, D. P., 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. 2 ed. Jakarta Selatan:
Dewan Pengurus Pusat
Wijayaningsih, K. S., 2013. Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta: CV.Trans Info Media.
diakses pada tanggal 22 Agustus 2019
Wijaya, P., 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh
Askep. Yogyakarta: Nuha medika.
[Unpad.ac.id, 5/09/2016]
https://doktersehat.com/sistem-respirasi/
https://jenis-jenis-penyakit.blogspot.com/2011/03/gangguan-sistem-pernafasan.html