MASYARAKAT MADANI
Kata “Madani” berasal dari unsur serapan Bahasa Arab yaitu “Madaniah” yang
berarti ; tempat / bersifat kekotaan atau beradab/berbudaya. Madanaiah atau Madinah
adalah sebuah Kota suci di Arab Saudi. Dikota inilah Rasulullah mengembangkan
ajaran Islam selama 13 tahun dan sampai akhir hayatnya untuk mewujudkan masyarakat
yang beriman dan sejahtera. Rasulullah telah memulai pembinaan masyarakat yang
sejahtera, aman, damai, demokratis tanpa membedakan agama, suku, ras. Sehingga
orang diluar Islampun mendapat perlindungan dari Rasulullah. Sehingga pada waktu itu
masyarakat Madinah menyebut kotanya dengan “Al-mujtama’ al madani”. Piagam
perdamaian yang ditandatangani telah menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara pada zaman Rasulullah. Piagam perdamaian itulah yang disebut dengan
Piagam Madinah.
Prinsip Piagam Madinah diatas merupakan ciri masyarakat Madani pada zaman
Rasulullah. Masyarakat Madani Indonesia tentunya tidak akan jauh perbedaan dengan
apa yang telah dilakukan Rasulullah. Mewujudkan masyarakat madani Indonesia, yang
menuntut pergeseran paradigma masyarakat Indonesia dewasa ini, tentunya tidak
terlepas dari peran pendidikan nasional. Karena dari sinilah segala persoalan dimulai.
Artinya : “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada
mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Maka dari makna ini Masyarakat madani dapat berarti sama dengan civil
society yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban. Pendapat senada
juga dikemukakan oleh Nurcholis Madjid, bahwa istilah tersebut merujuk kepada
masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi di Madinah. Dalam hal ini kita dapat
melihat bahwa nurcholis berusaha melakukan pendekatan antara konsep masyarakat
Madani yang tadinya terlahir sebagai reaksi terhadap realitas kepolitikan Orde Baru
dengan Islam, yaitu dengan mengidentikkan masyarakat Madani dengan masyarakat
Rasulullah di Madinah.
Konsep masyarakat madani menurut prespektif Islam sudah diatur dalam Al-
Quran yang dibagi menjadi 3 jenis yait masyarakat terbaik (khairah ummah),
masyarakat seimbang (ummatan wasathan) dan masyarakat moderat (ummah
muqtashidah). Berikut adalah kutipan ayat yang mengatur ketiga jenis istilah tersebut :
Artinya : “Dan demikian Kami menjadikan umat Islam sebagai umat yang adil sebagai
saksi perbuatan manusia dan Rasul adalah saksi perbuatan kamu. Dan Kami tidak
menetapkan kiblat sebagai kiblat mu keculai agar Kami mengetahui siapa yang
mengikuti Rasul dan yang ingkat. Dan sungguh memindahkan kiblat ke berat adalah
orang yang mendapat petunjuk dan Allah tidak akan menyiakan imanmu. Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Artinya : “Dan mereka menjalankan Taurat, Injil dan Al-Quran yang diturunkan
Tuhannya, mereka mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah. Diantara
mereka ada golongan pertengaham. Dan alangkah buruk yang dikerjakan mereka.”
Pada masa ini (Aristoteles, 384-322 SM) Civil Society dipahami sebagai sistem
kenegaraan dengan menggunakan istilah koinoniah politike, yakni sebuah komunitas
politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik
dan pengambian keputusan. Istilah ini juga dipergunakan untuk menggambarkan suatu
masyarakat politik dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di
depan hukum.
Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dengan
istilah Societies Civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang
lain. Terma yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan konsep negara kota
(City State), yaitu untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya,
sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsep ini dikembangkan pula oleh Thomas
Hobbes (1588-1679 M) dan Jhone Locke (1632-1704 M). Selanjutnya di Prancis
muncul John Jack Rousseau, yang tekenal dengan bukunya The Social Contract (1762).
Dalam buku tersebut J.J. Rousseau berbicara tentang pemikiran otoritas rakyat, dan
perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara manusia dan kekuasaan.
Pada tahun 1767, wacana civil society ini di kembangkan oleh Adam Ferguson
dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik Scotlandia. Ferguson
menekankan civil society pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemahaman ini digunakan untuk mengantisipasi peruahan sosial yang diakibatkan oleh
revolusi industri dan munculnya kapitlisme serta mencoloknya perbedaan antar publik
dan individu. Karena dengan konsep ini sikap solidaritas, saling menyayangi serta sikap
saling mepercayai akan muncul antar warga negara secara alamiah.
Kemudian pada tahun 1792, muncul wacana sivil society yang memiliki
aksentuasi yang berbeda dengan sebelunya. Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine
yang menggunakan istilah sivil society sebagai kelompok masyarakat yang
memilikiposisi secara diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai antitesis
dari negara. Dengan demikian, maka civil society menurut Paine ini adalah ruang
dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan
kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
2. Keswasembadaan
Seperti kita lihat keanggotaan yang sukarela untuk hidup bersama tentunya tidak
akan menggantungkan kehidupannya kepada orang lain. Dan tidak tergantung kepada
negara, juga tidak tergantung kepada lembaga atau organisasi lain. Setiap anggota
mempunyai harga diri yang tinggi yang percaya akan kemampuan sendiri.
Berkaitan dengan ciri yang kedua tadi, para anggota masyarakat madani adalah
manusia yang percaya diri sehingga tidak tergantung kepada perintah orang lain
termasuk negara. Bagi mereka, negara adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung
jawab yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggung jawab
dari masing-masing anggota. Inilah negara yang berkedaulatan rakyat.
4. Berdasarkan Hukum
Masyarakat madani adalah masyarakat yang taat dan tunduk terhadap hukum.
Hukum ditegakkan dan semua warga negara tidak ada yang kebal terhadap hukum.
Yang melakukan perbuatan melawan hukum harus ditinda sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Hal ini jelas dan tercantum dalam Piagam Madinah yang berbunyi
“Bahwa orang-orang yang beriman dan bertaqwa harus melawan orang yang melakukan
kejahatan diantara mereka sendiri, atau orang-orang yang suka melakukan perbuatan
aniaya, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan diantara orang-orang beriman
sendiri dan mereka harus bersama-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri”.
5. Egaliter
Egaliter artinya kesetaraan. Egalitarian adalah paham yang mempercayai bahwa
semua orang sederajat, semenatara egalitarisme diartikan sebagai doktrin atau
pandangan yang menyatakan bahwa manusia-manusia itu ditakdirkan sama, sederajat,
tidak ada perbedaan kelas dan kelompok. Jadi masyarakat egeliter adalah masyarakat
yang mengemban nilai egalitarisme dapat digambarkan sebagai masyarakat yang
mengakui adanya kesetaraan dalam posisi di masyarakat dari sisi hak dan kewajiban
tanpa memandang suku, keturunan, ras, agama dan sebagainya.
Toleransi dan pluralisme adalah bahwa setiap pemeluk agama dituntut bukan
hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain tetapi juga terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan guna tercapai kerukunan dalam kebhinnekaan. Ide
pluralisme sebenarnya berasal dari suatu pemahaman mengenai masyarakat. Ide ini
berasal dari ideologi kapitalisme yang memandang bahwa masyarakat itu tersusun atas
individu-individu yang mempunyai berbagai aqidah (keyakinan, pandangan),
kemaslahatan, keturunan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu mereka
menganggap telah menjadi keharusan bahwa masyarakat itu majemuk, masing-masing
kelompok memiliki tujuan khusus. Perbedaan yang dimiliki suatu masyarakat tersebut
harus dijaga karena tidak mungkin dapat disatukan. Begitu pula tentang masalah agama,
pluralisme diekspresikan dalam bentuk dialog antar agama, toleransi secara luas antar
umat beragama. Dalam bidang politik pun mencerminkan ide pluralisme ini,
sebagaimana yang terlihat dalam konstelasi politik barat yang membolehkan partai-
partai yang berseberanagan aqidah untuk berkoalisi melawan partai penguasa. .
7. Keterbukaan
Pada akhir ayat di atas, Allah memberikan jaminan bahwa masyarakat muslim
yang mampu melaksanakan kelima perilaku tersebut akan mendapatkan rahmah
atau kasih sayang dari Allah SWT. Hal itu tidaklah berat bagi Allah karena Allah
adalah Zat yang Mahaperkasa dan semua kebijakan-Nya pasti mengena dan menuai
hasil, karena Allah adalah Zat Yang Mahabijaksana. Apa yang disajikan diatas
adalah tawaran al-Qur’an sebagai cara untuk membentuk masyarakat yang penuh
dengan nilai dan norma.
Pada masa Nabi dan Khulafa’ Rasyidin, semua komponen masyarakat ikut
mengawasi jalannya pemerintahan. Pada saat sahabat Umar dilantik menjadi
Khalifah, seorang rakyatnya bersumpah bahwa jika Umar menyeleweng, maka dia
akan meluruskannya dengan pedang. Al-Qur’an telah memberikan predikat umat Islam
pada masa Nabi dan para sahabatnya sebagai umat yang terbaik yang terlahir di muka
bumi. Inilah prestasi puncak umat manusia. Nabi sendiri mengatakan bahwa
generasi terbaik adalah generasi masanya kemudian dua genarsi setelahnya.
Pada saat masyarakat dunia telah terpecah menjadi negara bangsa, dan
kekuasaan absolut tidak lagi berada di tangan seseorang, tapi sudah terbagi
menjadi tiga kekuatan yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, maka secara teori
masyarakat madani bisa tercipta manakala semua pihak bisa melaksanakan
tugasnya dengan baik. Agar semua elemen tiga kekuasaan tersebut berjalan
dengan efektif maka yang paling dibutuhkan adalah komitmen seluruh masyarakat
untuk saling bahu membahu melaksanakan semua program-program mereka atas dasar
nilai-nilai yang ada pada masing-masing penduduk. Tidak masalah jika penduduk
satu bangsa berasal dari beragam agama. Namun sebaliknya jika komitmen untuk
membangun bangsa sudah memudar, maka yang difikirkan adalah kepentingan
pribadi maupun golongan. Mereka saling bantu membantu dalam pelanggaran, seperti
kerjasama antara eksekutif, yudikatif dan legislatif, maka bangsa ini tinggal menunggu
kehancurannya saja.
Istilah masyarakat madani sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah
lain yang seringkali digunakan orang dalam penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia,
padanan kata civil society. Disamping masyarakat madani, padanan kata lainnya yang
sering digunakan adalah masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, masyarakat
sipil, masyarakat beradab,atau masyrakat berbudaya.
Banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas
civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “
dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani
merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi Barat non-Islam.
Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks
istilah itu muncul. Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata
“madinah” atau ‘kota”, sehingga masyarakat madani biasa berarti masyarakat kota atau
perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada
letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk
penduduk sebuah kota.
Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang
berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok
dengan orang kota, yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan
sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam
kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti peradaban atau
kebudayaan tinggi. Penggunaan istilah masyarakat madani dan civil society di
Indonesia sering disamakan atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena
makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun
berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.
1. HUKUM ISLAM
A. Pengertian Hukum Islam
Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur
tingkah laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara
tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak
tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan
perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan harta benda.
Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh
Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan
benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia
lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri
di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia
pada Allah (al quran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kapada
Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
(akibatnya)".(QS. An-nisa: 59)
Dari ayat tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan
hukum agamanya harus didasarkan urutan:
1) Selalu menataati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam
alquran.
2) Menaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya
3) Menaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat islam).
4) Mengenbalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan dalam menetapkan
hukum
Secara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber tertib
hukum:
1) Al Quran
2) Sunah atau hadits Rasul
3) Keputusan penguasa; khalifah (ekseklutif), ahlul hallli wal‘aqdi (legislatif), amupun
qadli (yudikatif) baik secara individu maupun masing- masing konsensus kolektif
(ijma’)
4) Mencari ketentuan ataupun sinyalemen yang ada dalam al quran kemmbali jika
terjadi kontroversi dalam memahami ketentuan hukum.
Dengan komposisi itu pula hukum islam dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:
1) Dalil Naqli yaitu Al Quran dan as sunah
2) Dalil Aqli yaitu pemikiran akal manusia.
Dilihat dari sketsa historis, hukum islam masuk ke indonesia bersama masuknya
islam ke Indonesia pada abad ke 1 hijriyah atau 7/8 masehi. Sedangkan hukum barat
baru diperkenalkan VOC awal abad 17 masehi. Sebalum islam masuk Indonesia, rakyat
Indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya dan sangat
majemuk sifatnya. Namun setelah islam datang dan menjadi agama resmi di berbagai
kerajaan nusantara, maka hukum islam pun munjadi hukum resmi kerajaan-kerajaan
tersebut dan tersebar menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Oreintasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia dalam jangka pendek
dalam kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin kebahagiaan kehidupan di akherat
yang kekal abadi, baik yang berupa hukum-hukum untuk menggapai kebaikan dan
kesempurnaan hidup (jalbu al manafi’), maupun pencegahan kejahatan dan kerusakan
dalam kehidupan (dar’u al-mafasid). Begitu juga yang berkaitan dengan kepentingan
hubungan antara Allah dengan makhluknya maupun kepentingan orientasi hukum itu
sendiri.
Keempat fungsi hukum tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang
hukum tertentu tetapi satu dengan yang lain juga saling terkait.
Pemikiran barat menempatkan manusia pada posisi bahwa manusialah yang menjadi
tolok ukur segala sesuatu, maka di dalam Islam melalui firman-Nya, Allahlah yang
menjadi tolok ukur sesuatu, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi
kepada-Nya.
Oleh karena itu dalam Islam hak-hak asasi manusia tidak hanya menekankan kepada
hak-hak manusia saja, tetapi hak-hak itu dilandasi oleh kewajiban asasi untuk mengabdi
hanya kepada Allah sebagai penciptanya. Aspek khas dalam konsep HAM Islami adalah
tidak adanya orang lain yang dapat mema’afkan pelanggaran hak-hak jika pelanggaran
itu terjadi atas seseorang yang harus dipenuhi haknya. Bahkan suatu negara Islam pun
tidak dapat mema’afkan pelanggaran hak-hak yang dimiliki seseorang. Negara harus
terikat memberikan hukuman kepada pelanggar HAM dan memberikan bantuan kepada
pihak yang dilanggar HAM nya, kecuali pihak yang dilanggar HAM nya telah
mema’afkan pelanggar HAM tersebut.
Q.S Al Isra’ (17) ayat 70. Artinya : “ Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-
anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan…”
Q.S Al Maidah (5) ayat 32. Artinya : “ …Barang siapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya…”
Mengenai martabat manusia ini telah digariskan dalam Universal declaration of Human
Rights dalam Pasal 1 dan Pasal 3.
Pasal 1 menyebutkan, ”...Semua makhluk manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai
hak-hak serta maratabat yang sama …”
Pasal 3 menyebutkan, “...Setiap orang berhak untuk hidup, berhak akan kemerdekaan
dan jaminan pribadi...”
2. Persamaan
Pada dasarnya semua manusia sama, karena semuanya adalah hamba Allah. Hanya satu
ukuran yang dapat membuat seseorang lebih tinggi derajatnya dari yang lain, yakni
ketaqwaannya.
Prinsip persamaan ini dalam Universal Declaration of Human Rights terdapat dalam
Pasal 6 dan Pasal 7.
Pasal 6 menyebutkan, “...Setiap orang berhak mendapat pengakuan di mana saja
sebagai seorang pribadi di muka hukum...”
Pasal 7 menyebutkan, “...Semua orang sama di muka hukum dan berhak atas
perlindungan yang sama di muka hukum tanpa perbedaan…”
Q.S Ali Imran (3) ayat 110. Artinya : “...Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar…”
4. Kebebasan beragama
Prinsip kebebasan beragama ini dengan jelas disebutkan dalam Al Qur’an surat
Al-Baqarah (2) ayat 256. Artinya : “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama
Islam…” DanQ.S Al Kafirun (109) ayat 6. Artinya : “Untukmulah agamamu dan
untukkulah agamaku.”
Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa agama Islam sangat menjunjung
tinggi kebebasan beragama. Hal ini sejalan dengan Pasal 18 dari Universal Declaration
of Human Rights, yang menyatakan “...Setiap orang mempunyai hak untuk merdeka
berfikir, berperasaan, dan beragama …”
Q.S Al Ma’arij (70) ayat 24. Artinya : “ Dan orang-orang yang dalam hartanya
tersedia bagian tertentu.”
Dalam Al Qur’an juga disebutkan dengan jelas perintah bagi umat Islam untuk
menunaikan zakat. Tujuan zakat antara lain adalah untuk melenyapkan kemiskinan dan
menciptakan pemerataan pendapatan bagi segenap anggota masyarakat. Apabila
jaminan sosial yang ada dalam Al Qur’an diperhatikan dengan jelas sesuai dengan Pasal
22 dari Universal Declaration of Human Rights, yang menyebutkan “Sebagai anggota
masyarakat, setiap orang mempunyai hak atas jaminan sosial…”
Hal ini sesuai dengan Pasal 17 dari Universal Declaration of Human Rights
menyebutkan:
Ayat (1) Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersama
orang lain.
Ayat (2) Tidak seorangpun hak miliknya boleh dirampas dengan sewenang-wenang.
Ada perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut
pandangan barat dan Islam. Hak Asasi Manusia menurut pemikiran barat semata-mata
bersifat antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada manusia, sehingga
manusia sangat dipentingkan. Sedangkan ditilik dari sudut pandang Islam berisfat
teosentris, artinya, segala sesuatu berpusat kepada Tuhan, sehingga Tuhan sangat
dipentingkan.
Hak Asasi Manusia dijamin oleh agama Islam bagi manusia dikalsifikasikan
kedalam dua kategori yaitu :
1) HAM dasar yang telah diletakkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia;
2) HAM yang dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok masyarakat yang berbeda
dalam situasi tertentu. Status, posisi, dan lain-lain yang mereka miliki. Hak-hak khusus
bagi non muslim, kaum wanita, buruh/pekerja, anak-anak, dan lainnya seperti hak
hidup, hak-hak milik, perlindungan kehormatan, keamanan, kesucian kehidupan
pribadi dan sebagainya.
1. Musyawarah (syura)
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia.
Oleh karena itu perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam
doktrin musyawarah. Hal ini disebabkan menurut ajaran Islam, setiap muslim yang
dewasa dan berakal sehat, baik pria mauoun wanita adalah khalifah Allah di bumi.
Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa
dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara. Kemestian
bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah, dalam surat Asy-
syura ayat 38 :
Artinya : “Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.
2. Persetujuan (ijma)
Ijma atau konsensus telah lama diterima sebagai konsep pengesahan resmi
dalam hukum Islam. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam
perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan pemikiran sangat besar pada
korpus hukum atau tafsir hukum.
Hal ini disebabkan karena salah satu syarat utama terwujudnya demokrasi adalah
adanya penegakan hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Demokrasi
akan selalu rapuh apabila HAM setiap warga masyarakat tidak terpenuhi. Sedangkan
pemeunuhan dan perlindungan HAM akan terwujud apabila hukum ditegakkan, karena
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran utama dan pertama agama Islam mengandung ajaran
tentang nilai-nilai dasar yang harus diaplikasikan dalam pengembangan sistem politik
Islam.