Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sirosis hepatis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan kerusakan
parenkim hati. Sirosis hepatis merupakan proses yang pasif dan tidak dapat pulih
kembali, namun sekarang dianggap sebagai suatu bentuk respon aktif terhadap
penyembuhan cedera hati kronik yang dapat pulih kembali.1
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang dimana ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Hal tersebut terjadi
akibat dari nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai
deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular dan regenerasi nodularis
parenkim hati.2
Secara klinis perlu dibedakan antara sirosis kompensata dan dekompensata
yang didasarkan pada tingkat hipertensi portal dan terjadinya komplikasi klinis
namun tidak selalu disertai peristiwa biologis lain yang relevan termasuk
perubahan regenerasi dan hilangnya fungsi hati secara progresif.3
Penyebab tersering sirosis pada negara barat ialah alkoholik, sedangkan di
Indonesia terutama akibat infeksi virus Hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di
Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%,
dan virus hepatitis C 30-40% dan sisanya termasuk kelompok virus bukan B dan
C.4 Konsumsi alkohol dan autoimun juga dapat mempengaruhi terjadinya sirosis
hati.5
Di Indonesia, sebagian besar terjadinya penyakit ini disebabkan oleh virus
hepatitis B dan virus hepatitis C. Angka kejadian Sirosis hepatis di Indonesia
akibat hepatitis B (HBV) berkisar antara 21,2 - 46,9% dan angka kejadian Sirosis
hepatis akibat hepatitis C (HCV) berkisar 38,7 – 73,9%.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sirosis hepatis merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif
yang ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif.
Gambaran morfologi dari Sirosis hepatis meliputi fibrosis difus, nodul
degenerative, perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vascular
intrahepatic antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika)
dan eferen (vena hepatika).1,3
Secara klinis atau fungsional SH dibagi atas sirosis hati kompensata dan
sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan hepatoselular
dan hipertensi portal.3
Sirosis merupakan komplikasi penyakit hati yang ditandai dengan
menghilangnya sel-sel hati dan pembentukan jaringan ikat dalam hati yang
ireversibel. WHO memberi batasan histologi sirosis sebagai proses kelainan hati
yang bersifat difus (hampir merata), ditandai fibrosis dan perubahan bentuk hati
normal ke bentuk nodul-nodul yang abnormal.2 Sirosis berbeda dengan fibrosis.
Pembentukan nodul tanpa fibrosis, seperti dalam transformasi parsial, bukan
merupakan sirosis.5

2.2. Epidemiologi
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita
yang berusia 45-46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker).
Diseluruh dunia SH menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita SH
lebih banyak laki-laki, jika dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar 1,6 :
1.Umur rata-rata penderitanya terbanyak golongan umur 30-59 tahun dengan
puncaknya sekitar umur 40-49 tahun. Insidens SH di Amerika diperkirakan 360
per-100.000 penduduk. Penyebab SH sebagian besar adalah penyakit hati
alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis serta hepatitis C.6
Di Indonesia data prevalensi penderita Sirosis Hepatis secara keseluruhan
belum ada. Didaerah Asia Tenggara, penyebab utama SH adalah hepatitis B
(HBV) dan C (HCV). Angka kejadian Sirosis Hepatis di Indonesia akibat
hepatitis B berkisar antara 21,2 - 46,9% dan hepatitis C berkisar 38,7 – 73,9%.

2.3. Etiologi
Terdapat bermacam-macam penyebab dari Sirosis hepatis, terkadang lebih
dari satu penyebab terjadinya SH pada satu penderita. Alkoholisme kronik
Bersama virus hepatitis C pada negara barat merupakan penyebab yang sering
dijumpai.3,6
Penyebab Sirosis Hepatis yaitu sebagai berikut;3.6
 Penyakit hati alkoholik (ALD)
 Hepatitis C kronik
 Hepatitis B kronik dengan/ atau tanpa hepatitis D
 Steato hepatitis non alkoholik (NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan dengan
DM, malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri coroner, pemakaian obat
kortikosteroid.
 Sirosis bilier primer
 Kolangitis sclerosing primer
 Hepatitis autoimun
 Hemokromatosis herediter
 Penyakit Wilson
 Defisiensi Alpha 1-antitrypsin
 Sirosis Kardiak
 Galaktosemia
 Fibrosis kistik
 Hepatotoksik akibat obat atau toksin
 Infeksi parasite tertentu (Schistomiosis)
2.4. Patogenesis
Pada sirosis, hubungan antara darah dan sel-sel hati hancur. Sirosis hepatis
terjadi akibat adanya cidera kroniki-reversibel pada parenkim hati disertai
timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cedera fibrosis), pembentukan nodul
degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini sebagai akibat dari
adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin, disertai
deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular berakibat pembentukan vaskular
intra hepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika)
dan eferen (vena hepatika), dan regenerasi nodular parenkim hati sisanya.1,3
Terjadinya fibrosis hari disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati.
Aktivasi ini dipicu oleh faktor pelepasan ang dihasilkan hepatosit dan sel
Kupffer. Sel stellate merupakan sel penghasil utama matrix ekstraselular (ECM)
setelah terjadi cedera pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya
pembentuk jaringan mirip fibroblast yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi
oleh beberapa sitokin seperti transforming growth factor  (TGF- ) dan tumor
necrosis factors (TNF ).3
Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan
memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid mengubah
pertukukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang
seharusnya dimetabolisasi oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah
sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses
ini akan menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular.3
Hipertensi portal merupakan gabungan antara penurunan aliran darah porta
dan peningkatan resistensi vena portal. Hipertensi portal dapat terjadi jika
tekanan dalam sistem vena porta meningkat di atas 10-12 mmHg. Nilai normal
tergantung dari cara pengukuran, terapi umumnya sekitar 7 mmHg. Peningkatan
tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh adanya hambatan aliran vena porta
atau peningkatan aliran darah ke dalam vena splanikus. Obstruksi aliran darah
dalam sistem portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau cabang-
cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan tahanan vaskuler dalam hati
yang terjadi dengan atau tanpa pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi
presinusoid, parasinusoid atau postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena
hepatik (supra hepatik).3
Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan dengan
penyakit hati kronik dan dijumpai peningkatan tekanan portal yang patologis.
Tekanan portal normal berkisar antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila
terdapat kenaikan tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap di atas
harga normal.
Hipertensi portal dapat terjadi ekstra hepatik, intra hepatik, dan supra hepatik.
Obstruksi vena porta ekstra hepatik merupakan penyebab 50-70% hipertensi
portal pada anak, tetapi dua per tiga kasus tidak spesifik penyebabnya tidak
diketahui, sedangkan obstruksi vena porta intra hepatik dan supra hepatik lebih
banyak menyerang anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun yang tidak
mempunyai riwayat penyakit hati sebelumnya.3
Penyebab lain sirosis adalah hubungan yang terganggu antara sel-sel hati
dan saluran-saluran melalui mana empedu mengalir. Pada sirosis, canaliculi
adalah abnormal dan hubungan antara sel-sel hati canaliculi hancur/rusak,
tepat seperti hubungan antara sel-sel hati dan darah dalam sinusoid-sinusoid.
Sebagai akibatnya, hati tidak mampu menghilangkan unsur-unsur beracun
secara normal, dan mereka dapat berakumulasi dalam tubuh. Dalam suatu
tingkat yang kecil, pencernaan dalam usus juga berkurang.3

2.5. Manifestasi Klinis


Perjalanan penyakit SH lambat, asimtomatis dan seringkali tidak dicurigai
sampai adanya komplikasi penyakit hati. Banyak penderita ini sering tidak
terdiagnosis sebagai SH sebelumnya dan sering ditemukan pada waktu autopsy.
Diagnosis SH asimtomatis biasanya dibuat secara incidental ketika tes
pemeriksaan fungsi hati (transaminase) atau penemuan radiologi, sehingga
kemudian penderita melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan biopsy hati.6,7
Sebagian besar penderita yang datang ke klinik biasanya sudah dalam stadium
dekompensata, disertai adanya komplikasi seperti perdarahan varises, peritonitis
bakterial spontan, atau ensefalopati hepatis. Gambaran klinis dari penderita SH
adalah mudah lelah, anoreksia, berat badan menurun, atropi otot, ikterus, spider
angiomata, splenomegali, asites, caput medusae, palmar eritema, white nails,
ginekomastia, hilangnya rambut pubis dan ketiak pada wanita, asterixis (flapping
tremor), foetor hepaticus, dupuytren's contracture (sirosis akibat alkohol).6,7
Tabel 1. Tanda-Tanda Klinis Sirosis Hepatis dan Penyebabnya6
Tanda Penyebab
Spider angioma atau spider nervi Estradiol meningkat
Palmar erytema Gangguan metabolisme hormon seks
Perubahan kuku:
 Muehrche's lines  Hipoalbuminemia
 Terry's nails  Hipoalbuminemia
 Clubbing  Hipertensi portopulmonal
Osteoartopati Hipertrofi Chronic proliferative periostitis
Kontraktur Dupuytren Proliferasi fibroplastik dan gangguan
deposit kolagen
Ginekomastia Estradiol meningkat
Hipogonadisme Perlukaan gonad primer atau supresi
fungsi hipofise atau hipotalamus
Ukuran hati: besar, normal, mengecil Hipertensi portal
Splenomegali Hipertensi portal
Asites Hipertensi portal
Caput medusae Hipertensi portal
Murmur Cruveilhier-Baungarten Hipertensi portal
(bising daerah epigastrium)
Fetor hepaticus Diamethyl sulfide meningkat
Ikterus Bilirubin meningkat (sekurang-
kurangnya 2-3mg/dl)
Asterixis/ Flapping tremor Ensefalopati hepatikum

Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang sering ditemukan
secara tidak sengaja. Gejala sirosis hati terbagi menjadi sirosis hati kompensata
(gejala awal) seperti mudah lelah, lemah, selera makan berkurang, perut
kembung, mual, berat badan menurun, impotensi, testis mengecil, ginekomastia,
hilangnya gairah seksual. Gejala sirosis hati dekompensata terjadi gejala lebih
menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta,
meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, demam subfebris, gangguan
pembekuan darah seperti perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid,
ikterus, air kemih warna teh pekat, muntah darah dan/ melena serta perubahan
mental meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi hingga koma.8

2.6. Gambaran Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk SH pada tabel beriku;
Tabel 2. Tes laboratoriun pada Sirosis Hepatis.3,6,7
Jenis Pemeriksaan Hasil
Aminotrasferase: ALT dan AST Normal atau sedikit meningkat
Alkali fosfatase/ ALP Sedikit meningkat
Gamma-glutamil transferase: GT Korelasi dengan ALP, spesifik khas
akibat alkohol sangat meningkat
Bilirubin Meningkat pada SH lanjut prediksi
penting mortalitas
Albumin Menurun pada SH lanjut
Globulin Meningkat terutama IgG
Waktu Prothrombin Meningkat/penurunan produksi faktor
V/VII dari hati
Natrium darah Menurun akibat peningkatan ADH dan
aldosteron
Trombosit Menurun (hipersplenism)
Leukosit dan Netrofil Menurun (hipersplenism)
Anemia Makrositik, normositik, dan mikrositik

Pemeriksaan laboratorium lain untuk mencari penyebabnya.3.6.7


 Seologi virus hepatitis (HbSAg, anti HCV)
 Auto antibodi (ANA, ASM, Anti-LKM) untuk autoimun hepatitis
 Saturasi transferin dan feritinin untuk hemokromatosis
 Ceruloplasmin dan Copper untuk penyakit Wilson Alpha 1-antitrypsin
 Alpha 1-antitrypsin
 AMA untuk sirosis bilier primer
 Antibodi ANCA untuk kolangitis sklerosis primer

2.7. Diagnosis
Pada stadium kompensata sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan
diagnosis SH. Pada proses lebih lanjut stadium kompensata bisa ditegakkan
dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/ serologi
dan pemeriksaan pencitraan lainnya. Pada stadium dekompensata diagnosis tidak
terlalu sulit karena gejala dan tanda klinis biasanya sudah tampak dengan adanya
komplikasi.
Baku emas untuk diagnosis Sirosis hepatis adalah biopsi hati melalui
perkutan, transjugular, laparoskopi atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi tidak
diperlukan bila secara klinis, pemeriksaan laboratoris dan radiologi menunjukkan
kecenderungan SH. Walaupun biopsi hati risikonya kecil tapi dapat berakibat
fatal misalnya perdarahan dan kematian.7
Pemeriksaan radiologi barium meal/enema dapat melihat varises untuk
konfirmasi adanya hipertensi porta. Dengan USG, pada sirosis yang lanjut hati
mengecil, nodular, irregular. Selain itu USG juga dapat melihat asites,
splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, karsinoma hati.
Pemeriksaan yang lain harganya sangat mahal.8

2.8. Tatalaksana
Pada tatalaksana perlu dibedakan secara klinis mengenai sirosis hepatis.
Sirosis hepatis secara klinis fungsional dibagi atas:3
1. Sirosis hepatis kompensata
2. Sirosis hepatis dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan
hepatoselular dan hipertensi portal
Penanganan SH kompensata ditujukan pada penyebab hepatitis kronis untuk
mengurangi progresifitas penyakir SH agar tidak semakin lanjut dan menurunkan
terjadinya karsinoma hepatoselular. Di Asia penyebab tersering yaitu HBV dan
HCV. Untuk HBV dapat diberikan prepara interferon secara injeksi atau secara
oral dengan preparat analog nukleosida jangka panjang.3
Preparat nukleosida analog juga dapat diberikan pada kasus SH dekompensata
akibat HBV kronis selain penanganan untuk komplikasinya. Sedangkan untuk
SH akibat HCV kronis bisa diberikan preparat Interferon.3
Perkembangan perubahan strategi terapi bagian pasien dengan hepatitis C
kronik yang belum pernah mendapatkan pengobatan IFN seperti (kombinasi IFN
dengan ribavirin, terapi induksi IFN, terapi dosis IFN tiap hari).
a) Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3x seminggu
dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan (1000mg untuk berat
badan kurang dari 75kg) yang diberikan untukjangka waktu 24-48 minggu.
b) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang lebih
tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan
3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi
dengan RIB.

c) Terapi dosis interferon setiap hari.


Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai
HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.

2.8. Komplikasi
1) Hipertensi portal
Hipertensi portal merupakan peningkatan hepatic venous pressure gradient
(HVPG) lebih 5 mmHg. Bila gradien tekanan portal (perbedaan tekanan antara
vena porta dan vena cava inferior) diatas 10-12 mmHg, komplikasi HP dapat
terjadi. Hipertensi porta dapat terjadi akibat adanya peningkatan resistensi intra
hepatik terhadap aliran darah porta akibat adanya nodul degeneratif dan
peningkatan aliran darah splanchnic vascularbed.9
2) Asites
Penyebab asites yang paling banyak pada SH adalah HP, disamping adanya
hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal yang
akan mengakibatkan akumulasi cairan dalam peritoneum.9
Terapi konservatif yang dapat diberikan terdiri atas:9
- Istirahat
- Diet rendah garam
Untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah garam dan
penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita harus dirawat.
- Diuretik
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah
garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg
setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretik adalah
hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encephalopaty hepatic, maka pilihan
utama diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta
dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal
diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid.

3) Spontaneous bacterial peritonitis


SBP merupakan komplikasi berat yang sering terjadi pada asites yang ditandai
dengan infeksi spontan cairan asites tanpa adanya fokus infeksi intra abdominal.
E.Coli merupakan bakteri usus yang sering menyebabkan SBP, namun bakteri
gram positif seperti Streptococcus viridians, Staphylococcus amerius juga bisa
ditemukan. Diagnosis SBP ditegakkan bila pada sampel cairan asites ditemukan
angka sel netrofil >250/mm3.9
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III
(Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral.
Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan
Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu.
Dapat juga diberikan Siprofloksasin 500 mg/hari per oral sebagai profilaksis
pada pasien risiko tinggi SBP, yaitu pasien dengan hipoalbumin, peningkatan PT
atau INR, dan albumin pada cairan asites rendah.
4) Varises Gastroesofagus
Varises gastroesofagus merupakan kolateral portosistemik yang paling
penting. Pecahnya varises esophagus (VE) mengakibatkan perdarahan varises
yang berakibat fatal. Varises ini terdapat sekitar 50% penderita SH dan
berhubungan dengan derajat keparahan SH. 40% Diagnosis VE ditegakkan
dengan esofagagastroduodenoskopi, sehingga perlu dilakukan skrining untuk
mengetahui adanya VE pada semua penderita SH yang didiagnosis pertama
kali.10
5) Ensefalopati Hepatikum
Sekitar 28% penderita SH dapat mengalami komplikasi ensefalopati
hepatikum (EH).11 Mekanisme terjadinya EH akibat hiperammonia, terjadi
penurunan hepatic uptake sebagai akibat dari intrahepatic portal-systemic shunts
dan/atau penurunan sintesis urea dan glutamik. EH dapat diturunkan risikonya
dengan pemberian Laktulose, Neomisin (antibiotika yang tidak diabsorbsi
mukosa usus) cukup efektif dalam mencegah terjadinya EH.11,12

6) Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan
organik ginjal, yang ditemukan pada SH tahap lanjut. Sindroma ini sering
dijumpai pada penderita SH dengan asites refrakter. Sindroma Hepatorenal tipe-1
ditandai dengan gangguan progresif fungsi ginjal dan penurunan kreatinin secar
bermakna dalam 1-2 minggu. Pada Tipe-2 ditandai dengan penurunan filtrasi
glomerulus dengan peningkatan serum kreatinin.9
Penanganan SHR yang terbaik yang dapat dilakukan yaitu transplantasi hati.
Untuk prevensi terjadinya SHR perlu dicegah terjadinya hipovolemia pada
penderita SH, dengan menghentikan pemberian diuretik, rehindrasi, dan infus
albumin. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt efektif menurunkan
hipertensi porta dan memperbaiki sindrom hepatorenal serta menurunkan
perdarahan gastrointestinal. Bila Transplantasi hepar merupakan terapi definitif
untuk SHR.8

2.9. Prognosis
Perjalanan alamiah Sirosis hepatis tergantung pada sebab dan penanganan
etiologi yang mendasari penyakit tersebut. Beberapa sistem skoring dapat
digunakan untuk menilai keparahan SH dan menentukan prognosisnya. Sistem
skoring ini antara lain skor Child Turcotte Pugh (CTP) dan Model end stage liver
disease (MELD) yang digunakan untuk evaluasi pasien dengan rencana
transplantasi hati.12

BAB III
KESIMPULAN

Sirosis hepatis merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif.
Gambaran morfologi dari Sirosis hepatis meliputi fibrosis difus, nodul
degenerative, perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vascular
intrahepatic antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika)
dan eferen (vena hepatika). Perjalanan penyakit SH lambat, asimtomatis dan
seringkali tidak dicurigai sampai adanya komplikasi penyakit hati. Banyak
penderita ini sering tidak terdiagnosis sebagai SH sebelumnya dan sering
ditemukan pada waktu autopsy. Penyebab tersering sirosis pada negara barat ialah
alkoholik, sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus Hepatitis B
maupun C. Baku emas untuk diagnosis Sirosis hepatis adalah biopsi hati melalui
perkutan, transjugular, laparoskopi atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi tidak
diperlukan bila secara klinis, pemeriksaan laboratoris dan radiologi menunjukkan
kecenderungan SH.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pinzani, M, Roselli, M., Zuckermann, M. Liver Cirrhosis. 2011. Best
Practice&ResearchClinical Gastroenterology. hal: 281-2990.
2. Nurdjanah, S. 2009. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo, A.W., dkk. Ilmu Penyakit
Dalam ( halaman 669-672 ). InternaPublishing, Jakarta Pusat, Indonesia.
3. Sherlock, S., Dooley, J., Hepatic Cirrhosis in S. Sherlock and J. Dooley (edts).
Diseases of the Liver and Biliary System 11th edition. hal: 365-380.
4. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease: Cirrhosis.
Maret 2014. Diunduh dari: https://www.niddk.nih.gov/health-information/liver-
disease/cirrhosis.
5. Dooley, Lok, Burroughs dan Heathcote. 2011. Sherlock Diseases of The Liver
and Biliary System. 12th Edition. Singapore: Willey-Blackwell.
6. Scuppan D and AfdhalNH. 2008. Liver cirrhosis. Lancet;2008. hal 838-851.
7. Goldberg E and Chopra S. Diagnostic approach to the patient with cirrhosis.
2009. Uptodate versien 17.1.
8. Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed 5. Jakarta: Interna
Publishing
9. Bacon BR. 2008. Cirrhosis its complications in DL Kasper. Harrison’s Principles
of Internal Medicine 17th Edition Mc Graw Hill Medical. hal 1971-1980.
10. Moore,K.P. 2003. The Management of Ascites in Cirrhosis: Reports on the
Consensus Conference of The International Asites Club. Hepatologi 38. hal 258-
266.
11. Cervera, J.L., Almeida P., 2011. Hepatic Encephalopathy: A Review. Annals of
Hepatology. hal 122-129.
12. Garcia-Pafan,J.C., Caca, K. 2010. Early Use of Tips in Patients with Cirrhosis
and Variceals Bleeding. N Engl J Med. hal 2370-2379.

Anda mungkin juga menyukai