Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada hakekatnya manusia memiliki kebutuhan primer yang terdiri dari sandang,
pangan, dan papan. Tanah merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang masuk
pada golongan papan atau tempat tinggal manusia. Tanah sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk
mencukupi kebutuhan. Selain itu tanah juga menjadi faktor pendukung utama dakam
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat di manapun tidak lain negara Indonesia.
Mengingat akan pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka tanah dapat dijadikan
sarana untuk kesejahteraan bangsa Indonesia, sehingga perlu campur tangan negara untuk
mengaturnya sesuai dengan amanat pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan Air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.” Tak hanya itu saja, pemerintah juga memberi
perlindungan hukum tentang pertanahan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang sering dikenal
dengan UUPA. Salah satu tujuan di undangkannya UUPA adalah untuk memberikan
jaminan kepastian hukum. Tujuan tersebut dapat terwujud melalui 2 upaya yaitu:
1. Tersedianya perangkat hukum tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara
konsisten sesuai dengan jiwa dan ketentuanketentuan. Penyelenggaraan pendaftaran
tanah yang memungkinkan bagi pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah
membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya dan bagi pihak yang berkepentingan
seperti calon pembeli dan calon kreditur
2. untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi objek
perbuatan hukum yang dilakukan serta bagi pemerintah untuk melaksanakan
kebijakan pertanahan.

Di Indonesia tanah sering kali menjadi obyek sengketa dan perselisihan masyarakat.
Salah satu contoh kegiatan masyarakat yang dapat menyebabkan konflik yang berkaitan
dengan tanah yaitu jual beli tanah maupun tanah digunakan sebagai objek jaminan di
lembaga keuangan seperti bank. Pada dasarnya hal yang memicu adanya konflik tersebut
karena penjualan tanah tersebut tanpa adanya sertifikat yang jelas atau bahkan tanpa

1
adanya sertifikat. Di wilayah negara Indonesia sebagian besar tanah yang dimiliki
masyarakat belum bersertifikat dan umumnya terdapat di desa-desa dimana masyarakat
belum mengenal hukum pertanahan. Pada umumnya tanah-tanah yang ada masih berupa
pethuk saja.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah dan perkembangan hukum keagrariaan di Indonesia
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan Badan Pertanahan Nasional di Indonesia
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Agar mahasiswa dapat mengetahaui bagaiamana sejarah dan perkembangan hukum
keagrariaan di Indonesia
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan Badan
Pertanahan Nasional di Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah dan Perkembangan Hukum Keagrarian

Perkembangan hukum agraria tentu tidak terlepas dari proses dan pergelutan yang
melatarbelakangi lahirnya hukum agraria. Artinya, dalam konteks Indonesia sejarah
hukum agraria merupakan salah satu bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia
yang berperan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita
dan tujuan Negara. Lebih lanjut, pendekatan sejarah hukum ini diperlukan lantaran
beberapa alasan berikut:
1. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan
kala dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil, yakni bentuk-
bentuk penampakan diri norma-norma hukum, maupun isi norma-norma hukum itu
sendiri (sumber-sumber hukum materil).
2. Norma-norma hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti melalui sejarah
hukum.
3. Pengetahuan yang memadai mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya merupakan
suatu pegangan penting bagi para yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata
umum.
4. Hukum diletakkan dalam perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai
suatu gejala historis terutama demi perlindungan hak asasi manusia terhadap
perbuatan semena-mena.
Merujuk pada alasan tersebut, berikut ini dilihat sejarah perkembangan hukum agraria.
Penjabarannya dimulai dari hukum agraria Romawi Kuno, hukum agraria era kolonial
dan sejarah pembentukan UUPA sebagai hukum agraria nasional.

Hukum Agraria Romawi Kuno


Pada zaman Roma kuno, hukum agraria dipahami sebagai seperangkat kaidah-kaidah
hukum yang mengatur pembagian tanah publik (ager publicus). Tanah publik yang
dimaksud adalah tanah yang diambil alih oleh Roma dari kota dan negara yang telah
ditaklukkan. Selama masih menjadi tanah publik, tanah tersebut ditempati oleh penyewa
yang membayar sewa kepada negara. Biasanya, para bangsawan mendapat bagian
terbesar dari tanah publik, dan pemilikan  tanah publik cenderung selalu menjadi hak

3
prerogatif eksklusif orang kaya. Hukum agraria merupakan hasil dari upaya berkelanjutan
dari kaum miskin untuk mendapatkan beberapa bagian pada tanah publik. Ketika tanah
tersebut diduduki tanpa sewa, aspek hukumnya tidak lagi ketat. Ditambah, kebanyakan
legislasi agraria meniadakan hak istimewa yang menguntungkan yang dimiliki orang
yang memiliki power untuk mempertahankan tanah mereka. Hukum agraria dengan
mudah dilanggar bahkan secara diam-diam diabaikan. Pada tahun 486 SM, Spurius
Cassius Viscellinus mencoba mengeluarkan undang-undang yang menetapkan sejumlah
lahan baru di Gaul (Prancis) kepada orang miskin Roma. Namun, pengesahan undang-
undang tersebut dicegah oleh orang Roma sendiri. Hukum agraria awal yang sangat
dikenal adalah Rogations Licinian yang dikeluarkan oleh Caius Licinius Calvus Stolo
pada tahun 377 SM. Undang-undang tersebut membatasi secara ketat jumlah tanah yang
dipegang oleh setiap warga negara dan jumlah domba dan sapi yang digembalakan di
tanah publik. Pada akhirnya, undang-undang ini juga tidak dapat dilaksanakan. Sekitar
tahun, 233 SM, Caius Flaminius berhasil menetapkan beberapa tanah publik kepada
warga miskin. Upaya serius berikutnya untuk memperbaiki situasi yang semakin sulit
adalah Undang-Undang Sempronian pada tahun 133 SM yang dirancang oleh Tiberius
Gracchus Sempronius. UU ini mengadopsi ketentuan Rogations Licinian dan
menambahkan batas maksimum jumlah kelebihan untuk setiap anak. Setiap bagian yang
menjadi kelebihan dari batas maksimum diberikan kepada orang miskin.

Hukum Agraria Kolonial


Secara historis, ketentuan hukum agraria pada masa kolonial mulai dijalankan sejak
berdiri dan berkuasanya VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie) hingga masa
penjajahan Jepang. Pada masa VOC terdapat sejumlah kebijakan di bidang pertanian yang
ujung-ujungnya menindas rakyat Indonesia. Kebijakan yang dimaksud,
meliputi: Pertama, contingenten, dengan ketentuan bahwa pajak hasil atas tanah
pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus
menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser
pun.
Kedua, Verplichte leveranten, suatu ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan
para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang
harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-
benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
Dan, ketiga, roerendiensten, yakni kebijakan mengenai kerja rodi yang dibebankan

4
kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian. Setelah kekuasaan VOC
berakhir, terjadi perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan
tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir sebagai akibat kebijakan yang dikeluarkan
pemerintahan Hindia Belanda melalui Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Daendles adalah menjual tanah-tanah rakyat Indonesia
kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri sehingga muncullah
istilah tanah partikelir. Tanah partikelir merupakan tanah eigendom yang mempunyai sifat
dan corak istimewa yakni adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan
yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Pemerintahan kemudian beralih ke
GubernurThomas Stanford Raffles pada tahun 1811. Pada masa Rafles semua tanah yang
berada di bawah kekuasaan pemerintah dinyatakan sebagai eigendom government.
Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak tanah atau lebih dikenal dengan
kebijakan Landrent.
Kebijakan ini berangkat dari hasil penelitian Rafles mengenai pemilikan tanah-tanah di
daerah swapraja di Jawa.  Dia menemukan bahwa semua tanah adalah milik raja,
sedangkan rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah
berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan
atas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris. Dengan
demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya,
melainkan milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah
kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.
Pada tahun 1830, pemerintahan Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Johanes
van den Bosch. Bosch menetapkan kebijakan agraria yang dikenal dengan sistem Tanam
Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam
suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan
oleh pasar internasional pada waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada
pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun. Bagi rakyat yang tidak mempunyai
tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa
kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun. Adanya monopoli pemerintah dengan
sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam
lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai
tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan
mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha
swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa

5
adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong. Kebijakan hukum di bidang agraria di
zaman Hindia Belanda yang masih dirasakan sampai sekarang pengaruhnya adalah
diberlakukannya Agrarische Wet. AW ini merupakan undang-undang di negeri Belanda,
yang diterbitkan pada tahun 1870. Pemberlakuan AW di Indonesia dilsinyalisasi sebagai 
respon terhadap keinginan perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang
pertanian untuk berkembang di Indonesia. Terbentuknya AW merupakan upaya desakan
dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang karena keberhasilan usahanya
mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk
menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tanah hutan di jawa yang belum
dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha di
bidang perkebunan besar. Terlihat jelas bahwa diberlakukannya AW bertujuan untuk
membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta
agar dapat berkembang di Hindia Belanda. Selain itu, AW juga bertujuan untuk: pertama,
memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan memberikan tanah-tanah
negara dengan hak Erfacht yang berjangka waktu lama, sampai 75 tahun dan
mengizinkan para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat. Kedua,
memperhatikan kepentingan rakyat asli dengan melindungi hak-hak tanah rakyat asli dan
memberikan kepada rakyat asli hak tanah baru (Agrarische eigendom). Tujuan
adanya Agrarische eigendom  sebetulnya untuk memberikan kepada orang-orang
Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat
dibebani dengan hipotek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak
miliknya dengan menjadi Agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan. Untuk
pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan
keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.  Ketentuan-ketentuan AW
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan
yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang
kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB). AB hanya berlaku untuk Jawa
dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal
sebagai Domein Verklaring  (Pernyataan Domein) semula juga berlaku untuk Jawa dan
Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk
daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura. Maksud dari adanya pernyataan
domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa
satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain
adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindi

6
Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) tanah negara bebas, yaitu tanah yang di
atasnya tidak ada hak penduduk bumi putera. 2) tanah negara tidak bebas, yaitu tanah
yang di atasnya ada hak penduduk maupun desa. Dalam praktiknya, pernyataan domein
mempunyai dua fungsi, yakni: pertama, sebagai landasan hukum bagi pemerintah
kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak-hak barat, misalnya hak eigendom,
hak opstal, dan hak erfacht. Kedua, untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila
negara berperkara, maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah,
tetapi piha lainlah yang wajib membuktikan haknya. Untuk diketahui bahwa hak rakyat
Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat
tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan Pasal 570 BW, maka dengan sekaligus
semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein negara). Yang
tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda, meliputi: a) tanah-
tanah daerah swapraja; b) tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain; c) tanah-tanah
partikulir; dan d) tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische eigendom). Selain AW,
KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan KUHPerdata yang berlaku di
Belanda, dengan beberapa perubahan diberlakukan di Indonesia, berdasarkan asas
konkordansi. Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam
KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan
ruang angkasa. Dalam buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas
tanah barat yang dikenal yaitu tanah eigendom, tanah hak opstal, tanah hak erfacht, dan
Tanah hak gebruis. Di samping hak atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah
dengan hak Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah hak adat.
Ada pula tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintah Hindia Belanda seperti agararische
eigendom, landerijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja, seperti
grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan hak-hak ciptaan pemerintha Hindia
Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya
lebih luas dari tanah-tanah hak adat. Tanah-tanah hak barat dapat dikatakan hampir
semuanya terdaftar pada Kantor Overschrijvings Ambtenar menurut Overschrijvings
Ordonantie S. 1834-1827 dan dipetakan oelh Kantor Kadaster menurut peraturan-
peraturan kadaster. Tanah hak barat ini tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak
dan kewajiban pemegang haknya, persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal mengenai
tanah yang dihaki, serta  perolehannya, pembebanannya diatur menurut ketentuan-
ketentuan hukum tanah barat. Tanah-tanah hak adat hampir semuanya belum didaftar.
Tanah-tanah itu tunduk pada hukum adat yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang

7
terdiri atas apa yang disebut tanah ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat dan tanah
perorangan, seperti hak milik adat, merupakan sebagian terbesar ranah Hindi Belanda.
Untuk tanah-tanah hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerah swpraja Sumatera
Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja. Selanjutnya, pada masa
Penjajahan Jepang, kebijaksanaan pemanfaatan tanah dan penguasaan tanah tidak tertib
akibat kekacauaan di bidang pemerintahan. Selain itu, tujuan utama dari kebijakan di
bidang agraria adalah untuk menunjang kepentingan Jepang. Pada masa itu juga mulai
terjadi akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar dan usaha
pengembalian kembali perkebunan milik Belanda serta terjadi kerusakan fisik tanah
karena politik bumi hangus dan penggunaan tanah melampaui batas kemampuannya.
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah
bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara
yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.

Penyusunan Hukum Agraria Nasional


Selain sebagai simbol terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka
dan berdaulat, Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 oleh Soekarno-Hatta memberi arti penting terhadap upaya penyusunan hukum
agraria nasional. Dengan proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia memutuskan
hubungan dengan hukum agraria kolonial sekaligus berupaya membentuk hukum agraria
nasional. Dengan kata lain, proklamasi kemerdekaan menjadi titik awal untuk
melaksanakan pembangunan hukum di bidang agraria. Meskipun demikian, dengan
diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia ternyata tidak serta merta pemerintah dapat
dengan mudah membentuk hukum agraria nasional, hal itu membutuhkan waktu yang
cukup lama sampai terbentuknya hukum agraria yang bersifat nasional. Dengan demikian,
guna mencegah adanya kekosongan hukum (reccht vacuum), maka sambil menunggu
terbentuknya hukum agraria nasional diberlakukanlah Pasal II Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru berdasarkan Undang-Undang Dasar ini”.
Dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut, maka segala badan maupun
peraturan yang ditetapkan dan merupakan produk kolonial dinyatakan masih tetap berlaku
selama hal tersebut belum dicabut, belum diubah atau belum diganti dengan hukum yang
baru. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mengakibatkan
bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan

8
tanah oleh masyarakat sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat yang
belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk
menduduki tanah. Sejak pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas negara Indonesia,
barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan
melakukan hal-hal berikut:
a)    Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan tanah-
tanah perkebunan untuk usaha pertanian.
b)   Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat
laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting
bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan
yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah pegunungan
sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.
c)    Pemakaian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut
dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
d)   Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan
kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1954 tentang
Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian diatur dalam
dua tahap. Pada tahap pertama terlebih dahulu diusahakan agar agenda segala sesuatu
dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan dengan
rakyat/penggarap. Tahap selanjutnya, apabila perundingan sebagaimana tidak berhasil,
maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersebut akan
mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan kepentingan rakyat dan kepentingan
penduduk, letak perkebunan yang bersangkutan; dan kedudukan perusahaan perkebunan
di dalam susunan perekonomuian negara. Agar pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat
berjalan dengan sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai berikut: a) kemungkinan
pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik
sebagian meupun seluruhnya, jika mereka dengan sengaja menghalangi upaya
penyelesaian; b) ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi; c)
ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih
terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini diberlakukan; dan d) ketentuan
tentang harus mengadakan pengosongan. Untuk mencegah pendudukan kembali tanah
perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan peraturan tentang larangan
pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor 51 Prp. Tahun

9
1960. Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum agraria, pemerintah
telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
1)  Undang-undang Nomor 19 Tahun 1956 tentang  Penentuan Perusahaan
Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2)   Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan
Hak Atas Tanah Perkebunan.
3)   Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang Peraturan Pemerintah dan Tindakan-
tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4)   Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda
yang kembali ke negerinya.
Lebih dari itu, Pemerintah Indonesia pada dasarnya melakukan upaya menyesuaikan
Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia merdeka.
Upaya yang dilakukan itu mencakup: 1) menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran
baru; 2) Penghapusan hak-hak konversi; 3) Penghapusan tanah partikelir; 4) Perubahan
peraturan persewaan tanah rakyat; 5) Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan
hak atas tanah; 6) Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan; 7)
Kenaikan Canon  dan Cijn; 8) Larangan dan penyelesaian soal pemakaian tanah tanpa
izin; 9) Peraturan perjanjian bagi hasil; dan 10) Peralihan tugas dan wewen

2.2 Sejarah dan Perkembangan Badan Pertanahan Nasional


Sejarah Kelembagaan Pertanahan pada dasarnya adalah sejarah pencarian format
penataan pertanahan nasional, yang merentang jauh ke belakang dari zaman pemerintahan
kolonial Belanda, lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria hingga fungsinya yang
diemban sekarang ini.
1. Masa Kolonial Belanda – Jepang
Sejak berlakunya Agrarische Wet tahun 1870, Pemerintah Kolonial Belanda
mengeluarkan Ordonansi Staatblad 1823 Nomor 164 yang menyebutkan bahwa
penyelenggaraan kadasteral diserahkan kepada lembaga yang diberi nama Kadasteral
Dient. Perannya yang strategis membuat pejabatnya diangkat dan diberhentikan langsung
oleh Gubernur Jenderal. Ketika masa penjajahan Belanda digantikan oleh Jepang pada
1942, tidak diadakan perombakan besar atas peraturan pertanahan. Kadasteral Dient,
misalnya, masih tetap di bawah Departemen Kehakiman, hanya namanya diganti
menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan kantornya bernama Kantor Pendaftaran Tanah.

10
Namun demikian, pada masa penjajahan Jepang dikeluarkan peraturan yang melarang
pemindahan hak atas benda tetap/ tanah (Osamu Sierei Nomor 2 Tahun 1942).
Penguasaan tanah partikelir juga dihapuskan oleh pemerintahan Dai Nippon.

2. Masa Kemerdekaan 1945 – 1960


Pasca proklamasi kemerdekaan, sesuai dengan semangat membentuk negara baru yang
merdeka, Pemerintah Republik Indonesia bertekad membenahi dan menyempurnakan
pengelolaan pertanahan. Landasan hukum pertanahan yang masih menggunakan produk
hukum warisan pemerintah Belanda mulai diganti. Melalui Departemen Dalam Negeri,
pemerintah mempersiapkan landasan hukum pertanahan yang sesuai dengan UUD 1945.
Pada 1948, berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948, Pemerintah
membentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Tiga tahun kemudian, terbit Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1951, yang membentuk Panitia Agraria Jakarta, sekaligus
membubarkan Panitia Agraria Yogyakarta. Pembentukan kedua Panitia Agraria itu
sebagai upaya mempersiapkan lahirnya unifikasi hukum pertanahan yang sesuai dengan
kepribadian Bangsa Indonesia. Selanjutnya, lewat Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun
1955, Pemerintah membentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari
Departemen Dalam Negeri. Pada 1956, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun
1956 dibentuk Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta yang sekaligus membubarkan
Panitia Agraria Jakarta. Tugas Panitia Negara Urusan Agraria ini antara lain adalah
mempersiapkan proses penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pada 1 Juni
1957, Panitia Negara Urusan Agraria selesai menyusun rancangan UUPA. Pada saat yang
sama, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran
Tanah yang semula berada di Kementerian Kehakiman dialihkan ke Kementerian
Agraria. Tahun 1958, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 97 Tahun 1958, Panitia
Negara Urusan Agraria dibubarkan. Selanjutnya pada 24 April 1958, Rancangan Undang
Undang Agraria Nasional diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat.

3. Lahirnya UUPA dan Masa Sesudahnya, 1960 – 1965


Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada 24 September 1960. Pada
hari itu, rancangan Undang-Undang Pokok Agraria disetujui dan disahkan menjadi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dengan berlakunya UUPA tersebut, untuk
pertama kalinya pengaturan tanah di Indonesia menggunakan produk hukum nasional

11
yang bersumber dari hukum adat. Dengan ini pula Agrarische Wet dinyatakan dicabut
dan tidak berlaku. Tahun 1960 ini menandai berakhirnya dualisme hukum agraria di
Indonesia.
Pada 1964, meIalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964, ditetapkan tugas,
susunan, dan pimpinan Departemen Agraria. Peraturan tersebut nantinya disempurnakan
dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1965 yang mengurai tugas
Departemen Agraria serta menambahkan Direktorat Transmigrasi dan Kehutanan ke
dalam organisasi. Pada periode ini, terjadi penggabungan antara Kantor Inspeksi Agraria-
Departemen Dalam Negeri, Direktorat Tata Bumi-Departemen Pertanian, Kantor
Pendaftaran Tanah-Departemen Kehakiman.

4. Orde Baru, 1965 – 1988


Pada 1965, Departemen Agraria kembali diciutkan secara kelembagaan menjadi
Direktorat Jenderal. Hanya saja, cakupannya ditambah dengan Direktorat bidang
Transmigrasi sehingga namanya menjadi Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi,
di bawah Departemen Dalam Negeri. Penciutan ini dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru
dengan alasan efisiensi dan penyederhanaan organisasi. Masih di tahun yang sama, terjadi
perubahan organisasi yang mendasar. Direktorat Jenderal Agraria tetap menjadi salah satu
bagian dari Departemen Dalam Negeri dan berstatus Direktorat Jenderal, sedangkan
permasalahan transmigrasi ditarik ke dalam Departemen Veteran, Transmigrasi, dan
Koperasi. Pada 1972, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 145 Tahun 1969 dicabut
dan diganti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1972, yang
menyebutkan penyatuan instansi Agraria di daerah. Di tingkat provinsi, dibentuk Kantor
Direktorat Agraria Provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota dibentuk Kantor Sub
Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya.

5. Berdirinya BPN dan Masa Sesudahnya, 1988 – 1993


Tahun 1988 merupakan tonggak bersejarah karena saat itu terbit Keputusan Presiden
Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Sejalan dengan
meningkatnya pembangunan nasional yang menjadi tema sentral proyek ekonomi –
politik Orde Baru, kebutuhan akan tanah juga makin meningkat. Persoalan yang dihadapi
Direktorat Jenderal Agraria bertambah berat dan rumit. Untuk mengatasi hal tersebut,
status Direktorat Jenderal Agraria ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah Non
Departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional. Dengan lahirnya Keputusan

12
Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tersebut, Badan Pertanahan Nasional bertanggung jawab
langsung kepada Presiden.

6. Periode 1993 – 1998


Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993, tugas Kepala Badan Pertanahan
Nasional kini dirangkap oleh Menteri Negara Agraria. Kedua lembaga tersebut dipimpin
oleh satu orang sebagai Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Dalam pelaksanaan tugasnya, Kantor Menteri Negara Agraria berkonsentrasi
merumuskan kebijakan yang bersifat koordinasi, sedangkan Badan Pertanahan Nasional
lebih berkonsentrasi pada hal-hal yang bersifat operasional. Pada 1994, Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1994, tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Staf Kantor Menteri Negara Agraria.

7. Periode 1999 – 2000


Pada 1999 terbit Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1999 tentang Perubahan
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988. Kepala Badan Pertanahan Nasional
dirangkap oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Pelaksanaan pengelolaan
pertanahan sehari-harinya dilaksanakan Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional.
8. Periode 2000 – 2006
Pada periode ini Badan Pertanahan Nasional beberapa kali mengalami perubahan struktur
organisasi. Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 tentang Badan Pertanahan
Nasional mengubah struktur organisasi eselon satu di Badan Pertanahan Nasional. Namun
yang lebih mendasar adalah Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang
Pelaksanaan Otonomi Daerah Dibidang Pertanahan. Disusul kemudian terbit Keputusan
Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan memposisikan BPN sebagai lembaga yang menangani kebijakan nasional di
bidang pertanahan.
9. Periode 2006 – 2013
Pada 11 April 2006 terbit Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional yang menguatkan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional, di mana
tugas yang diemban BPN RI juga menjadi semakin luas. BPN RI bertanggung jawab

13
langsung kepada Presiden, dan melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan
secara nasional, regional dan sektoral, dengan fungsi:
a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
e. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaandi bidang
pertanahan;
f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;pelaksanaan penatagunaan tanah,
reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;
h. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja
sama dengan Departemen Keuangan;
i. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah
10. Periode 2013 – 2015

Pada 2 Oktober 2013 terbit Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan
Pertanahan Nasional yang mengatur fungsi Badan Pertanahan Nasional sebagai berikut:
a. Penyusunan dan penetapan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
b. Pelaksanaan koordinasi kebijakan, rencana, program, kegiatan dan kerja sama di
bidang pertanahan;
c. Pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN RI;
d. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan;
e. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran
tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
f. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan
pengendalian kebijakan pertanahan;
g. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum dan penetapan hak tanah instansi;
h. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan sengketa
dan perkara pertanahan;
i. Pengawasan dan pembinaan fungsional atas pelaksanaan tugas di bidang pertanahan;
j. Pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan
informasi di bidang pertanahan;
k. Pelaksanaan pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
l. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
m. Pelaksanaan pembinaan, pendidikan, pelatihan, dan pengembangan sumber daya
manusia di bidang pertanahan; dan
n. Penyelenggaraan dan pelaksanaan fungsi lain di bidang pertanahan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

11. Periode 2015 – sekarang

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berubah menjadi Kementerian Agraria


dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17
Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria yang berfungsi  Tata Ruang  dan Peraturan
Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional yang ditetapkan pada
21 Januari 2015.

14
Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai Fungsi:
a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan dibidang tata ruang, infrastruktur
keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan, penataan
agraria/pertanahan, pengadaan tanah, pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan
tanah, serta penanganan masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang, dan tanah;
b. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang;
e. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang di daerah; dan
f. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai Fungsi:
a. Penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan;
b. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan;
c. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran
tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
d. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan
pengendalian kebijakan pertanahan;
e. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah;
f. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan penanganan
sengketa dan perkara pertanahan;
g. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPN;
h. Pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN;
i. Pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan
informasi di bidang pertanahan;
j. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; dan
k. Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.

15
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pada dasarnya sejarah hukum keagrariaan di Indonesia dibagi menjadi tiga fase yaitu
pada saat Indonesia belum merdeka, pada saat Indonesia telah merdeka. Hukum keagrariaan
di Indonesia juga beberapa kali terjadi perubahan mengingat bagaimana situasi dan kondisi
pada saat itu. Pada saat ini yang menjadi dasar hukum pertanahan di Indonesia yaitu UU No.5
Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria.
Badan Pertanahan Nasional atau yang sering kita dengar dengan BPN juga beberapa
kali mengalami perubahan melihat dari masa kepemimpinan tiap periode pemerintahan.
Tetapi terlepas dari itu Badan Pertanahan Nasional tetap memiliki tugas dan tanggung jawab
yang sama di tiap periode.
3.2. Saran
Semoga dengan pemaparan materi ini para pembaca dapat mengerti lebih dalam lagi
mengenai sejarah dan perkembangan keagrarian khususnya pada poin ini “Sejarah
Pertanahan di Indonesia ” agar masyarakat bangsa indonesia dapat lebih mngerti lagi
mengenai pengetahuan tentang keagrarian yang ada di indonesia begitu pula juga dengan
sejarahnya.

16
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi 1999
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama
Cet. Ke-2 2005

17

Anda mungkin juga menyukai