PENDAHULUAN
Di Indonesia tanah sering kali menjadi obyek sengketa dan perselisihan masyarakat.
Salah satu contoh kegiatan masyarakat yang dapat menyebabkan konflik yang berkaitan
dengan tanah yaitu jual beli tanah maupun tanah digunakan sebagai objek jaminan di
lembaga keuangan seperti bank. Pada dasarnya hal yang memicu adanya konflik tersebut
karena penjualan tanah tersebut tanpa adanya sertifikat yang jelas atau bahkan tanpa
1
adanya sertifikat. Di wilayah negara Indonesia sebagian besar tanah yang dimiliki
masyarakat belum bersertifikat dan umumnya terdapat di desa-desa dimana masyarakat
belum mengenal hukum pertanahan. Pada umumnya tanah-tanah yang ada masih berupa
pethuk saja.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan hukum agraria tentu tidak terlepas dari proses dan pergelutan yang
melatarbelakangi lahirnya hukum agraria. Artinya, dalam konteks Indonesia sejarah
hukum agraria merupakan salah satu bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia
yang berperan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita
dan tujuan Negara. Lebih lanjut, pendekatan sejarah hukum ini diperlukan lantaran
beberapa alasan berikut:
1. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan
kala dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil, yakni bentuk-
bentuk penampakan diri norma-norma hukum, maupun isi norma-norma hukum itu
sendiri (sumber-sumber hukum materil).
2. Norma-norma hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti melalui sejarah
hukum.
3. Pengetahuan yang memadai mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya merupakan
suatu pegangan penting bagi para yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata
umum.
4. Hukum diletakkan dalam perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai
suatu gejala historis terutama demi perlindungan hak asasi manusia terhadap
perbuatan semena-mena.
Merujuk pada alasan tersebut, berikut ini dilihat sejarah perkembangan hukum agraria.
Penjabarannya dimulai dari hukum agraria Romawi Kuno, hukum agraria era kolonial
dan sejarah pembentukan UUPA sebagai hukum agraria nasional.
3
prerogatif eksklusif orang kaya. Hukum agraria merupakan hasil dari upaya berkelanjutan
dari kaum miskin untuk mendapatkan beberapa bagian pada tanah publik. Ketika tanah
tersebut diduduki tanpa sewa, aspek hukumnya tidak lagi ketat. Ditambah, kebanyakan
legislasi agraria meniadakan hak istimewa yang menguntungkan yang dimiliki orang
yang memiliki power untuk mempertahankan tanah mereka. Hukum agraria dengan
mudah dilanggar bahkan secara diam-diam diabaikan. Pada tahun 486 SM, Spurius
Cassius Viscellinus mencoba mengeluarkan undang-undang yang menetapkan sejumlah
lahan baru di Gaul (Prancis) kepada orang miskin Roma. Namun, pengesahan undang-
undang tersebut dicegah oleh orang Roma sendiri. Hukum agraria awal yang sangat
dikenal adalah Rogations Licinian yang dikeluarkan oleh Caius Licinius Calvus Stolo
pada tahun 377 SM. Undang-undang tersebut membatasi secara ketat jumlah tanah yang
dipegang oleh setiap warga negara dan jumlah domba dan sapi yang digembalakan di
tanah publik. Pada akhirnya, undang-undang ini juga tidak dapat dilaksanakan. Sekitar
tahun, 233 SM, Caius Flaminius berhasil menetapkan beberapa tanah publik kepada
warga miskin. Upaya serius berikutnya untuk memperbaiki situasi yang semakin sulit
adalah Undang-Undang Sempronian pada tahun 133 SM yang dirancang oleh Tiberius
Gracchus Sempronius. UU ini mengadopsi ketentuan Rogations Licinian dan
menambahkan batas maksimum jumlah kelebihan untuk setiap anak. Setiap bagian yang
menjadi kelebihan dari batas maksimum diberikan kepada orang miskin.
4
kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian. Setelah kekuasaan VOC
berakhir, terjadi perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan
tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir sebagai akibat kebijakan yang dikeluarkan
pemerintahan Hindia Belanda melalui Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Daendles adalah menjual tanah-tanah rakyat Indonesia
kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri sehingga muncullah
istilah tanah partikelir. Tanah partikelir merupakan tanah eigendom yang mempunyai sifat
dan corak istimewa yakni adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan
yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Pemerintahan kemudian beralih ke
GubernurThomas Stanford Raffles pada tahun 1811. Pada masa Rafles semua tanah yang
berada di bawah kekuasaan pemerintah dinyatakan sebagai eigendom government.
Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak tanah atau lebih dikenal dengan
kebijakan Landrent.
Kebijakan ini berangkat dari hasil penelitian Rafles mengenai pemilikan tanah-tanah di
daerah swapraja di Jawa. Dia menemukan bahwa semua tanah adalah milik raja,
sedangkan rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah
berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan
atas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris. Dengan
demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya,
melainkan milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah
kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.
Pada tahun 1830, pemerintahan Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Johanes
van den Bosch. Bosch menetapkan kebijakan agraria yang dikenal dengan sistem Tanam
Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam
suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan
oleh pasar internasional pada waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada
pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun. Bagi rakyat yang tidak mempunyai
tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa
kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun. Adanya monopoli pemerintah dengan
sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam
lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai
tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan
mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha
swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa
5
adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong. Kebijakan hukum di bidang agraria di
zaman Hindia Belanda yang masih dirasakan sampai sekarang pengaruhnya adalah
diberlakukannya Agrarische Wet. AW ini merupakan undang-undang di negeri Belanda,
yang diterbitkan pada tahun 1870. Pemberlakuan AW di Indonesia dilsinyalisasi sebagai
respon terhadap keinginan perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang
pertanian untuk berkembang di Indonesia. Terbentuknya AW merupakan upaya desakan
dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang karena keberhasilan usahanya
mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk
menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tanah hutan di jawa yang belum
dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha di
bidang perkebunan besar. Terlihat jelas bahwa diberlakukannya AW bertujuan untuk
membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta
agar dapat berkembang di Hindia Belanda. Selain itu, AW juga bertujuan untuk: pertama,
memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan memberikan tanah-tanah
negara dengan hak Erfacht yang berjangka waktu lama, sampai 75 tahun dan
mengizinkan para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat. Kedua,
memperhatikan kepentingan rakyat asli dengan melindungi hak-hak tanah rakyat asli dan
memberikan kepada rakyat asli hak tanah baru (Agrarische eigendom). Tujuan
adanya Agrarische eigendom sebetulnya untuk memberikan kepada orang-orang
Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat
dibebani dengan hipotek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak
miliknya dengan menjadi Agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan. Untuk
pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan
keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit. Ketentuan-ketentuan AW
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan
yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang
kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB). AB hanya berlaku untuk Jawa
dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal
sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga berlaku untuk Jawa dan
Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk
daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura. Maksud dari adanya pernyataan
domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa
satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain
adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindi
6
Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) tanah negara bebas, yaitu tanah yang di
atasnya tidak ada hak penduduk bumi putera. 2) tanah negara tidak bebas, yaitu tanah
yang di atasnya ada hak penduduk maupun desa. Dalam praktiknya, pernyataan domein
mempunyai dua fungsi, yakni: pertama, sebagai landasan hukum bagi pemerintah
kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak-hak barat, misalnya hak eigendom,
hak opstal, dan hak erfacht. Kedua, untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila
negara berperkara, maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah,
tetapi piha lainlah yang wajib membuktikan haknya. Untuk diketahui bahwa hak rakyat
Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat
tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan Pasal 570 BW, maka dengan sekaligus
semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein negara). Yang
tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda, meliputi: a) tanah-
tanah daerah swapraja; b) tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain; c) tanah-tanah
partikulir; dan d) tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische eigendom). Selain AW,
KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan KUHPerdata yang berlaku di
Belanda, dengan beberapa perubahan diberlakukan di Indonesia, berdasarkan asas
konkordansi. Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam
KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan
ruang angkasa. Dalam buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas
tanah barat yang dikenal yaitu tanah eigendom, tanah hak opstal, tanah hak erfacht, dan
Tanah hak gebruis. Di samping hak atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah
dengan hak Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah hak adat.
Ada pula tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintah Hindia Belanda seperti agararische
eigendom, landerijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja, seperti
grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan hak-hak ciptaan pemerintha Hindia
Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya
lebih luas dari tanah-tanah hak adat. Tanah-tanah hak barat dapat dikatakan hampir
semuanya terdaftar pada Kantor Overschrijvings Ambtenar menurut Overschrijvings
Ordonantie S. 1834-1827 dan dipetakan oelh Kantor Kadaster menurut peraturan-
peraturan kadaster. Tanah hak barat ini tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak
dan kewajiban pemegang haknya, persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal mengenai
tanah yang dihaki, serta perolehannya, pembebanannya diatur menurut ketentuan-
ketentuan hukum tanah barat. Tanah-tanah hak adat hampir semuanya belum didaftar.
Tanah-tanah itu tunduk pada hukum adat yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang
7
terdiri atas apa yang disebut tanah ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat dan tanah
perorangan, seperti hak milik adat, merupakan sebagian terbesar ranah Hindi Belanda.
Untuk tanah-tanah hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerah swpraja Sumatera
Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja. Selanjutnya, pada masa
Penjajahan Jepang, kebijaksanaan pemanfaatan tanah dan penguasaan tanah tidak tertib
akibat kekacauaan di bidang pemerintahan. Selain itu, tujuan utama dari kebijakan di
bidang agraria adalah untuk menunjang kepentingan Jepang. Pada masa itu juga mulai
terjadi akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar dan usaha
pengembalian kembali perkebunan milik Belanda serta terjadi kerusakan fisik tanah
karena politik bumi hangus dan penggunaan tanah melampaui batas kemampuannya.
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah
bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara
yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.
8
tanah oleh masyarakat sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat yang
belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk
menduduki tanah. Sejak pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas negara Indonesia,
barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan
melakukan hal-hal berikut:
a) Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan tanah-
tanah perkebunan untuk usaha pertanian.
b) Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat
laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting
bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan
yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah pegunungan
sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.
c) Pemakaian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut
dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
d) Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan
kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1954 tentang
Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian diatur dalam
dua tahap. Pada tahap pertama terlebih dahulu diusahakan agar agenda segala sesuatu
dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan dengan
rakyat/penggarap. Tahap selanjutnya, apabila perundingan sebagaimana tidak berhasil,
maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersebut akan
mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan kepentingan rakyat dan kepentingan
penduduk, letak perkebunan yang bersangkutan; dan kedudukan perusahaan perkebunan
di dalam susunan perekonomuian negara. Agar pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat
berjalan dengan sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai berikut: a) kemungkinan
pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik
sebagian meupun seluruhnya, jika mereka dengan sengaja menghalangi upaya
penyelesaian; b) ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi; c)
ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih
terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini diberlakukan; dan d) ketentuan
tentang harus mengadakan pengosongan. Untuk mencegah pendudukan kembali tanah
perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan peraturan tentang larangan
pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor 51 Prp. Tahun
9
1960. Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum agraria, pemerintah
telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1956 tentang Penentuan Perusahaan
Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan
Hak Atas Tanah Perkebunan.
3) Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang Peraturan Pemerintah dan Tindakan-
tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4) Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda
yang kembali ke negerinya.
Lebih dari itu, Pemerintah Indonesia pada dasarnya melakukan upaya menyesuaikan
Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia merdeka.
Upaya yang dilakukan itu mencakup: 1) menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran
baru; 2) Penghapusan hak-hak konversi; 3) Penghapusan tanah partikelir; 4) Perubahan
peraturan persewaan tanah rakyat; 5) Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan
hak atas tanah; 6) Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan; 7)
Kenaikan Canon dan Cijn; 8) Larangan dan penyelesaian soal pemakaian tanah tanpa
izin; 9) Peraturan perjanjian bagi hasil; dan 10) Peralihan tugas dan wewen
10
Namun demikian, pada masa penjajahan Jepang dikeluarkan peraturan yang melarang
pemindahan hak atas benda tetap/ tanah (Osamu Sierei Nomor 2 Tahun 1942).
Penguasaan tanah partikelir juga dihapuskan oleh pemerintahan Dai Nippon.
11
yang bersumber dari hukum adat. Dengan ini pula Agrarische Wet dinyatakan dicabut
dan tidak berlaku. Tahun 1960 ini menandai berakhirnya dualisme hukum agraria di
Indonesia.
Pada 1964, meIalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964, ditetapkan tugas,
susunan, dan pimpinan Departemen Agraria. Peraturan tersebut nantinya disempurnakan
dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1965 yang mengurai tugas
Departemen Agraria serta menambahkan Direktorat Transmigrasi dan Kehutanan ke
dalam organisasi. Pada periode ini, terjadi penggabungan antara Kantor Inspeksi Agraria-
Departemen Dalam Negeri, Direktorat Tata Bumi-Departemen Pertanian, Kantor
Pendaftaran Tanah-Departemen Kehakiman.
12
Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tersebut, Badan Pertanahan Nasional bertanggung jawab
langsung kepada Presiden.
13
langsung kepada Presiden, dan melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan
secara nasional, regional dan sektoral, dengan fungsi:
a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
e. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaandi bidang
pertanahan;
f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;pelaksanaan penatagunaan tanah,
reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;
h. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja
sama dengan Departemen Keuangan;
i. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah
10. Periode 2013 – 2015
Pada 2 Oktober 2013 terbit Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan
Pertanahan Nasional yang mengatur fungsi Badan Pertanahan Nasional sebagai berikut:
a. Penyusunan dan penetapan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
b. Pelaksanaan koordinasi kebijakan, rencana, program, kegiatan dan kerja sama di
bidang pertanahan;
c. Pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN RI;
d. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan;
e. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran
tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
f. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan
pengendalian kebijakan pertanahan;
g. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum dan penetapan hak tanah instansi;
h. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan sengketa
dan perkara pertanahan;
i. Pengawasan dan pembinaan fungsional atas pelaksanaan tugas di bidang pertanahan;
j. Pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan
informasi di bidang pertanahan;
k. Pelaksanaan pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
l. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
m. Pelaksanaan pembinaan, pendidikan, pelatihan, dan pengembangan sumber daya
manusia di bidang pertanahan; dan
n. Penyelenggaraan dan pelaksanaan fungsi lain di bidang pertanahan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
14
Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai Fungsi:
a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan dibidang tata ruang, infrastruktur
keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan, penataan
agraria/pertanahan, pengadaan tanah, pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan
tanah, serta penanganan masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang, dan tanah;
b. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang;
e. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang di daerah; dan
f. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai Fungsi:
a. Penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan;
b. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan;
c. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran
tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
d. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan
pengendalian kebijakan pertanahan;
e. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah;
f. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan penanganan
sengketa dan perkara pertanahan;
g. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPN;
h. Pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN;
i. Pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan
informasi di bidang pertanahan;
j. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; dan
k. Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pada dasarnya sejarah hukum keagrariaan di Indonesia dibagi menjadi tiga fase yaitu
pada saat Indonesia belum merdeka, pada saat Indonesia telah merdeka. Hukum keagrariaan
di Indonesia juga beberapa kali terjadi perubahan mengingat bagaimana situasi dan kondisi
pada saat itu. Pada saat ini yang menjadi dasar hukum pertanahan di Indonesia yaitu UU No.5
Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria.
Badan Pertanahan Nasional atau yang sering kita dengar dengan BPN juga beberapa
kali mengalami perubahan melihat dari masa kepemimpinan tiap periode pemerintahan.
Tetapi terlepas dari itu Badan Pertanahan Nasional tetap memiliki tugas dan tanggung jawab
yang sama di tiap periode.
3.2. Saran
Semoga dengan pemaparan materi ini para pembaca dapat mengerti lebih dalam lagi
mengenai sejarah dan perkembangan keagrarian khususnya pada poin ini “Sejarah
Pertanahan di Indonesia ” agar masyarakat bangsa indonesia dapat lebih mngerti lagi
mengenai pengetahuan tentang keagrarian yang ada di indonesia begitu pula juga dengan
sejarahnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi 1999
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama
Cet. Ke-2 2005
17