Anda di halaman 1dari 24

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus : ……………………..
SMF ILMU PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA JAKARTA

Nama : Tanda tangan


Nim :
Dr. pembimbing : ……………..

I. IDENTITAS

Nama : Agama :
Umur : Jenis Kelamin :
Pekerjaan : Pendidikan :
Alamat : Status Menikah :

II. ANAMNESIS
Diambil secara :
Tanggal : Jam :

Keluhan Utama :

Keluhan Tambahan :
Riwayat Penyakit Sekarang :

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat Penyakit Keluarga :

PEMERIKSAAN FISIK :
Telinga

Kanan Kiri
Bentuk daun telinga
Kelainan congenital
Radang, Tumor
Nyeri tekan tragus
Penarikan daun telinga
Kelainan pre-, infra-,
retroaurikuler
Region mastoid
Liang telinga
Membrane tympani

Tes Penala

Kanan Kiri
Rinne
Weber
Swabach
Hidung
 Bentuk :
 Tanda peradangan :
 Daerah sinus frontalis dan maxilaris :
 Vestibulum :
 Cavum nasi :
 Konka inferior kanan/kiri :
 Meatus nasi inferior kanan/kiri :
 Konka medius kanan/kiri :
 Meatus nasi medius kanan/kiri :
 Septum nasi :

Rhinopharynx
 Koana :
 Septum nasi posterior :
 Muara tuba eustachius:
 Tuba eustachius :
 Torus tubarius :
 Post nasal drip :

Pemeriksaan Transiluminasi

Tenggorok
 Pharynx
 Dinding pharynx :
 Arcus :
 Tonsil :
 Uvula :
 Gigi :
 Lain-lain :
 Larynx
 Epiglottis :
 Plica aryepiglotis :
 Arytenoids :
 Ventricular bands :
 Pita suara :
 Rima glotidis :
 Cincin trachea :
 Sinus piliformis :
 Kelenjar limfe submandibular dan servical :

Resume
Dari anamnesa didapatkan:

Dari pemeriksaan fisik didapatkan pada:


 Telinga

 Hidung (termasuk pemeriksaan transiluminasi)


 Tenggorok

Diagnosa Banding

Working Diagnosis

Penatalaksanaan

Planning

Anjuran
Tinjauan Pustaka

I. Pendahuluan
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan
kedokteran, dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten daftar
obat-obatan ototoksik makin bertambah.1 Obat-obatan dan zat kimia dapat
mempengaruhi telinga dalam dan mekanisme pendengaran. Umumnya efek
yang muncul adalah gangguan vestibular dan pendengaran. Efek yang timbul
dapat bersifat reversibel atau ireversibel.2
Dari hasil ―WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia
termasuk 4 negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup
tinggi (4,6%), 3 negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%),
dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6%
adalah angka cukup tinggi, yang dapat menimbulkan masalah sosial di tengah
masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran
tahun 1994-1996 yang dilaksankan di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan
prevalensi gangguan pendengaran akibat obat ototoksik sebesar 0,3%.3
Tinnitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama
ototoksisitas. Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat
yang telah diketahui secara umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran
adalah golongan aminoglikosida, diuretik, Nonsteroidal antiinflamatory drugs
(NSAID), agen-agen kemoterapi, dan obat tetes telinga golongan
aminoglikosida.1,4 Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan
ototoksisitas kini sangat sering ditemukan oleh karena penggunaan obat-
obatan ototoksis yang semakin sering. Berhubung tidak ada pengobatan untuk
tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan menjadi lebih penting. Dalam
melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan penggunaan obat-
obatan ototoksik.1 Dengan mengetahui jenis obat dan mekanisme
ototoksiknya, diharapkan menjadi salah satu cara untuk mengurangi
prevalensi ototoksisitas di Indonesia.
Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala
vestibuli.1 Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus
koklearis).1

Gambar.1 Anatomi Telinga Dalam.5

Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi
endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa.
Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane)
sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak
organ Corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidahyang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel
rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.1
Proses Mendengar
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.1

Gambar.2 Proses Pendengaran.5

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibula bergerak. Getaran
diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius.1 Serabut-serabut saraf ini berjalan
menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis dan menuju kolikulus inferior kotralateral,tetapi
sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilanga berikutnya terjadi pada lemnikus
lateralis dan kolikulus inferior yang selanjutnya berlanjut ke korpus genikulatum dan
kemudian menuju ke korteks pedengaran di lobus temporalis.5

Mekanisme Ototoksik

Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk merusak struktur
dan/atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi pada struktur auditori dan/atau
vestibular telinga dalam.(Ballenger). Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik
akan dapat menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang
disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan
yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain :1,4

1. Degenerasi stria vaskularis

2. Degenerasi sel epitel sensori

3. Degenerasi sel ganglion


Berikut uraian beberapa preparat ototoksik dan mekanisme ototoksiknya:
a. Aminoglikosida

Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas terhadap


koklea dan vestibula. Penelitian terhadap hewan dan manusia mencatat terjadinya
akumulasi obat-obat ini secara progresif dalam perilimfe dan endolimfe telinga dalam.
Akumulasi terjadi bila konsentrasi obat dalam plasma tinggi. Waktu paruh amioglikosida
5-6 kali lebih lama di dalam cairan otik daripada di dalam plasma. Sebagian besar
ototoksisitas bersifat ireversibel dan terjadi akibat destruksi progresif sel-sel epitel
sensorik.6 Aminoglikosida dilaporkan menimbulkan kehilangan pendengaran pada 33%
individu yang diterapi dengan obat ini.7 Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada
organ corti melalui mekanisme mechano-electrical transducer channels, akan terbentuk
kompleks aminoglikosida dengan logam (Fe). Terbentuknya kompleks aminoglikosida-Fe
mengaktifkan substansi Reactive Oxygen Species (ROS), yaitu superoxide anion radical,
hydrogen peroxide, hydroxyl radical,peroxynitrite anion. Substansi-substansi tersebut
mengaktifkan JNK (c-Jun- N-terminal kinase) yang akan membuat mitokondria sel
sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Cyt c menginisiasi apoptosis sel. Kaskade inilah
yang menyebabkan hilangnya sel-sel rambut pada organ korti.7 Dengan dosis yang
meningkat serta pemajanan yang diperlama, kerusakan berkembang dari dasar koklea,
tempat suara berfrekuensi tinggi di proses, ke apeks, tempat suara berfrekuensi rendah di
proses. Aminoglikosida diduga juga mengganggu sistem transpor aktif yang penting untuk
mempertahankan kesetimbangan ion pada endolimfe. Jika sel sensorik hilang, regenerasi
tidak akan terjadi. Hal ini akan diikuti dengan degenerasi saraf pendengaran yang
memburuk, sehingga menyebabkan hilangnya pendengaran secara ireversibel.6

Gambar.3 Mekanisme Ototoksisitas Aminoglikosida (AG) pada Sel Rambut.7

Aminoglikosida lebih sering merusak sel rambut luar dari ordan korti dan sel rambut vestibular tipe 1.
Sel penunjang dan sel rambut dalam pada organ korti tidak terpengaruhi. Salah satu penyebab yang
mungkin dari pernyataan sebelumnya adalah kandungan antioksidan. Kadar glutathione, suatu
antioksidan endogen intraselular, pada sel rambut luar lebih rendah dibandingkan sel lainnya. Selain itu
terdapat gradien level glutathione dari basis ke apeks koklea. Sel rambut luar pada apeks koklea
memiliki kadar glutathione yang lebih tinggi dari sel rambut luar di basis koklea.
Gambar 4. Scanning dengan mikrograph elektron pada organ korti guinea pig ,
memperlihatkan kehilangan sel rambut setelah terapi aminoglikosida

Derajat terjadinya disfungsi permanen berkorelasi dengan jumlah sel-sel rambut sensorik
yang rusak dan berkaitan pula dengan lama pajanan obat. Penggunaan aminoglikosida
secara berulang, yang dalam setiap pemakaiannya menyebabkan hilangnya sel lebih banyak
lagi, dapat menyebabkan ketulian. Oleh karena jumlah sel menurun seiring bertambahnya
usia, pasien lanjut usia mungkin lebih rentan terhadap ototoksisitas. Obat seperti asam
etakrinat dan furosemid meningkatkan efek ototoksik aminoglikosida pada hewan coba.
Walaupun semua aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea maupun vestibula,
beberapa toksisitas khusus dapat terjadi. Streptomisin dan gentamisin terutama
menimbulkan efek pada vestibula, sementara amikasin, kanamisin, dan neomisin terutama
mempengaruhi fungsi pendengaran. Tobramisin memberikan pengaruh yang sama pada
keduanya. Selain itu, 75% pasien yang menerima 2 gram streptomisin selama lebih dari 60
hari menunjukkan gejala nistagmus atau ketidakseimbangan postural. Pasien yang
menerima dosis tinggi dan/atau pemakaian amioglikosida jangka panjang sebaiknya
dipantau.6 Gejala pertama dari toksisitas adalah timbulnya tinitus nada tinggi. Jika
pemakaian obat tidak dihentikan, gangguan pendengaran dapat terjadi setelah beberapa
hari. Suara mendenging ini dapat bertahan selama beberapa hari hingga 2 minggu setelah
terapi dihentikan. Oleh karena persepsi suara dalam rentang frekuensi tinggi (di luar
rentang pembicaraan normal) merupakan yang pertama hilang, maka individu yang
terganggu ini terkadang tidak sadar akan kesulitan ini, dan tidak akan dapat terdeteksi
kecuali dilakukan pemeriksaan audiometri.6

Pasien kebanyakan tidak akan memiliki keluhan gangguan pendengaran hingga


pada suatu saat mereka telah kehilangan 30 dB pada frekuensi 3000 Hz-4000 Hz.
Monitoring fungsi pendengaran penting pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal
atau pada pasie yang mendapatkan dosis terapi obat yang lebih tinggi dari dosis normal.
(Balenger) Pendekatan untuk memberikan perlindungan pada telinga akibat penggunaan
aminoglikosida (otoprotection) mencakup (1) upstream protection menggunakan
antioksidan, free-radical scavengers, metal chelators ; (2) downstream protection, seperti
minoksiklin.

Eritromisin

Merupakan antibiotik golongan makrolida. Eritromisin biasanya bersifat


bakteriostatik, tetapi dapat bakterisida dalam konsentrasi yang tinggi terhadap
mikroorganisme yang sangat rentan. Laporan ototoksisitas eritromisin pertama kali
dilaporka pada tahun 1972. Gangguan pendengaran sementara merupakan komplikasi yang
mungkin timbul dalam pengobatan menggunakan eritromisin. Hal ini teramati setelah
pemberian intravena eritromisin gluseptat atau laktobionat dosis tinggi ( 4 gr/hari) atau
konsumsi oral eritromisin estolat dosis tinggi.6 Mekanisme dari ototoksisitas eritromisin
belum sepenuhnya dimengerti dan lokasi kerusakan masih belum jelas diketahui. Beberapa
peneliti menyatakan kerusakan terjadi pada striae vaskularis, yang pada akhirnya
mengganggu potesial ionik. Peneliti lain menyatakan obat ini mempengaruhi jaras
pendengaran sentral. Faktor resiko untuk terjadinya ototoksisitas eritromisisin adalah
pasien dengan gangguan renal, hepar, dan lanjut usia.7Gejala pemberian eritromisin
intravena terhadap telinga adalah kurang pendengaran, tinitus subjektif, dan terkadang
vertigo. Pernah dilaporkan bahwa terjadi tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus
setelah pemberian IV dosis tinggi atau oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih
setelah pengobatan dihentikan. Antibiotika lain seperti Vankomisin, Viomisin, Minoksiklin
dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang terganggu fungsi
ginjalnya.1,2
Loop Diuretics

Ethycrynic acid, furosemid,dan bumetanid adalah diuretik kuat yang memblok


pompa Na+-K+-2Cl—di bagian asenden tebal ansa Henle, sehingga diuretikini disebut juga
sebagai diuretik loop.6 Ketiga obat yang tersebut di atas adalah obat yang paling ototoksik
dari golongan diuretik loop. Diuretik digunakan untuk memodifikasi komposisi dan/atau
volume dari cairan tubuh untuk menangani kondisi seperti hipertensi, gagal jantung
kongestif, gagal ginjal, sirosis dan sindrom nefrotik. Diuretik loop bekerja pada bagian
asending loop of Henle ginjal. Target kerja dari obat ini adalah protein soldium- potassium-
2 chloride (Na+-K+-2 Cl-) cotransporters. Protein ini ternyata banyak ditemukan pada sel
epitelial dan non-epitelial dan juga terlokalisasi pada stria vaskularis koklea. Inhibisi dari
kerja protein ko-transporter tersebut menyebabkan eksresi Na+ dari sel marginal ke ruang
intrastrial sehingga menimbulkan edema pada ruang intrastrial dan juga pada sel penyusun
stria vaskularis. Kondisi ini akan mempengaruhi potensial endokoklea, yang penting untuk
mempertahankan potensial sel rambut dalam batasan yang normal.9 Akan terjadi penurunan
potensial positif endolimfe. Furosemid dilaporkan memiliki efek langsung pada motilitas
sel rambut luar ( outer hair cell) yang akan menimbulkan disfungsi sensori.10 Diuretik
loop dapat menyebabkan munculnya gejala tinitus, gangguan pendengaran, ketulian,
vertigo, dan rasa ―penuh pada telinga. Gangguan pendengaran dan ketulian biasanya
bersifat reversibel, tetapi tidak selalu.

Gambar 5. Mekanisme Kerja Diuretik.6


Ototoksisitas paling sering terjadi pada pemberian intravena secara cepat dan sangat jarang
terjadi pada penggunaan oral, terlebih lagi bila diberikan pada pasien dengan insufisiensi
ginjal. Faktor resiko lainnya adalah pemberian IV secara cepat (≥ 25 mg/menit). Asam
etakrinat menginduksi ototoksisitas lebih sering dibandingkan diuretik lainnya. Bila
bersamaan digunakan bersama aminoglikosida, dapat memperberat ototoksisitas yang
muncul.1,6,10

Waktu paruh furosemid plasma adalah 45-92 menit pada orang sehat. Pada pasien dengan
gagal ginjal, waktu paruh obat ini memanjang menjadi 3 jam. Kadar plasma > 50 mg/L
berkaitan dengan munculnya gangguan pendengaran.

Obat Anti Inflamasi

Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas adalah obat-obat anti
inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai analgetik-antipiretik, anti-inflamasi,
dan pencegah trombosis serebral. NSAID diketahui menghambat metabolisme asam
arakidonat menjadi prostaglandin. Namun, ternyata NSAID juga menghambat derivat non-
prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion lipofilik, dan bila pH semakin rendah
(daerah inflamasi biasanya pH asam) maka semakin besar kelarutannya. Asam
asetilsalisilat (Aspirin) secara umum menghambat translokasi anion melewati membran sel,
yang berkontribusi pada munculnya ototoksisitas obat ini. Singkatnya, salisilat
meenghambat protein membran (prestin) dari sel rambut luar koklea memfasilitasi
elektromotilitas melalui translokasi transmembran dari anion monovalen seperti Cl-,
sehingga mempengaruhi daya choclear amplifier. Penelitian pada tulang temporal pasien
yang sebelumnya telah diterapi dengan salisilat menunjukkan struktur koklea yang normal.
Hal ini menyatakan bahwa efek ototoksisitas obat ini adalah reversibel.9 Konsentrasi serum
asam salisilat 20-50 mg/dL berhubungan dengan kehilangan pendengaran > 30 dB.
Gangguan pendengaran yang ditemukan adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi dan
tinitus. Namun apabila pengobatan dihentikan pendengaran akan pulih kembali dan tinitus
menghilang.1,9

Obat Anti Malaria


Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan. 1 Pemberian
klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian yang tinggi (> 250 mg) untuk
mengobati penyakit-penyakit selain malaria dapat mengakibatkan ototoksisitas.6
Ototoksisitas terjadi pula bila obat diberikan secara parenteral, misalnya pada malaria
serebral. Efek ototoksisnya berupa gangguan pendengaran dan tinitus. Namun bila
pengobatan dihentikan maka pendengaran akan pulih kembali dan tinitus hilang. Klorokuin
dan kina dapat melalui plasenta sehingga dapat terjadi tuli kongenital dan hipoplasia
koklea.1 Kuinin juga dilaporkan menimbulkan gangguan pendengaran bila digunakan
dalam jangka waktu yang panjang dan dengan dosis tinggi. Dosis oral kuinin yang fatal
untuk dewasa adalah 2-8 gram. Kerusakan N.VIII menimbulkan tinitus, berkurangnya
ketajaman pendengaran, dan vertigo.6

Obat Anti Tumor

Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang umum digunakan dalam terapi tumor
ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepala- leher. Seperti banyak agen neoplastik
lain, cisplatin dapat menyebabkan efek-efek yang tidak diinginkan antara lain ototoksisitas.
Efek ini terjadi pada 30% pasien yang diterapi dan pada akhirnya menimbulkan ketulian
permanen/reversibel. Banyak studi penelitian menyatakan cisplatin menyebabkan kematian
sel rambut yang merupakan organ sensori penting. Setelah diinjeksi secara sistemik,
cisplatin terakumulasi di cairan telinga dalam dan diabsorbsi oleh sel epitel telinga.
Platinated DNA ditemukan pada sel rambut dan sel-sel penunjang. Pajanan cisplatin juga
meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS) di dalam sel rambut dan menyebabkan
pengeluaran sitokin-sitokin tertentu. Namun, studi lain menyatakan target primer cisplatin
masih belum jelas, sel rambut ataukah tipe sel epitel sensori telinga lain. Penelitian
sebelumnya menyebutkan terapi cisplatin menginduksi perubahan struktural pada sel-sel
penunjang koklea.11
Gambar 6. Kehilangan sel rambut setelah 24 jam terapi cisplatin pada
koklea hewan.11

Gambar 7. Kehilangan sel rambut ujung distal lebih sering ( daerah


frekuensi rendah) terapi cisplatin pada hewan.11

Dari hasil penelitian pada sel rambut koklea hewan, didapatkan bahwa terapi
dengan cisplatin menyebabkan kehilangan progresif stereosilia, dimulai dari distal/basal ke
proksimal/apikal (distal-to-proximal pattern).11 Pola kerusakan ini berkaitan erat dengan
dimulainya penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi tinggi terlebih dahulu. Selain itu
cisplatin juga menimbulkan kerusakan pada stria vaskularis. Sejak pertama kali
dikenalkan, dosis standar cisplatin adalah 50 mg/m 2 . Peningkatan pemberian dosis
menimbulkan peningkatan kejadian dan derajat gangguan pendengaran. Dilaporkan bahwa
pada pasien yang mendapatkan terapi cisplatin 150-225 mg/m2 mengalami gangguan
pendengaran. Gangguan pendengaran biasanya terjadi secara bilateral dan muncul pertama
kali pada frekuensi tinggi ( 6000 Hz dan 8000 Hz). Penurunan ke frekuensi yang lebih
rendah ( 2000 Hz dan 4000 Hz) dapat terjadi bila terapi dilanjutkan. Gejala ototoksisitas
dapat menjadi lebih berat setelah pemberian obat melalui bolus injeksi. Efek ototoksik
dapat dikurangi dengan cara pemberian secara lambat (slow infusion) dan pembagian dosis.
(Balleger).

Anti Fungal

Efek ototoksik dari beberapa obat yaitu aminoglikosida, makrolida, diuretik loop,
cisplatin, salisilat, dan kloroquin sudah diketahui secara jelas. Namun terdapat data yang
terbatas mengenai ototoksisitas dari agen antifungal topikal.(CEO)

Obat Tetes Telinga

Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida seperti


Neomisin dan Polimiksin B. Terjadiya ketulian oleh karena obat tersebut dapat menembus
membran tingkap bundar (round window membrane). Walaupun membran tersebut pada
manusia lebih tebal 3 x dibandingkan pada baboon (semacam monyet besar) (± > 65
mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus obat-obatan tersebut. 1 Obat tetes
telinga diindikasikan untuk pasien yang menderita infeksi telinga luar. Beberapa laporan
pada literatur menguraikan gejala ototoksisitas muncul setelah pemberian agen ototopikal
pada pasien dengan perforasi membran timpani. Jalur untuk obat ototopikal melewati
telinga tengah ke telinga dalam adalah melewati tingkap bundar dan menuju perilimfe skala
timpani. Membran tingkap bundar terdiri atas 3 lapisan yang mengandung
micropinocytotic vesicles. Vesikel ini memberikan jalan pada banyak substansi, misalnya
elektrolit, peroksidase, dan albumin. Masuknya substansi tersebut melalui 3 mekanisme
yaitu difusi, transpor inter-epitelial, dan transpor-intraepitelial. Permeabilitas membran
tingkap bundar ditemukan secara eksperimental meningkat 48jam setelah munculnya
infeksi telinga tengah. Selama infeksi kronis (OMSK), membran tingkap bundar menjadi
lebih tebal akibat deposisi dari jaringan ikat dan juga terbentuknya mucosal web. Hal ini
menyebabka membran mejadi kurang permeabel selama inflamasi kronik berlangsung.12
Ototoksisitas dari penggunaan topikal tetes telinga menampakkan derajat yang bervariasi
dalam derajat toksisitas vestibular dan koklea. Contohnya, pada pasien dengan kadar
plasma aminoglikosida yang tinggi (dalam jangka waktu yang lama), akan terjadi
kerusakan vestibulo-koklea. Namun, pada kadar teraupetikya (kadar plasma normal), pada
beberapa pasien aminoglikosida dapat menimbulkan ototoksisitas Hal ini disebabkan
aminoglikosida dapat berada di telinga dalam, terbebas dari ekresi renal atau metabolisme
hepar. Preparat topikal telinga yang memiliki efek protektif terhadap koklea dan vestibular
adalah iron chelator, salisilat, kortikosteroid, leupeptin, dan asam lipoik alfa.12

Faktor Resiko

Faktor resiko yang paling umum untuk menimbulkan gangguan pendengaran akibat
pemakaian obat ototoksik antara lain : ( ototoxic drug WHO)

1. Usia lanjut

2. Neonatus

3. Dosis harian dan rute pemberian obat

4. Rute pemberian obat ototoksik penting dalam menentukan onset kerusakan


pendengaran. Rute yang paling berbahaya hingga paling aman berturut-turut adalah
intraspinal, kemudian intravena, intramuskular, perkutaneus, dan oral.

5. Pajanan dalam jangka waktu yang lama oleh obat ototoksik

6. Kehamilan

7. Gagal ginjal

8. Insufisiensi hepar

9. Bekerja di lingkungan bising

10. Penggunaan bersamaan dengan obat ototoksik lainnya ( biasanya pada diuretik)

Gejala Ototoksik
Tinitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas.
Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar
antara 4 KHz sampai 6 KHz. Pada kerusakan yangmenetap, tinitus lama kelamaan tidak
begitu kuat, tetapi juga tidak pernah hilang.1 Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus
yang kuat dalam beberapa menit setelah penyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus
yang tidak begitu berat dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif
dengan hanya disertai tinitus ringan. Tinitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat
terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan oleh loop
diuretic dapat pulih kembali dengan menghentikan pengobatan segera. Tuli ringan juga
pernah dilaporkan sebagai akibat aminoglikosida, tetapi biasanya menetap atau hanya
sebagian yang pulih kembali. Kurang pendengaran yang disebabkan oleh pemberian
antibiotika biasanya terjadi setelah 3 atau 4 hari.1
Tuli akibat ototoksik dapat menetap hingga berbulan-bulan setelah pengobatan
selesai. Biasanya tuli bersifat bilateral. Kurang pendengaran akibat pemakaian obat
ototoksik bersifat sensorineural. Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri
penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram, sedangka diuretik
menghsilkan gambaran audiogram yang mendatar atau sedikit menurun. Selain itu tidak
jarang terdapat pula gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasi pandangan,
terutama setelah perubahan posisi.1

Pemeriksaan Audiologi
Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan audiologi.
Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE) mendeteksi secara dini
gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik dibandingkan dengan kovensional Pure-
tone threshold testing.13
Ultra High Frequency Audiometry (Ultra-HFA)
Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar di bagian basal dari
koklea. HFA merupakan tes hantaran udara (air-conduction threshold testing ) untuk
frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar di atas 16 atau 20 kHz. HFA dapat mendeteksi gangguan
pendengaran akibat aminoglikosida atau cisplatin. Oleh karena itu HFA saat ini umum
digunakan untuk memonitoring kasus-kasus ototoksisitas.10 High Frequency Audiometry
tidak dipengaruhi oleh otitis media. Berbeda dengan OAE yang hasil pemeriksaannya
sangat dipengaruhi oleh kondisi patologis pada telinga tengah, misalnya otitis media.10
Otoacoustic emission (OAE)
Merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel rambut luar yang dipancarkan
dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh serabut saraf eferen dan
mempunyai elektromotilitas, sehingga pergerakan sel-sel rambut akan menginduksi
depolarisasi. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan probe ke dalam liang
telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara yang berfungsi
untuk memberikan stimulus suara. Mikrofon berfungsi untuk menangkap suara yang
dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus. Otoacoustic emission dibagi mejadi 2
kelompok, yaitu :1
Spontanneus Otoacoustic Emission (SOAE)
Evoked Otoacoustic Emission ( EOAE)
Evoked Otoacoustic Emission merupakan respon koklea yang timbul dengan adanya
stimulus suara. Terdapat 3 jenis, yaitu : 1). Stimulus-frequency Otoacoustic Emission; 2).
Transiently-evoked Otoacoustic Emission (TEOAE); 3). Distortion-product Otoacoustic
Emission (DPOAE).1

Gambar 8. Distortion-product Otoacoustic Emission (DPOAE).13


Untuk gangguan pendengaran akibat obat ototoksik DPOAE efektif untuk deteksi dini. DPOAE
menggunakan stimulus dua nada murni (F1,F2) dengan frekuensi tertentu.1,13

Pure Tone Audiometry (Audiometri nada murni )

Audiometri Nada Murni juga dapat mendeteksi adanya gangguan pendengaran akibat obat
ototoksik. Akan didapatkan tuli sensorineural frekuensi tinggi pada audiogram.13

Gambar 9. Audiometri Nada Murni pada pasien dengan terapi

cisplatin.13

Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada
waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalan setelah dilakukan
pemeriksaan audiometri, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera
dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan
lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal, renal,
serta sifat obat itu sendiri juga mempengaruhi kemunculan gejala ototoksik. 1 Apabila
ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain denga alat bantu
dengar, psikoterapi, auditory training, belajar berkomunikasi total dengan belajar membaca
bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan
koklea.1,13

Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan
menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan
penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping
secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga dalam seperti
tinitus, kurang pendengaran, dan vertigo.Pada pasien yang telah menunjukkan gejala-gejala
tersebut harus dilakukan evaluasi audiologi dan menghentikan pengobatan.1
Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya pengobatan,
serta kerentanan pasien. Pada umumnya pronosis tidak begitu baik malah mungkin buruk.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan audiometri
yang didapatkan dapat saya simpulkan bahwa pasien ini mengalami gangguan pendengaran
yang disebabkan oleh ada nya obat ototoksik. Dimana pasien rutin mengkonsumsi obat anti
diuretik yang diketahui memiliki efek ototoksik kepada telinga walaupun tidak semua
orang akan mengalaminya.

Daftar Pustaka

1. Soetirto, Indro, Bramantyo, B., dan Bashirudin, J. Gangguan pendengaran


akibat obat ototoksik. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI,
2001, h. 53 – 56

2. Rybak, Leonard P., Touliatos, John. Ototoxicity. Dalam: Snow, James B.,
Ballenger, John J, Ed. Ballenger’s Otorhinolaryngology head and neck
surgery. Edisi ke-16, Spain: Williams & Wilkins, 1996, h. 374 – 378.

3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Rencana strategi nasional


penanggulangan gangguan pedengaran dan ketulian untuk mencapai sound
hearing 2030. 2006, h.4-5.

4. Miller, Monica L., Blakenship, Crystal. Ototoxicity. Dalam Tisdale J, Miller


D. Drug-induced disease. Edisi kedua.America:ASHP, 2010, h.1049-1054.

5. Guyton, A.C, Hall, J.E. Indra pendengaran. Dalam : Guyton and hall buku
ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-sebelas, Jakarta:EGC, 2007, h.688-689.

6. Chambers, Henry F. Senyawa antimikroba aminoglikosida. Dalam : Hardman


Joel, Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2. Jakarta :
EGC,2007, h. 1195-1204.

7. Reiter RJ, Tan D, Korkmaz A, Fuentes BL. Drug-mediated ototoxicity and


tinnitus: alleviation with melatonin. Journal of Physiology and Pharmacology.
2011, h. 1-7.

8. Chambers, Henry F. Senyawa antimikroba makrolida. Dalam : Hardman Joel,


Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2. Jakarta : EGC,2007, h.
1230-1231.

9. Durrant JD, Campbell K, Fausti S, Guthrie O, Jacobson G, Poling G.


Ototoxicity monitoring. American Academy of Audiology Position Statement
and Clinical Practice Guidelines. 2009, hal. 5-25.

10. Van der Heijden AJ, Tibboel D, Bogers AJ. Cohen AF, Helbing WA. Optimal
furosemid therapy in critically ill infants. 2007, h. 15-16.

11. Slattery Eric L, dan Warchol Mark E. Cisplatin ototoxicity blocks sensory
regeneration avian inner ear. The Journal of Neuroscience.2010, hal. 1-5.

12. Haynes DS, Rutka J, Hawke M, Roland PS. Ototoxicity of ototopical drops-an
update. Otolaryngologic Clinics of North America. 2007, hal. 670-675.

13. Martin DK, Gordon JS, Reavis KM, Wilmington DJ, Fausti SA. Audiological
monitoring of patient receiving ototoxicity drugs.
14. American Speechlanguage Hearing Association.2005, hal. 2-4.

Anda mungkin juga menyukai