KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus : ……………………..
SMF ILMU PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA JAKARTA
I. IDENTITAS
Nama : Agama :
Umur : Jenis Kelamin :
Pekerjaan : Pendidikan :
Alamat : Status Menikah :
II. ANAMNESIS
Diambil secara :
Tanggal : Jam :
Keluhan Utama :
Keluhan Tambahan :
Riwayat Penyakit Sekarang :
PEMERIKSAAN FISIK :
Telinga
Kanan Kiri
Bentuk daun telinga
Kelainan congenital
Radang, Tumor
Nyeri tekan tragus
Penarikan daun telinga
Kelainan pre-, infra-,
retroaurikuler
Region mastoid
Liang telinga
Membrane tympani
Tes Penala
Kanan Kiri
Rinne
Weber
Swabach
Hidung
Bentuk :
Tanda peradangan :
Daerah sinus frontalis dan maxilaris :
Vestibulum :
Cavum nasi :
Konka inferior kanan/kiri :
Meatus nasi inferior kanan/kiri :
Konka medius kanan/kiri :
Meatus nasi medius kanan/kiri :
Septum nasi :
Rhinopharynx
Koana :
Septum nasi posterior :
Muara tuba eustachius:
Tuba eustachius :
Torus tubarius :
Post nasal drip :
Pemeriksaan Transiluminasi
Tenggorok
Pharynx
Dinding pharynx :
Arcus :
Tonsil :
Uvula :
Gigi :
Lain-lain :
Larynx
Epiglottis :
Plica aryepiglotis :
Arytenoids :
Ventricular bands :
Pita suara :
Rima glotidis :
Cincin trachea :
Sinus piliformis :
Kelenjar limfe submandibular dan servical :
Resume
Dari anamnesa didapatkan:
Diagnosa Banding
Working Diagnosis
Penatalaksanaan
Planning
Anjuran
Tinjauan Pustaka
I. Pendahuluan
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan
kedokteran, dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten daftar
obat-obatan ototoksik makin bertambah.1 Obat-obatan dan zat kimia dapat
mempengaruhi telinga dalam dan mekanisme pendengaran. Umumnya efek
yang muncul adalah gangguan vestibular dan pendengaran. Efek yang timbul
dapat bersifat reversibel atau ireversibel.2
Dari hasil ―WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia
termasuk 4 negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup
tinggi (4,6%), 3 negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%),
dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6%
adalah angka cukup tinggi, yang dapat menimbulkan masalah sosial di tengah
masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran
tahun 1994-1996 yang dilaksankan di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan
prevalensi gangguan pendengaran akibat obat ototoksik sebesar 0,3%.3
Tinnitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama
ototoksisitas. Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat
yang telah diketahui secara umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran
adalah golongan aminoglikosida, diuretik, Nonsteroidal antiinflamatory drugs
(NSAID), agen-agen kemoterapi, dan obat tetes telinga golongan
aminoglikosida.1,4 Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan
ototoksisitas kini sangat sering ditemukan oleh karena penggunaan obat-
obatan ototoksis yang semakin sering. Berhubung tidak ada pengobatan untuk
tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan menjadi lebih penting. Dalam
melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan penggunaan obat-
obatan ototoksik.1 Dengan mengetahui jenis obat dan mekanisme
ototoksiknya, diharapkan menjadi salah satu cara untuk mengurangi
prevalensi ototoksisitas di Indonesia.
Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala
vestibuli.1 Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus
koklearis).1
Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi
endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa.
Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane)
sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak
organ Corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidahyang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel
rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.1
Proses Mendengar
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.1
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibula bergerak. Getaran
diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius.1 Serabut-serabut saraf ini berjalan
menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis dan menuju kolikulus inferior kotralateral,tetapi
sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilanga berikutnya terjadi pada lemnikus
lateralis dan kolikulus inferior yang selanjutnya berlanjut ke korpus genikulatum dan
kemudian menuju ke korteks pedengaran di lobus temporalis.5
Mekanisme Ototoksik
Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk merusak struktur
dan/atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi pada struktur auditori dan/atau
vestibular telinga dalam.(Ballenger). Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik
akan dapat menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang
disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan
yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain :1,4
Aminoglikosida lebih sering merusak sel rambut luar dari ordan korti dan sel rambut vestibular tipe 1.
Sel penunjang dan sel rambut dalam pada organ korti tidak terpengaruhi. Salah satu penyebab yang
mungkin dari pernyataan sebelumnya adalah kandungan antioksidan. Kadar glutathione, suatu
antioksidan endogen intraselular, pada sel rambut luar lebih rendah dibandingkan sel lainnya. Selain itu
terdapat gradien level glutathione dari basis ke apeks koklea. Sel rambut luar pada apeks koklea
memiliki kadar glutathione yang lebih tinggi dari sel rambut luar di basis koklea.
Gambar 4. Scanning dengan mikrograph elektron pada organ korti guinea pig ,
memperlihatkan kehilangan sel rambut setelah terapi aminoglikosida
Derajat terjadinya disfungsi permanen berkorelasi dengan jumlah sel-sel rambut sensorik
yang rusak dan berkaitan pula dengan lama pajanan obat. Penggunaan aminoglikosida
secara berulang, yang dalam setiap pemakaiannya menyebabkan hilangnya sel lebih banyak
lagi, dapat menyebabkan ketulian. Oleh karena jumlah sel menurun seiring bertambahnya
usia, pasien lanjut usia mungkin lebih rentan terhadap ototoksisitas. Obat seperti asam
etakrinat dan furosemid meningkatkan efek ototoksik aminoglikosida pada hewan coba.
Walaupun semua aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea maupun vestibula,
beberapa toksisitas khusus dapat terjadi. Streptomisin dan gentamisin terutama
menimbulkan efek pada vestibula, sementara amikasin, kanamisin, dan neomisin terutama
mempengaruhi fungsi pendengaran. Tobramisin memberikan pengaruh yang sama pada
keduanya. Selain itu, 75% pasien yang menerima 2 gram streptomisin selama lebih dari 60
hari menunjukkan gejala nistagmus atau ketidakseimbangan postural. Pasien yang
menerima dosis tinggi dan/atau pemakaian amioglikosida jangka panjang sebaiknya
dipantau.6 Gejala pertama dari toksisitas adalah timbulnya tinitus nada tinggi. Jika
pemakaian obat tidak dihentikan, gangguan pendengaran dapat terjadi setelah beberapa
hari. Suara mendenging ini dapat bertahan selama beberapa hari hingga 2 minggu setelah
terapi dihentikan. Oleh karena persepsi suara dalam rentang frekuensi tinggi (di luar
rentang pembicaraan normal) merupakan yang pertama hilang, maka individu yang
terganggu ini terkadang tidak sadar akan kesulitan ini, dan tidak akan dapat terdeteksi
kecuali dilakukan pemeriksaan audiometri.6
Eritromisin
Waktu paruh furosemid plasma adalah 45-92 menit pada orang sehat. Pada pasien dengan
gagal ginjal, waktu paruh obat ini memanjang menjadi 3 jam. Kadar plasma > 50 mg/L
berkaitan dengan munculnya gangguan pendengaran.
Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas adalah obat-obat anti
inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai analgetik-antipiretik, anti-inflamasi,
dan pencegah trombosis serebral. NSAID diketahui menghambat metabolisme asam
arakidonat menjadi prostaglandin. Namun, ternyata NSAID juga menghambat derivat non-
prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion lipofilik, dan bila pH semakin rendah
(daerah inflamasi biasanya pH asam) maka semakin besar kelarutannya. Asam
asetilsalisilat (Aspirin) secara umum menghambat translokasi anion melewati membran sel,
yang berkontribusi pada munculnya ototoksisitas obat ini. Singkatnya, salisilat
meenghambat protein membran (prestin) dari sel rambut luar koklea memfasilitasi
elektromotilitas melalui translokasi transmembran dari anion monovalen seperti Cl-,
sehingga mempengaruhi daya choclear amplifier. Penelitian pada tulang temporal pasien
yang sebelumnya telah diterapi dengan salisilat menunjukkan struktur koklea yang normal.
Hal ini menyatakan bahwa efek ototoksisitas obat ini adalah reversibel.9 Konsentrasi serum
asam salisilat 20-50 mg/dL berhubungan dengan kehilangan pendengaran > 30 dB.
Gangguan pendengaran yang ditemukan adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi dan
tinitus. Namun apabila pengobatan dihentikan pendengaran akan pulih kembali dan tinitus
menghilang.1,9
Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang umum digunakan dalam terapi tumor
ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepala- leher. Seperti banyak agen neoplastik
lain, cisplatin dapat menyebabkan efek-efek yang tidak diinginkan antara lain ototoksisitas.
Efek ini terjadi pada 30% pasien yang diterapi dan pada akhirnya menimbulkan ketulian
permanen/reversibel. Banyak studi penelitian menyatakan cisplatin menyebabkan kematian
sel rambut yang merupakan organ sensori penting. Setelah diinjeksi secara sistemik,
cisplatin terakumulasi di cairan telinga dalam dan diabsorbsi oleh sel epitel telinga.
Platinated DNA ditemukan pada sel rambut dan sel-sel penunjang. Pajanan cisplatin juga
meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS) di dalam sel rambut dan menyebabkan
pengeluaran sitokin-sitokin tertentu. Namun, studi lain menyatakan target primer cisplatin
masih belum jelas, sel rambut ataukah tipe sel epitel sensori telinga lain. Penelitian
sebelumnya menyebutkan terapi cisplatin menginduksi perubahan struktural pada sel-sel
penunjang koklea.11
Gambar 6. Kehilangan sel rambut setelah 24 jam terapi cisplatin pada
koklea hewan.11
Dari hasil penelitian pada sel rambut koklea hewan, didapatkan bahwa terapi
dengan cisplatin menyebabkan kehilangan progresif stereosilia, dimulai dari distal/basal ke
proksimal/apikal (distal-to-proximal pattern).11 Pola kerusakan ini berkaitan erat dengan
dimulainya penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi tinggi terlebih dahulu. Selain itu
cisplatin juga menimbulkan kerusakan pada stria vaskularis. Sejak pertama kali
dikenalkan, dosis standar cisplatin adalah 50 mg/m 2 . Peningkatan pemberian dosis
menimbulkan peningkatan kejadian dan derajat gangguan pendengaran. Dilaporkan bahwa
pada pasien yang mendapatkan terapi cisplatin 150-225 mg/m2 mengalami gangguan
pendengaran. Gangguan pendengaran biasanya terjadi secara bilateral dan muncul pertama
kali pada frekuensi tinggi ( 6000 Hz dan 8000 Hz). Penurunan ke frekuensi yang lebih
rendah ( 2000 Hz dan 4000 Hz) dapat terjadi bila terapi dilanjutkan. Gejala ototoksisitas
dapat menjadi lebih berat setelah pemberian obat melalui bolus injeksi. Efek ototoksik
dapat dikurangi dengan cara pemberian secara lambat (slow infusion) dan pembagian dosis.
(Balleger).
Anti Fungal
Efek ototoksik dari beberapa obat yaitu aminoglikosida, makrolida, diuretik loop,
cisplatin, salisilat, dan kloroquin sudah diketahui secara jelas. Namun terdapat data yang
terbatas mengenai ototoksisitas dari agen antifungal topikal.(CEO)
Faktor Resiko
Faktor resiko yang paling umum untuk menimbulkan gangguan pendengaran akibat
pemakaian obat ototoksik antara lain : ( ototoxic drug WHO)
1. Usia lanjut
2. Neonatus
6. Kehamilan
7. Gagal ginjal
8. Insufisiensi hepar
10. Penggunaan bersamaan dengan obat ototoksik lainnya ( biasanya pada diuretik)
Gejala Ototoksik
Tinitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas.
Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar
antara 4 KHz sampai 6 KHz. Pada kerusakan yangmenetap, tinitus lama kelamaan tidak
begitu kuat, tetapi juga tidak pernah hilang.1 Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus
yang kuat dalam beberapa menit setelah penyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus
yang tidak begitu berat dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif
dengan hanya disertai tinitus ringan. Tinitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat
terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan oleh loop
diuretic dapat pulih kembali dengan menghentikan pengobatan segera. Tuli ringan juga
pernah dilaporkan sebagai akibat aminoglikosida, tetapi biasanya menetap atau hanya
sebagian yang pulih kembali. Kurang pendengaran yang disebabkan oleh pemberian
antibiotika biasanya terjadi setelah 3 atau 4 hari.1
Tuli akibat ototoksik dapat menetap hingga berbulan-bulan setelah pengobatan
selesai. Biasanya tuli bersifat bilateral. Kurang pendengaran akibat pemakaian obat
ototoksik bersifat sensorineural. Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri
penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram, sedangka diuretik
menghsilkan gambaran audiogram yang mendatar atau sedikit menurun. Selain itu tidak
jarang terdapat pula gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasi pandangan,
terutama setelah perubahan posisi.1
Pemeriksaan Audiologi
Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan audiologi.
Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE) mendeteksi secara dini
gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik dibandingkan dengan kovensional Pure-
tone threshold testing.13
Ultra High Frequency Audiometry (Ultra-HFA)
Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar di bagian basal dari
koklea. HFA merupakan tes hantaran udara (air-conduction threshold testing ) untuk
frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar di atas 16 atau 20 kHz. HFA dapat mendeteksi gangguan
pendengaran akibat aminoglikosida atau cisplatin. Oleh karena itu HFA saat ini umum
digunakan untuk memonitoring kasus-kasus ototoksisitas.10 High Frequency Audiometry
tidak dipengaruhi oleh otitis media. Berbeda dengan OAE yang hasil pemeriksaannya
sangat dipengaruhi oleh kondisi patologis pada telinga tengah, misalnya otitis media.10
Otoacoustic emission (OAE)
Merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel rambut luar yang dipancarkan
dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh serabut saraf eferen dan
mempunyai elektromotilitas, sehingga pergerakan sel-sel rambut akan menginduksi
depolarisasi. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan probe ke dalam liang
telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara yang berfungsi
untuk memberikan stimulus suara. Mikrofon berfungsi untuk menangkap suara yang
dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus. Otoacoustic emission dibagi mejadi 2
kelompok, yaitu :1
Spontanneus Otoacoustic Emission (SOAE)
Evoked Otoacoustic Emission ( EOAE)
Evoked Otoacoustic Emission merupakan respon koklea yang timbul dengan adanya
stimulus suara. Terdapat 3 jenis, yaitu : 1). Stimulus-frequency Otoacoustic Emission; 2).
Transiently-evoked Otoacoustic Emission (TEOAE); 3). Distortion-product Otoacoustic
Emission (DPOAE).1
Audiometri Nada Murni juga dapat mendeteksi adanya gangguan pendengaran akibat obat
ototoksik. Akan didapatkan tuli sensorineural frekuensi tinggi pada audiogram.13
cisplatin.13
Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada
waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalan setelah dilakukan
pemeriksaan audiometri, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera
dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan
lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal, renal,
serta sifat obat itu sendiri juga mempengaruhi kemunculan gejala ototoksik. 1 Apabila
ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain denga alat bantu
dengar, psikoterapi, auditory training, belajar berkomunikasi total dengan belajar membaca
bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan
koklea.1,13
Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan
menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan
penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping
secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga dalam seperti
tinitus, kurang pendengaran, dan vertigo.Pada pasien yang telah menunjukkan gejala-gejala
tersebut harus dilakukan evaluasi audiologi dan menghentikan pengobatan.1
Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya pengobatan,
serta kerentanan pasien. Pada umumnya pronosis tidak begitu baik malah mungkin buruk.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan audiometri
yang didapatkan dapat saya simpulkan bahwa pasien ini mengalami gangguan pendengaran
yang disebabkan oleh ada nya obat ototoksik. Dimana pasien rutin mengkonsumsi obat anti
diuretik yang diketahui memiliki efek ototoksik kepada telinga walaupun tidak semua
orang akan mengalaminya.
Daftar Pustaka
2. Rybak, Leonard P., Touliatos, John. Ototoxicity. Dalam: Snow, James B.,
Ballenger, John J, Ed. Ballenger’s Otorhinolaryngology head and neck
surgery. Edisi ke-16, Spain: Williams & Wilkins, 1996, h. 374 – 378.
5. Guyton, A.C, Hall, J.E. Indra pendengaran. Dalam : Guyton and hall buku
ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-sebelas, Jakarta:EGC, 2007, h.688-689.
10. Van der Heijden AJ, Tibboel D, Bogers AJ. Cohen AF, Helbing WA. Optimal
furosemid therapy in critically ill infants. 2007, h. 15-16.
11. Slattery Eric L, dan Warchol Mark E. Cisplatin ototoxicity blocks sensory
regeneration avian inner ear. The Journal of Neuroscience.2010, hal. 1-5.
12. Haynes DS, Rutka J, Hawke M, Roland PS. Ototoxicity of ototopical drops-an
update. Otolaryngologic Clinics of North America. 2007, hal. 670-675.
13. Martin DK, Gordon JS, Reavis KM, Wilmington DJ, Fausti SA. Audiological
monitoring of patient receiving ototoxicity drugs.
14. American Speechlanguage Hearing Association.2005, hal. 2-4.