Anda di halaman 1dari 4

Secara umum tidak ada dalam ayat al-Quran yang secara tegas menjelaskan tentang

ajaran wakaf yang ada adalah pemahaman konteks terhadap ayat al-Quran yang

dikategorikan sebagai amal kebaikan. Ayat-ayat yang dipahami berkaitan dengan wakaf

sebagai amal kebaikan adalah sebagai berikut:

Di antara ayat-ayat tersebut antara lain dalam Q.S Ali Imran ayat 92 yang berbunyi :

              
 

Artinya:“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum

kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan

Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(Q.S Ali Imran:92)

Dalil lain yang berkaitan dengan ibadah wakaf yaitu Q.S. Al-Baqarah ayat 261:

            
             

Artinya:“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang

menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang

menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan

(ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha

Mengetahui.”( Q.S. Al-Baqarah:261)

Pemahaman konteks atas ajaran wakaf juga diambilkan dari beberapa Hadits Nabi

yang menyinggung masalah shadaqah jariyah, yaitu:

Sunah Rasulullah SAW

ٍ َ‫ اِ َذا َماتَ ابْنُ اَ َد َم اِ ْنقَطَ َع َع َّملُهُ اِالَّ ِم ْن ثَال‬: ‫ع َْن اَبِ ْي هُ َري َْرةَ اَنَ َرسُوْ َل هللاِ صل ّى هللا عليه وسلم قَا َل‬،
‫ث‬

ُ‫ح يَ ْد ُعوْ لَه‬ َ ‫ اَوْ ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه اَوْ َولَ ٍد‬،‫اريَ ٍة‬


ٍ ِ‫صال‬ ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬
َ

(‫)رواه مسلم‬

Artinya: Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila

anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara :
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”.

(HR. Muslim)

Selain ada hadits Nabi yang dipahami secara tidak langsung terkait masalah wakaf,

ada beberapa hadits Nabi yang secara tegas menyinggung dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu

perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar :

َ ‫ َفأ َ َتىّ ال َنبي‬،‫اب أرْ ضًا ِب َخ ْي َب َر‬


‫صلَىّ هللا ُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ص‬َ َ‫ب أ‬ِ ‫ْن ُعم ََّر َرضِ ىّ هللا َع ْن ُهمَّا أَ َن ُعم ََّر ب َْن ْال َخ َطا‬
ِ ‫َع ِن اب‬
ُ
‫ إنِىّ أصِ بْت‬،‫هللا‬ ْ
َ ‫ َي‬:‫ َف َقا َل‬،‫َو َسلَ َم َيسْ َتأ ِم ُرهُ فِي َها‬
ِ ‫ارس ُْو َل‬
ُّ ًّ‫أَرْ ضً ا ِب َخ ْي َب َر لَ ْم أُصِ بْ َماال‬
‫ إن‬:‫ َفمَّا َتأْ ُم ُرنِىّ ِبهِ؟ َقا َل‬،ُ‫قط أَ ْن َفسُ عِ ْندِى ِم ْنه‬

َ ‫ت أَصْ لَ َها َف َتصَّدَ ْق‬


َّ‫ت ِب َها َف َتصَّدَ َق ِب َها ُع َّم ُر اَ َن ُه الَّ ُي َبا ُع َوالَّ ي ُْو َهبُ َوال‬ َ ‫شِ ْئ‬
َ ْ‫ت َح َبس‬

‫ْن‬
ِ ‫هللا َواب‬
ِ ‫ب َوفِىّ َس ِبي ِْل‬ ِ ّ‫ َو َتصَّدَ َق ِب َها فِىّ ْالفُ َق َرآ ِء َوفِىّ ْالقُرْ َبىّ َوفِى‬،‫ث‬
ِ ‫الر َقا‬ ُ ‫ي ُْو َر‬

‫اح َعلَىّ َمنْ َولِ ُي َها اَنْ َيأ ُك َل ِم ْن َها ِب ْالمَّعْ ر ُْوفِ َوي ُْط ِع َم َغي َْر ُم َتم َِّو ٍل‬
َ ‫والضيْفِ الَّ ُج َن‬
َ ‫الس ِبي ِْل‬
َ

(‫)رواه مسلم‬

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra. Memperoleh

sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon

petunjuk. Umar berkata : Ya Rasulallah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya

belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan

kepadaku ? Rasulullah menjawab : Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan

kamu sedekahkah (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak tidak

juga dihibahkan dan juga tidak diwariskan. Berkata Ibnu Umar : Umar menyedekahkannya

kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan

tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya)

makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud

menumpuk harta“ (HR. Muslim).


Kata wakaf telah sangat populer dikalangan umat Islam dan dikalangan non muslim.

Kata wakaf yang sudah menjadi bahasa Indonesia itu berasal dari kata kerja bahasa Arab

waqafa (fi’il madhy), yaqifu (fi’il mudhari), dan waqfan (isim mashdar) yang secara

etimologi (lughah,bahasa) berarti berhenti, berdiri, berdiam ditempat atau menahan.1

Selanjutnya dikemukakan beberapa definisi wakaf menurut Ulama Fiqh sebagai

berikut. Pertama, definisi wakaf yang dikemukakan Mazhab Hanafi, yaitu menahan benda

waqif (orang yang berwakaf) dan menyedekahkan manfaaatnya untuk kebaikan. Hal ini

dikemukakan Wahbah Al-Zuhaili seperti yang di kutip Departemen Agama RI. 2 Diketahui

pula bahwa menurut Mazhab Hanafi mewakafkan harta bukan berarti meninggalkan hak

milik secara mutlak. Dengan demikian, waqif boleh saja menarik wakafnya kembali kapan

saja dikehendakinya dan boleh diperjualbelikan.

Kedua, definisi wakaf yang dikemukakan Mazhab Maliki, yaitu menjadikan manfaat

harta waqif, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diberikan kepada yang berhak secara

berjangka waktu sesuai kehendak waqif.3 Memperlihatkan pendapat Mazhab Maliki

disebutkan bahwa kepemilikan harta tetap pada waqif dan masa berlakunya wakaf tidak

untuk selama-lamanya kecuali untuk waktu tertentu menurut keinginan waqif yang telah

ditentukannya sendiri.

Ketiga, definisi wakaf yang dikemukakan Mazhab Syafi’i, yaitu menahan harta yang

dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang tersebut hilang

kepemilikannya dari waqif, serta dimanfaatkan pada sesuatu yang dibolehkan. 4 Definisi dari

Mazhab Syafi’i yang dikemukakan sebelumnya menampakkan ketegasan terhadap status

kepemilikan harta wakaf.

4
Keempat, definisi wakaf yang dikemukakan Mazhab Hambali, yaitu menahan secara

mutlak kebebasan pemilik harta dalam menjalankan hartanya yang bermanfaat dengan tetap

utuhnya harta sedangkan manfaat harta adalah untuk kebaikan dalam mendekatkan diri

kepada Allah.5 Hal ini berarti sama dengan pendapat Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali

ini berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh dijual (la yuba’), tidak boleh dihibahkan (la

yuhab), tidak boleh diwariskan (la yurats) kepada siapapun.

Tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf salah

satunya adalah untuk memperluas ruang lingkup penggunaan wakaf. Dalam Undang-Undang

ini ditetapkan bahwa harta benda wakaf tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan

ibadah dan sosial, tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara

menggali potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. UU ini memberi peluang kepada

para nazhir untuk memasuki kegiatan ekonomi secara luas dalam pengololaan harta benda

wakaf sepanjang sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syariah serta menciptakan

tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf.

Dalam Undang-Undang ditetapkan bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat,

dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW), didaftarkan, dan diumumkan dalam media yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam praktiknya, wakaf dibedakan menjadi

dua: (a) wakaf yang pengelolaan dan pemanfaatannya terbatas untuk kaum kerabat (wakaf

ahli), serta (b) wakaf yang pengelolaan dan pemanfaatannya untuk kepentingan masyarakat

umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf (wakaf khairi). Dalam Undang-Undang Nomor

41 Tahun 2004, wakaf ahli dan wakaf khairi dipandang sama.

Anda mungkin juga menyukai