Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Middle East Repiratory Syndrome (MERS) merupakan penyakit saluran napas yang
disebabkan oleh Corona virus tipe baru (MERS-CoV). Virus ini pertama kali dilaporkan
pada tahun 2012 di Arab Saudi dan sejauh ini terkait dengan negara-negara di Semenanjung
Arab dan sekitarnya (Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Yordania, Kuwait, Yaman dan
Lebanon). Tampilan klinis MERS berkisar dari asimtomatik sampai sindrom distres
pernapasan akut dan kegagalan multi organ yang menyebabkan kematian, khususnya pada
individu dengan komorbiditas sebelumnya. Kebanyakan individu dengan MERS yang
terkonfirmasi laboratorium telah berkembang menjadi penyakit pernapasan akut dan di
antara 536 kasus yang dilaporkan pada 12 Mei 2014, angka kematiannya mencapai 30%.
(Rampengan, 2014)

Menurut WHO sebanyak 75% dari kasus MERS-CoV merupakan kasus sekunder, yaitu
diperoleh dari orang lain yang terinfeksi. WHO menyebutkan terjadi penularan terbatas dari
manusia ke manusia, baik di klaster keluarga atau masyarakat maupun di pelayanan
kesehatan. Terdapat beberapa klaster kasus terkonfirmasi. Sampai saat ini belum jelas
sumber asal virus penularnya dan sedang diteliti lebih lanjut.(WHO -International
Regulation, 2018)

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan jumlah populasi umat muslim
yang besar. Pada musim Haji di bulan September 2013, sekitar 200.000 orang melakukan
ibadah haji di Mekah. Pada tahun 2013, sekitar 750.000 orang melakukan ibadah Umrah di
Arab Saudi.(Dirjen P2&PL Kementerian Kesehatan RI, 2013)

Disamping itu lebih dari satu juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) berangkat ke Arab
Saudi setiap tahunnya. Ketiga kelompok tersebut (jamaah Haji, jamaah Umrah serta TKI)
dapat terinfeksi MERS-CoV dan dapat menyebarkannya di Indonesia. Meskipun sampai
saat ini di Indonesia belum ada kasus yang dilaporkan positif terkena MERS, namun
mengingat tingginya masyarakat Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya yang
melakukan kegiatan ibadah keagamaan ke negara Arab, MERS terus menjadi ancaman
kesehatan pada masyarakat tingkat rendah dan ancaman epidemik.

2. TUJUAN

a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menerapkan model teori Precede pada penyakit epidemiologi:
MERS.
b. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu:
1) Menjelaskan tentang penyakit MERS
2) Menjelaskan penerapan model Prece pada penyakit epidemiologi: MERS pada tahap
diagnosis sosial
3) Menjelaskan penerapan model precede pada penyakit epidemiologi: MERS pada
tahap diagnosis epidemiologi
4) Menjelaskan penerapan model precede pada penyakit epidemiologi: MERS pada
tahap diagnosis perilaku dan lingkungan
5) Menjelaskan penerapan model precede pada penyakit epidemiologi: MERS pada
tahap diagnosis edukasi dan organisasional
6) Menjelaskan penerapan model precede pada penyakit epidemiologi: MERS pada
tahap diagnosis administratif dan kebijakan
BAB II

PEMBAHASAN

1. KONSEP DASAR MERS

Middle Eastern Respiratory Syndrome yang sering disebut “MERS” merupakan


penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh suatu virus Corona Virus. Tampilan
klinis MERS berkisar dari asimtomatik sampai sindrom distres pernapasan akut dan
kegagalan multi organ yang menyebabkan kematian, khususnya pada individu dengan
komorbiditas sebelumnya (Rampengan, 2014). Mekanisme penyebaran virus MERS-CoV
ini masih diteliti hingga sekarang, meskipun sebelumnya telah muncul dugaan bahwa
manusia pertama yang terinfeksi mungkin pernah secara tidak sengaja menghirup debu
kotoran kering dari binatang kelelawar yang terinfeksi, tetapi bukti yang terbaru
menunjukkan bahwa virus ini mungkin lebih banyak ditemukan pada unta (Rampengan,
2014). Saat ini jenis virus ini dikatakan lebih mudah menular antar-manusia dengan dampak
yang lebih mematikan dibandingkan SARS. Karena itulah, mutasi virus MERS-CoV sangat
cepat sehingga apabila terlambat dalam memberikan penanganan, maka dapat menimbukan
resiko terburuk yaitu kematian.

Virus korona atau MERS (sindrom pernafasan Timur Tengah) muncul di semenanjung
Arab pada tahun 2012 dan merupakan anggota keluarga virus yang meliputi flu biasa dan
Sars (sindrom pernafasan akut parah). Gejala- gejala yang perlu diperhatikan dari
munculnya penyakit MERS pada manusia adalah (Kartika, 2014):

1. Awalnya gejalanya mirip seperti flu, nyeri otot, lesu, gangguan pencernaan, radang
tenggorokan dan gejala non-spesifik lainnya.

2. Demam > 38 derajat celsius

3. Batuk dan napas pendek.

4. Sesak napas bisa terjadi kemudian. Gejala tersebut biasanya muncul 2–10 hari setelah
terekspos, tetapi sampai 13 hari juga pernah dilaporkan terjadi. Pada kebanyakan kasus
gejala biasanya muncul antara 2–3 hari.
5. Kematian terjadi akibat beberapa komplikasi serius yang terjadi seperti Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dengan kegagalan multiorgan, gagal ginjal
serta pneumonia berat.

Virus ini dapat menular antar manusia secara terbatas, dan tidak terdapat transmisi
penularan antar manusia secara luas dan bekelanjutan. Mekanisme penularan belum
diketahui. Kemungkinan penularannya dapat melalui :

 Langsung : melalui percikan dahak (droplet) pada saat pasien batuk atau bersin.
 Tidak Langsung: melalui kontak dengan benda yang terkontaminasi virus.
Belum ada antivirus yang disetujui untuk pengobatan infeksi MERS-CoV atau vaksin
yang tersedia untuk pencegahan MERS-CoV. Penanganan MERS-CoV dengan terapi
suportif berupa hidrasi, antipiretik, analgetik, bantuan pernapasan, dan antibiotik bila
terjadi infeksi sekunder.(Beay, 2017)

2. PENERAPAN MODEL TEORI PRECEDE

a. Diagnosis sosial
Menurut laporan WHO sejak tahun 2012 hingga 30 Juni 2018, terdapat 2.229
kasus yang dikonfirmasi laboratorium terinfeksi MERS-CoV, 83% di antaranya
dilaporkan oleh Kerajaan Arab Saudi. Secara total, kasus telah dilaporkan dari 27 negara
di Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa, Amerika Serikat, dan Asia. Pria di atas usia 60
tahun dengan kondisi medis yang mendasari, seperti diabetes, hipertensi dan gagal
ginjal, berada pada risiko penyakit berat yang lebih tinggi, termasuk kematian. Hingga
saat ini, 791 orang telah meninggal (35,5%).(WHO -International Regulation, 2018)
Sejak pembaruan global terakhir yang dipublikasikan pada 21 Juli 2017, 189
kasus MERS-CoV yang dikonfirmasi laboratorium dari empat negara yang dilaporkan
ke WHO, 60 diantaranya telah meninggal dunia (31,7%). Di antara kasus-kasus ini,
75,5% adalah laki-laki dan usia rata-rata adalah 54 tahun. Usia rata-rata adalah serupa
dengan median usia semua kasus yang dilaporkan ke WHO sejak 2012 yaitu 52 tahun.
MERS-CoV adalah virus zoonotik yang telah berulang kali masuk ke populasi
manusia melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan unta dromedaris yang
terinfeksi di Jazirah Arab. Penularan manusia-ke-manusia yang terbatas dan tidak
berkelanjutan terutama dalam pengaturan perawatan kesehatan terus terjadi, terutama di
Arab Saudi. Risiko penyakit ini untuk ditularkan ke daerah di luar Timur Tengah masih
signifikan, teutama karena beberapa keperluan perjalanan seperti ibadah haji/ umroh,
TKI dan lain sebagainya.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan jumlah populasi umat
muslim yang besar. Pada musim Haji di bulan September 2013, sekitar 200.000 orang
melakukan ibadah haji di Mekah. Pada tahun 2013, sekitar 750.000 orang melakukan
ibadah Umrah di Arab Saudi.(Dirjen P2&PL Kementerian Kesehatan RI, 2013)
Meskipun telah ada perbaikan yang signifikan dalam pengawasan Mers, respon
terhadap kelompok yang dicurigai, identifikasi dini di masyarakat dan sistem perawatan
kesehatan, kepatuhan terhadap pencegahan infeksi dan langkah-langkah kontrol serta
tindak lanjut kontak, namun pencegahan dan pengendalian wabah MERS tetap menjadi
tantangan utama.
Seperti yang dikutip dari WHO,para ahli menganggap bahwa pengendalian wabah
penyakit epidemiologi sangat penting mengingat potensi mereka untuk menyebabkan
keadaan darurat kesehatan masyarakat dan tidak adanya obat berkhasiat dan / atau
vaksin,
b. Diagnosis epidemiologi
Sejak September 2012 s/d 01 Agustus 2013 jumlah kasus MERS-CoV yang
terkonfirmasi secara global sebanyak 94 kasus dan meninggal 47 orang (50 %) yang
tersebar di 9 negara yang telah melaporkan kasus MERS-CoV (Perancis, Italia,
Jordania, Qatar, Arab Saudi, Tunisia, Jerman, Inggris dan Uni Emirat Arab).
Kasusnya terus meningkat setiap tahunnya, dan mencapai puncak pada tahun 2014,
mencapai 573 kasus yang terkonfirmasi laboratorium.
Data menurut laporan WHO, dari 2012 sampai 30 Juni 2018 terdapat 2229 total
kasus MERS di dunia yang terkonfirmasi laboratorium. Sembilan puluh persen kasus
terjadi pada laki-laki dengan usia rata-rata 54 tahun dengan kondisi medis yang
mendasari, seperti diabetes, hipertensi dan gagal ginjal, berada pada risiko yang
lebih tinggi dari penyakit berat, termasuk kematian. Sampai saat ini, 791 orang telah
meninggal (35,5%), 46% memiliki penyakit berat, 21% dilaporkan tidak memiliki
gejala atau gejala ringan.
Sejak 2012 hingga 2018, 27 negara telah melaporkan kasus infeksi Mers-CoV.
Di Timur Tengah: Bahrain, Mesir, Iran, Yordania, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar,
Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Yaman; di Afrika: Aljazair dan Tunisia; di Eropa:
Austria, Perancis, Jerman, Yunani, Italia, Belanda, Turki dan Inggris; di Asia: China,
Republik Korea, Malaysia, Filipina dan Thailand; dan di Amerika: Amerika Serikat.
(lampiran 2)
Penyebaran terbanyak setelah negara Timur Tengah adalah Korea yang terjadi
pada tahun 2015 (lampiran 1). Sampai saat ini di Korea ditemukan 186 kasus dan 39
kematian.
Sedangkan di Indonesia, seperti yang disampaikan oleh dr. Elvieda Sariwati, M.
Epid., Subdit Pengendalian ISPA, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular
Langsung, kasus dalam investigasi MERS di Indonesia sejak akhir 2013 hingga 2015
terdapat 198 pasien suspek MERS yang berasal dari 22 provinsi di Indonesia. Dari
keseluruhan kasus telah dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil negatif
(tidak ada yang positif MERS). Kasus terbanyak golongan usia 45-64 tahun, yaitu
sebanyak 103 kasus (52%). Sedangkan WNI yang positif terkena MERS ada 2 kasus,
yaitu seorang TKI usia 41 tahun yang bermukim di Saudi, dan dinyatakan meninggal
pada April 2014, dan seorang jamaah umroh usia 84 tahun asal Sulawesi Selatan,
sudah dinyatakan sembuh dan telah kembali di Indonesia.
c. Diagnosis perilaku dan lingkungan
 Saat batuk dan bersin tidak menutup mulut
 Membuang tisu yang digunakan untuk menutup mulut saat batuk atau bersin ke
sembarang tempat.
 Tidak menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS)
 Petugas kesehatan tidak menggunakan APD saat merawat pasien
 Petugas langsung memegang hidung, mulut dan mata dan tidak mencuci tangan
setelah bersentuhan dengan klien.
 Pekerja tidak mengganti pakaian kerja, sepatu, atau barang lainnya yang mungkin
telah terjadi kontak dengan sekret unta dan ekskresi dari unta,
 Keluarga tidak mengenakan APD saat mengunjungi anggota keluarga yang dirawat
akibat MERS.
 Jemaah Haji tidak mengontrol kesehatan setelah pulang menunaikan ibadah Haji.
 Masyarakat mengkonsumsi hewan yang beresiko menularkan virus Mers-CoV.
 Lingkungan dan kandang unta yang kotor dan tidak dibersihkan.
d. Diagnosis edukasi dan organisasi
1. Predisposing Factor
Sejak update global yang terakhir 21 Juli 2017, 17 dari 45 kasus sekunder
dilaporkan ke WHO dikaitkan dengan transmisi di fasilitas perawatan kesehatan.
Kasus-kasus ini termasuk petugas kesehatan (12 kasus), pasien dengan kamar /
bangsal dengan yang sama dengan pasien mers, atau pengunjung dan keluarga.
Meskipun tak terduga, namun transmisi tersebut sangatlah miris, mengingat
bahwa Mers-CoV masih merupakan penyakit yang relatif jarang terjadi, dan hal ini
menunjukkan kesadaran tenaga medis tentang MERS-CoV di fasilitas perawatan
kesehatan masih rendah. Penularan dari manusia ke manusia lebih cepat terjadi di
area perawatan kesehatan dikarenakan kurangnya kepatuhan dalam pencegahan
infeksi dan tindakan pengendalian serta keterlambatan triase atau isolasi pasien
suspek mers.
Secara global, tingkat pengetahuan masyarakat tentang MERS-CoV masih
sangat rendah, didukung dengan kurangnya pengetahuan akan pentingnya perilaku
hidup bersih dan sehat. Kurangnya kesadaran masyarakat yang kontak langsung
dengan unta dromedary ( hewan yang diduga kuat sebagai sumber virus MERS-
CoV), misalnya petani, pekerja rumah potong hewan, gembala, pemilik
dromedaries untuk melakukan kebersihan diri setelah kontak dengan hewan
tersebut.
2. Reinforcing Factor
Dalam pencegahan dan pengendalian kasus MERS-CoV, sangat dibutuhkan
dukungan dari berbagai pihak, terutama dukungan dari keluarga, dukungan suami/
istri.
3. Enabling Factor
Mengingat Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, dan lebih dari
200.000 jiwa melakukan ibadah haji setiap tahunnya, ditambah dengan lebih dari
500.000 jiwa melakukan umroh ke negara Arab Saudi. Oleh karena itu sejak tahun
2013, pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa strategi kesiapsiagaan
pencegahan dan pengendalian penyakit MERS-CoV, antara lain:
a) Peningkatan kegiatan pemantauan di pintu masuk negara (Point of Entry).
b) Penguatan Surveilans epidemiologi termasuk surveilans pneumonia.
c) Pemberitahuan ke seluruh Dinkes Provinsi mengenai kesiapsiagaan menghadapi
MERS-CoV.
d) Pemberitahuan ke 100 RS Rujukan Flu Burung, RSUD dan RS Vertikal tentang
kesiapsiagaan dan tatalaksana MERS-CoV.
e) Menyiapkan dan membagikan 5 (lima) dokumen terkait persiapan
penanggulangan MERS-CoV, yang terdiri dari :
1) Pedoman umum MERS-CoV
2) Tatalaksana klinis
3) Pencegahan Infeksi
4) Surveilans di masyarakat umum dan di pintu masuk negara
5) Diagnostik dan laboratorium
f) Pelatihan dan Pembekalan semua petugas TKHI dalam penanggulangan MERS-
CoV.
g) Menyiapkan pelayanan kesehatan haji di 15 Embarkasi / Debarkasi (KKP).
h) Meningkatkan kesiapan laboratorium termasuk penyediaan reagen dan alat
diagnostik.
i) Diseminasi informasi kepada masyarakat terutama calon jemaah haji dan umrah
serta petugas haji Indonesia.
j) Meningkatkan koordinasi lintas program dan lintas sektor seperti BNP2TKI,
Kemenhub, Kemenag, Kemenlu dan lain-lain tentang kesiapsiagaan
menghadapi MERS-CoV.
k) Melakukan kordinasi dengan pihak kesehatan Arab Saudi.
l) Meningkatkan hubungan Internasional melalui WHO dll.
e. Diagnosis administrative dan kebijakan
Dalam pencegahan dan pengendalian penyakit MERS-CoV baik dari pemerintah
Indonesia maupun dunia internasional telah dilakukan dengan serius, terbukti dengan
adanya kebijakan-kebijakan terkait, diantaranya:
1. Nasional
a. Diterbitkannya 5 pedoman tentang pencegahan dan pengendalian MERS-CoV
oleh Depkes tahun 2013,yang terdiri dari :
1) Pedoman umum MERS-CoV
2) Tatalaksana klinis
3) Pencegahan Infeksi
4) Surveilans di masyarakat umum dan di pintu masuk negara
5) Diagnostik dan laboratorium
b. Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3273).
c. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 2009 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063).
d. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3447).
e. Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis.
f. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 658/MENKES/PER/VII/2009 tentang
Jejaring Laboratorium Diagnosis Penyakit Infeksi New-Emerging dan Re-
Emerging Diseases.
g. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/MENKES/PER/VIII/2004 tentang
Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar biasa.
h. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis
Penyakit Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 503).
i. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 tentang
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014.
2. Internasional
a. International Health Regulation (IHR) 2005.
b. Guideline tentang MERS-CoV yang selalu diperbaharui yang dapat diakses
melalui situs resmi WHO.
3. PERAN PERAWAT DALAM TIGA LEVEL PENCEGAHAN MERS
a. Pencegahan Primer
Upaya awal pencegahan penyakit MERS sebelum seseorang menderita penyakit
MERS. Dalam tahap ini, peran perawat focus sebagai educator, antara lain:
 Melakukan pendekatan komunitas berupa penyuluhan faktor-faktor resiko penyakit
terutama pada kelompok beresiko tinggi (calon peserta haji/ umroh)
 Melakukan penyuluhan untuk melaksanakan pola hidup bersih dan sehat.
 Melakukan penyuluhan untuk selalu mencuci tangan menggunakan sabun.
b. Pencegahan Sekunder
Pada level pencegahan sekunder merupakan pencegahan yang berfungsi untuk
mengontrol perkembangan penyakit MERS pada pasien atau mencegah kecacatan/
perburukan keadaan. Peran perawat sebagai fasilitator, antara lain:
 Melakukan skrining
 Berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam pemeriksaan penunjang,
perawatan serta pengobatan.
c. Pencegahan Tersier
Fokus utama pada level pencegahan tersier adalah rehabilitasi. Pencegahan tersier
dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Peran paling penting
dari perawat saat perawatan dirumah adalah sebagai penasehat klien dan keluarga, guru,
konselor dan pengubah lingkungan, antara lain:
 Memberi dukungan moral dan spiritual pada pasien MERS dalam fase rehabilitasi.
 Memberi edukasi untuk mengubah perilaku pasien untuk hidup bersih dan sehat.
 Membantu menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat bagi pasien MERS
dalam fase rehabilitasi.
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN
Middle Eastern Respiratory Syndrome yang sering disebut “MERS” merupakan
penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh suatu virus Corona Virus. MERS
pada manusia pertama kali ditemukan tahun 2012 di Saudi Arabia. Sejak 2012- 2018
terdapat 2.229 kasus yang dikonfirmasi laboratorium terinfeksi MERS-CoV, 83% di
antaranya dilaporkan oleh Kerajaan Arab Saudi. Dari 2.229 kasus, 791 orang telah
meninggal (35,5%).
Penyebaran Virus MERS hingga saat ini dapat dikendalikan, namun upaya
pencegahan akan infeksi virus tersebut harus tetap menjadi perhatian di berbagai negara,
terutama di negara- negara Timur Tengah. Pola penyebaran MERS pada manusia masih
terbatas dengan adanya kontak langsung pada penderita MERS.
Meskipun dapat dikendalikan penyebarannya, namun dampak yang ditimbulkan
jika terinfeksi penyakit MERS cukup serius, hanya sedikit yang tanpa gejala maupun
menampakan gejala ringan, dan hampir separuhnya berujung pada kematian.
Penyakit MERS dapat dicegah penularannya meningkatkan PHBS, cuci tangan
dengan sabun setelah kontak dengan hewan unta dremodery, ataupun kontak dengan
pasien yang terinfeksi MERS. Dalam menghadapi permasalah epidemiologi
internasional, yaitu MERS pemerintah Indonesia telah menerbitkan 5 dokumen terkait
pedoman pencegahan dan pengendalian MERS sejak tahun 2013.

2. SARAN
Pembelajaran dan penerapan model teori Precede-Proceed sangat bermanfaat bagi
perawat, sehingga perawat mampu menganalisa masalah-masalah kesehatan global yang
terjadi. Model teori ini dapat digunakan perawat untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan di lingkungan komunitas, sehingga perawat ikut berkontribusi dalam
pencegahan dan pengendalian penyakit terutama penyakit epidemiologi.
Lampiran I

Angka Kejadian Kasus MERS di Dunia Terkonfirmasi


Laboratorium Tahun 2012- 2018
2000
1854
1800

1600

1400

1200

1000 Kasus positif MERS

800

600

400

185
200
86
0
2 2 1 1 s1ir 2 a3n 1 a6n 1 28 a 4 o2n 2 d2a 11 n2a 19 ea 3 3 k1i 4 b 2 1n
zair rain e m Ir ani n n pi r l and r ra a
ja h M r d a la li o i Tu at A am
Al Ba Je
Yo
r
Leb Be Fi
lik K
Th a
ir
Y
p ub i Em
Re Un

Source: Risk Assessment WHO 2018


Lampiran II

Kurva Epidemi Kasus MERS-CoV pada Manusia 2012- Juni 2018


DAFTAR PUSTAKA

Beay, L. K. (2017). Model Penyebaran Middle East Respiratory Syndrome (Mers) Dengan 1) Pengaruh
Pengobatan.

Dirjen P2&PL Kementerian Kesehatan RI. (2013). PEDOMAN UMUM KESIAPSIAGAAN


MENGHADAPI (MERS-CoV). PEDOMAN UMUM KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI (MERS-
CoV), 20. https://doi.org/10.2174/1874061801004010020

Rampengan, N. H. (2014). Middle East Respiratory Syndrome.

WHO -International Regulation. (2018). WHO MERS Global Summary and Assessment of, (August).
PENERAPAN MODEL TEORI PRECEDE PADA PENYAKIT EPIDEMIOLOGI
MERS

MATA KULIAH MASALAH KESEHATAN GLOBAL


Dosen Pembimbing: Dwi Susilowati, M.Kep., Sp.Mat

Oleh: Kelompok I

Srimpi Kumayaningrum 22020118183012


Zainal Arifin 220201181830
Joko Eko Pramono 220201181830
Ireneus Pape No Mbeong 220201181830

DEPATEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2018

Anda mungkin juga menyukai