Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Rinosinusitis kronis dengan atau tanpa polip nasi merupakan salah satu
masalah kesehatan di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok oleh
karena mengalami peningkatan dan memberikan dampak bagi pengeluaran
finansial masyarakat serta dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang
berat.1
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa
makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembengkakan polip dan kista.2

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui terapi yang
tepat dan efektif dalam menangani rhinosinusitis baik yang tanpa polip maupun
yang dengan polip nasi.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi septum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

1
menghubungkan kavum nasi dan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai ala nasi disebut vestibulum.3
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior, dan superior. Dinding medial terdapat septum nasi dan dinding lateral
terdapat konka superior, konka media dan konka inferior. Yang terkecil ialah
konka suprema dan biasanya rudimenter. Celah antara konka media dan inferior
disebut meatus superior.4
Meatus media merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan
celah yang lebih luas dibandingkan meatus superior. Disini terdapat muara dari
sinus maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat
celah yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus media dengan infundibulum, yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus
unsinatus. 5
Dibagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat empat pasang sinus
paranasal yang terdiri atas sinus maksila, sinus etmoid, sinus frontal dan sinus
sphenoid. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala
hingga terbentuk rongga didalam tulang. 6,7

2
Gambar 2.1. Dinding Lateral Hidung-a 8

Gambar 2.2 Dinding Lateral hidung-b 8

3
Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar. Pada saat lahir rongga
sinus maksila berbentuk tabung dengan ukuran 7 x 4 x 4 mm, ukuran posterior
lebih panjang daripada anterior, sedangkan ukuran tinggi dan lebar hampir sama
panjang. Pada usia 10-12 tahun dasar sinus maksila telah mencapai tinggi yang
sama dengan dasar kavum nasi. Diatas umur 12 tahun pertumbuhan sinus maksila
kearah inferior, berhubungan erat dengan erupsi gigi permanen, sehingga ruang
yang semula ditempati oleh tugas-tugas gigi permanen akan mengalami
pneumatisasi yang mengakibatkan volume sinus maksila bertambah besar kea rah
inferior.6 Sinus maksila atau antrum Highmore adalah suatu rongga pneumatik
berbentuk pyramid yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis
dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Sinus ini
merupakan sinus terbesar diantara sinus paranasal. Pada saat lahir volume sinus
maksila dan sekitarnya berukuran 6-8 ml dan penuh dengan cairan. Sinus
mempunyai beberapa dinding. Dinding anterior dibentuk oleh permukaan maksila
os maksila, yang disebut fosa kanina. Dinding posterior dibentuk oleh dinding
lateral rongga hidung. Dinding superior dibentuk oleh dasar orbita dan dinding
inferior oleh prosesus alveolaris dan palatum.6
Dasar sinus maksila berdekatan dengan tempat tumbuhnya gigi premolar
kedua, gigi molar ke satu dan ke dua, bahkan kadang-kadang gigi tumbuh ke
dalam rongga sinus dan hanya tertutup oleh mukosa.Proses supuratif yang terjadi
sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau
limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan
rongga sinus melalui fistel oroantral yang akan mengakibatkan sinusitis. 6,7
Sinus etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses
perkembangan janin. Sinus etmoid anterior merupakan invaginasi dari dinding
lateral hidung dan bercabang ke samping dengan membentuk sinus etmoid
posterior dan terbentuk pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan, sel ini
diisi oleh cairan sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun,
etmoid baru dapat dideteksi melalui foto polos dan setelah itu membesar dengan
cepat hingga umur 12 tahun. Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-masing
dengan total volume rata-rata 14-15 ml. Etmoid anterior mengalirkan sekret ke

4
dalam meatus media, sedangkan etmoid posterior mengalirkan sekretnya ke dalam
meatus superior. 6,7
Sinus frontal mulai berkembang sepanjang bulan keempat masa kehamilan
yang merupakan suatu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior.
Sinus frontal jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur 5 atau 6
tahun, setelah itu pelan-pelan tumbuh, total volume 6-7 ml. Sinus frontal
mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis. 6,7
Sinus sphenoid mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan
yang merupakan invaginasi mukosa dari bagian superoposterior rongga hidung.
Sinus ini berupa suatu takikan kecil di dalam os sphenoid sampai umur 3 tahun
ketika pneumatisasi mulai lebih lanjut. Pertumbuhan cepat untuk menjangkau
tingkatan sella tursica pada umur 7 tahun dan menjadi ukuran orang dewasa
setelah berumur 18 tahun, total volume 7,5 ml. Sinus sphenoid mengalirkan
sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior.6,7
Komplek Osteomeatal (KOM) Pada sepertiga tengah dinding lateral
hidung, yaitu di meatus media,ada muaramuara saluran dari sinus maksila, sinus
frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan
komplek osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior.
Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu
rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi,
resesus frontalis, bula etmoid,dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila.8

5
Gambar 2.3 Sinus Paranasal 8

Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1) sebagai jalan
nafas, (2) alat pengatur kondisi udara, (3) penyaring udara, (4) sebagai inra
penghidu, (5) untuk resonansi suara, (6) turut membantu proses bicara, dan (7)
reflek nasal. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis
semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu
sel penunjang, sel basal, dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan
melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran nafas dibawahnya dari
kerusakan. Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti fungsi sinus paranasal
dan beberapa teori mengemukakan sebagai pengatur suhu dan kelembaban udara
pernafasan (air conditioning) seperti pada rongga hidung. Ternyata volume
pertukaran terjadi di dalam sinus kurang lebih seperseribu dari volume sinus pada
setiap siklus pernafasan, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu, sinus paranasal hanya mampu
melembabkan 1,5% dari seluruh udara pernafasan yang dilembabkan oleh saluran
nafas bagian atas, karena mukosa sinus yang tipis dan tidak mempunyai pembuluh
darah sebanyak yang terdapat di mukosa hidung. Fungsi sebagai resonansi suara,
tidak banyak mendapat dukungan, karena posisi sinus dan ostium tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator suara yang efektif. 4,7

6
Sesuai dengan letaknya, sinus paranasal dapat dianggap sebagai pelindung
pengaruh panas udara rongga hidung terhadap organ-organ disekitar sinus
(thermal insulators) seperti mata dan otak. Akan tetapi kenyataannya sinus
maksila sebagai sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ yang
dilindunginya. Fungsi membantu keseimbangan kepala dimungkinkan karena
terbentuknya sinus akan mengurangi berat tulang muka. Sebagai pembantu alat
penghirup, dilakukan oleh sinus paranasal dengan cara membagi rata udara
inspirasi ke region olfaktorius. Fungsi lain sebagai pengatur keseimbangan
tekanan udara, peredam kejut (shock absorber), protector suara antara organ vocal
dan telinga, sebagai tambahan ruang rugi ( dead space) dan penyesuaian proporsi
pertumbuhan cranium dan wajah.4,7

2.2 Patofisiologi
Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum nasi
dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi
yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus
paranasal.9 Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai
sejumlah kesamaan, mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum
nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa
mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi
bersama-sama.10 Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga
menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung
dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis. Fakta
tersebut menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang
mendukung konsep “one airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu
bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain. Sejumlah
kelompok konsensus menyetujui pernyataan tersebut sehingga terminologi yang
lebih diterima hingga kini adalah rinosinusitis daripada sinusitis.9
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi
antimikroba dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang

7
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang
berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap
sebagai rinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari
tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Sekret
menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan
memerlukan terapi antibiotik. 9

Sekresi mukus: berisi Pengentalan sekret;


antibodi dan IgA perubahan pH

Perubahan
Material terlarut Kompsisi mukus
Stagnasi sekret metabolisme udara
diabsorbsi mukosa normal
mukosa

Edema mukosa /
Sekresi mukus Kerusakan epitel dan
kelainan anatomi
Material sisa dan normal mukosa
hambat drainase
bakteri dikeluarkan
oleh mukosilia

Retensi sekret dan


perubahan
metabolisme sinus
Ostium terbuka Ostium tertutup timbulkan inflamasi
Mukosilia mencegah
dan pertumbuhan
kerusakan mukosa
bakteri

Penebalan mukosa
Infeksi tercegah menambah obstruksi
ostium

Skema 2.1. Perbandingan fisiologi sinus normal dan rinosinusitis10

Patensi ostium Fungsi silia Mucus


Edema Penurunan frekuensi Perubahan Jumlah
Allergen Gerakan silia (meningkat / menurun)

8
Infeksi Siliotoksin Allergen
Polip Udara dingin Iritan / polutan
Atopi Kehilangan koordinasi Metaplasia sel goblet
Kistik fibrosis Sinekia
Infeksi kronik
Struktur Kehilangan sel silia Perubahan Kualitas
Deviasi septum Polutan / iritan Gangguan transpor air
Konka bulosa Mediator inflamasi dan elektrolit
Tampon Pembedahan Dehidrasi
Kistik fibrosis
11
Tabel 2.1. Patofisiologi Penyakit Rinosinusitis

2.3 Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis umumnya ditemukan:
o Keluhan rinitis akut berupa hidung tersumbat dengan sekret purulen
o Nyeri/rasa penekanan pada wajah terutama pada daerah sinus
o Sakit kepala dengan berbagai derajat keparahan
o Post-nasal drip yang dirasakan sebagai lender yang terasa pada
tenggorok
o Keluhan sistemik berupa demam dan malaise
Diagnosis rinosinusitis terutama berdasarkan riwayat medis dan
dikonfirmasi dengan penemuan pada pemeriksaan fisik. Terdapat panduan dalam
diagnosis rinosinusitis berdasarkan Rhinosiusitis Task Force 1996, yaitu
berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor rinosinusitis. Faktor mayor dan
minor tersebut dapat dilihat pada tabel. dibawah ini.10

Tanda dan gejala yang berhubungan dengan Rinosinusitis


(Rhinosiusitis Task Force 1996)
Faktor Mayor Faktor Minor
Facial pain/pressurea Headache
Nasal obstruction Fever (all nonacute)
Nasal discharge/discolored Halitosis
Dental pain
postnasal drip

9
Hyposmia/anosmia Fatigue
Purulence in examination Cough
Fever (acute only)b Ear pain/pressure/fullness
Tabel 2.2 Gejala Rinosinusitis

Diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila terdapat minimal 2 tanda mayor atau


terdapat 1 tanda mayor dan > 2 tanda minor.10
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior serta
endoskopi nasal sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Pada pemeriksaan ini tanda khasnya adalah ditemukan pus di meatus medius
pada rinosinusitis sinus maksilaris, etmoidalis anterior, dan frontalis atau di
meatus superior pada rinosinusitis sinus etmoidalis posterior dan sfenoidalis.
Pada rinosinusitis akut, didapatkan mukosa edema dan hiperemis serta pada
anak ditemukan pembengkakan dan kemerahan di kantus medius.10
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan X-
Ray, CTScan¸ pemeriksaan transiluminasi, dan sinuskopi. Pemeriksaan X-Ray
untuk menilai sinus maksila dilakukan dengan posisi Water, sinus frontalis
dan etmoidalis dengan posisi postero anterior, dan sinus sfenoidalis dengan
posisi lateral. Pemeriksaan X-Ray biasanya hanya mampu menilai kondisi sinus
yang besar seperti sinus maksilaris dan frontalis. Kelainan yang ditemukan
berupa adanya perselubungan, batas udara dan air atau air fluid level, ataupun
penebalan mukosa. 10
Pemeriksaan CT-scan merupakan gold standard dalam menegakkan
diagnosis rinosinusitis karena pemeriksaan ini dapat menilai anatomi sinus
dan hidung secara keseluruhan. Namun dengan pertimbangan pemeriksaan
CT-scan tergolong cukup mahal, pemeriksaan ini hanya dilakukan pada
rinosinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau sebagai
tindakan pra-operatif sebagai panduan bagi operator sebelum melakukan operasi
sinus.10
Pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit dilakukan di ruangan gelap.
Sinus yang mengalami peradangan kemudian akan terlihat berubah menjadi
suram atau gelap. Namun pemeriksaan transiluminasi sudah jarang digunakan
karena manfaatnya terbilang sangat terbatas. Pemeriksaan sinuskopi dilakukan
dengan cara melakukan pungsi menembus dinding medial sinus maksilaris

10
melalui meatus inferior. Dengan alat endoskopi kemudian dapat dinilai
kondisi sinus maksilaris yang sesungguhnya. Lebih lanjut dapat dilakukan irigasi
sinus sebagai metode penatalaksanaan.10

2.4 Rinosinusitis kronik


Istilah rinosinusitis kronis digunakan untuk sinusitis yang menetap lebih
dari 12 minggu sebagai akibat dari sinusitis akut yang tidak terkontrol dengan
baik atau pengobatan yang tidak tepat (Piheiro et al. 2001). Rinosinusitis kronik
dikelompokkan lagi menjadi rinosinusitis kronik dengan polip hidung dan tanpa
polip hidung. Definisi tersebut di atas menekankan bahwa sinusitis pada
umumnya disertai terjadinya inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal secara
bersamaan. Oleh karena itu menurut European of Allergology and Clinical
Immunology Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps, penggunaan kata
rinosinusitis lebih disarankan daripada sinusitis (Fokkens et al, 2007).11 Etiologi
dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum
sepenuhnya diketahui, rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang terjadi
karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat dalam
mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik.9
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok
sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting
bagi transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang
cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM
merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis
kronik. Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi
terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan
mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang
berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada
mukosa sinus dan juga mukosa nasal9
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik
merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor
yaitu “faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan”9

11
Kronik Rinosinusitis tanpa atau dengan polip hidung pada orang dewasa
didefinisikan sebagai:12
• Inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau
lebih gejala, salah satunya termasuk
- Hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior)
- Nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
- Penurunan/ hilangnya penghidu
Lebih dari 12 minggu dan salah satu dari:
• temuan nasoendoskopi:
- Polip hidung dan/ atau
- Sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
- Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau
• gambaran tomografi komputer:
- perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus

Beratnya penyakit
Penyakit ini dapat dibagi menjadi, ringan,sedang dan berat berdasarkan skor total
visual analoque scale (VAS)12
o Ringan = 0-3
o Sedang = 3-7
o Berat = 7-10
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien
Lamanya penyakit
o Akut : kurang dari 12 minggu
o Kronik : lebih dari 12 minggu
2.4.1 Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri
maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis
rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.

12
Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita
mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat
serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.2 Keluhan subyektif yang dapat
menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:12
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya.
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip.
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan /
tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius.
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuat.11

2.4.2 Pemeriksaan Fisik12


• Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya)
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang
berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret
(nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.
• Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang12


• Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat
perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.

13
• Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,
patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium
tuba,
hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi
nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan.
Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat
sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %
 Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan
merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi
sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan
medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak diperlukan pada
rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.13
 Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,
mikroskop elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)
Rinosinusitis dapat dibedakan lagi menjadi kelompok dengan polip nasi
dan kelompok tanpa polip nasi. Rhinosinusitis kronik merupakan kelompok
primer sedangkan polip nasi merupakan subkategori dari rinosinusitis kronik.
Alasan rasional rinosinusitis kronik dibedakan dengan polip dan tanpa polip nasi
berdasarkan pada beberapa studi yang menunjukkan adanya gambaran patologi
jaringan sinus dan konka media yang berbeda pada kedua kelompok tersebut.13
2.5 Rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
Rinosinusitis kronik tanpa polip hidung adalah suatu reaksi inflamasi
mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu
dengan adanya dua atau lebih gejala, yang salah satunya harus ada gejala hidung

14
tersumbat/kongesti hidung atau rinore anterior atau posterior, dengan atau tanpa
nyeri wajah, dengan atau tanpa gangguan penciuman, dan atau ditemukan salah
satu dari pemeriksaan nasoendoskopi berupa sekret dari meatus medius, dan atau
pembengkakan mukosa terutama di meatus medius, dan atau pada pemeriksaan
tomograf computer ditemukan perubahan mukosa di kompleks osteomeatal atau
disinus paranasal.11
Menurut EPOS 2012, faktor penyebab rinosinusitis kronik antara lain
infeksi bakteri, jamur, dan alergi. Alergi merupakan faktor predisposisi
rinosinusitis kronik yang paling banyak. Hamilos pada penelitiannya
mendapatkan hubungan antara alergi dan rinosinusitis kronik. Dari seluruh pasien
rinosinusitis kronik, 60% memiliki alergi. Rinosinusitis kronik menimbulkan
gangguan tidur. Sekitar 68% pasien mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur
yang terjadi pada pasien rinosinusitis kronik berupa gangguan nafas saat tidur,
henti nafas saat tidur, dan mendengkur yang disebabkan oleh obstruksi hidung
yang diawali dengan adanya kongesti hidung. Beberapa mediator yang berperan
dalam rinosinusitis kronik alergi juga memiliki peranan dalam patofiiologi
gangguan tidur, yaitu histamin, IL-1, IL-4, IL-6, IL- 10, TNF-α, PGD2, dan
bradikinin. Di antara sitokin-sitokin tersebut, yang menunjukkan adanya peranan
yang dominan dalam regulasi tidur adalah interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-
6) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α).13

2.6 Rinosinusitis kronik dengan polip nasi


Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit
inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai
satu atau lebih mukosa sinus paranasal dan disertai dengan timbulnya masa lunak
bertangkai, berwarna putih keabu-abuan, jernih, mengandung cairan yang dapat
tumbuh secara tunggal maupun bergerombol pada mukosa hidung dan sinus
paranasal. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan di bidang Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok oleh karena mengalami peningkatan
dan memberikan dampak bagi pengeluaran finansial masyarakat serta dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.11
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa

15
makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembengkakan polip dan kista.12
Polip merupakan masa bulat atau lonjong dengan permukaan licin
berwarna pucat keabuan,lobuler , dapat multiple dan bersifat sangat tidak sensitif.
Warna polip yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya aliran darah yang
memasok polip tersebut. Bila terjadi trauma berulang atau suatu proses inflamasi
dapatberubah jadi kemerahan.2
Faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik dengan
polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised,
faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur,
osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks
laringofaringeal”.12
Sampai sekarang etiologi polip masih belum diketahui dengan pasti tapi
ada 3 faktor yang penting dalam terjadinya polip, yaitu : 1. Adanya peradangan
kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus; 2. Adanya gangguan
keseimbangan vasomotor; 3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan
edema mukosa hidung. Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang
mengalir melalui tempat yang sempit akan menyebabkan tekanan negatif pada
daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini
sehingga mengakibatkan edema mukosa dan menyebabkan polip. Fenomena ini
menjelaskan mengapa polip banyak berasal dari area yang sempit di infundibulum
etmoid, hiatus semilunaris dan area lain di meatus medius. Pada awal
pembentukan polip ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terjadi didaerah
meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga
mukosa yang sembab akan menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa
yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun kedalam rongga hidung
sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.13
Pembentukan polip sering juga dihubungkan dengan inflamasi kronik,
disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernsteins,
terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang
bertubulensi, terutama di daerah sempit di kompleks osteomeatal. Terjadi prolaps

16
submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga
terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permuksaan sel epitel yang berakibat
retensi air sehingga terbentuk polip.13
Teori lain mengatakan ketidakseimbangan saraf vasomotor menyebabkan
terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskuler yang
mengakibatkan dilepaskan sitokin dari sel mast yang akan menyebabkan edema
dan lama – kelamaan menjadi polip.12
Klasifikasi dan stadium polip nasi menurut Mackay14 :
Stadium 0 : tidak ada polip
Stadium 1 : polip terbatas dimeatus medius tidak keluar ke rongga hidung. Tidak
tampakdengan pemeriksaan rinoskopi anterior hanya terlihat dengan pemeriksaan
endoskopi.
Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius dan tampak dirongga hidung
tetapi tidak memenuhi / menutupi rongga hidung.
Stadium 3 : polip sudah memenuhi rongga hidung.
Gejala primer adalah hidung tersumbat, terasa ada masa dalam hidung,
sukar mengeluarkan ingus dan hiposmia atau anosmia. Gejala sekunder termasuk
ingus turun kearah tenggorok (post nasal drip), rinore, nyeri wajah, sakit kepala,
telinga rasa penuh, mengorok, gangguan tidur, dan penurunan prestasi kerja. 7,11
Biasanya polip sudah dapat terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Polip
yang sangat besar dapat mendesak dinding rongga hidung sehingga menyebabkan
deformitas wajah (hidung mekar). Polip kecil yang berada di celah meatus medius
sering tidak terdeteksi pada rinoskopi anterior dan baru terlihat pada
nasoendoskopi.15

2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Rinosinusitis Kronik tanpa polip nasi
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan
mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa.

17
Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung
memerlukan terapi yang berlainan juga.16

Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis
kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu
dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka
cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu
memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada dasarnya yang ingin
dicapai melalui terapi Kortikosteroid topikal : Beklometason, Flutikason,
Mometason.17
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa
polip nasi pada orang dewasa antara lain:
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis
kronik mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang
digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: Cefuroxime, Cefaclor, Cefixime
c. Florokuinolon : Ciprofloksasin
d. Makrolid : Eritromisin, Klaritromisin, Azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau
sistemik.
a. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada
rinosinusitis kronik dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien

18
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga,
avoidance terhadap iritan dan nutrisi yang cukup

Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan
sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan
peralatan canggih endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang
dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan
pertama kali oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus

19
i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j. Atresia koanae
k. Dakriosistorinotomi
l. Kontrol epistaksis

Skema 2.2 Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip

2.7.2 Rinosinusitis Kronik dengan polip nasi


Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronis dengan Polip Hidung Pada
Dewasa untuk Dokter Spesialis THT:17
1. Non Operatif
Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah kortikosteroid.
Baik bentuk oral maupun topikal, memberikan respon anti inflamasi non-spesifik
yang mengurangi ukuran polip dan mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat-
obatan lain tidak memberikan dampak yang berarti.

a. Kortikosteroid oral
Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan polip nasal
adalah kortikosteroid oral seperti prednison. Agen anti inflamasi nonspesifik ini

20
secara signifikan mengurangi ukuran peradangan polip dan memperbaiki gejala
lain secara cepat. Sayangnya, masa kerja sebentar dan polip sering tumbuh
kembali dan munculnya gejala yang sama dalam waktu mingguan hingga bulanan.
b. Kortikosteroid Topikal Hidung
Respon anti inflamasi non-spesifiknya secara teoritis mengurangi ukuran
polip dan mencegah tumbuhnya polip kembali jika digunakan berkelanjutan.
Tersedia semprot hidung steroid yang efektif dan relatif aman untuk pemakaian
jangka panjang dan jangka pendek seperti Fluticson, Mometason, Budesonid dan
lain-lain.
Pasien dengan gejala minimal dapat dimonitor sekali setahun atau dua kali
setahun.
Pasien dengan gejala obstruktif yang mengganggu memerlukan follow up yang
lebih sering, terutama jika mereka sedang menerima kortikosteroid oral dosis
tinggi atau menggunakan semprot hidung steroid topikal dalam jangka lama.
Intervensi bedah pada polip nasal dipertimbangkan setelah terapi medikamentosa
gagal dan untuk pasien dengan infeksi / peradangan sinus berulang yang
memerlukan perawatan dengan berbagai antibiotik.

2. Operatif
Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari pasien diberi antibiotik dan
kortikosteroid sistemik dan lokal. Hal ini penting untuk mengeliminasi bakteri dan
mengurangi inflamasi, karena inflamasi akan menyebabkan edema dan perdarahan
yang banyak, yang akan mengganggu kelancaran operasi. Kortikosteroid juga
bermanfaat untuk mengecilkan polip sehingga operasinya akan lebih mudah.
Dengan persiapan yang teliti, maka keadaan pasien akan optimal untuk menjalani
bedah sinus endoskopi dan kemungkinan timbulnya komplikasi juga ditekan
seminimal mungkin.
Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip
atau cunam dengan analgetik lokal, bisa juga dengan menggunakan alat yang
sangat menguntungkan seperti microdebrider yang dapat memotong langsung
menghisap polip sehingga perdarahan sangat minimal, yang terbaik ialah Bedah
Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Bedah sinus endoskopi fungsional

21
(BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan
operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus
terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih
ringan dan tidak radikal. Indikasi tindakan ini berupa sinusitis kronik yang tidak
membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang
ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur
Terapi Bedah Berbasis Bukti Untuk Rinosinusitis
Penelitian mengenai operasi sinus sangat sulit untuk digeneralisasi, karena
operasi diindikasikan pada pasien tertentu yang tidak memberikan respon yang
adekuat terhadap pengobatan medikamentosa. Terdapat masalah khusus dalam
melaksanakan studi operatif, karena operasi sangat sulit untuk diprediksi atau
distandarisasi, terutama pada penelitian multisenter dan tipe penatalaksanaan sulit
dibuat membuta (blinding/ masking). Randomisasi kemungkinan berhadapan
dengan masalah etik kecuali kriteria inklusi dipersempit dan adalah sangat sulit
untuk memperoleh kelompok pasien homogen dengan prosedur terapi yang dapat
dibandingkan untuk menyingkirkan bias evaluasi hasil operasi sinus. Meskipun
demikian :
1. Pada rinosinusitis akut, operasi diindikasikan pada kasus yang berat dan
komplikasi yang berhubungan.
2. Lebih dari 100 kasus berseri dengan hasil yang konsisten bahwa pasien
rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip mendapat manfaat dari operasi
sinus.
3. Komplikasi mayor terjadi pada kurang dari 1 % dan operasi revisi
dilaksanakan kira - kira 10 % dalam kurun waktu 3 tahun.
4. Pada sebagian besar kasus rinosinusitis kronis, pengobatan medikamentosa
yang adekuat sama efektifnya dengan operasi, jadi operasi sinus seharusnya
dicadangkan untuk pasien yang tidak memberikan respon memuaskan
terhadap pengobatan medikamentosa.
5. Bedah sinus endoskopik fungsional lebih superior dibandingkan prosedur
konvensional termasuk polipektomi dan irigasi antrum, tetapi superioritas
terhadap antrostomi meatus inferior atau sfenoetmoidektomi belum terbukti.

22
6. Pada pasien rinosinusitis kronis yang belum pernah dioperasi, operasi yang
lebih luas tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan prosedur
operasi yang terbatas. Walaupun bukan berbasis bukti, perluasan operasi
biasanya disesuaikan terhadap perluasan penyakit, yang merupakan
pendekatan secara rasional. Pada bedah sinus paranasal primer,
direkomendasikan bedah secara konservatif.
7. Operasi sinus endonasal revisi hanya diindikasikan jika pengobatan
medikamentosa tidak efektif. Perbaikan gejala secara umum diobservasi pada
pasien dengan rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip, walaupun
perbaikannya kurang dibandingkan setelah operasi primer. Angka komplikasi
dan terutama resiko rekurensi penyakit lebih tinggi dibandingkan operasi
primer Rinosinusitis Kronik Dewasa.

Skema 2.3 Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronik dengan Polip pada Pasien Dewasa 17

Rekomendasi Terapi Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Nasi


GRADE OF
N LEVE RELEVANC
TERAPI RECOMMENDATIO
O L E
N

23
AB oral < 2Mg No data D No
AB oral > 12 Mg No data D Ya, utk relaps
terlambat
AB topikal No data D No
STEROID topikal 1b A Ya
STEROID oral 1b A Ya
CUCI HIDUNG 1b, no A Ya utk ii
data simptomatik
DEKONGESTAN No data D No
oral/ topikal
MUKOLITIK No data D No
ANTI-JAMUR 1b (-) D No
sistemik
ANTI-JAMUR topikal 1b (-) A No

11 AHISTAMIN oral 1b (1) A Ya pd alergi


pd.pasien alergi
CAPSAICIN II B No

PROTON Pump II C No
Inhibitor
IMUNOMODULATO No data D No
R
PHYTOTHERAPY No data D No

Tabel 2.3 Rekomendasi terapi rhinosinusitis kronik dengan polip nasi17

Komplikasi14
Komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali
membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi
diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.
1. Komplikasi orbita
Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun

24
sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak dekat orbita dan dapat pula
menimbulkan infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan:
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi
orbita akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama
ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita
dan sinus etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara
aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan
dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum
dan bercampur dengan isi orbita tahap ini disertai gejala sisi neuritis
optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasn gerak otot
ekstraokular mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan
akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus
kavernosus di mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septik.
2. Komplikasi oseus/tulang
Penyebab tersering dari infeksi tulang adalah infeksi sinus frontalis.
Nyeri takan dahi setempat yang sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise,
demam, dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga sering terjadi
dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal dimana telah
terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup.

3. Komplikasi intrakranial
a. Meningitis akut. Infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat
dinding posterior sinus frontalis atau lamina kribtiformis di dekat sistem
sel udara etmoidalis.
b. Abses dura. Terdapat kumpulan pus di antara dura dan tabula interna
kranium, seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin

25
timbul lambat sehingga pasien mungkin hanya mengeluh nyeri kepala, dan
sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial.
c. Abses otak. Setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi,
maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
4. Komplikasi Paru
Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan antara rinitis dengan
asma bronkial pada hampir 50-80 % pasien. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Mohanty dan Bharat I yang menyatakan 72 % pasien
rinitis menunjukkan fungsi paru yang mengalami obstruksi secara
asimtomatis pada skrining fungsi paru. Hal ini juga berkaitan dengan derajat
sinusitis pada penemuan CT-Scan berbanding lurus dengan tingkat keparahan
obstruksi jalan nafas.
Rinosinusitis tidak diketahui secara pasti dapat menyebabkan asma
secara langsung atau keduanya hanya merupakan manifestasi klinis dari suatu
proses penyakit yang sama. Akan tetapi, banyak penelitian yang menyatakan
adanya kemajuan dalam penyembuhan asma dengan terapi rinosinusitis.
Penyebabnya adalah reflek nasofaringobronkial yang berhubungan dengan
respon berlebih dari saluran pernafasan. Hal ini menunjukkan stimulasi lokal
oleh mediator inflamasi dapat memicu terjadinya bronkospasme. Kedua,
inflamasi dari saluran nafas atas dapat menyebabkan inflamasi paru dengan
melepaskan faktor kemotaksis dan leukosit. Beberapa penelitian menyatakan
pernafasan melalui mulut pada pasien rinosinusitis dapat meningkatkan
inhalasi udara yang kering dan dingin serta polusi lingkungan.

Prognosis
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal
pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan
eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid
atau tidak. Untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung
lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi,

26
yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan15

27
BAB III
KESIMPULAN

Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang


dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan
mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa.
Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung
memerlukan terapi yang berlainan juga.
Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah
kortikosteroid. Baik bentuk oral maupun topikal, memberikan respon anti
inflamasi non-spesifik yang mengurangi ukuran polip dan mengurangi gejala
sumbatan hidung. Obat-obatan lain tidak memberikan dampak yang berarti. Terapi
pembedahan yang terbaik ialah Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan
hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih
memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasi tindakan ini
berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis
kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya
komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. StammbergerH. FESS. Endoscopic diagnosis and surgery of the paranasal


sinuses and anterior skull base. Tin Messerklinger technique and advanced
applications the Graz School. Karl-Franzens University Graz, Austria, 2006: -
20.
2. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
2006;109-129
3. Hilger PA. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan . Dalam: Boeis. Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6 EGC.Jakarta, 1997.hal:173-88.
4. Ballenger JJ. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus
Paranasal . Dalam: Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Edisi 13, Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994.hal: 1-
25.
5. Bolger WE. Anatomy of the Paranasal Sinuses. In: Kennedy DW, Disease of
the Sinuses, Diagnosis and Management.B.C.Decker Inc, Hamilton, London,
2001.
6. Walsh WE, Kern RC. Sinonasal Anatomy, Function and Evaluation . In:
Bailey BJ Ed. Head and Neck Surgery – Otolaryngology.Vol.II, 4 thed.,
Philadelphia: Lippincott-W&W, 2006.p: 307-17.
7. Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis.
Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004;1-16.
8. Netter, Frank H. ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25th Edition. Jakarta: EGC,
2014.
9. Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New York:
Informa,2007;1-12.
10. Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi S, et al. Pathophysiologic mechanisms of
chronic rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am, 2004; 24:75-85.
11. Mangunkusumo, E., dan Soetjipto D. Polip Hidung. Dalam: Soepardi, E. A.,
Iskandar N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D.Buku Ajar Ilmu Kesehatan

29
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta: FKUI.
2012.
12. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL,
Baroody FM,
13. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34.
14. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification,
diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head
& Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2006; 406-416.
15. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono
WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan
terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF
THT-KL Univ.Airlangga,2004; 17-23.
16. Ressel G. Sinus and allergy health partnership release report on adult chronic
rhinosinusitis. American Family Physic Practice guidelines. 2004.
17. Fokkens Wystke J, Valerie J.Lund, Mullol J., A summary for
Otorhinolaryngologists. EPOS 2012: European Position paper on rinosinusitis
and nasal polyp. 2012.

30

Anda mungkin juga menyukai