Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring berkembangnya zaman di era globalisasi saat ini, terjadi peningkatan jumlah
penduduk baik populasi maupun variasinya. Keadaan ini memungkinkan adanya
multikultural atau variasi kultur pada setiap wilayah. Tuntutan kebutuhan masyarakat
akan pelayanan kesehatan yang berkualitas pun semakin tinggi. Hal ini menuntut setiap
tenaga kesehatan profesional termasuk perawat untuk mengetahui dan bertindak setepat
mungkin dengan prespektif global dan medis bagaimana merawat pasien dengan berbagai
macam latar belakang kultur atau budaya yang berbeda dari berbagai tempat di dunia
dengan memperhatikan namun tetap pada tujuan utama yaitu memberikan asuhan
keperawatan yang berkualitas. Penanganan pasien dengan latar belakang budaya disebut
dengan transkultural nursing.
Tanskultural nursing adalah suatu daerah/wilayah keilmuan budaya pada proses
belajar dan praktek keperawatan yang fokusnya memandang perbedaan dan kesamaan
diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya
manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan
keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002).
Proses keperawatan transkultural di aplikasikan untuk mengurangi konflik perbedaan
budaya atau lintas budaya antara perawat sebagai profesional dan pasien.

B. Rumusan Masalah
1 Bagaimana konsep dan prinsip dalam asuhan keperawatan transkultural?
2 Bagaimana pengkajian asuhan keperawatan budaya dan berbagai instrumen
pengkajian budaya?
3 Bagaimana aplikasi konsep dan prinsip transkultural nursing di sepanjang daur
kehidupan manusia?

C. Tujuan Penulisan
1 Menjelaskan konsep dan prinsip dalam asuhan keperawatan transkultural
2 Mengetahui dan memahami pengkajian asuhan keperawatan budaya dan berbagai
instrumen pengkajian budaya

1
3 Dapat mengaplikasikan konsep dan prinsip transkultural nursing di sepanjang daur
kehidupan manusia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perspektif Transkultural dalam Keperawatan


1. Keperawatan Transkultural dan Globalisasi dalam Pelayanan Kesehatan
Dunia saat ini sedang mengalami era globalisasi. Globalisasi memungkinkan
adanya perpindahan penduduk (imigrasi) antar negara atau daerah yang menyebabkan
peningkatan jumlah penduduk dalam negara, baik populasi maupun variasinya.
Menurut United Nations Population Fund (2011), pada akhir bulan oktober tahun
2011 jumlah penduduk dunia akan mencapai tujuh miliar penduduk. Ini
memungkinkan adanya multikultural atau variasi kultur pada suatu wilayah. Berdasar
pada hal tersebut, penting bagi setiap tenaga kesehatan profesional termasuk perawat
untuk mengetahui dan bertindak dengan perspektif global bagaimana merawat pasien
dengan berbagai macam latar belakang kultur atau budaya yang berbeda dari berbagai
tempat di dunia saat ini.
Penanganan pasien dengan perbedaan latar belakang budaya disebut dengan
transkultural nursing. Menurut Leininger (2002), transkultural nursing adalah suatu
area/wilayah keilmuan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang
fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai
asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan
tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya
budaya atau keutuhan budaya kepada manusia, yang dalam penggunaannya bertujuan
untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga tercipta
praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal kultur dengan nilai-nilai
dan norma-norma yang diyakini dan dilakukan hampir semua kultur, misalnya seperti
budaya minum the yang dapat membuat tubuh sehat.
Berdasarkan definisi Leininger di atas, dalam melaksanakan praktik
keperawatan yang bersifat humanis, perawat perlu memahami landasan teori dan
praktik keperawatan yang berdasarkan budaya. Budaya yang telah menjadi kebiasaan
tersebut diterapkan dalam asuhan keperawatan transkultural berdasarkan kerangka
kerja keperawatan transkultural yang dikenal dengan Leininger Sunrise Model
(Leininger, 2002) dan tiga strategi utama intervensi Leininger, yaitu pemeliharan
terhadap budaya, negosiasi budaya dan merestrukturisasi budaya.

3
Bila seorang perawat mengabaikan landasan teori dan praktik keperawatan
yang berdasarkan budaya atau keperawatan transkultural, perawat akan mengalami
cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana
perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan.
hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan, dan
beberapa akan mengalami disorientasi. salah satu contoh yang sering ditemukan
adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. pada beberapa daerah atau negara
diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyeri dengan berteriak atau
menangis. tetapi bila seandainya perawat terbiasa dengan hanya meringis jika merasa
nyeri, ia akan menganggap sikap pasien mengganggu dan tidak sopan. maka perawat
pun akan meminta pasien bersuara pelan, bahkan tak jarang akan memarahinya karena
dianggap mengganggu pasien lainnya. kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini
akan berakibat pada perununan kualitas keperawatan yang diberikan.
Penting bagi perawat untuk memahami kultural sendiri sebelum memahami
keperawatan transkultural. Konsep tentang budaya dan gambaran perilaku dan sikap
yang mencerminkan budaya tertuang dalam ilmu antropologi kesehatan. Dalam
menerapkan keperawatan transkultural, tak hanya budaya yang harus diperhatikan,
namun paradigma keperawatan pun perlu diingat agar dapat diaplikasikan dalam
keperawatan transkultural. Leoninger (1985) mengartikan paradigma keperawatan
transkultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam
terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap
empat konsep sentral keperawatan, yaitu: manusia, komponen sehat sakit, lingkungan
serta keperawatan (Andrew and Boyle, 1995)
2. Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan Transkultural
Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada saat ini,
termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin tinggi.
Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar negara menyebabkan
adanya pergeseran terhadap tuntutan asuhan keperawatan. Sehingga, perawat tidak
hanya dituntut untuk bisa berkembang pada masa kini tapi perawat pun harus
berkembang dari masa lalu, seperti kebudayaan klien, latar belakang klien, dan lain
sebagainya.
Menurut J.N Giger dan Davidhizar konsep dan prinsip dalam asuhan
keperawatan ada beberapa, antara lain:

4
a. Budaya
Norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan dibagi
serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan.
b. Cultural
Seseorang yang memiliki pertentangan antara dua individu dari budaya, gaya
hidup, dan hukum hidup. Contohnya, Didin adalah anak yang dilahirkan dari
pasangan suku sunda dan batak.
c. Diversity
Diversity atau keragaman budaya adalah suatu bentuk yang ideal dari asuhan
keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya individu,
kepercayaan, dan tindakan.
d. Etnosentris
Prsepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah
yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
e. Ras
Perbedaan manusia didasarkan pada asal muasal manusia.
f. Cultural shock
Suatu keadaan yang dialami klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak
mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat
menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa
mengalami disorientasi.
g. Diskriminasi
Perbedaan perlakuan individu atau kelompok berdasarkan ras, etnik, jenis
kelamin, sosial, dan lain sebagainya.
h. Sterotyping
Anggapan suatu individu atau kelompok bahwa semua anggota dari kelompok
budaya adalah sama. Seperti, perawat beranggapan bahwa semua orang Indonesia
menyukai nasi.
i. Assimilation
Suatu proses individu untuk membangun identitas kebudayaannya, sehingga akan
menghilangkan budaya kelompoknya dan memperoleh budaya baru.
j. Perjudice
Adalah prasangka buruk atau beranggapan bahwa para pemimpin lebih suka untuk
menghukum terlebih dahulu suatu anggota.

5
B. Pengkajian Asuhan Keperawatan Budaya dan Instrumen Pengkajian Budaya
1. Pengkajian Asuhan Keperawatan Budaya
Perawat dalam menjalankan tugasnya sering menghadapi klien yang memiliki
latar belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda. Untuk menghadapi situasi ini
penting bagi perawat untuk memahami bahwa klien memiliki pendangan dan
interpretasi mengenai penyakit dan kesehatan yang berbeda. Pandangan tersebut
didasarkan pada keyakinan sosial-budaya klien.
Perawat harus sensitif dan waspada terhadap keunikan warisan budaya dan
tradisi kesehatan klien dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien dari latar
belakang kebudayaan yang berbeda. Perawat harus mengkaji dan mendengarkan
dengan cermat tentang konsistensi warisan budaya klien. Pengakajian tentang budaya
klien merupakan pengkajian yang sistematik dan komprehensif dari nilai-nilai
pelayanan budaya, kepercayaan, dan praktik individual, keluarga, komunitas.
Tujuan pengkajian budaya adalah untuk mendapatkan informasi yang
signifikan dari klien sehingga perawat dapat menerapkan kesamaan budaya
( Leininger dan MC Farland, 2002). Perawat dalam melakukan pengkajian terhadap
kebudayaan klien dimulai dari menentukan warisan kultural budaya klien, latar
belakang organisasi sosial, dan keterampilan bahasa serta menayakan penyebab
penyakit atau masalah untuk mengetahui klien mendapatkan pengobatan rakyat secara
tradisional baik secara ilmiah maupun mesogisoreligus atau kata ramah, suci untuk
mencegah dan mengatasi penyakit. Hal ini dilakukan untuk pemenuhan kompoen
pengakajian budaya untuk menyediakan informasi yang berguna dalam
mengumpulkan data kebudayaan klien.
Model matahari terbit dari Leininger menggambarkan keberagaman budaya
dalam kehidupan sehari-hari dan membantu melaksanakan pengkajian budaya yang
dilakukan secara komprehensif. Model ini beranggapan bahwa nilai-nilai pelayanan
budaya, kepercayaan, dan praktik merupakan hal yang tidak dapat diubah dalam
budaya dan dimensi struktur sosial masyarakat, konteks lingkungan, bahasa dan
riwayat etik atau peristiwa bersejarah dari kelompok tertentu. (Potter dan perry,
Fundamental Keperawatan Ed 7, 187)
Tahapan pengkajian budaya dimulai dari mengetahui perubahan demografik
populasi pada lingkungan praktik komunitas yang disebut dengan data sensus. Data
sensus didapatkan dari data sensus lokal dan regional serta laporan pelayanan
kesehatan. Langkah berikutnya perawat menggunakan teknik wawancara yang

6
terbuka, terfokus, dan kontras untuk mendorong klien menceritakan nilai-nilai,
kepercayaan, dan praktik dalam warisan budayanya. ( Spradley, 1979)
Dalam melaksanakan pengkajian budaya seorang perawat menjalin hubungan
dengan klien dan memiliki keterampilan dalam berkomunikasi. Pengkajian budaya
yang komprehensif membutuhkan keterampilan, waktu hingga persiapan dan
antisipasi sangat diperlukan.
2. Pengkajian Budaya
a. Pengertian Nilai Budaya
Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia mengenai apa
yang dianggap baik dan buruk.
Kebudayaan berasal dari bahasa Latin yaitu colera yang berarti mengolah,
mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan. Dari konsep ini berkembanglah
pengertian kebudayaan yaitu segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah
dan mengubah alam. Ditinjau dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal
dari bahasa Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi , yang berarti
budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan
dengan akal. Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat-istiadat
dan kemampuan yang lain yang di dapat manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Koentjaningrat, kebudayaan adalah seluruh system gagasan tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang didapat dengan
belajar dan dijadikan milik manusia sendiri.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagai
mana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga
banyak orang cenderung menganggapnya diwarisskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budayaa itu
dipelajari. Budaya adalah suau pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,
abstrak dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia. (Koentjaraningrat, 2002).

7
Budaya (Kultur) adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok
yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan
mengambil keputusan. Jenis budaya terdiri atas dua yaitu pertama, etno-caring
yaitu budaya yang dipelajari dari orangtuanya. Kedua, professional caring yaitu
budaya yang dipelajari dari pendidikan formal.
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh
penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah
suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya
terkait. Hal-hal yang perlu dikaji berhubungan dengan nilai-nilai budaya dan gaya
hidup adalah posisi dan jabatan, bahasa yang digunakan, kebiasaan membersihkan
diri, kebiasaan makan, makan pantang berkaitan dengan kondisi sakit, sarana
hiburan yang dimanfaatkan dan persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-
hari.
b. Karakteristik Budaya
Dincker menyimpulkan pendapat Boyle dan Andrews yang menggambarkan
empat ciri essensial budaya yaitu : pertama, budaya dipelajari dan dipindahkan,
orang mempelajari budaya mereka sendiri sejak lahir. Kedua, budaya berbagai
bersama, anggota-anggota kelompok yang sama membagi budaya baik secara
sadar maupun tidak sadar, perilaku dalam kelompok merupakan bagian dari
identitas budayanya. Ketiga, budaya adalah adaptasi pada lingkungan yang
mencerminkan kondisi khusus pada sekelompok manusia seperti bentuk rumah,
alat-alat dan sebagainya, adaptasi budaya pada negara maju diadopsi sesuai
dengan teknologi yang tinggi. Keempat, budaya adalah proses yang selalu berubah
dan dinamis, berubah seiring kondisi kebutuhan kelompoknya, misalnya tentang
partisipasi wanita dan sebagainya. Penelitian Brunner yang ditulis
Koetjanddiningrat, pada suku Bataak Toba di Indonesia yang beradaptasi dengan
suku Sunda dengan merubah adat ketatnya karena menyesuaikan diri dengan
budaya setempat.
Menurut Samovar dan Porter, ada 6 karakteristik budaya :
1) Budaya itu bukan keturunan tapi di pelajari, jika seorang anak lahir di
Amerika dan hidup di Amerika dari orang tua yang berkebangsaan Indonesia
maka tidaklah secara otomatis anak itu bisa berbicara dengan bahasa Indonesia
tanpa ada proses pembelajaran oleh orang tuanya.

8
2) Budaya itu di transfer dari satu generasi ke generasi berikutnya, kita
mengetahui banyak haltentang kehidupan yang berhubungan dengan budaya
karena generasi sebelum kita mengajarkan kita banyak hal tersebut. Suatu
contoh upacara penguburan plasenta pada masyarakat Jawa, masyarakat
tersebut tidak belajar secara formal tetapi mengikuti perilaku nenek
moyangnya.
3) Budaya itu berdasarkan symbol, untuk bisa mempelajari budaya orang
memerlukan symbol. Dengan symbol inilah nantinya kita dapat saling bertukar
pikiran dan komunikasi sehingga memungkinkan terjadinya proses transfer
budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Contoh beberapa symbol
yang mengkarakteristikan buadaya adalah kalung pada suku Dayak, manik2
gelang dan semua itu menandakan symbol pada budaya tertentu.
4) Budaya itu hal yang bisa berubah, karena budaya merupakan system yang
dinamis dan adaptif maka budaya rentan terhadap adanya perubahan. Misalnya
pada sekelompok msyarakat merayakan hari kelahiran dengan tumpeng atau
nasi kuning, pada zaman modern tradisi tersebut berubah menjadi kue ulang
tahun.
5) Budaya itu bersifat menyeluruh, satu elemen budaya dapat mempengaruhi
elemen-elemen budaya yang lain. Misalnya lingkungan sosial akan
mempengaruhi perilaku seseorang yang tinggal di lingkungan tersebut, dan
6) Budaya itu Etnosentris, adanya anggapan bahwa budaya kita lah yang paling
baik di antara budaya-budaya yang lain. Suku Badui akan merasa budaya
Badui yang benar, apabila melihat perilaku budaya dari suku lain dianggap
aneh, hal ini terjadi pada kelompok suku yang lainnya juga.
Meskipun tiap kelompok memiliki pola yang dapat dilihat yang membantu
membedakannya dengan kelompok lain, sebagian besar individu juga
mengungkapkan keyakinan atau sifat yang tidak sesuai dengan norma kelompok.
Seseorang bisa sangat tradisional dalam satu aspek dan sangat modern dalam
aspek lain. Ketika orang sakit, mereka kadang menjadi lebih tradisional dalam
harapan mereka dan pemikiran mereka. Juga ada fariasi signifikan dan antara
kelompok. Pengetahuan tentang kelompok juga bernilai ketika memberikan
sekumpulan harapan realistik. Tetapi, hanya dengan belajar tentang individiu atau
keluarga yang di hadapi sehingga tenaga medis dapat memahami dalam hal apa
pola kelompok bermakna.

9
c. Hubungan antara unsur-unsur kebudayaan
Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayan antara lain
sebagai berikut :
1) Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai,
serta memelihara segala perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara
manusia mengorganisasikan masyarakat mengekspresikan rasa keindahan,
atau memproduksi hasil-hasil kesenian.
Masyarakat kecil yang hidup berpindah-pindah (no maden) atau
masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal 8
macam teknologi traditional yang disebut juga dengan sistem peralatan dan
unsur kebudayaan fisik, yaitu alat-alat produktif, senjata, wadah, alat-alat
menyalakan api, makanan, pakaian,temmpat berlindung dan perumahan, dan
alat-alat transportasi.
2) Sistem mata pencaharian hidup
Perhatian para ilmuan pada sistem mata pencaharian ini hanya
berfokus pada masalah-masalah mata pencahariantradisional, diantaranya :
a) Berburu dan meramu
b) Beternak
c) Bercocok tanam diladang
d) Menangkap ikan
3) Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam
struktur sosial. Kim uichol mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu
masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan sruktur sosial dari
masayarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang
terdiri atas beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan
perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cuc,
kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek,dan seterusnya.
Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok
kekerabatan dari yang jumlahnya relatiif kecil hingga besar seperti keluarga
ambilineal, plan, fatri, dan separuh masyarakat. Dimasyarakat umum, juga
dikennal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas,
keluuarga bilatteral, dan keluarga unilateral.

10
Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan keluargayang
dibentuk oleh masyarak, baik yang berbadan hukum maupun yangg tidak
berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam
pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersam-
sama manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujan
tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
4) Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia
untuk saling berkomunikasi atau berhubungan baik lewat tulisan, lisan,
ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati
atau kemauan kepada lawan bicara (orang lain). Melalui bahasa, manusia
dapat menyuusuaikan diri dengan tingkah laku, adat istiadat, tatakrama
masyarakat, dan sekaligus mudah memebaurkan dirinya kedalam segala
bentukmasyarakat. Bahasa memiliki bebrappa fungsi yang dapat dibagi
menjadi fungsi umum dan fingsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah
sebagai alat berekspresi, berkomunikasi, serta alat untuk mengadakan
intergarsi dan adaptasi sosial. sedangkan, fungsi bahasa secara khusus adalah
untukmengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkaan seni
(sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, serta mengeksploitasi ilmu
pengetahuan dan teknologi.
5) Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasaldari
ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun
telinga sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa ti ggi,
manusiamenghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana
hingga perwujudan yang kompleks.
6) Sistem kepercayaan
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia
dalam menguasai rahsia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan,
muncul keyakinan akan adanya penguasa tertingggi dari sistem jagat raya ini
yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian dari jagat raya.
Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat,
manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada
penguasa alam semesta.

11
Agama daan sistem kepercayaan lainnya sering kali terintegrasi dengan
kebudayaan. Agama (religion) berasal dari bahas latin religare yang berarti
menambatkan adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah
umat manusia. Agam biasanya memiliki satu prisip, seperti 10 firman dalam
agama kristem atau 5 rukun islam dalam agama islam.
Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan seperti
dalam sistem birokrasi diwilayah Nangroe Aceh Darussalam (Effendi &
Makhfudli, 2013).
d. Wujud Kebudayaan
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu
pertama, gagasan wujud ideal yaitu berbentuk kumpulan ide, nilai, norma dan
peraturan aktivitas, dan artefak. Kedua, aktivitas atau disebut juga dengan sistem
sosial yaitu terdiri dari aktivitas, interaksi, yang mempunyai pola-pola tertentu
yang berdasarkan adat tata kelakuan. Ketiga, artefak (karya) yaitu wujud
kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan dan karya manusia
dalam masyarakat (Syafrudin, 2009).
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang
satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Berdasarkan
wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama
yaitu kebudayaan material dan kebudayaan non material. Kebudayaan material
mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata dan konkrit. Termasuk
dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu
penggalian arkeologi yaitu mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat
terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
Kebudayaan non material adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari
generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, lagu dan tarian
tradisional (Syafrudin. 2009).
e. Ciri-Ciri Kebudayaan
Ciri-ciri khas kebudayaan yaitu pertama, bersifat historis yaitu manusia
membuat sejarah yang bergerak dinamis dan selalu maju yang diwariskan secara
turun-temurun (Syafrudin, 2009). Kedua, bersifat geografis yaitu kebudayaan
manusia tidak selalu berjalan seragam, ada yang berkembang pesat dan ada yang
lamban, serta ada pula yang mandeg (stagnan) yang nyaris berhenti kemajuannya.

12
Dalam interaksi dengan lingkungan, kebudayaan tersebut berkembang pada
komunitas tertentu lalu meluas dalam kesukuan dan kebangsaan/ras, selanjutnya
kebudayaan itu meluas dan mencakup wilayah/regional, serta makin meluas ke
seluruh penjuru belahan bumi. Puncaknya adalah kebudayaan kosmo (duniawi)
dalam era informasi di mana terjadi saling melebur dan berinteraksinya
kebudayaan-kebudayaan. Ketiga, bersifat perwujudan nilai-nilai tertentu yaitu
dalam perjalanan kebudayaan, manusia selalu berusaha melampaui (batas)
keterbatasannya.
Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan
atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan
melandasi tindakan dan keputusan.
f. Aspek Budaya dalam Keperawatan
Leininger mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagai cara
pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep
sentral keperawatan yaitu :
1) Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-
nilai dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan
dan melakukan pilihan. Menurut Leininger, manusia memiliki kecenderungan
untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada.
2) Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam
mengisi kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan
merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang
digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat
diobservasi dalam aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan
yang sama yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-
sakit yang adaptif.
3) Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang
mempengaruhi perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan
dipandang sebagai suatu totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya
saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan

13
simbolik. Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh
manusia seperti daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim
seperti rumah di daerah Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak
pernah ada matahari sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan
struktur sosial yang berhubungan dengan sosialisasi individu, keluarga atau
kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam lingkungan sosial
individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di
lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan
simbol yang menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti
musik, seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan.
4) Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada
praktik keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang
budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai
dengan budaya klien.
Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah sebagai
berikut:
a) Cara I : Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi
keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang
telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau
mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga
setiap pagi.
b) Cara II : Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan
untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat
memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai
pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan
sumber protein hewani lain.
c) Cara III : Restrukturisasi budaya

14
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya
hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola
rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan
sesuai dengan keyakinan yang dianut.

C. Aplikasi Konsep dan Prinsip Transkultural Nursing di Sepanjang Daur Kehidupan


Manusia
a. Perawatan Kehamilan dan Kelahiran
Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya
dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara
universal sama. Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang
berbeda oleh aneka kelompok masyarakat (Jordan, 1993).
Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang
kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus
dijalani didunia. Salah satu kebudayaan masyarakat kerinci di Provinsi Jambi
misalnya, wanita hamil dilarang makan rebung karena menurut masyarakat setempat
jika wanita hamil makan rebung maka bayinya akan berbulu seperti rebung. Makan
jantung pisang juga diyakini menurut keyakinan mereka akan membuat bayi lahir
dengan ukuran yang kecil.
Dalam kebudayaan Batak, wanita hamil yang menginjak usia kehamilan tujuh
bulan diberikan kepada ibunya ulos tondi agar wanita hamil tersebut selamat dalam
proses melahirkan. Ketika sang bayi lahir pun nenek dari pihak ibu memberikan lagi
ulos tondi kepada cucunya sebagai simbol perlindungan. Sang ibu akan menggendong
anaknya dengan ulos tersebut agar anaknya selalu sehat dan cepat besar. Ulos tersebut
dinamakan ulos parompa.
Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih
dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini,
pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk
menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya berbeda,
serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi klien dan keluarga.
Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari masyarakat yang
sering menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari peristiwa
kehamilan dan kelahiran adalah orang jawa yang di dalam adat adat istiadat mereka

15
terdapat berbagai upacara adat yang rinci untuk menyambut kelahiran bayi seperti
pada upacara mitoni, procotan, dan brokohan.
Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran
oleh dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan modern
penanganan oleh dokter dibantu oleh perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi
penangana dengan adat dibantu oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida Swasono
dukun bayi umumnya adalah perempuan, walaupun dari berbagai kebudayaan
tertentu, dukun bayi adalah laki laki seperti pada masyarakat Bali Hindu yang disebut
balian manak dengan usia di atas 50tahun dan profesi ini tidak dapat digantikan oleh
perempuan karena dalam proses menolong persalinan, sang dukun harus membacakan
mantra mantra yang hanya boleh diucapkan oleh laki laki karena sifat sakralnya.
Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam
macam. Ada dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang
diwariskan dari nenek atau ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang
guru karena merasa terpanggil. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan
suatu proses semata mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat
melahirkan pun harus terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor” dalam arti
keduniawian, sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur
unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang sesuai
keperluan itu.
Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya banyak ramuan
untuk dapat menangani ibu dan janin, umumnya ramuan itu diracik dari berbagai jenis
tumbuhan, atau bahan-bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh
atau pelancar proses persalinan. Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian
antropologi, kehamilan dan kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan
fisiologis saja, melainkan sebagai proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan
hal-hal seperti; pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan
kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran
berlangsung, cara pencegahan bahaya, penggunaan ramuan atau obat-obatan
tradisional, cara menolong kelahiran, pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan
mengenai pertolongan serta perawatan bayi dan ibunya.
Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya
yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan
dalam pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu

16
berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial,
agama dan kepercayaan serta pola komunikasi. Semua budaya mempunyai dimensi
lampau, sekarang dan mendatang. Untuk itu penting bagi perawat memahami
orientasi waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitif terhadap
warisan budaya keluarganya.
b. Perawatan dan Pengasuhan Anak
Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari
awal masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi
peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan bias
mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu
contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak.
Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik
perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan,
yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang
terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara
sinergis.
Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya ada 5 (lima) sistem yang
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu:
Pertama,sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak
tumbuh dan berkembang yang meliputi: keluarga, teman sebaya, sekolah dan
lingkungan sekitar tetangga.
Kedua,sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro
sistem,misalnya hubungan pengalaman-pengalam an yang didapatkan di dalam
keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya.
Ketiga,sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam
setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung
terhadap perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang tua dan media massa.
Keempat,sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup
seperti: ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat.
Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional
(kondisi sosio-historik).
Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam
pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola
pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan

17
(budaya) yang koheren dan saling mendukung. Proses sosialisasi pada anak secara
umum melalui 4 fase, yaitu:
1. Fase Laten (Laten Pattern),pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat jelas.
Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat
melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih dianggap
sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini masih merupakan satu kesatuan
yang disebut “two persons system”.
2. Fase Adaptasi (Adaption),pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan dan
memberikan reaksi atas rangsangan-rangsang an dari lingkungannya. Orangtua
berperan besar pada fase adaptasi,karena anak hanya dapat belajar dengan baik
atas bantuan dan bimbingan orangtuanya.
3. Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment),pada fase ini dalam sosialisasinya
anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan yang
diberikan oleh lingkungannya,tapi sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak
cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan
penghargaan dari lingkungannya.
4. Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya
sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan,tapi
sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri.
Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah mengenalkan
dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Lingkungan dan
keluarga turut berperan serta dalam tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas
dari pengaruh-pengaruh budaya yang ada di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam
memberikan pengasuhan dan perawatan perlu mengarahkan anak pada perilaku
perkembangan yang normal, membantu dalam memaksimalkan kemampuannya dan
menggunakan kemampuannya untuk koping dengan membantu mencapai
keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat juga harus sangat melibatkan
anak dalam merencanakan proses perkembangan. Karena preadolesens memiliki
keterampilan kognitif dan sosial yang meningkat sehingga dapat merencnakan
aktifitas perkembngan.
Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara kooperatif
dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang budaya. Dalam
proses ini, anak mungkin menghadapi masalah kesehatan psikososial dan fisik
(misalnya meningkatnya kerentanan terhadap infeksi pernapasan, penyesuaian yang

18
salah di sekolah, hubungan dengan kawan sebaya tidak adekuat, atau gangguan
belajar). Perawat harus merancang intervensi peningkatan kesehatan anak dengan
turut mengkaji kultur yang berkembang pada anak. Agar tidak terjadi konflik budaya
terhadap anak yang akan mengakibatkan tidak optimalnya pegasuhan dan perawatan
anak.
Pada umumnya aplikasi teori keperawatan transkultural dalam keperawatan
diharapkan adanya kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan kultur. Hal ini berarti
perawat yang professional memiliki pengetahuan dan praktek yang berdasarkan kultur
secara konsep petencanaan dan untuk praktik keperawatan. Tujuan penggunaan
keperawatan transkultural adalah untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan
yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan
universal kultur yang spesifik adalah kultur dengan nilai-nilai dan norma spesifik
yang dimiliki oleh kelompok lain. Kultur yang universal adalah nilai-nilai dan norma-
norma yang diyakini dan dilakukan hampir semua kultur seperti budaya minum teh
yang dapat membuat tubuh sehat.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan :
a. Proses keperawatan transkultural merupakan salah satu dasar teori untuk memenuhi
asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya pasien.
b. Proses keperawatan transkultural diaplikasikan untuk mengurangi konflik perbedaan
budaya atau lintas budaya antara perawat sebagai profesional dan pasien. Perilaku
budaya terkait sehat sakit masyarakat secara umum masih banyak dilakukan pada
keluarga secara turun temurun.
c. Sehat dan sakit atau kesehatan dalam perspektif transkultural nursing diartikan
pandangan masyarakat tentang kesehatan spesifik bergantung pada kelompok
kebudayaannya teknologi dan non-teknologi pelayanan kesehatan yang diterima
bergantung pada budaya nilai dan kepercayaan yang dianutnya.
d. Proses keperawatan transkultural terdiri dari tahap pengkajian keperawatan
transkultural, diagnosa keperawatan transkultural, rencana tindakan keperawatan
transkultural, tindakan keperawatan transkultural dan evaluasi tindakan keperawatan
transkultural.
e. Prinsip pengkajian keperawatan transkultural berpedoman pada model konsep dari
Leininger. Konsep utama dari model sunrise berupa cultural care, world view, culture
and social culture dimention, generic care system, proffesional system, culture care
preservation, culture care accomodation, culture care repattering, culture congruent.
f. Rencana tindakan transkultural didasari pada prinsip rencana tindakan dari teori
Sunrise Model yang terdiri dari 3 strategi tindakan, yaitu perlindungan perawatan
budaya atau pemeliharaannya, akomodasi perawatan budaya atau negosiasi budaya,
perumusan kembali dan restrukturasi.
g. aplikasi teori keperawatan transkultural dalam keperawatan diharapkan adanya
kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan kultur. Hal ini berarti perawat yang
professional memiliki pengetahuan dan praktek yang berdasarkan kultur secara
konsep petencanaan dan untuk praktik keperawatan. Tujuan penggunaan keperawatan
transkultural adalah untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis
sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal kultur
yang spesifik adalah kultur dengan nilai-nilai dan norma spesifik yang dimiliki oleh

20
kelompok lain. Kultur yang universal adalah nilai-nilai dan norma-norma yang
diyakini dan dilakukan hampir semua kultur seperti budaya minum teh yang dapat
membuat tubuh sehat.

B. Saran
Sebagai calon perawat profesional hendaklah nantinya mengaplikasikan teori-teori
Leininger dalam setiap melakukan proses keperawatan, tanpa membeda-bedakan pasien,
baik itu dari segi agama, budaya, dan sebagainya sehingga pelayanan kesehatan dapat
dilakukan secara optimal.
Selain itu, dengan adanya makalah ini, para mahasiswa keperawatan dapat
mengetahui konsep keperawatan transkultural sehingga mulai sekarang mempersiapkan
diri menghadapi beragam perbedaan dengan pasien yang nantinya akan didapatkan di
pelayanan kesehatan.

21

Anda mungkin juga menyukai