Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Al- Ulum

Volume. 10, Nomor 1, Juni 2010


Hal. 107-118

KANUNISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Ajub Ishak
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai, Gorontalo
(ajubiskak64@gmail.com)

Abstrak
Tulisan ini mengulas tentang pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Hukum Islam
ditegakkan dan sudah berlangsung serta diakui keberadaannya secara sah di
lingkungan masyarakat Islam Indonesia yang tentunya mempunyai kekuatan
memaksa dalam penerapan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat khususnya
umat Islam. Kanun hukum Islam bersumber dari wahyu untuk manusia, karenanya
kanun hukum Islam berbeda dengan fikih yang tidak ada paksaan untuk
pelaksanaannya meliputi aspek kehidupan manusia khususnya umat Islam. Di
Indonesia, kanun hukum Islam sudah diterapkan tetapi masih terbatas dalam ruang
lingkup perdata Islam. Yang lebih khusus lagi berkaitan dengan hukum keluarga
dan penerapannya dikhususkan kepada masyarakat Islam.

This paper explores the implementation of Islamic law in Indonesia. Islamic law has
been established and legally recognized in Indonesian Muslim society which
certainly has the power to force the application of Islamic law to the people,
especially Muslims. Canons of Islamic law derived from revelation to man;
therefore, it is different with the canons of Islamic jurisprudence that there is no
compulsion for the implementation involves aspects of human life, especially
Muslims. In Indonesia, the canons of Islamic law had been implemented but are still
limited in the scope of civil Islam. More specifically related to family law and its
implementation is particularly devoted to the Muslim community.

Kata-kata kunci: kanunisasi, hukum Islam, Indonesia.

107
Ajub Ishak

A. Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang penduduknya
sangat beragam dari segi etnik, budaya dan agama. Sedangkan mayo-
ritasnya adalah beragama Islam, sekitar 88 % dari lebih dua ratus juta
orang.1 Bila dilihat dari segi pluralitas jenis penduduknya, dapat
dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai sistem hukum
berbeda, berlaku sejak zaman primitif yang berasal dari kitab Suci,
kebiasaan atau adat istiadat, sampai dengan ketentuan yang diyakini
bersama untuk dipatuhi.
Ketika Indonesia masih dijajah oleh kolonial Belanda, jelaslah
kolonial Belanda sebagai penjajah, sudah tentu membawa sistem
hukum mereka ke Indonesia. Justru sangat mungkin para penjajah itu
akan memaksakan hukumnya kepada masyarakat Indonesia yang
mereka jajah.2
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, sudah pasti
ada nilai-nilai agama yang telah diyakini bersama, dijadikan sistem
kehidupan, aturan atau norma mereka dan mengetahui hubungan
antara sesama mereka, yang kemudian dianggap sebagai hukum yang
dikenal dengan hukum Islam.
Berbicara mengenai hukum Islam tetap disadari adanya
ketentuan normatif yang diperoleh dari sumber asalnya, yakni yang
disebut dengan syariah atau wahyu yang wujudnya berupa al-Quran
dan Sunnah/Hadis Nabi.3
Dapat disimpulkan bahwa pemeluk agama Islam harus
mempraktekkan ketentuan normatif tersebut. Dan ketentuan tersebut
dapat terwujud kalau dalam bentuk kanun atau Undang-Undang yang
mempunyai sifat memaksa dengan menggunakan alat negara. Tetapi
mengapa hukum Islam tersebut dalam prakteknya dikalangan umat
Islam di Indonesia, bahkan penerapannya belum secara keseluruhan,
atau masih sebagiannya saja.

1
A. Qadry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum
Islam Dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 109.
2
Ibid., h. 110.
3
Ibid., h. 184.

108
Kanunisasi Hukum Islam di Indonesia

B. Kanun Hukum Islam


Mengambil pilihan hukum lain sementara Allah dan Rasul
telah memberikan ketentuan hukum di anggap lalim, kafir dan fasik
(Q;5: 44, 45, 47).4 Islam mempunyai kebijaksanaan dalam mene-
rapkan aturan Islam di dalam kehidupan bermasyarakat antara lain
dengan kebijaksanaan tasyri’ dan taklif.
Kebijaksanaan tasyri’ ialah kebijaksanaan pengundangan suatu
aturan hukum Allah dan Rasul sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Kalau masyarakat belum matang untuk mene-rima suatu
ketentuan hukum, maka dibuat ketentuan hukum yang ringan. Kalau
masyarakat telah menerima Islam dengan kesadaran, maka ditingkat-
kan ketentuan hukum yang sesuai dengan hakikat manusia.5 Con-
tohnya, mengenai aturan minuman keras.
Menurut Fathurrahman Djamil; karena perjudian dan minuman
keras telah berurat dan berakar dalam tradisi Arab, bahkan menjadi
kebanggaan sehingga diungkapkan dalam syair-syairnya, maka dalam
menghapusnya Islam tidak berlaku ceroboh. Hukum Islam mengha-
ramkan minuman keras dengan berangsur-angsur (berevolusi).6
Wahyu pertama mengatakan bahwa minuman keras itu ada
manfaatnya dan ada dosanya, tetapi dosanya lebih besar dari
manfaatnya (Q.S.2:219). Setelah kesadaran hukum para sahabat
meningkat, turun wahyu kedua yang berisi ketentuan bahwa kalau
akan mengerjakan shalat jangan minum-minuman keras (Q.S.4:43).
Wahyu ketiganya, setelah kesadaran hukum para sahabat cukup tinggi,
mengatakan bahwa berjudi dan minuman keras adalah perbuatan
setan, maka jauhilah (Q.S.5:90, 91).

4
“…Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang yang kafir”; “…Barang siapa yang
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim”; “Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah. Barang siapa yang tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik”.
5
H. Ichtijanto, S.A., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di
Indonesia, dalam Eddi Rusdiana, dkk, Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan
dan Pembentukannya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h. 104
6
H. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), h. 70.

109
Ajub Ishak

Maka dengan demikian hukum Islam yang bersumber dari al-


Quran dan Sunnah Nabi yang sangat tegas ketentuan hukum terhadap
sesuatu. Tetapi dalam pelaksanaannya sangat memperha-tikan situasi
dan kondisi pelaku kejahatan tersebut. Sehingga hal ini pula bisa
menjadi bantahan terhadap tuduhan bahwa hukum Islam itu tidak
berperikemanusiaan atau melanggar hak azasi manusia, bahkan
tuduhan bahwa hukum Islam kejam.
Kebijaksanaan taklif ialah kebijaksanaan dalam penerapan
suatu ketentuan hukum terhadap manusia sebagai mukallaf (subjek
hukum) dengan melihat kepada situasi dan kondisi pribadi manusia
itu, melihat kepada kemampuan fisik dan rohani (sudah dewasa),
mempunyai kebebasan dan mempunyai akal sehat, di samping
mempunyai kondisi pribadi yang sangat khusus ada padanya. Oleh
karena itu, dalam kebijaksanaan ini, hukum suatu perbuatan bagi
seseorang dapat berbeda dengan hukum perbuatan itu bagi orang lain.7
Contohnya mencuri, ketentuan hukum mengatakan bahwa pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan di potong tangannya.(Q.S.5:38).
Bila pencuri itu mencuri sekedar untuk makan, pada masa
khalifah Umar bin Khattab, ketentuan potong tangan tidak diterapkan,
tetapi pencuri itu dilepaskan, malah dibantu dengan diberi makanan.
Dalam kasus lain, masih pada masa Umar si pencuri tidak dipidana
karena dia seorang budak yang tidak mendapat makan dari tuannya,
dan melakukan pencurian itu untuk menyambung nyawanya. Malahan
Umar r.a. memberi peringatan keras pada pemilik budak tadi jika hal
itu masih terjadi.8
Dalam pembicaraan mengenai hukum Islam juga sering
ditemukan istilah qanun9, sehingga perlu penjelasan singkat tentang
qanun ini dalam hubungannya dengan hukum Islam.

7
H. Ichtijanto, S.A., Op. Cit., h. 104
8
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam Penerapan Syari’at
Islam dalam konteks Modernitas, (Bandung: Asy-Syaamil Press dan Grafika, 2001),
h. 193
9
Menurut N. Coulson; Kekuasaan, yang disebut siyasah, mempunyai
wewenang untuk menetapkan aturan bagi pelaksanaan hukum yang disebut qanun.
Lihat, Mark Cammark, Hukum Islam dalam Politik Hukum Orde Baru, dalam
Sudirman Tebba, (ed.) Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara,
Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, (Bandung: Mizan, 1993), h.
35.

110
Kanunisasi Hukum Islam di Indonesia

Menurut A. Qadri Azizy, istilah kanun atau qanun berasal dari


bahasa Yunani yang masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa
Suryani, yang berarti “alat pengukur”, kemudian berarti ”kaidah”.
Dalam bahasa Arab kata kerjanya qanna yang artinya membuat
hukum (to make law, to legislate). Kemudian kanun dapat berarti
hukum (law), peraturan (rule, regulation) Undang-Undang (Statute,
Code).10
Landasan dasar di balik kanun adalah jika hukum perbuatan
tidak dapat diubah, maka kejadian dari tindakan tersebutlah yang
dapat diatur.11 Maka dalam hal ini diperlukan aturan atau undang-
undang yang sifatnya mengikat dan memaksa bagi pelakunya.
Untuk lebih menghargai pengakuan bahwa hukum Islam
berbeda dari hukum Romawi serta Sipil, penting kiranya mempertim-
bangkan bahwa sistem hukum Islam berbeda dari yang lain dalam
dasar agamanya, sumber hukum. Aturan hukum khusus, serta
pendekatan metodologisnya.12
Dalam penggunaannya, Mahmassani menyebutkan bahwa
kanun mempunyai tiga arti :
1. Kumpulan peraturan-peraturan hukum/undang-undang (Kitab
undang-undang). Istilah ini dipakai seperti kanun pidana
Usmani (KUH Pidana Turki Usmani), Kanun Perdata Libanon
(KUH perdata Libanon) dan lain-lain.
2. Istilah yang sepadan dengan hukum, jadi ilmu kanun sama
dengan ilmu hukum.
3. Undang-undang, berbeda dengan yang pertama adalah lebih
umum mencakup banyak hal sedang yang ketiga ini berkaitan
dengan hal-hal tertentu, seperti Kanun Perkawinan sama
artinya dengan Undang-undang Perkawinan.13

Dari makna kanun di atas, maka kanun dalam tulisan ini


mempunyai kekuasaan atau kekuatan untuk pelaksanaannya, sama
persis dengan undang-undang, yaitu ada pelaksanaan dan

10
A. Qadri Azizy, Op.Cit., h. 57-58
11
N. Noulson, Op.Cit., h. 35
12
Ibid., h.163
13
Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Diterjemahkan oleh
Ahmad Sudjono dari buku Falsafah Al-Tasyri’ Fi Al-Islâm, (Bandung: Al-Maarif,
1981), h. 22.

111
Ajub Ishak

penegakan hukum, ketika menjadi putusan hakim di pengadilan.


Negara menyediakan perangkat atau alat untuk memaksakan
putusan hukum yang telah dihasilkan tersebut.
Kanun dapatlah dikatakan identik dengan undang-undang
di negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, yang berupa:
1. Mengatur hal-hal yang berkaitan antar sesama manusia.
2. Berisi hukum yang sudah jelas ketentuan pokok dari nash-nya
dan dalam waktu bersamaan kebijakan publik atas dasar ‘urf,
istihsan, atau maslahah.
3. Kanun sekaligus berarti telah memilih salah satu dari sekian
banyak perbedaan pendapat (ikhtilaf) dikalangan ahli hukum
Islam (mujahid/fukaha) untuk kemudian harus ditaati oleh
seluruh masyarakat.
4. Dalam beberapa hal terkadang melewati ketentuan hukum
Islam (maslahah mursalah) dengan dalih siyasah syari’iyyah
(politik hukum).
5. Berupa undang-undang sesuai produk lembaga legislatif atau
lembaga eksekutif yang mempunyai fungsi legislatif.14
Maka dengan demikian ketika kanun diteorikan seperti yang
disebutkan di atas, maka dapat diambil salah satu contoh kanun
hukum Islam di Indonesia adalah undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Dalam kerangka pikir yang lain telah terjadi pada peraturan
perundang-undangan nasional tersebut dan dengan melihat pada
kenyataan hukum dalam masyarakat, terutama mengenai pengamalan
dan pelaksanaan hukum Islam. Seperti yang berkaitan dengan ibadah
dan muamalah (puasa, zakat, haji, umrah, infaq, shadaqah, hibah,
baitul maal, hari raya besar Islam, doa pada hari raya nasional dan
sebagainya).
Dengan demikian, hukum Islam adalah hukum yang hidup di
dalam kehidupan bangsa Indonesia, maka terlihat ada hubungan yang
akrab antara hukum Islam dan hukum nasional di Indonesia. Dalam
kehidupan bangsa dan negara Indonesia, agama Islam dan hukum
Islam tidak dapat ditinggalkan sama sekali, bahkan merupakan bagian
integral dari sistem hukum nasional.

14
A. Qadry Azizy, Op.Cit., h. 61-62

112
Kanunisasi Hukum Islam di Indonesia

C. Hukum Islam di Indonesia


Pelaksanaan hukum Islam kaitannya dengan sistem hukum
positif di negara Indonesia atau antara hukum Islam dan negara sudah
banyak ditulis oleh para sarjana, termasuk sarjana barat.15
Kaitan hukum Islam dengan hukum positif tersebut, dapat
dicermati dengan dikeluarkannya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,16
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan
Ibadah Haji,17 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat,18hukum Islam telah mendapat tempat tersendiri
dalam negara Republik Indonesia, walaupun baru di bidang
perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang dikuatkan dengan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 jo SKMA Nomor 154 Tahun 1991 yang dianjurkan
kepada umat Islam di Indonesia untuk melaksanakannya sebagai
hukm positif, walaupun masih terdapat kekurangan-kekurangannya.
Kekurangan-kekurangan undang-undang dan peraturan
tersebut antara lain yang sifatnya teknis aturannya dan pelaksanaannya
di lapangan, kadang-kadang tidak sesuai atau masih terdapat
penyimpangan. Tetapi walaupun begitu dengan terbitnya UU dan
peraturan tersebut, makin menambah kuatnya kedudukan hukum
Islam di Indonesia.
Berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dan
pembukaan UUD 1945, maka kedudukan hukum Islam telah mulai
mantap dan berkembang karena hukum Islam pada pokoknya adalah
hukum dari Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan rumusan falsafah
negara Pancasila.19
Istilah ‘hukum Islam’ merupakan istilah khas Indonesia,
sebagai terjemahan al-fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari
al-syari’ah al-Islamiyah. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat
15
Ibid, h. 187-188
16
Lihat, H. Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar
Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001), h. 140.
17
Lihat, Ibid, h. 186.
18
Lihat, Ibid, h. 163.
19
Mohd. Idris Ranumulyo, Asas-Asas Hukum Islam,Sejarah Timbul dan
Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h. 57.

113
Ajub Ishak

digunakan Islamic Law. Dalam al-Quran/al-Sunnah, istilah al-hukm


al-Islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah kata syariat yang
dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh.20
Setidaknya ada empat produk pemikiran hukum Islam yang
telah berkembang dan berlaku di Indonesia, seiring pertumbuhan dan
perkembangannya. Empat produk pemikiran hukum Islam tersebut
adalah fikih, fatwa ulama-hakim, keputusan pengadilan, dan
perundang-undangan.21
Keempat produk ini dapat dijadikan sebagai sumber atau dasar
untuk menerbitkan suatu produk Undang-Undang atau peraturan, yang
tentunya mempunyai kekuatan memaksa (kanun) dalam penerapann
syari’at Islam di tengah masyarakat khususnya umat Islam.
Perjuangan menegakkan syari’at Islam di Indonesia dalam
konteks struktur negara dan pemerintah yang sudah berlangsung dan
diakui kedaulatannya secara legitimate. Dalam konteks, masyarakat
pluralistik dengan konsep negara kebangsaan, maka kehadiran umat
Islam yang mayoritas sungguh merupakan potensi yang menjanjikan
tegaknya kejayaan Islam.22 Hal ini, telah terlihat dalam kebijakan
negara, melalui UU No. 19 Tahun 2001, yaitu lahirnya penegakan atas
realisasi syariat Islam di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.23
Dengan demikian hukum Islam di Indonesia, sudah mulai
diterapkan bukan lagi sebagian atau yang berkenaan dengan perdata
saja. Akan tetapi sudah mulai nampak penerapannya secara kaffah
(keseluruhan). Hal ini disebabkan bahwa hukum Islam erat kaitannya
dengan pranata-pranata sosial.
Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi,
(1) sebagai kontrol sosial, dan (2) sebagai nilai baru dan perubahan
proses sosial.24 Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai

20
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2000), h. 3
21
Ibid, h. 24-25.
22
Jawahir Thontowi, Islam, Politik dan Hukum; Esai-Esai Ilmiah Untuk
Pembaharuan, (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), h. 28.
23
Ibid.
24
Terdapat kehendak dan usaha untuk menempatkan hukum, selain sebagai
pengendali masyarakat (social control) dan juga, sebagai suatu sarana rekayasa
masyarakat (as a tool of social engineering) Lihat: Cik Hasan Basri, (et.al.,)
Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), h. 3

114
Kanunisasi Hukum Islam di Indonesia

blue print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga
sekaligus sebagai social engineering terha-dap keberadaan suatu
komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum lebih
merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan
sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya dan
politik.25
Dengan demikian tersebut, sebenarnya sudah cukup kuat
landasan bagi umat Islam Indonesia untuk melaksanakan syari’at
Islam di bumi Indonesia, baik dalam bidang muamalah, bahkan
hukum pidana sekalipun.26
Penerapan syari’at Islam di Indonesia juga memiliki akar
historis yang kuat, sebab kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara telah
melaksanakan hukum Islam. Hukum Islam telah hidup di bumi
Nusantara, sebelum kedatangan penjajah Kristen Belanda. Karena itu,
sejak zaman VOC, Belanda sebenarnya telah menga-kui hukum Islam
di Indonesia.27
Apabila melihat sejarah, bahwa syari’at Islam sudah memang
diterapkan, bahkan di masa penjajahan sekalipun syari’at Islam telah
mendapat pengakuan berlakunya. Walaupun masih dalam batas-batas
tertentu bila tidak bertentangan atau sejalan dengan hukum adat,
apalagi di era reformasi sekarang ini.
Era reformasi memang dimanfaatkan oleh berbagai kalangan
kaum muslimin Indonesia untuk menggelorakan pene-rapan syari’at
Islam di Indonesia. Kaum muslimin di sejumlah daerah, seperti D.I.
Aceh, Sulawesi Selatan, Maluku, Tasikmalaya, Garut dan sebagainya,
sedang dan terus berbenah untuk memperjuangkan tegaknya hukum
Allah di daerah masing-masing. Undang-Undang Nomor 22 tentang
otonomi daerah biasanya dijadikan sebagai pintu masuk untuk
menerapkan syari’at Islam tersebut. 28
Karena itu, menurut Ismail Sunny; tidaklah berlebihan kalau
dikatakan bahwa pada masa kolonial Belanda hukum Islam

25
Ahmad Rafiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Gama media, 2001), h. 98-99.
26
Adhian Husaini, Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat, Penerapan Hukum
Rajam di Indonesia dalam Tinjauan Syariat Islam, Hukum Posititf dan Politik
Global, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h.147
27
Ibid, h. 148
28
Ibid, h. xi

115
Ajub Ishak

merupakan satu-satunya sistem hukum yang dijalankan dan menjadi


kesadaran hukum yang berkembang dalam sebagian besar masyarakat
hukum adat Indonesia.29
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi (ditaati)
oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang
telah hidup di dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan
keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan hukum nasional serta
merupakan bahan dalam pembi-naan dan pengembangannya.30
Belanda ingin memantapkan penjajahannya dan berusaha
menjauhkan hukum Islam dari masyarakat Islam dengan menimbul-
kan dan menerapkan teori receptie.31 Di samping itu dalam
perkembangan pengkajian hukum Islam di Indonesia dapat dilihat
teori-teori tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia antara lain :
teori receptie in Complexu,32 teori receptie exit,33 dan teori receptie a
Contrario.34

29
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002),
h. 88, yang dikutip dari, Ismail Sunny, Islam as a System of Law in Indonesia,
dalam In Memoriam Prof. Dr. Hazairin; Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1976), h. 19.
30
H. Ichtijanto, S.A., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam Di
Indonesia, dalam Eddi Rusdiana, SH., dkk, Hukum Islam Di Indonesia,
Perkembangan dan Pembentukannya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h.
100
31
Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat jajahan
(pribumi) adalah hukum adat. Hukum Islam menjadi hukum kalau telah diterima
oleh masyarakat sebagai hukum adat. Lihat H. Ichtijanto, S.A., H., Dalam Eddi
Rusdiana, SH., dkk, Hukum Islam … h. 101., lihat pula Ahmad Rofiq, Op.Cit., h.
62. Lihat Pula, H. Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar
Hukum Islam dalam tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h.
112.
32
Teori yang mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat pribumi
adalah hukum agamanya. Lihat Ibid, h. 101., lihat pula Ahmad Rofiq, M.A. Op.Cit.,
h. 55. Lihat Pula, H. Suparman Usman, Op.Cit., h. 111.
33
Teori receptie exit maksudnya adalah bahwa teori receptie harus keluar
dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 serta
bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Lihat Op.Cit., h. 102. Lihat pula,
H. Suparman Usman, Op.Cit., h. 113-117.
34
Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah
hukum agamanya; hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan
hukum agama. Lihat Ibid, h. 102., lihat pula Ahmad Rofiq, Op.Cit., h. 69. Lihat
pula, H. Suparman Usman, Op.Cit., h. 118.

116
Kanunisasi Hukum Islam di Indonesia

D. Kesimpulan
Hukum Islam yang mempunyai ketentuan yang sifatnya
normatif, yang diperoleh dari Al-Quran sebagai sumber asal dan
utama. Al-Quran sebagai kumpulan aturan-aturan Ilahi, seharus-nya –
untuk tidak dikatakan wajib – untuk diamalkan dan dilaksa-nakan oleh
manusia khususnya umat Islam. Karena kandungan hukumnya selaras
dengan aktifitas hidup dan kehidupan manusia baik itu ibadah maupun
muamalah.
Kanun hukum Islam yang bersumber dari wahyu (al-Quran)
untuk manusia, pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk aturan-
aturan atau perundang-undangan. Aturan tersebut ketika diterapkan
mempunyai kekuatan hukum untuk memaksa dengan menggunakan
alat negara. Karena kanun hukum Islam berbeda dengan fiqh yang
tidak ada paksaan untuk melaksanakan atau mengamalkan aturan-
aturan yang ada dalam fiqh. Hukum Islam yang sudah menjadi kanun
penerapannya meliputi berbagai aspek kehidupan manusia khususnya
umat Islam.
Di Indonesia kanun hukum Islam sudah diterapkan tetapi
masih terbatas pada ruang lingkup al-akhwal al-syakhsiyah (hukum
keluarga), yaitu yang berkenaan dengan perkawinan, kewarisan,
hibah, wasiat, dan wakaf, yang dipelajari melalui Hukum Perdata
Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari terbitnya UU tentang
Perkawinan, UU tentang Peradilan Agama dan PP tentang
Perwakafan. Kesemuanya itu dihimpun dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang merupakan yurisprudensi hukum Islam di
Indonesia.
Di sisi lain kanun hukum Islam di Indonesia masih perlu
ditingkatkan – untuk tidak dikatakan harus di tambah – dengan
perlunya aturan-aturan hukum pidana (jinayah). Karena penerapan
hukum pidana tersebut sudah dilakukan oleh sebagian kecil umat
Islam, khususnya dalam kasus-kasus tertentu seperti zina dan
pencurian, sebagaimana yang pernah terjadi di Ambon dengan
dirajamnya seorang pelaku zina.

117
Ajub Ishak

DAFTAR PUSTAKA

Azizy, A. Qadry; 2002, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi


Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama
Media.
Basri, Hasan, et.al., 1999, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan
Agama di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Djamil, Fathurrahman, 1999, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Husaini, Adhian; 2001, Rajam dalam Arus Budaya Syahwat,
Penerapan Hukum Rajam di Indonesia dalam Tinjauan
Syariat Islam, Hukum Posititf dan Politik Global, Jakarta:
CV. Pustaka Al-Kautsar.
Mahmassani, Subhi; 1981, Filsafat Hukum dalam Islam, Diterje-
mahkan oleh Ahmad Sudjono dari buku Falsafah al-Tasyri’
Fi al-Islam, Bandung: Al-Maarif.
Rafiq, Ahmad; 2000, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Rafiq, Ahmad, 2001, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,
Yogyakarta: Gama media.
Ranumulyo, Mohd. Idris; 1997, Asas-Asas Hukum Islam, Sejarah
Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam
Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Rusdiana, Eddi; (dkk), Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan
Pembentukannya, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1991
Santoso, Topo; 2001, Menggagas Hukum Pidana Islam Penerapan
Syariat Islam Dalam Konteks Modernitas, Bandung: Asy-
Syaamil Press dan Grafika.
Tebba, Sudirman, (ed.) 1993, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam
di Asia Tenggara, Studi Kasus Hukum Keluarga dan
Pengkodifikasiannya, Bandung, Mizan.
Tebba, Sudirman, 2002, Sosiologi Hukum Islam, Yogyakarta, UII
Press.
Thontowi, Jawahir, Islam, 2002, Politik dan Hukum; Esai-esai Ilmiah
Untuk Pembaharuan, Yogyakarta, Madyan Press.
Usman, Suparman, 2001, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar
Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta,
Gaya Media Pratama.

118

Anda mungkin juga menyukai