Anda di halaman 1dari 131

Topik 7

TRAUMA KAPITIS

M. D. Panjaitan, S.Kp., M.Kep


TIU
 SETELAH BELAJAR BAB INI PESERTA DIHARAPKAN
MENGETAHUI SERTA DAPAT MENDEMONSTRASIKAN
PENATALAKSANAAN PENDERITA TRAUMA KAPITIS.

TIK
1. DAPAT MELAKUKAN PEMERIKSAAN FISIK
PADA PENDERITA TRAUMA KAPITIS.
2. DAPAT MENGENALI KEADAAN2 YANG HARUS
DIKENALI PADA PENDERITA TRAUMA KAPITIS.
3. DAPAT MENGENALI KEADAAN2 YANG HARUS
DIKENALI PADA SECONDARY SURVEY
PENDERITA TRAUMA KAPITIS.
4. DAPAT MELAKUKAN RESUSITASI DAN
PENATALAKSANAAN PENDERITA TRAUMA
KAPITIS.
PENDAHULUAN
• Di USA kejadian cedera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus.
• Dari jumlah tsb, 10% penderita meninggal sebelum tiba
di RS. 80% dari penderita yg sampai di RS
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10%
cedera kepala sedang dan 10% sisanya adalah cedera
kepala berat.
• Lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat
kecacatan akibat cedera kepala setiap tahunnya.
• Cedera susunan saraf pusat merupakan penyebab lebih
dari 40% kematian dalam dunia militer.
• Fokus utama dalam penanganan penderita dengan
kecurigaan cedera kepala berat adalah untuk mencegah
cedera otak sekunder.
• Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk
perfusi otak merupakan langkah penting untuk
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder, yang
pada akhirnya akan meningkatkan tingkat kesembuhan
penderita.
• Sebagai tindakan selanjutnya yg penting setelah primary
survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan, dan yg terbaik
adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
• Namun demikian tindakan pemeriksaan CT Scan kepala
tidak berarti transfer penderita menjadi tertunda.
• Sistem triase bagi penderita cedera kepala
tergantung pada beratnya cedera dan
tersedianya fasilitas yang ada di tempat
pertolongan pertama.
• Pada kondisi dimana tidak terdapat fasilitas
bedah saraf, diharapkan sudah ada
kesepakatan rujukan dengan rumah sakit yang
memiliki fasilitas bedah saraf.
• Ahli bedah saraf harus dilibatkan seawall
mungkin, terutama bila penderita mengalami
koma atau dicurigai mengalami cedera otak.
• Untuk rujukan penderita cedera otak, perlu
dicantumkan informasi penting berikut ini :
1. Umur penderita, waktu dan mekanisme cedera.
2. Status respiratorik dan kardivasculer (terutama
tekanan darah).
3. Hasil pemeriksaan neurologis, meliputi nilai GCS
terutama nilai respon motorik, serta ukuran pupil
dan reflex cahaya.
4. Adanya cedera penyerta serta jenis cedera
penyerta.
5. Hasil pemeriksaan diagnostic seperti
pemeriksaan CT Scan (bila memungkinkan).
• JANGAN MENUNDA
TRANSFER PENDERITA
HANYA KARENA UNTUK
MEMPEROLEH HASIL CT
SCAN ATAU PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK LAINNYA.
DEFENISI
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala,
tulang tengkorak, dan otak, paling sering
terjadi dan merupakan penyakit neurologik
yg serius diantara penyakit neurology dan
merupakan proporsi epidemiologi sebagai
hasil kecelakaan jalan raya
(Brunner and Suddart, 2001)
Cedera kepala adalah suatu bentuk trauma
yang dapat merubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik,
intelektual, emosional, sosial, dan pekerjaan
atau suatu gangguan traumatic yg dapat
menimbulkan perubahan fungsi otak
(Black. M, 1997 dalam kumpulan materi kuliah FIK UI 2004)
ANATOMI
A. Kulit kepala (Scalp)
 Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yg disebut sebagai
SCALP yaitu :
1) Kulit
2) Jaringan penyambung
3) Galea aponeurotika
4) Jaringan penunjang longgar
5) Perikranium jaringan penunjang longgar memisahkan
galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan
tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal).
 Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah shg bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada
bayi dan anak2.
B. Tulang Tengkorak
• Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis
kranii. Kalvaria khususnya di region temporal adalah
tipis, namun disini dilapis oleh otot temporalis.
• Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi.
• Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu:
1) Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis
2) Fosa media adalah tempat lobus temporalis
3) Fosa posterior adalah ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum.
C. Meningen
• Selaput meningen menutupi
seluruh permukaan otak dan
terdiri dari 3 lapisan yaitu;
1) Dura meter
2) Arakhnoid
3) Pia meter.
 Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium.Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus.Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.
 Arteri-arteri meningeal terletak antara dura mater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural).Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural.Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
 Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang
tipis dan tembus pandang.Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah
dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari
dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh
spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat
cedera kepala.
 Pia mater melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat
membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling
dalam.Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan
epineuriumnya.Arteri-arteri yang masuk
kedalam substansi otak juga diliputi oleh
pia mater.
D. Otak
• Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan
batang otak.
• Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang
dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan dura meter
dari sisi inferior sinus sagitalis superior.
• Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia
yg bekerja dengan tanpa tangan kanan, dan juga pada
lebih dari 85% orang kidal.
• Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering
disebut sebagai hemisfer dominan.
• Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi
motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat
ekspresi bicara.
• Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang.
• Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Pada
semua orang yang bekerja dengan tangan kanan dan
sebagian besar orang kidal, lobus temporal kiri
bertanggungjawab dalam kemampuan penerimaan
rangsang dan integrasi bicara.
• Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses
penglihatan.
• Batang oatak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons
dan medulla oblongata.
• Mesensefalon dan pons bagian atas berisi system
aktivasi reticular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan.
• Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik, yang terus memanjang
sampai medulla spinalis dibawahnya.
• Lesi yang kecil saja pada batang otak
sudah dapat menyebabkan defesit
neurologis yang berat.
• Serebelum bertanggungjawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan,
terletak dalam fosa posterior,
berhubungan dengan medulla spinalis,
batang otak dan juga hemisfer serebri.
E. Cairan Serebrospinalis
 Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus
khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20
ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III,
akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS
akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150
ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
F. Tentorium
• Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi
ruang supratentorial (fosa kranii anterior dan fosa kranii
posterior).
• Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri dengan
batang otak dan berjalan melalui celah lebar tentorium
serebeli yang disebut insisura tentorial.
• Nervus III berjalan disepanjang tepi tentorium, dansaraf ini
dapat tertekan bila terjadi herniasi lobus temporal, yg
umumnya diakibatkan oleh adanya massa supratentorial
atau edema otak.
• Serabut2 parasimpatik yg berfungsi melakukan konstriksi
pupil mata berjalan pada sepanjang permukaan N III.
• Paralisis serabut2 ini yg disebabkan oleh penekanan N III
akan mengakibatkan dilatasi pupil oleh karena tidak
adanya hambatan aktivitas serabut simpatik
• Bagian otak yg sering mengalami herniasi melalui insisura
tentorial adalah sisi medial lobus temporal yang disebut
Unkus.
• Herniasi unkus juga menyebabkan penekanan traktus
kortikospinal (piramidalis) yg berjalan pada otak tengah.
• Traktus piramidalis atau traktus motorik menyilang garis
tengah menuju sisi berlawanan pada level foramen
magnum, sehingga penekanan pada traktus ini
menyebabkan paresis otot2 sisi tubuh kontralateral.
• Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral
dikenal sebagai sindrom klasik herniasi unkus.
• Kadang2 lesi massa yg terjadi akan menekan dan
mendorong otak tengah kesisi berlawanan pada tepi
tentorium serebeli dan mengakibatkan hemiplegia dan
dilatasi pupil pada sisi yg sama dengan hematoma
intrakranialnya.
FISIOLOGI
A. Tekanan Intrakranial
 Berbagai proses patologis yg mengenai otak dapat
menyebabkan kenaikan tekanan intracranial (TIK).
 Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan
menyebabkan atau memperberat iskemia.
 TIK normal pada keadaan istirahat sebesar 10
mmHg.
 TIK lebih tinggi dari 20 mmHg, terutama bila
menetap berhubungan langsung dengan hasil akhir
yang buruk.
B. Doktrin Monro-Kellie
• Adalah suatu konsep sederhana yg dapat menerangkan
pengertian dinamika TIK.
• Konsep utamanya adalah bahwa volume intracranial
harus selalu konstan. Hal ini jelas karena rongga
cranium pada dasarnya merupakan rongga yg rigid,
tidak mungkin mekar.
• Segera setelah trauma, massa seperti gumpalan darah
dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam
batas normal saat pengaliran CSS dan darah
intravascular mencpai titik dekompensasi, TIK secara
cepat akan meningkat.
Monro-Kellie Doctrine
Volume-Pressure Curve
C. Aliran Darah Ke Otak
• ADO normal ke dalam otak pada orang dewasa antara
50-55 mL per 100 gr jaringan otak/menit.
• Pada anak, ADO bias lebih besar bergantung pada
usianya. Pada usia 1 tahun ADO hamper sebesar
dewasa, tapi pada usia 5 tahun ADO bias mencapai 90
mL/100 gr/menit, dan secara gradual akan menurun
sebesar ADO dewasa saat mencapai pertengahan
sampai akhir masa remaja.
• Cedera otak berat sampai koma dapat menurunkan 50%
dari ADO dalam 6-12 jam pertama sejak trauma.
• ADO biasanya akan meningkat dalam 2-3 hari
berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO
tetap dibawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah trauma.
• Terdapat bukti bahwa ADO yg rendah tidak dapat
mencukupi kebutuhan metabolism otak segera setelah
trauma, sehingga akan mengakibatkan iskemia otak
fokal taupun menyeluruh.
• Sebagai tambahan, untuk mempertahankan ADO tetap
konstan, pembuluh darah prekapiler akan memiliki
kemampuan untuk berkonstriksi taupun dilatasi.
• Pembuluh darah ini juga mampu berkonstriksi ataupun
dilatasi sebagai respon terhadap perubahan kadar PO2
atau PCO2 darah.
• Cedera otak berat dapat mengganggu kedua
mekanisme autoregulasi tersebut.
• Konsekuensinya, penurunan ADO karena trauma akan
mengakibatkan iskemia dan infark otak.
• Iskemia yg terjadi dapat dengan mudah diperberat dengan
adanya hipotensi, hipoksia, atau hipokapnia karena
hiperventilasi yg agresif.
• Oleh karena itu, semua tindakan ditujukan untuk
meningkatkan aliran darah dan perfusi otak dengan cara
menurunkan TIK, mempertahankan tekanan arteri rata2
(MAP) dan mengembalikan oksigenisasi dan normakapnia.
• Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK)
pada level 60-70 mmHg sangat direkomendasikan untuk
meningkatkan ADO.
• Sekali mekanisme kompensasi terlewati dan terdapat
peningkatan eksponensial TIK, perfusi otak akan terganggu,
terutama pada penderita yg mengalami hipotensi.
• Oleh karena itu, adanya hematoma intracranial harus
segera dievakuasi dan tekanan darah sistemik yang
adekuat harus dipertahankan.
Normal 90 10 80

Cushing’s
100 20 80
Response

Hypotension 50 20 30

Caution
CPP ≠ Cerebral Blood Flow
Patofisiologi :
• Trauma Cedera otak Aliran
darah ke otak menurun Gangguan
oksigenisasi Kekurangan suplai O2
Kekurangan suplai glukosa
Gangguan metabolisme Odema
Iskemia Nekrosis & perdarahan
Kematian
Manifestasi Klinis
- Gangg kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil,
- Awitan tiba-tiba deficit neurologist, & perub
tanda-tanda vital
- Mgkn ada gangguan p’lihatan dan p’dengaran,
disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala,
vertigo, gangguan p’gerakan, kejang
- Syok mungkin menunjukkan cedera multi system
KLASIFIKASI
• Cedera kepala diklasifikasikan dalam
berbagai aspek.
• Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasar :
1. Mekanisme
2. Beratnya
3. Morfologi
KLASIFIKASI CEDERA OTAK
MEKANISME  Tumpul o Kecepatan tinggi (tabrakan mobil)
o Kecepatan rendah (jatuh, dipulul)
 Tembus  Luka tembak
 Cedera tembus lain
BERATNYA  Ringan  GCS 14-15
 Sedang  GCS 9-13
 Berat  GCS 3-8
MORFOLOGI  Fraktur tengkorak
 Kalvaria  Garis vs bintang
 Depresi/non depresi
 Terbuka/tertutup
 Dasar tengkorak  Dengan/tanpa kebocoran CSS
 Dengan /tanpa paresis N VII
 Lesi intracranial
 Fokal  Epidural
 Subdural
 Intraserebra
 Difus  Konkusi
 Konkusi Multiple
 Hipoksia/iskemik
A. Mekanisme Cedera Kepala
• Cedera otak dibagi atas cedera
tumpul dan cedera tembus.
• Cedera tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau pukulan benda
tumpul.
• Cedera tembus disebabkan oleh luka
tembak ataupun tusukan.
B. Beratnya Cedera
• GCS digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera otak.
• Penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah dan berorientasi
mempunyai nilai GCS sebesar 15, sementara pada
penderita yg keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan
tidak membuka mata sama sekali nilai GCSnya minimal
atau sama dengan 3.
• Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan
sebagai koma atau cedera otak berat.
• Dalam Penilaian GCS, jika terdapat asimetri ekstremitas
kanan/kiri maka yg dipergunakan adalah respon motorik
pada yg terbaik.
• Dalam hal ini, respon motorik pada kedus sisinya harus
dicatat.
C. Morfologi
1. Fraktur Kranium
 Fraktur cranium dapat terjadi pada atap
atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/steleta dan dapat
pula terbuka atau tertutp. Fraktur dasar
tengkorak biasanya memerlukan
pemeriksaan CT Scan dengan teknik
“bone window” untuk memperjelas garis
frakturnya.
Linear Fracture
Diastasis Fracture
Depressed Fracture
Depressed Fracture
Depressed Fracture
Depressed Fracture
Depressed Fracture
• Adanya tanda2 klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci.
• Tanda2 tersebut antara lain ekimosis periorbital
(Raccoon eyes sign), ekimosis retroaurikuler (Battle
sign), kebocoran CSS (Rinorrhea, Otorrhea), paresis
nervus fasialis dan kehilangan pendengaran, yg dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah trauma.
• Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus fasialis
lebih baik pada keadaan paresis yg terjadi beberapa
waktu kemudian, sementara prognosis pemulihan N III
buruk.
• Fraktur dasar tengkorak yg menyilang kanalis karotikus
dapat merusak arteri karotis dan dianjurkan untuk
dilakukan arteriografi.
Raccon`s eyes (brill
haematoma
Rhinorrhea

Otorrhea Battle sign


• Fraktur cranium terbuka dapat mengakibatkan
adanya hubungan antara laserasi kulit kepala
dengan permukaan otak karena robeknya selaput
dura.
• Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan,
karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi
cukup berat.
• Pada penderita sadar, bila ditemukan fraktur linier
pada kalvaria kemungkinan adanya perdarahan
intracranial meningkat sampai 400 kali.
• Pada penderita koma kemungkinan ditemukannya
perdarahan intra-kranial pada fraktur linier adalah
20 kali karena resiko adanya perdarahan
intracranial memang sudah lebih tinggi.
2. Lesi Intrakranial
• Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi
fokal atau lesi difus, walaupun kedua
jenis lesi ini sering terjadi bersamaan.
• Termasuk dalam lesi fokal yaitu
perdarahan epidural, perdarahan
subdural, kontusio dan perdarahan
intra cerebral.
a. Cedera Otak Difus
• Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan
normal sampai kondisi yg sangat buruk.
• Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran
dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograde.
• Ceder otak difus yg berat biasanya diakibatkan hipoksia,
iskemia dari otak karena syok yg berkepanjangan atau
periode apneu yg terjadi segera setelah trauma.
• Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan
gambaran normal, atau gambaran edema dgn batas
area putih dan abu2 yg kabur.
• Kasus yg lebih jarang, biasanya pada kecelakaan tinggi,
pada CT scan menunjukkan gambaran titik2 perdarahan
multiple di seluruh hemisfer otak yg terkonsentrasi di
bats area putih dgn abu2
b. Perdarahan Epidural
• Relatif jarang, lebih kurang 0,5 % dari semua cedera
otak dan 9 % dari penderita yang mengalami koma
hematoma epidural terletak diluar dura tetapi di dalam
rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung.
• Sering terletak di area temporal atau temporoparietal
yang dan biasanya disebabkan oleh robeknya a.
menigea media akibat fraktur tulang tengkorak.
• Gumpalan darah yg terjadi biasanya berasal dari
pembuluh arteri, namun dapat juga terjadi akibat
robekan dari vena besar.
Epidural Hematoma
Epidural Hematoma
c. Perdarahan Subdural
• Perdarahan subdural lebih sering terjadi
daripada perdarahan epidural (kira2 30 % dari
cedera otak berat).
• Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena2
kecil di permukaan korteks serebri.
• Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
permukaan hemisfer otak.
• Biasanya kerusakan otak di bawahnya lebih
berat dan prognosisnyapun jauh lebih buruk
disbanding pada perdarahan epidural.
Subdural Hematoma
Subdural Hematoma
d. Kontusio & Perdarahan Intraserebral
• Kontusio serebri sering terjadi (20 % sampai 30 %
dari cedera otak berat) dan sebagian besar terjadi di
lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat
juga terjadi pada setiap bagian dari otak.
• Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam
atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral
yang membutuhkan tindakan operasi.
• Hal ini timbul pada lebih kurang 20 % dari penderita
dan cara mendeteksi terbaik adalah dengan
mengulang CT scan dalam 12-24 jam setelah CT
scan pertama.
Cerebral Contusion
Intracerebral Hematoma / Contusion
Intraserebral Hematoma
Intraventricular Hematoma
PENATALAKSANAAN CEDERA
OTAK RINGAN (GCS = 13-15)
• Kira2 80 % penderita yg dibawa ke UGD yg
dikategorikan cedera otak ringan.
• Penderita2 tsb sadar namun dapat mengalami amnesia
berkaitan dgn cedera yg dialaminya. Dapat disertai
riwayat hilangnya kesadaran yg singkat namun sulit
untuk dibuktikan terutama biala di bawah pengaruh
alcohol atau obat2an.
• Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih
sempurna, walaupun mungkin ada gejala sisa yg sangat
ringan.
• Bagaimanapun, lebih kurang 3 % mengalami
perburukan yg tidak terduga, mengakibatkan disfungsi
neurologis yg berat kecuali bila perubahan kesadaran
dapat dideteksi lebih awal.
• Pemeriksaan CT scan idealnya harus dilakukan pada semua
cedera otak disertai kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit,
amnesia, sskit kepala hebat, GCS<15, atau adanya nefesit
neurologis fokal.
• Foto servical dilakukan bila terdapat nyeri pada palpasi leher.
• CT scan merupakan pilihan utama untuk pemeriksaan
penunjang. Bila tidak memungkinkan, pemeriksaan foto
polos/rontgen kepala dapat digunakan untuk membedakan
trauma tumpul ataupun tembus.
• Poto polos kepala harus dicari:
1) Fraktur linear atau depresi
2) Posisi glandula pineal digaris tengah
3) Batas air udara pada daerah sinus
4) Pneumosefal
5) Fraktur tulang wajah
6) Benda asing
• Harus diingat, pemeriksaan foto polos tidak boleh
sampai menunda transfer penderita.
• Bila terdapat abnormalitas pada gambaran CT scan,
atau terdapat gejala neurologis yang abnormal,
penderita harus dibawa ke rumah sakit dan dikonsulkan
ke ahli bedah saraf.
• Bila penderita asimtomatis, sadar, neurologis normal,
observasi diteruskan selama beberapa jam dan
diperiksa ulang.
• Bila kondisi tetap normal, dikatakan penderita aman.
• Idealnya, keluarga diberi lembar observasi, penderita
didampingi dan diobservasi selama 24 jam berikutnya.
• Bila dalam perjalanan dijumpai nyeri kepala, penurunan
kesadaran atau terdapat defesit neurologis fokal, maka
penderita dikembalikan ke UGD.
• Pada semua kasus yang dirawat di
luar RS, instruksi harus jelas dan
dilakukan berulang oleh pendamping
penderita.
• Bila penderita tidak sadar penuh atau
berorientasi kurang terhadap
rangsang verbal maupun tulisan,
keputusan untuk memulangkan
penderita harus ditinjau ulang.
ALGORITME PENATALAKSANAAN CKR
Defenisi : penderita sadar dan berorientasi (GCS 13-15)
Riwayat :
 Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaaan
 Mekanisme cedera
 Waktu cedera
 Tidak sadar segera setelah cedera
 Tingkat kewaspadaan
 Amnesia : Retrograde, Antegrade
 Sakit kepala : ringan, sedang, berat
Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
Pemeriksaan neurologis terbatas
Pemeriksaan rotngen vertebra servikal dan lainnya sesuai
indikasi
Pemeriksaan kadar alcohol darah dan zat toksik dalam
urine.
Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pada setiap
penderita, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik
dan pemeriksaan neurologis normal.

Observasi atau dirawat di RS Dipulangkan dari RS


 CT scan tidak ada  Tidak memenuhi kriteria
 CT scan abnormal rawat.
 Semua cedera tembus  Diskusikan
 Riwayat hilang kesadaran kemungkinan kembali
 Kesadaran menurun ke RS bila memburuk
 Sakit kepala sedang –berat dan berikan lembar
 Intoksikasi alkihol/obat-obatan observasi.
 Kebocoran likuor: Rhinorea-Otorea  Jadwalakan untuk
 Cedera penyerta yang bermakna kontrol ulang.
 Tidak ada keluarga di rumah
 GCS < 15
 Defesit neurologis fokal
Instruksi Bagi Penderita Cedera Kepala
Di Luar Rumah Sakit
• Kami telah memeriksa dan ternyata tidak ditemukan
indikasi bahwa cedera kepala anda serius. Namun
gejala2 baru dan komplikasi yang tidak terduga dapat
muncul dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah
cedera.
• 24 jam pertama adalah waktu yang kritis dan anda harus
tinggal bersama keluarga atau kerabat dekat anda
sedikitnya dalam waktu itu.
• Bila kelak timbul gejala2 berikut seperti tertera di bawah
ini maka anda harus segera menghubungi dokter anda
atau kembali ke RS.
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan.
2. Mual dan munatah
3. Kejang
4. Perdarahan atau keluar cairan dari hidung dan telinga
5. Sakit kepala hebat
6. Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai
7. Bingung atau perubahan tingkah laku
8. Salah satu pupil mata lebih besar dari yang lain,
gerakan2 aneh bola mata, melihat dobel atau gangguan
penglihatan lain.
9. Denyut nadi sangat lambat atau sangat cepat, atau pola
nafas yang tidak teratur.
• Bila timbul pembengkakan pada temapat cedera, letakkan
kantung es di atas selembar kain/handuk pada kulit
tempat cedera. Bila pembengkakan semakin hebat walau
telah dibantu dengan kantung es, segera hubungi RS.
• Anda boleh makan dan minum seperti biasa namun tidak
diperbolehkan minum minuman yang mengandung alcohol
sedikitnya 3 hari setelah cedera.
• Jangan minum obat tidur atau penghilang nyeri yg lebih
kuat dari acetaminophen sedikitnya 24 jam setelah
cedera. Jangan minum obat mengandung aspirin.
• Bila ada hal yang ingin anda tanyakan, atau dalam
keadaan gawat darurat, kami dapat dihubungi di nomor
telepon : ……………………………………..
Nama dokter : ………………………….
PENATALAKSANAAN CEDERA
KEPALA SEDANG (GCS = 9-13)
• 10 % dari ps CK di UGD menderita CKS. Mereka pada
umumnya masih mampu menuruti perintah sederhana,
namun biasanya tampak bingung atau mengantuk dan dapat
disertai defesit neurologisn fokal seperti hemiparesis.
• Sebanyak 10-20 % dari ps CKS mengalami perburukan dan
jatuh dalam koma.
• Saat diterima di UGD, dilakukan amamnesis singkat dan
segera dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum
pemeriksaan neurologis dilaksanakan.
• CT scan kepala harus selalu dilakukan dan segera
menghubungi ahli bedah saraf. Ps harus dirawat di ruang
ICU, diman diobservasi ketat dan pemeriksaan neurologis
serial dilakukan selama 12-24 jam pertama.
• Pemeriksaan lanjutan dalam 12-24 jam direkomendasikan
bila hasil atau terdapat penurunan status neurologis ps.
ALGORITME PENATALAKSANAAN CKS
Defenisi : penderita biasanya tamapak kebingungan
atau mengantuk, namun kemudian masih mampu menuruti
perintah.
GCS 9-13
Pemeriksaan awal :
 Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah
pemeriksaan darah sederhana.
 Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus.
 Dirawat untuk observasi
 Setelah dirawat :
 Pemeriksaan neurologis periodic
 Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita
memburuk atau bila penderita akan dipulangkan.
Bila kondisi membaik Bila kondisi
(90 %) memburuk (10 %)
 Pulang bila  Bila penderita tidak
memungkinkan mampu melakukan
 Kontrol di poliklinik perintah lagi, segera
lakukan pemeriksaan
CT scan ulang dan
penatalaksanaan
sesuai protocol CKB.
PENATALAKSANAAN CEDERA
KEPALA BERAT (GCS = 3-8)
• Penderita dgn CKB tidak mampu melakukan
perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah stabil.
• Walaupun defenisi ini cukup mencakup berbagai
jenis cedera otak, tetapi dapat mengidentifikasi ps
yg memiliki resiko morbiditas dan mortalitas yg
paling besar.
• Pendekatan “tunggu dan lihat” pada penderita
cedera otak berat adalah sangat berbahaya, karena
diagnosis serta terapi yg cepat sangatlah penting.
• Jangan menunda transfer ps karena menunggu CT
scan.
ALGORITME PENATALAKSANAAN CKB
Defenisi : penderita tidak mampu melakukan perintah
sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)
Pemeriksaan dan penatalaksanaan
 ABCDE
 Primary survey dan resusitasi
 Secondary survey dan riwayat AMPLE
 Rawat pada fasilitas yg mampu melakukan tindakan perawatan
definitif bedah saraf
 Reevaluasi neurologis: GCS (respon buka mata, motorik, verbal
dan reflex cahaya pupil)
 Obat-obatan
 Manitol
 Hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mmHg)
 Tes diagnostic (sesuai urutan)
 CT scan
 Ventrikulografi udara
 Angiogram
A. Primary survey dan resusitasi
• Cedera otak sering diperburuk akibat cedera
sekunder.
• Ps CKB dgn hipotensi mempunyai mortalitas 2
kali lebih banyak disbanding ps tanpa hipotensi
(60 % vs 27 %).
• Adanya hipoksia pada ps yang disertai dgn
hipotensi akan menyebabkan mortalitas
mencapai 75 %. Oleh karena itu, tindakan
stabilisasi kardiopulmoner pada ps CKB harus
dilaksanakan secepatnya.
1. Airway dan Breathing
• Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi pada
cedera otak, dan dapat mengakibatkan gangguan
sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera
dilakukan pada penderita koma.
• Penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100 %
sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah
dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap
FiO2.
• Penilaian pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk
memonitor saturasi O2 (target > 98%).
• Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati2
pada penderita CKB yang menunjukkan perburukan
neurologis akut.
2. Sirkulasi
• Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak
itu sendiri kecuali pada stadium terminal dimana medulla
oblongata sudah mengalami gangguan.
• Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah
yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas.
• Harus juga diperhitungkan kemungkinan penyebab lain
seperti trauma medulla spinalis (syok neurogenik),
kontusio jantung atau tamponade jantung dan tension
pneumothorax.
• Sementara penyebab hipotensi dicari, segera lakukan
pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang.
• Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) atau pemeriksaan
USG (bila tersedia) merupakan pemeriksaan rutin pada
ps hipotensi yg mengalami koma, dimana pemeriksaan
klinis tidak mungkin menentukan tanda2 adanya akut
abdomen.
• Menentukan prioritas antara pemeriksaan DPL dan CT
scan kepala kadang2 menimbulkan konflik antara ahli
bedah trauma dan ahli bedahsaraf.
• Perlu diketahui bahwa pemeriksaan neurologis pada
penderita hipotensi tidak dapat dipercaya kebenarannya,
dan bahkan bila terdapat CKB, hipotensi terbukti
menyebabkan cedera otak sekunder.
• Penderita hipotensi yg tidak bereaksi terhadap stimulasi
apapun dapat memberi respon normal segera setelah
tekanan darahnya normal.
Prioritas Evaluasi Awal Dan Triase
Penderita Dengan Cedera Otak Berat
1. Semua penderita cedera otak dgn koma harus segera diresusitasi (ABCDE)
setibanya di unit gawat darurat.
2. Segera setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologis dilakukan (GCS
dan reflex pupil). Bila tekanan darah tidak bias mencapai normal, pemeriksaan
neurologis tetap dilakukan dan dicatat adanya hipotensi.
3. Bila tekanan darah sistolik tidak bisa > 100 mmHg setelah dilakukan resusitasi
agresif, prioritas tindakan adalah untuk stabilisasi penyebab hipotensinya, dgn
pemeriksaan neurologis menjadi prioritas kedua. Pada kasus ini ps dilakukan DPL
dan USG atau langsung ke kamar operasi untuk seliotomi. CT scan kepala
dilakukan setelah seliotomi. Bila timbul tanda2 klinis suatu massa intracranial
maka dilakukan ventrikulografi, burr hole eksplorasi atau kraniotomi di kamar
operasi sementara seliotomi sedang berlangsung.
4. Bila TDS > 100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda klinis suatu lesi
intracranial (pupil anisokor, hemiparesis), maka prioritas pertama adalah CT scan
kepala. DPL dapat dilakukan di UGD, ruang CT scan atau di kamar operasi,
namun evaluasi neurologis dan tindakannya tidak boleh tertunda.
5. Pada kasus yg meragukan, mis tekanan darah dapat terkoreksi tapi cenderung
untuk turun, upayakan untuk membawa ke ruang CT scan sebelum ke kamar
operasi untuk seliotomi atau thorakotomi. Beberapa kasus membutuhkan
koordinasi yg kuat antara ahli bedah trauma dgn ahli bedah saraf.
B. Pemeriksaan Neurologis
• Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera
setelah status kardiopulmoner ps stabil. Pemeriksaan ini
terdiri dari GCS dan refleks cahaya pupil.
• Pada ps koma, respon motorik dapat dibangkitkan
dengan merangsang/mencubit otot trapezius atau
menekan dasar kuku penderita.
• Bila ps menunjukkan reaksi yg bervariasi, yg digunakan
adalah respon motorik terbaik karena merupakan
indicator prognostic yg paling buruk.
• Gerakan bola mata (Doll”s eye Phenomena, reflex
okulosefalik), test kalori dgn suhu dingin (reflex okulo
vestibuler) dan reflex kornea ditunda sampai kedatangan
ahli bedah saraf.
• Pemeriksaan Doll’s eye (oculocephalis) reflex aires
(oculovestibular) dan reflex kornea hanya boleh
dilakukan bila sudah jelas tidak terdapat cedera
servikal.
• Yang sangat penting adalah melakukan
pemeriksaan GCS dan reflex pupil sebelum
penderita dilakukan sedasi atau paralisis, karena
akan menjadi dasar untuk tindakan selanjutnya.
• Selama primary survey, pemakaian obat-obat
paralisis jangka panjang tidak dianjurkan.
• Bila diperlukan analgesia, sebaiknya digunakan
morfin dosis kecil dan diberikan secara intravena.
C. Secondary Survey
• Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi dan
reflex pupil) harus selalu dilakukan untuk deteksi dini
gangguan neurologis.
• Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus)
adalah dilatasi pupil dan hilangnya reflex pupil
terhadap cahaya.
• Adanya trauma langsung pada mata sering
merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan
dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit.
• Bagaimanapun, dalam hal ini pemikiran terhadap
adanya trauma otak harus dipikirkan terlebih dahulu.
D. Prosedur Diagnostik
• Pemeriksaan CT scan harus segera dilakukan secepat
mungkin, segera setelah hemodinamik normal.
• Pemeriksaan CT scan ulang harus juga dikerjakan bila
terjadi perubahan status klinis ps dan secara rutin 12-24
jam setelah trauma bila dijumpai gambaran kontusio
atau hematoma pada CT scan awal.
• Ventrikulografi atau arteriografi pada ps dgn kelainan
neurologis dapat dilakukan bila terdapat CT scan.
• Pada ps dimana tekanan darah dapat dinormalkan,
setiap usaha harus dilakukan untuk pemeriksaan CT
kepala sebelum ps dibawa ke kamar operasi.
TERAPI MEDIKAMENTOSA UNTUK
CEDERA OTAK
Tujuan utama protokol perawatan intensif ini
adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan
sekunder terhadap otak yang telah mengalami
cedera.
Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan
suasana yang optimal untuk pemulihan, maka
diharapkan dapat berfungsi normal kembali.
Namun bila sel saraf dibiarkan dalam keadaan
tidak optimal maka sel dapat mengalami
kematian.
A. Cairan Intravena
• Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi
agar ps tetap dalam keadaan normovolemia.
• Keadaan hypovolemia pada pasien sangatlah
berbahaya. Namun perlu diperhatiakn untuk tidak
memberikan cairan berlebih. Jangan berikan cairan
hipotonik.
• Penggunaan cairan yg mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia yg berakibat buruk pada
otak yg cedera.
• Karena itu cairan yg dianjurkan untuk resusitasi adalah
larutan garam fisiologis atau RL.
• Kadar natrium serum perlu diperhatikan pada ps dgn
cedera kepala.
• Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan
timbulnya edema otak yang harus dicegah.
B. Hiperventilasi
• Pada kebanyakan ps, keadaan normokarbia lebih
disukai.
• Hiperventilasi dilakukan dgn menurunkan PCO2 dan
akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
• Hiperventilasi yg berlangsung terlalu lama dan agresif
dapat menyebabkan iskemia otak akibat terjadinya
vasokonstriksi serebri berat shg menimbulkan ggn
perfusi otak. Hal ini terjadi terutam bila PCO2 dibiarkan
turun sampai di bawah 30 mm Hg.
• Hiperventilasi dalam waktu singkat (PCO2 antara 25-30
mmHg) dapat diterima jika diperlukan pada keadaan
deteriosasi neurologis akut.
C. Manitol
• Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yg meningkat.
• Sediaan yg tersedia biasanya cairan dengan konsentrasi
20 %.
• Dosis yg biasa dipakai adalah 1 g/kgBB diberika secara
bolus IV. Dosis tinggi manitol jgn diberikan pada ps yg
hipotensi karena manitol adalah diuretic osmotic yg
poten.
• Indikasi pengguanaan manitol adalah deteriorasi
neurologis yg akut, seperti terjadinya dilatasi pupil,
hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat ps dlm
observasi.
D. Furosemid (Lasix)
• Obat ini diberikan bersama manitol
untuk menurunkan TIK.
• Dosis yg biasa diberikan adalah 0,3-
0,5 mg/kgBB, diberikan secara IV.
• Seperti pada penggunaan manitol,
furosemide sebaiknya jangan
diberikan kepada pasien hipovolemik.
E. Steroid
• Berbagai penelitian tidak
menunjukkan manfaat steroid untuk
mengendalikan kenaikan TIK maupun
memperbaiki hasil terapi penderita
dengan cedera otak berat.
• Kerenanya penggunaan steroid pada
penderita cedera otak tidak
dianjurkan.
F. Barbiturat
• Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan
TIK yg refrakter terhadap obat-obatan lain.
• Namun obat ini jangan diberikan dalam
keadaan hipotensi atau hipovolemi.
• Nantinya hipotensi sering terjadi pada
penggunaan barbiturate.
• Karena itu barbiturate tidak diindikasikan
pada fase akut resusitasi.
G. Antikonvulsan
• Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5 % ps yg dirawat di
RS dgn cedera kepala tertutup dan 15 % pada CKR.
• Terdapat 3 factor yg berkaitan dgn insidensi epilepsi :
1) Kejang awal yg terjadi dlm minggu pertama.
2) Perdarahan intracranial
3) Fraktur depresi
• Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yg biasa diberikan
dalam fase akut.
• Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yg diberikan
secara IV dgn kecepatan pemberian tidak lebih cepat
dari 50 mg/menit
• Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam,
dengan titrasi untuk mencapai kadar terapetik
serum.
• Pada pasien dgn kejang lama, diazepam atau
lorazepam digunakan sbg tambahan fenitoin
sampai kejang berhenti.
• Untuk mengatasi kejang yg terus menerus
mungkin memerlukan anestesi umum.
• Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan
dengan segera karena kejang yang berlangsung
lama (30 sampai 60 menit) dapat menyebabkan
cedera otak sekunder.
Data Dasar Pengkajian Pasien
Cedera Kepala
• Aktifitas/Istirahat
Gejala
• Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan
Tanda
• Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
quadriplegi, ataksia, cara b’jalan tidak tegap,
masalah dalam keseimbangan, trauma ortopedi,
kehilangan tonus otot, otot spastic

• Sirkulasi
Gejala
• Perubahan tekanan darah atau normal
(hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardi yg disertai dgn bradikardi,
aritmia)
• Intregritas Ego
Tanda
• Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi, dan impulsive
Gejala
• Perubahan tingkah laku, atau kepribadian (tenang atau
dramatis)

• Eliminasi
Gejala
• Incontinebsia kandung kemih/usus atau mengalami
gangguan fungsi

• Makanan/Cairan
Gejala
• Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda
• Muntah mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk,
air liur keluar, disfagia)
• Neurosensori
Gejala
• Kehilangan kesadaran sementara, amnesia
seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinnitus,
kehilangan pendengaran, tingling, baal pada
ekstremitas
• Perubahan dalam p’lihatan, kehilangan
ketajamannya, diplopia, kehilangan sbgn lapangan
pandang, fotofobia
• Gangguan p’ecapan & penciuman
Tanda
• Perubahan status mental (orietasi, kewaspadaan,
perhatian, kosentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi/tingkah laku dan memori)
• Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri),
deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti
• Kehilangan penginderaan seperti pengecapan,
pengelihatan, dan penciuman
• Wajah tidak simetri, genggaman lemah, tidak
seimbang, refleks tendon dalam tidak ada
atau lemah
• Apraksia, hemiparese, quadriplegia
• Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang
• Sangat sensitive thdp sentuhan dan gerakan
• Kehilangan sensasi sebagian tubuh
• Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
• Nyeri/kenyamanan
Gejala
• Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi
yang berbeda, biasanya lama
Tanda
• Wajah menyeringai, respon menarik pada
rangsangan nyeri hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih
• Pernafasan
Tanda
• Perubahan pola nafas (apnea,yang diselingi
oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi, stridor,
tersedak
• Ronki, mengi positif (kemingkinan aspirasi)

• Keamanan
Gejala
• Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda
• Fraktur/dislokasi, gangguan pengelihatan
• Kulit : laserasi, exoriasi, abrasi, perubahan
warna seperti Raccoon Eye, tanda battle
disekitar telinga (merupakan tanda adanya
trauma). Adanya aliran cairan dari telinga dan
hidung
• Gangguan kognitif
• Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang,
kekuatan secara umum mengalami paralysis
• Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
• Interaksi social
Tanda
• Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa
arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia
• Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala
• Pengguna alcohol, obat-obatan lain
• DRG menunjukkan rerata lama rawat 12 hari
• Rencana pulang: Membutuhkan bantuan pada
perawatan diri, ambulasi, transportasi,
menyiapkan makan, belanja, perawatan,
pengobatan, tugas-tugas rumah tangga,
perubahan tata ruang atau penempatan
fasilitas lainnya dalam rumah
Prioritas dalam keperawatan
• Memaksimalkan perfusi atau fungsi
cerebral
• Mencegah/meminimalkan komplikasi
• Mengoptimalkan fungsi otak /
m’embalikan pada keadaan sebelum
trauma
• Menyokong proses koping dan pemulihan
keluarga
• M’berikan informasi mengenai proses /
prognosis penyakit, rencana tindakan,
dan sumberdaya yang ada
Diagnosa Keperawatan
• Perubahan perfusi jaringan cerebral b.d
p’hentian aliran darah oleh sol (hemoragi,
hematom); edema cerebral (respon umum atau
local) cedera, perubahan metabolic, dosis layak
obat/alcohol; penurunan tekanan darah
sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia
jantung)
• Resti tak efektifnya pola nafas b.d kerusakan
nerovaskuler (cidera pada pusat pernapasan
otak), Kerusakan persepsi atau kognitif,
Obstruksi trakeobronkial
• Perubahan persepsi sensori b.d perubahan
persepsi sensorik, transmisi dan/atau integrasi
(trauma atau defisit neurologis)
Intervensi:
• Mandiri
1. Tentukan factor-faktor yg berhub dgn kead ttt yg
menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak
dan potensial peningkatan TIK
2. Pantau/catat status neurologist secara teratur dan
bandingkan dengan nilai standar (misal GCS)
3. Pantau TD, catat adanya hipertensi sistolik dan tekanan
nadi yg semakin berat; observasi thdp hipertensi pd
pasien yg m’alami trauma multiple
4. Pantau frekuensi jantung; catat adanya bradikardi,
takikardi, atau bentuk disritmia lainnya
5. Pantau pernafasan meliputi pola nafas dan iramanya,
seperti adanya periode apnea stlh hiperventilasi yang
disebut cheynestokes
6. Evaluasi keadaan pupil catat ukuran, ketajaman,
kesamaan ant kanan dan kiri, reaksinya thdp cahaya
7. Kaji perubahan pada pengelihatan
seperti adanya p’lihatan yg kabur,
ganda, lapang pandang menyempit dan
kelainan persepsi
8. Kaji letak/gerakan mata, catat apakah
pd posisi tengah atau ada deviasi pd
salah satu sisi atau ke bawah
9. Catat ada/tidaknya refleks-refleks
tertentu seperti batuk, dan Babinski
10.Pantau Suhu dan atur suhu lingkungan
11.Cek intake output cairan, ukur BB
sesuai indikasi, catat turgor kulit dan
keadaan membrane mukosa
12.Pertahankan kepala, leher pd posisi
tengah& hindari p’gunaan bantal besar
13. Berikan wkt istirahat dan jeda antara tindakan
14. Batasi stimulasi eksternal, lingkungan tenang
15. Bantu pasien untuk m’hindari/m’batasi batuk,
muntah p’luaran feses yg dipaksakan
16. Hindari/batasi penggunaan restrain
17. Anjurkan orang t’dekat (keluarga ) untuk
berbicara dengan pasien
18. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat,
peningkatan keluhan, dan tingkah laku yang
tidak sesuai lainnya
19. Palpasi kemungkinan distensi kandung kemih,
pertahankan drainase kateter, pantau adanya
konstipasi
21. Observasi aktifitas kejang dan lindungi pasien
dari cedera
22. Kaji adanya peningkatan rigiditas, regangan,
meningkatnya kegelisahan, peka rangsang,
serangan
Rasionalisasi
• Menentukan tindakan yg tepat untuk pasien seperti perlunya
perawatan di ruang intensif, pemantauan TIK atau
pembedahan
• M’kaji adanya kecenderungan tk kesadaran dan peningkatan
TIK b’manfaat dlm menentukan lokasi, perluasan, dan
perkembangan kerusakan SSP
• Menunjukkan p’kembangan tk kesadaran. Kerusakan yg luas
pd kortek cerebral mungkin akan berespon lambat thdp
perintah, tetap tertidur ketika tdk ada perintah, m’alami
disorientasi dan stupor. Kerusakan pd batang otak, pons dan
medulla ditandai dgn adanya respon yg tidak sesuai thdp
rangsang.
• Gerakan abnormal menandakan kerusakan cerebral
menyebar. Tdk adanya gerakan menandakan kerusakan pd
jalan morotik pd hemisfer otak yg b’lawanan (kontralateral)
• Autoregulasi m’pertahankan aliran darah otak yg konstan pd
saat fluktuasi tekanan darah sistemik Kehilangan hal ini dpt
m’ikuti kerusakan vaskularisasi cerebral local tau difus.
Peningkatan systole diikuti nadi yg m’besar merupakan tanda
TIK meningkat jika diikuti penurunan kesadaran.
Hipovolemia/hipetensi (yg berhub dgn trauma multiple) dpt
juga m’akibatkan kerusakan, iskemia cerebral
• Perubahan ritme (bradikardi tersering terjadi)
dan disritmia mencerminkan adanya
depresi/trauma batang otak pada pasien yang
tidak mempunyai kelainan jantung
sebelumnya
• Nafas tidak teratur dapat menunjukan lokasi
gangguan cerebral /peningkatan TIK dan
memerlukan intervensi yang lebih lanjut tmsk
kemungkinan dukungan nafas buatan
• Refleks pupil yang diatur syaraf okulomotor
(III) menunjukkan batang otak masih
berfungsi baik. Ukuran/kesamaan
menunjukkan keseimbangan saraf simpatis
dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya
mencerminkan fungsi yang t’kombinasi dari
syaraf cranial II dan III
• Gangguan penglihatan yang dapat diakibatkan
oleh kerusakan mikroskopis otak, mempunyai
konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan
mempengaruhi pilihan intervensi
• Posisi gerakan mata membantu menemukan
area otak yang terlibat. Tanda awal dari
peningkatan TIK adalah kegagalan abduksi pada
mata, mengindikasikan penekanan/trauma N V
• Penurunan refleks menandakan adanya
kurusakan pada tingkat otak tengah atau batang
otak dan sangat b’pengaruh langsung terhadap
keamanan pasien.
• Kehilangan refleks berkedip mengisyaratkan
adanya kerusakan pada daerah pons dan
medulla. Tidak adanya refleks batuk atau gag
refleks menunjukkan adanya kerusakan pada
medulla. Babinski positif menandakan kerusakan
jalur pyramidal otak
• Demam mengindikasikan kerusakan
hypothalamus, peningkatan metabolisme dan
konsumsi oksigen yg terjadi dpt meningkatkan
TIK
• Cairan total tubuh terintegrasi dengan perfusi
jaringan. Iskemia/trauma cerebral dapat
menyebabkan DI dan SIADH yang dapat
menyebabkan hipotermi dan vasodilator p.
darah dan meningkatkan TIK
• Posisi miring dapat menekan Vena jugularis
dan menghambat aliran balik vena
• Aktifitas terus menerus dapat meningkatkan
TIK
• Untuk mencegah peningkatan TIK dari
diproduksinya adrenalin
• Dapat meningkatkan tekanan intrathorak dan
intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK
• Respon nonverbal menandakan peningkatan
TIK, juga nyeri yang tidak teratasi
menstimulasi peningkatan TIK
• Memicu respon SSo dapat meningkatkan TIK
• Kejang terjadi karena iritasi serebral,
hipoksia atau peningkatan TIK . Kejang dapat
meningkatkan TIK selanjutnya dan merusak
jaringan cerebral
• Merupakan indikasi dari iritasi meningeal
berhubngan dengan durameter dan atau
perkembangan infeksi selama periode akut
atau penyebuhan trauma kepala
• Untuk mencegah peningkatan TIK dari
diproduksinya adrenalin
• Dapat meningkatkan tekanan intrathorak dan
intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK
• Respon melawan restrain akan meningkatkan
TIK. Hati-hati untuk mencegah trauma saja
• Ungkapan keluarga untuk relaksasi pada pasien
penurunan kesadaran

Anda mungkin juga menyukai