Anda di halaman 1dari 39

‫هّٰللا‬

ِ ‫ِبس ِْم ِ الرَّحْ مٰ ِن الر‬


١ ‫َّحي ِْم‬

Tafsir Lengkap Kemenag

1. (1) Surah al-F±ti¥ah dimulai dengan Basmalah (‫بسم هللا‬


‫)الرحمن الرحيم‬.

Ada beberapa pendapat ulama berkenaan dengan Basmalah


yang terdapat pada permulaan surah Al-F±ti¥ah. Di antara
pendapat-pendapat itu, yang termasyhur ialah:

1. Basmalah adalah ayat tersendiri, diturunkan Allah untuk


jadi kepala masing-masing surah, dan pembatas antara satu
surah dengan surah yang lain. Jadi dia bukanlah satu ayat
dari al-F±ti¥ah atau dari surah yang lain, yang dimulai
dengan Basmalah itu. Ini pendapat Imam Malik beserta ahli
qiraah dan fuqaha (ahli fikih) Medinah, Basrah dan Syam,
dan juga pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikut-
pengikutnya. Sebab itu menurut Imam Abu Hanifah,
Basmalah itu tidak dikeraskan membacanya dalam salat,
bahkan Imam Malik tidak membaca Basmalah sama sekali.

Hadis Nabi saw:

‫لَّ َم َوأَ ِبي‬DDD‫ ِه َو َس‬DDDْ‫لَّى هللاُ َعلَي‬DDD‫ص‬ َ ‫فَ النَّ ِب ِّي‬DDD‫ْت خَ ْل‬ُ ‫لَّي‬DDD‫ص‬ َ :‫ال‬DDD َ َ‫ك ق‬DDD ٍ ِ‫َس ب ِْن َمال‬ِ ‫ع َْن أَن‬
‫هللا‬
ِ ِ ِ ‫م‬ D ْ
‫س‬ ‫ب‬ َ‫ن‬ ‫ر‬
ْ‫ُو‬ ُ
‫ك‬ ْ
‫ذ‬DD َ ‫ي‬ َ ‫ال‬ ‫ي‬
َ‫ْن‬ ‫م‬َ
ِ َ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ع‬ ْ
‫ال‬ ِّ‫ب‬‫ر‬ ‫هلل‬ ِ
َ ِ ِْ َ ِ ‫د‬ ‫م‬‫ح‬ ْ
‫ال‬ ‫ب‬ َ‫ن‬ ‫ح‬
ْ‫ُو‬ ‫ت‬‫ف‬ْ
ِ َ َ ‫ت‬‫س‬ْ ‫ي‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ ‫ن‬‫َا‬
‫ك‬ َ ‫ف‬ َ‫ان‬ ‫م‬ ْ
َ َ َ ‫بَ ْك ٍر َو ُع َم‬
‫ُث‬ ‫ع‬ ‫و‬‫ر‬
‫ظ‬DDDD‫يخان واللف‬DDDD‫ا (رواه الش‬DDDDَ‫آخ ِره‬ ِ ‫را َء ٍة َوالَ ِفي‬DDDD َ
َ ‫َّحي ِْم فِي أو َِّل ِق‬ ِ ‫ر‬DDDD‫رَّحْ مٰ ِن ال‬DDDD‫ال‬
)‫لم‬DD‫;لمس‬Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Saya salat di
belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka

1
memulai dengan al-¥amdulill±hi rabbil ‘±lam³n, tidak
menyebut Bismill±hirra¥m±nirrah³m di awal bacaan, dan
tidak pula di akhirnya.”(Riwayat al-Bukh±r³ dan
Muslim).;2. Basmalah adalah salah satu ayat dari al-
F±ti¥ah, dan pada surah an-Naml/27:30, ‫انه من سليمن وانه بسم‬
)27:30/‫ هللا الرحمن الرحيم (النمل‬yang dimulai dengan Basmalah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi'i beserta ahli qiraah Mekah
dan Kufah. Sebab itu menurut mereka Basmalah itu dibaca
dengan suara keras dalam salat (jahar). Dalil-dalil yang
menunjukkan hal itu antara lain Hadis Nabi saw:

‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَجْ هَ ُر ِب ِبس ِْم هللاِ الرَّحْ مٰ ِن‬
َ ِ‫ كانَ َرسُوْ ُل هللا‬:‫ع َْن ابن عباس قال‬
)‫َّحي ِْم (رواه الحاكم فى المستدرك وقال صحيح‬ ِ ‫الر‬

Dari Ibnu ‘Abb±s, ia berkata, Rasulullah saw mengeraskan


bacaan Bismill±hirrahm±nirrah³m. (Riwayat al-¦±kim
dalam al-Mustadrak dan menurutnya, hadis ini sahih); ‫ع َْن اُ ِّم‬
‫رَّحْ مٰ ِن‬D‫ ِم هللاِ ال‬D‫هُ ِب ْس‬Dَ‫لَّ َم يُقَطِّ ُع قِ َرأَت‬D‫ ِه َو َس‬D‫لَّى هللا ُ َعلَ ْي‬D‫ص‬ َ ِ‫ت َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬ ْ َ‫َسلَ َمةَ قَال‬
‫د‬DD‫ ِّدي ِْن (رواه أحم‬D‫وْ ِم ال‬DDَ‫ك ي‬D D‫ل‬ ‫ا‬
ِ ِ َ ِ ِ ‫م‬ ، ‫ْم‬‫ي‬ ‫َّح‬‫ر‬ ‫ال‬ ‫ن‬ِ ٰ‫م‬ ْ‫َّح‬
‫ر‬ ‫ال‬ ، َ‫ْن‬‫ي‬‫م‬ َ
ِ َ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ع‬‫ل‬‫ا‬ْ ِّ‫ب‬‫ر‬َ ِ ْ َ ‫ اَ ْل‬،‫َّحي ِْم‬
‫هلل‬ ِ ُ
‫د‬ ‫م‬‫ح‬ ِ ‫الر‬
)‫وابوداود وابن خزيمة والحاكم وقال الدار قطنى سنده صحيح‬

Dari Ummu Salamah, katanya, Rasulullah saw berhenti


berkali-kali dalam bacaanya Bismill±hirrahm±nirrah³m, al-
¦amdulill±hi Rabbil- ‘²lam³n, ar-Ra¥m±nir-ra¥³m, M±liki
Yaumid-d³n. (Riwayat A¥mad, Abu D±ud, Ibnu
Khuzaimah dan al-¦±kim. Menurut ad-D±ruqu¯n³, sanad
hadis ini sahih).; Abu Hurairah juga salat dan mengeraskan
bacaan basmalah. Setelah selesai salat, dia berkata, “Saya
ini adalah orang yang salatnya paling mirip dengan
2
Rasulullah.” Muawiyah juga pernah salat di Medinah tanpa
mengeraskan suara basmalah. Ia diprotes oleh para sahabat
lain yang hadir disitu. Akhirnya pada salat berikutnya
Muawiyah mengeraskan bacaan basmalah.

Kalau kita perhatikan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah


saw telah sependapat menuliskan Basmalah pada
permulaan surah dari surah Al-Qur′an, kecuali surah at-
Taubah (karena memang dari semula turunnya tidak
dimulai dengan Basmalah) dan bahwa Rasulullah saw
melarang menuliskan sesuatu yang bukan Al-Qur′an agar
tidak bercampur aduk dengan Al-Qur′an, sehingga mereka
tidak menuliskan ‘±m³n’ pada akhir surah al-F±ti¥ah, maka
Basmalah itu adalah salah satu ayat dari Al-Qur′an. Dengan
kata lain, bahwa “basmalah-basmalah” yang terdapat di
dalam Al-Qur′an adalah ayat-ayat Al-Qur′an, lepas dari
pendapat apakah satu ayat dari al-F±ti¥ah atau dari surah
lain, yang dimulai dengan Basmalah atau tidak.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa surah al-F±ti¥ah itu


terdiri dari tujuh ayat. Mereka yang berpendapat bahwa
Basmalah itu tidak termasuk satu ayat dari al-F±ti¥ah,
memandang:

ࣖ َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َواَل الض َّۤالِّيْن‬


ِ ْ‫َغي ِْر ْال َم ْغضُو‬

adalah salah satu ayat, dengan demikian ayat-ayat al-


F±ti¥ah itu tetap tujuh.

3
‫هّٰللا‬
ِ ‫ِبس ِْم ِ الرَّحْ مٰ ِن الر‬
‫َّحي ِْم‬

“Dengan nama Allah” maksudnya “Dengan nama Allah


saya baca atau saya mulai”. Seakan-akan Nabi berkata,
“Saya baca surah ini dengan menyebut nama Allah, bukan
dengan menyebut nama saya sendiri, sebab ia wahyu dari
Tuhan, bukan dari saya sendiri.” Maka Basmalah di sini
mengandung arti bahwa Al-Qur′an itu wahyu dari Allah,
bukan karangan Muhammad saw dan Muhammad itu
hanyalah seorang Pesuruh Allah yang dapat perintah
menyampaikan Al-Qur′an kepada manusia.;Makna kata
All±h

Allah adalah nama bagi Zat yang ada dengan sendirinya


(w±jibul-wujµd). Kata “Allah” hanya dipakai oleh bangsa
Arab kepada Tuhan yang sebenarnya, yang berhak
disembah, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan.
Mereka tidak memakai kata itu untuk tuhan-tuhan atau
dewa-dewa mereka yang lain.

Hikmah Membaca Basmalah

Seorang yang selalu membaca Basmalah sebelum


melakukan pekerjaan yang penting, berarti ia selalu
mengingat Allah pada setiap pekerjaannya. Dengan
demikian ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan
selalu memperhatikan norma-norma Allah dan tidak
4
merugikan orang lain. Dampaknya, pekerjaan yang
dilakukannya akan berbuah sebagai amalan ukhrawi.

Seorang Muslim diperintahkan membaca Basmalah pada


waktu mengerjakan sesuatu yang baik. Yang demikian itu
untuk mengingatkan bahwa sesuatu yang dikerjakan adalah
karena perintah Allah, atau karena telah diizinkan-Nya.
Maka karena Allah dia mengerjakan pekerjaan itu dan
kepada-Nya dia meminta pertolongan agar pekerjaan
terlaksana dengan baik dan berhasil.

Nabi saw bersabda:

ِ ‫ر‬D‫رَّحْ مٰ ِن ال‬D‫ ِم هللاِ ال‬D‫ ِه ِب ِب ْس‬D‫ال لَ ْم يُ ْبد َْأ فِ ْي‬


‫ادر‬DD‫د الق‬DD‫ ُع (رواه عب‬Dَ‫َّحي ِْم أَ ْقط‬ ٍ َ‫ُكلُّ أَ ْم ٍر ِذيْ ب‬
)‫الرهاوي‬

“Setiap pekerjaan penting yang tidak dimulai dengan


menyebut Basmalah adalah buntung (kurang berkahnya).”
(Riwayat Abdul-Q±dir ar-Rah±w³).;Orang Arab sebelum
datang Islam mengerjakan sesuatu dengan menyebut al-
L±ta dan al-‘Uzz±, nama-nama berhala mereka. Sebab itu,
Allah mengajarkan kepada penganut-penganut agama Islam
yang telah mengesakan-Nya, agar mereka mengerjakan
sesuatu dengan menyebut nama Allah.

٢ َ‫اَ ْل َح ْم ُد هّٰلِل ِ َربِّ ْال ٰعلَ ِمي ْۙن‬

5
2. (2) Pada ayat di atas, Allah memulai firman-Nya dengan
menyebut “Basmalah” untuk mengajarkan kepada hamba-
Nya agar memulai suatu perbuatan yang baik dengan
menyebut basmalah, sebagai pernyataan bahwa dia
mengerjakan perbuatan itu karena Allah dan kepada-Nyalah
dia memohonkan pertolongan dan berkah. Maka, pada ayat
ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya agar selalu
memuji-Nya.

Al-¥amdu artinya pujian, karena kebaikan yang diberikan


oleh yang dipuji, atau karena suatu sifat keutamaan yang
dimilikinya. Semua nikmat yang telah dirasakan dan
didapat di alam ini dari Allah, sebab Dialah yang menjadi
sumber bagi semua nikmat. Hanya Allah yang mempunyai
sifat-sifat kesempurnaan. Karena itu Allah sajalah yang
berhak dipuji. Orang yang menyebut al-¥amdu lill±h bukan
hanya mengakui bahwa puji itu untuk Allah semata,
melainkan dengan ucapannya itu dia memuji Allah.

Rabb artinya pemilik, pengelola dan pemelihara. Di


dalamnya terkandung arti mendidik, yaitu menyampaikan
sesuatu kepada keadaan yang sempurna dengan berangsur-
angsur.

‘²lam³n artinya seluruh alam, yakni semua jenis makhluk.


Alam itu berjenis-jenis, yaitu alam tumbuh-tumbuhan, alam
binatang, alam manusia, alam benda, alam makhluk halus,
umpamanya malaikat, jin, dan alam yang lain. Ada mufasir
mengkhususkan ‘±lam³n pada ayat ini kepada makhluk-
6
makhluk Allah yang berakal yaitu manusia, malaikat dan
jin. Tetapi ini mempersempit arti kata yang sebenarnya
amat luas.

Dengan demikian, Allah itu Pendidik seluruh alam, tak ada


sesuatu pun dari makhluk Allah yang terlepas dari didikan-
Nya. Tuhan mendidik makhluk-Nya dengan seluas arti kata
itu. Sebagai pendidik, Dia menumbuhkan, menjaga,
memberikan daya (tenaga) dan senjata kepada makhluk itu,
guna kesempurnaan hidupnya masing-masing.

Siapa yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang,


menyelidiki kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang di
laut dan di darat, mempelajari pertumbuhan manusia sejak
dari rahim ibunya sampai ke masa kanak-kanak, lalu
menjadi manusia yang sempurna, tahulah dia bahwa tidak
ada sesuatu juga dari makhluk Allah yang terlepas dari
penjagaan, pemeliharaan, asuhan dan inayah-Nya.

ِ ‫الرَّحْ مٰ ِن الر‬
٣ ‫َّحي ۙ ِْم‬

3. (3) Pada ayat dua di atas Allah swt menerangkan bahwa


Dia adalah Tuhan seluruh alam. Maka untuk mengingatkan
hamba kepada nikmat dan karunia yang berlipat-ganda,
yang telah dilimpahkan-Nya, serta sifat dan cinta kasih
sayang yang abadi pada diri-Nya, diulang-Nya sekali lagi
menyebut ar-Ra¥m±n ar-Ra¥³m. Yang demikian

7
dimaksudkan agar gambaran keganasan dan kezaliman
seperti raja-raja yang dipertuan dan bersifat sewenang-
wenang lenyap dari pikiran hamba.

Allah mengingatkan dalam ayat ini bahwa sifat ketuhanan


Allah terhadap hamba-Nya bukanlah sifat keganasan dan
kezaliman, tetapi berdasarkan cinta dan kasih sayang.
Dengan demikian manusia akan mencintai Tuhannya, dan
menyembah Allah dengan hati yang aman dan tenteram,
bebas dari rasa takut dan gelisah. Malah dia akan
mengambil pelajaran dari sifat-sifat Allah. Dia akan
mendasarkan pergaulan dan tingkah lakunya terhadap
manusia sesamanya, atau terhadap orang yang di bawah
pimpinannya, malah terhadap binatang yang tak pandai
berbicara sekalipun, atas sifat cinta dan kasih sayang itu.
Karena dengan jalan demikianlah manusia akan mendapat
rahmat dan karunia dari Tuhannya.

Rasulullah bersabda:

)‫اِنَّ َما يَرْ َح ُم هللا ُ ِم ْن ِعبَا ِد ِه الرُّ َح َما َء (رواه الطبراني‬

Allah hanya sayang kepada hamba-hamba-Nya yang


pengasih. (Riwayat at-°abr±n³)

ِ ْ‫الى اِرْ َح ُموْ ا َم ْن فِى ْاألَر‬


‫رْ َح ْم ُك ْم َم ْن‬DDَ‫ض ي‬ َ ‫َّاح ُموْ نَ يَرْ َح ُمهُ ُم الرَّحْ مٰ نُ تَبَارَكَ َوتَ َع‬
ِ ‫الر‬
)‫ِفى ال َّس َما ِء (رواه احمد وابو داود والترمذي والحاكم‬

8
Orang-orang yang penyayang, akan disayangi oleh Allah
yang Rahman Tabaraka wa Ta‘ala.(Oleh karena itu)
sayangilah semua makhluk yang di bumi, niscaya semua
makhluk yang di langit akan menyayangi kamu semua.
(Riwayat A¥mad, Abµ D±wud at-Tirmi©³ dan al-
¦±kim).;Rasulullah bersabda:

)‫َم ْن َر ِح َم َولَوْ َذبِي َْحةَ عُصْ فُوْ ٍر َر ِح َمهُ هللاُ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة (رواه البخاري‬

“Siapa yang kasih sayang meskipun kepada seekor burung


(pipit) yang disembelih, akan disayangi Allah pada hari
Kiamat. (Riwayat al-Bukh±r³);Maksud hadis yang ketiga
ialah menggunakan aturan dan tata cara pada waktu
menyembelih burung, misalnya memakai pisau yang tajam.
Dapat pula dipahami dari urutan kata ar-Ra¥m±n, ar-
Ra¥³m, bahwa penjagaan, pemeliharaan dan asuhan Allah
terhadap seluruh alam, bukanlah karena mengharapkan
sesuatu dari alam itu, tetapi semata-mata karena rahmat dan
kasih sayang-Nya.

Boleh jadi ada yang terlintas dalam pikiran orang, mengapa


Allah membuat peraturan dan hukum, dan menghukum
orang-orang yang melanggar peraturan itu? Pikiran ini akan
hilang bila diketahui bahwa peraturan dan hukum, begitu
juga azab di akhirat atau di dunia yang dibuat Allah untuk
hamba-Nya yang melanggar tidaklah berlawanan dengan
sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
karena peraturan dan hukum itu rahmat dari Allah demi
untuk kebaikan manusia itu sendiri. Begitu pula azab dari
9
Allah terhadap hamba-Nya yang melanggar peraturan dan
hukum itu sesuai dengan keadilan-Nya.

٤ ‫ك يَوْ ِم ال ِّدي ۗ ِْن‬


ِ ِ‫مٰ ل‬

4. (4) Sesudah Allah menyebutkan beberapa sifat-Nya,


yaitu: Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha
Penyayang, maka diiringi-Nya dengan menyebutkan satu
sifat-Nya lagi, yaitu “menguasai hari pembalasan”.
Penyebutan ayat ini dimaksudkan agar kekuasaan Allah
atas alam ini tak terhenti sampai di dunia ini saja, tetapi
terus berkelanjutan sampai hari akhir.

Ada dua macam bacaan berkenaan dengan M±lik. Pertama,


dengan memanjangkan m±, dan kedua dengan
memendekkannya. Menurut bacaan yang pertama, M±lik
artinya “Yang memiliki” (Yang empunya). Sedang menurut
bacaan yang kedua, artinya “Raja”. Kedua bacaan itu benar.

Baik menurut bacaan yang pertama ataupun bacaan yang


kedua, dapat dipahami dari kata itu arti “berkuasa” dan
bertindak dengan sepenuhnya. Sebab itulah diterjemahkan
dengan “Yang menguasai”. “Yaum” artinya hari, tetapi
yang dimaksud di sini ialah waktu secara mutlak.

Ad-d³n banyak artinya, di antaranya: (1) perhitungan, (2)


ganjaran, pembalasan, (3) patuh, (4) menundukkan, dan (5)

10
syariat, agama. Yang selaras di sini ialah dengan arti
“pembalasan”. Jadi, M±liki yaumidd³n maksudnya “Allah
itulah yang berkuasa dan yang dapat bertindak dengan
sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada hari
pembalasan.”

Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal yang terjadi,


yaitu Kiamat, kebangkitan, berkumpul, perhitungan,
pembalasan, tetapi pembalasan sajalah yang disebut oleh
Allah di sini, karena itulah yang terpenting. Yang lain dari
itu, umpamanya kiamat, kebangkitan dan seterusnya,
merupakan pendahuluan dari pembalasan, apalagi untuk
targ³b dan tarh³b (menggalakkan dan menakut-nakuti),
penyebutan “hari pembalasan” itu lebih tepat.;Hari Akhirat
Menurut Pendapat Akal (Filsafat)

Kepercayaan tentang adanya hari akhirat, yang di hari itu


akan diadakan perhitungan terhadap perbuatan manusia
pada masa hidupnya dan diadakan pembalasan yang
setimpal, adalah suatu kepercayaan yang sesuai dengan
akal. Sebab itu adanya hidup yang lain, sesudah hidup di
dunia ini, bukan saja ditetapkan oleh agama, tetapi juga
ditunjukkan oleh akal.

Seseorang yang mau berpikir tentu akan merasa bahwa


hidup di dunia ini belumlah sempurna, perlu disambung
dengan hidup yang lain. Alangkah banyaknya orang yang
teraniaya hidup di dunia ini telah pulang ke rahmatullah
sebelum mendapat keadilan. Alangkah banyaknya orang
11
yang berjasa kecil atau besar, belum mendapat penghargaan
atas jasanya. Alangkah banyaknya orang yang telah
berusaha, memeras keringat, membanting tulang, tetapi
belum sempat lagi merasakan buah usahanya itu.
Sebaliknya, alangkah banyaknya penjahat, penganiaya,
pembuat onar, yang tak dapat dijangkau oleh pengadilan di
dunia ini. Lebih-lebih kalau yang melakukan kejahatan atau
aniaya itu orang yang berkuasa sebagai raja, pembesar dan
lain-lain. Maka biarpun kejahatan dan aniaya itu telah
merantai bangsa seluruhnya, tidaklah akan digugat orang,
malah dia tetap dipuja dan dihormati. Maka, dimanakah
akan didapat keadilan itu, seandainya nanti tidak ada
mahkamah yang lebih tinggi, Mahkamah Allah di hari
kemudian?

Sebab itu, para pemikir dari zaman dahulu telah ada yang
sampai kepada kepercayaan tentang adanya hari akhirat itu,
semata-mata dengan jalan berpikir, antara lain Pitagoras.
Filsuf ini berpendapat bahwa hidup di dunia ini merupakan
bekal hidup yang abadi di akhirat kelak. Sebab itu sejak
dari dunia hendaklah orang bersedia untuk hidup yang
abadi. Sokrates, Plato dan Aristoteles berpendapat, “Jiwa
yang baik akan merasakan kenikmatan dan kelezatan di
akhirat, tetapi bukan kelezatan kebendaan, karena kelezatan
kebendaan itu terbatas dan mendatangkan bosan dan jemu.
Hanya kelezatan rohani, yang betapa pun banyak dan
lamanya, tidak menyebabkan bosan dan jemu.”

12
;Kepercayaan Masyarakat Arab Sebelum Islam tentang
Hari Akhirat

Di antara masyarakat Arab sebelum Islam terdapat


beberapa pemikir dan pujangga yang telah mempercayai
adanya hari kemudian, seperti Zuhair bin Abi Sulma yang
meninggal dunia setahun sebelum Nabi Muhammad saw
diutus Allah sebagai rasul.

Ada pula di antara mereka yang tidak mempercayai adanya


hari kemudian. Dengarlah apa yang dikatakan oleh salah
seorang penyair mereka: “Hidup, sesudah itu mati, sesudah
itu dibangkitkan lagi, itulah cerita dongeng, hai fulan.”
Karena itu, datanglah agama Islam, membawa kepastian
tentang adanya hari kemudian. Pada hari itu akan dihisab
semua perbuatan yang telah dikerjakan manusia selama
hidupnya, besar atau kecil. Allah berfirman:

َ َ‫ َو َم ْن يَّ ْع َملْ ِم ْثق‬٧ ‫ال َذ َّر ٍة خَ يْرً ا ي ََّر ٗۚه‬


٨ ࣖ ‫ال َذ َّر ٍة ش ًَّرا ي ََّر ٗه‬ َ َ‫فَ َم ْن يَّ ْع َملْ ِم ْثق‬

(7) Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat


zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, (8) dan
barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya
dia akan melihat (balasan)nya. (az-Zalzalah/99: 7-8);Tidak
sedikit ayat di dalam Al-Qur′an yang menjelaskan bahwa di
antara mereka memang banyak yang tidak percaya adanya
hari akhirat; hidup hanya di dunia, setelah itu selesai (al-
An‘±m/6: 29 ; al-Mu′minµn/23: 37). Mereka berkata, bila
seorang bapak mati, maka lahir anak, bila suatu bangsa
13
punah, maka datang bangsa lain. Mereka tidak percaya,
bahwa sesudah mati manusia masih akan hidup kembali
(Hµd/11: 7; al-Isr±′/17: 49) dan banyak lagi ayat senada
yang menggambarkan pendirian demikian. Di dalam
sejarah pemikiran tercatat bahwa sejak dahulu kala banyak
anggapan yang demikian itu.

٥ ُ‫اِيَّاكَ نَ ْعبُ ُد َواِيَّاكَ نَ ْست َِعي ْۗن‬

5. (5) Di dalam ayat-ayat sebelumnya disebutkan empat


macam dari sifat-sifat Allah, yaitu: Pendidik seluruh alam,
Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Yang menguasai
hari pembalasan. Sifat-sifat yang disebutkan itu adalah
sifat-sifat kesempurnaan yang hanya Allah saja yang
mempunyainya. Sebab itu pada ayat ini Allah mengajarkan
kepada hamba-Nya bahwa Allah sajalah yang patut
disembah, dan kepada-Nya sajalah seharusnya manusia
memohon pertolongan, dan bahwa hamba-Nya haruslah
mengikrarkan yang demikian itu.

Iyy±ka (hanya kepada Engkau). Iyy±ka adalah «amir untuk


orang kedua dalam kedudukan man¡µb karena menjadi
maf‘µl bih (obyek). Dalam tata bahasa Arab maf‘µl bih
harus sesudah fi‘il dan f±‘il. Jika mendahulukan yang
seharusnya diucapkan kemudian dalam Balagah
menunjukkan qa¡r, yaitu pembatasan yang bisa diartikan
“hanya“. Jadi arti ayat ini “Hanya kepada Engkau saja kami
14
menyembah, dan hanya kepada Engkau saja kami mohon
pertolongan“.

Iyy±ka dalam ayat ini diulang dua kali, gunanya untuk


menegaskan bahwa ibadah dan isti‘±nah (meminta
pertolongan) itu masing-masing khusus dihadapkan kepada
Allah serta untuk dapat mencapai kelezatan munajat
(berbicara) dengan Allah. Karena bagi seorang hamba
Allah yang menyembah dengan segenap jiwa dan raganya
tak ada yang lebih nikmat dan lezat perasaannya daripada
bermunajat dengan Allah.

Baik juga diketahui bahwa dengan memakai iyy±ka itu


berarti menghadapkan pembicaraan kepada Allah, dengan
maksud mengingat Allah swt, seakan-akan kita berada di
hadapan-Nya, dan kepada-Nya diarahkan pembicaraan
dengan khusyuk dan tawaduk. Seakan-akan kita berkata:

“Ya Allah, ªat yang w±jibul wujµd, Yang bersifat dengan


segala sifat kesempurnaan, Yang menjaga dan memelihara
seluruh alam, Yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
dengan berlipat ganda, Yang berkuasa di hari pembalasan,
Engkau sajalah yang kami sembah, dan kepada Engkau
sajalah kami minta pertolongan, karena hanya Engkau yang
berhak disembah, dan hanya Engkau yang dapat menolong
kami”.;Dengan cara seperti itu orang akan lebih khusyuk
dalam menyembah Allah dan lebih tergambar kepadanya
kebesaran yang disembahnya itu. Inilah yang dimaksud
oleh Rasulullah dengan sabdanya:
15
)‫أَ ْن تَ ْعبُ َد هللا َكَأَنَّكَ ت ََراهُ (رواه البخاري ومسلم عن عمر بن الخطاب‬

“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-


Nya (Riwayat al-Bukh±r³ dan Muslim dari ‘Umar bin al-
Kha¯¯±b).;Karena surah al-F±ti¥ah mengandung ayat
munajat (berbicara) dengan Allah menurut cara yang telah
diterangkan maka hal itu merupakan rahasia diwajibkan
membacanya pada tiap-tiap rakaat dalam salat, karena
jiwanya ialah munajat, dengan menghadapkan diri dan
memusatkan ingatan kepada Allah.

Na‘budu pada ayat ini didahulukan menyebutkannya


daripada nasta‘³nu, karena menyembah Allah adalah suatu
kewajiban manusia terhadap Tuhan-nya. Tetapi pertolongan
dari Allah kepada hamba-Nya adalah hak hamba itu. Maka
Allah mengajar hamba-Nya agar menunaikan kewajibannya
lebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.

Melihat kata-kata na‘budu dan nasta‘³nu (kami menyembah,


kami minta tolong), bukan a‘budu dan asta‘³nu (saya
menyembah dan saya minta tolong) adalah untuk
memperlihatkan kelemahan manusia, tidak selayaknya
manusia mengemukakan dirinya seorang saja dalam
menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah.
Seakan-akan penunaian kewajiban beribadah dan
permohonan pertolongan kepada Allah itu belum lagi
sempurna, kecuali kalau dikerjakan bersama-
sama.;Kedudukan Tauhid di dalam Ibadah dan Sebaliknya

16
Ibadah secara istilah ialah semua perkataan, perbuatan dan
pikiran yang bertujuan untuk mencari rida Allah. Arti
“ibadah” sebagai disebutkan di atas ialah tunduk dan
berserah diri kepada Allah, yang disebabkan oleh kesadaran
bahwa Allah yang menciptakan alam ini, Yang
menumbuhkan, Yang mengembangkan, Yang menjaga dan
memelihara serta Yang membawanya dari suatu keadaan
kepada keadaan yang lain, hingga tercapai
kesempurnaannya.

Tegasnya, ibadah itu timbulnya dari perasaan tauhid. Oleh


karenanya, orang yang suka memikirkan keadaan alam ini,
yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, kehidupan
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bahkan yang
mau memperhatikan dirinya sendiri, yakinlah dia bahwa di
balik alam yang zahir ada Zat yang gaib yang
mengendalikan alam ini, yang bersifat dengan segala sifat
kesempurnaan, yakni Dialah Yang Mahakuasa, Maha
Pengasih, Maha Mengetahui dan sebagainya. Maka
tumbuhlah dalam sanubarinya perasaan bersyukur dan
berutang budi kepada Zat Yang Mahakuasa, Maha Pengasih
dan Maha Mengetahui itu.

Perasaan inilah yang menggerakkan bibirnya untuk


menuturkan puji-pujian, dan yang mendorong jiwa dan
raganya untuk menyembah dan merendahkan diri kepada
Allah Yang Mahakuasa itu sebagai pernyataan bersyukur
dan membalas budi kepada-Nya. Tetapi ada juga manusia

17
yang tidak mau berpikir, dan selanjutnya tidak sadar akan
kebesaran dan kekuasaan Allah, sering melupakan-Nya.
Sebab itulah, setiap agama mensyariatkan bermacam-
macam ibadah, gunanya untuk mengingatkan manusia
kepada kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan keterangan
ini terlihat bahwa tauhid dan ibadah itu saling
mempengaruhi, dengan arti bahwa tauhid menumbuhkan
ibadah, dan ibadah memupuk tauhid.;

Pengaruh Ibadah terhadap Jiwa Manusia

Tiap-tiap ibadah yang dikerjakan karena didorong oleh


perasaan yang disebutkan itu, niscaya berpengaruh kepada
tabiat dan budi pekerti orang yang melakukannya.
Umpamanya, orang yang melaksanakan salat karena sadar
akan kebesaran dan kekuasaan Allah, dan didorong oleh
perasaan bersyukur dan berutang budi kepada-Nya, akan
terjauhlah dia dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
Dengan demikian salatnya itu akan mencegahnya dari
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu,
sesuai dengan firman Allah swt:

ۤ ٰ َّ
ِ ‫ا ِء َو ْال ُم ْنك‬DDD‫لوةَ تَ ْن ٰهى ع َِن ْالفَحْ َش‬DDD‫الص‬
‫ر‬DDDَ َّ‫“; ۗ اِن‬Sesungguhnya salat itu
mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.“ (al-‘
Ankabµt/29: 45);Begitu juga ibadah puasa. Ibadah ini akan
menimbulkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap
orang-orang miskin. Demikian pula seterusnya dengan
ibadah-ibadah yang lain. Ibadah yang sebenarnya adalah
ibadah yang ditimbulkan oleh keyakinan kepada kebesaran
18
dan kekuasaan Allah, serta didorong oleh perasaan
bersyukur kepada Allah. Ibadah yang hanya karena ikut-
ikutan, atau karena memelihara tradisi yang sudah turun-
temurun, bukanlah ibadah yang sebenarnya. Kendatipun
seakan-akan berupa ibadah, tetapi tidak mempunyai jiwa
ibadah. Tidak ubahnya seperti patung, bagaimanapun
miripnya dengan manusia, tidaklah dinamai manusia.
Ibadah yang semacam itu tidak ada pengaruhnya kepada
tabiat dan akhlak.;Berusaha, Berdoa dan Bertawakal

Isti‘±nah (memohon pertolongan) seperti disebutkan di atas


khusus dihadapkan kepada Allah, dengan arti bahwa tidak
ada yang berhak dimohonkan pertolongan kecuali Allah.
Pada ayat yang lain Allah menyuruh manusia untuk tolong-
menolong dalam mengerjakan kebaikan.

Allah berfirman:

‫اونُوْ ا َعلَى ْالبِرِّ َوالتَّ ْق ٰو ۖى‬


َ ‫َوتَ َع‬

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)


kebaikan dan takwa”. (al-M±′idah/5: 2);Adakah
Pertentangan antara Dua Ayat itu?

Tercapainya suatu maksud, atau terlaksananya suatu


pekerjaan dengan baik, tergantung kepada terpenuhinya
syarat-syarat yang dibutuhkan dalam melaksanakan
pekerjaan itu, dan tidak adanya rintangan-rintangan yang
menghalanginya. Manusia telah diberi potensi oleh Allah,

19
baik berupa pikiran maupun kekuatan tubuh, agar bisa
mencukupkan syarat-syarat atau menolak rintangan-
rintangan dalam menuju suatu maksud, atau mengerjakan
suatu pekerjaan. Tetapi, ada di antara syarat-syarat itu yang
manusia tidak kuasa mencukupkannya. Di samping itu, ada
juga rintangan yang tidak mampu ditolaknya. Begitu pula
ada di antara syarat-syarat itu atau di antara halangan-
halangan itu yang tidak dapat diketahui.

Kendatipun menurut pikiran semua syarat yang diperlukan


telah cukup, dan semua rintangan yang menghalangi telah
berhasil diatasi, tetapi kadang-kadang hasil pekerjaan tidak
seperti yang diharapkan. Ada hal-hal yang berada di luar
batas kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang
dimintakan pertolongan khusus kepada Allah. Sebaiknya,
sesuatu yang masih dalam batas kekuasaan dan
kemampuan, manusia disuruh tolong menolong, agar
timbul pada masing-masing individu sifat saling mencintai,
menghargai, dan gotong-royong.

Dengan perkataan lain, manusia disuruh Allah berusaha


dengan sekuat tenaga, dan disuruh saling menolong, dan
membantu. Di samping menjalankan ikhtiar dan usaha, dia
harus pula berdoa, memohon taufik, hidayah dan ma‘µnah.
Ini hendaknya dimohonkan khusus kepada Allah, karena
hanya Dia yang kuasa memberinya. Sesudah itu semua,
barulah dia bertawakal kepada-Nya.

20
Ibadah itu sendiri pun suatu pekerjaan yang berat, sebab itu
haruslah dimintakan ma‘µnah dari Allah agar semua ibadah
terlaksana sesuai dengan yang dimaksud oleh agama. Oleh
karena itu, seseorang hendaknya menuturkan bahwa hanya
kepada Allah sajalah kita beribadah, diikuti lagi dengan
pernyataan bahwa kepada-Nya saja minta pertolongan,
terutama pertolongan agar amal ibadah terlaksana
sebagaimana mestinya. Ayat di atas, sebagaimana telah
disebutkan, mengandung tauhid, karena beribadah semata-
mata kepada Allah dan meminta ma‘µnah khusus kepada-
Nya, adalah intisari agama, dan kesempurnaan tauhid.

٦ ‫اِ ْه ِدنَا الصِّ َراطَ ْال ُم ْستَ ِق ْي ۙ َم‬

6. (6) Ihdi: pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah. Arti


“hidayah” ialah menunjukkan suatu jalan atau cara
menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya, dengan
baik.;Macam-macam Hidayah (Petunjuk)

Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah,


seperti yang juga dibahas dalam Tafs³r Al-F±ti¥ah oleh
Muhammad Abduh.;1. Hidayah Naluri (Gar³zah)

Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh


Allah dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya
bukan dari pelajaran, bukan pula dari pengalaman,
melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-

21
sifat ini namanya “naluri”, dalam bahasa Arab disebut
gar³zah. Umpamanya, naluri “ingin memelihara diri”
(mempertahankan hidup). Seorang bayi bila merasa lapar
dia menangis. Sesudah terasa di bibirnya puting susu
ibunya, dihisapnya sampai hilang laparnya. Perbuatan ini
dikerjakannya tanpa seorang pun yang mengajarkan
kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanya
semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya,
untuk mempertahankan hidupnya.

Contoh lain adalah lebah membuat sarangnya, laba-laba


membuat jaringnya, semut membuat lubangnya dan
menimbun makanan dalam lubang itu. Semua itu
dikerjakan oleh binatang-binatang itu untuk
mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya, dengan
dorongan nalurinya semata-mata. Banyak lagi naluri yang
lain, umpamanya rasa “ingin tahu”, “ingin mempunyai”,
“ingin berlomba-lomba”, “ingin bermain”, “ingin meniru”,
“takut”, dan lain-lain.;Sifat-sifat Naluri

Naluri (gar³zah), sebagaimana disebutkan, terdapat pada


manusia dan binatang. Perbedaannya ialah naluri manusia
bisa menerima pendidikan dan perbaikan, tetapi naluri
binatang tidak. Sebab itulah manusia bisa maju, sedangkan
binatang tidak, ia tetap seperti sediakala.

Naluri-naluri itu adalah dasar bagi kebaikan, dan juga dasar


bagi kejahatan. Umpamanya, naluri “ingin memelihara
diri”, orang berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari
22
nafkah secara halal. Sebaliknya karena naluri “ingin
memelihara diri” itu pula orang mencuri, menipu,
merampok dan lain-lain. Karena naluri “ingin tahu” orang
belajar, sehingga memiliki pengetahuan yang banyak dan
pendidikan yang tinggi. Sebaliknya karena naluri “ingin
tahu” itu pula orang suka mencari-cari ‘aib dan rahasia’
sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan dan
persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan naluri-
naluri yang lain.

Naluri-naluri itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada


faedahnya membunuhnya. Ada pemikir dan pendidik yang
hendak memadamkan naluri, karena melihat segi yang tidak
baik (jahat) itu. Sebab itu mereka membuat bermacam
peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak agar
naluri itu jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh
menjadi mati. Tetapi perbuatan mereka itu besar bahayanya
terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan akhlak anak-anak.
Bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh naluri
itu, namun ia tidak akan mati.

Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan


terhadap suatu naluri, maka kelihatan ia telah padam, tetapi
manakala ada yang membangkitkannya, ia timbul kembali.
Oleh karena itu, sekalipun naluri itu dasar bagi kebaikan,
sebagaimana ia juga dasar bagi kejahatan, kewajiban
manusia bukanlah menghilangkannya, tetapi mendidik dan

23
melatihnya, agar dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke arah
yang baik.

Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-


macam naluri untuk jadi hidayah (petunjuk) yang akan
dipakainya secara bijaksana.;2. Hidayah Pancaindra

Karena naluri itu sifatnya belum pasti sebagaimana


disebutkan di atas, maka ia belum cukup untuk jadi hidayah
bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Sebab itu, manusia dilengkapi lagi oleh Allah swt dengan
pancaindra. Pancaindra itu sangat besar perannya terhadap
pertumbuhan akal dan pikiran manusia. Sehubungan
dengan itu ahli-ahli pendidikan berkata:

ِ ‫لح َواسُّ أَب َْوابُ ْال َمع‬


‫ْرفَ ِة‬ َ ‫ْا‬

(Pancaindra adalah pintu-pintu pengetahuan).

Maksudnya ialah: dengan perantaraan pancaindra itulah


manusia dapat berhubungan dengan alam sekitar, dengan
arti bahwa sampainya sesuatu dari alam sekitar ini ke dalam
otak manusia adalah melalui pintu-pintu pancaindra. Tetapi
naluri ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup
untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi
benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat dilihat oleh
mata. Banyak macam suara yang tidak dapat didengar oleh
telinga. Malah selain dari alam ma¥sµsat (yang dapat

24
ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma‘qµlat (yang
hanya dapat ditangkap oleh akal).

Indra penglihatan (mata) hanya dapat menangkap alam


ma¥sµsat, tangkapannya tentang yang mah¥sµsat itu pun
tidak selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang
dinamakan dalam ilmu jiwa “ilusi optik” (tipuan
pandangan), dalam bahasa Arab disebut khid±‘ an-na§ar.
Sebab itu manusia masih membutuhkan hidayah yang lain.
Maka Allah menganugerahkan hidayah yang ketiga, yaitu
“hidayah akal”.;3. Hidayah Akal (pikiran)

a. Akal dan kadar kesanggupannya

Dengan adanya akal manusia dapat menyalurkan naluri ke


arah yang baik, agar naluri itu menjadi sumber bagi
kebaikan, dan manusia dapat membetulkan kesalahan-
kesalahan pancaindranya, membedakan yang buruk dengan
yang baik. Akal bahkan sanggup menyusun mukadimah
untuk menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan
akibat dengan sebab, memakai yang ma¥sµsat sebagai
tangga kepada yang ma‘qµlat, mempergunakan yang dapat
dilihat, diraba dan dirasakan untuk sampai kepada yang
abstrak, maknawi, dan gaib, mengambil dalil dari adanya
makhluk untuk menetapkan adanya khalik, dan begitulah
seterusnya.

Tetapi akal manusia juga belum memadai untuk


membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di
25
akhirat di samping berbagai macam naluri dan pancaindra
itu. Apalagi pendapat akal itu bermacam-macam, yang baik
menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan
si B, malah banyak manusia yang mempergunakan akalnya,
tetapi akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu dan
sentimennya, hingga yang buruk itu menjadi baik dalam
pandangannya, dan yang baik itu menjadi buruk.

Dengan demikian nyatalah bahwa naluri ditambah dengan


pancaindra, dan ditambah pula dengan akal belum cukup
untuk menjadi hidayah yang akan menyampaikan manusia
kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di dunia dan
akhirat. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hidayah
lain, di samping pancaindra dan akalnya, yaitu hidayah
agama yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimu¡-¡al±tu was-
sal±m.;b. Benih agama dan akidah tauhid pada jiwa
manusia

Jika menilik kepada agama-agama dan kepercayaan-


kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (al-ady±n al-
wa«‘iyyah) terlihat bahwa pada jiwa manusia telah ada
bibit-bibit kecenderungan beragama. Hal itu karena
manusia mempunyai sifat merasa berutang budi, suka
berterima kasih dan membalas budi kepada orang yang
berbuat baik kepadanya. Maka, ketika ia memperhatikan
dirinya dan alam di sekililingnya, umpamanya roti yang
dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang
ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan

26
sinarnya, hujan yang turun dari langit yang menumbuhkan
tanam-tanaman, dia akan merasa berutang budi kepada
“suatu Zat” yang gaib yang telah berbuat baik dan
melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya.

Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat yang gaib


itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan
kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala
sesuatu yang dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk
memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena
merasa berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib itu,
maka dia berpikir bagaimana cara berterima kasih dan
membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana
cara “menyembah Zat Yang Gaib itu”.

Perihal bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib, adalah


suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh
akal manusia. Sebab itu, di dalam sejarah terlihat tidak
pernah ada keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal pikiran
manusia akan membawanya kepada kepercayaan
mengagungkan alam di samping mengagungkan Zat Yang
Gaib itu.

Karena pikirannya masih bersahaja dan belum


tergambarkan di otaknya bagaimana menyembah “Zat
Yang Gaib”, maka dipilihlah di antara alam ini sesuatu
yang besar, yang indah, yang banyak manfaatnya, atau
sesuatu yang ditakutinya untuk jadi lambang bagi Zat Yang
Gaib itu. Ketika dia mengagumi matahari, bulan dan
27
bintang-bintang, sungai-sungai, binatang dan lain-lain,
maka disembahnya benda-benda itu, sebagai lambang
menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu, dan
diciptakannya cara-cara beribadah (menyembah) benda-
benda itu.

Dengan cara itu timbul suatu macam kepercayaan, yang


dinamakan dengan “kepercayaan menyembah kekuatan
alam”, seperti yang terdapat di Mesir, Kaldea, Babilonia,
Asiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala.
Dengan keterangan ini: tampak bahwa manusia menurut
fitrahnya cenderung beragama, acap memikirkan dari mana
datangnya alam ini, dan ke manakah kembalinya.

Bila manusia mau memikirkan: “Dari mana datangnya alam


ini”, akan sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan,
bahkan akan sampai kepada keyakinan tentang keesaan
Tuhan (tauhid), karena akidah (keyakinan) tentang keesaan
Tuhan ini lebih mudah, dan lebih cepat dipahami oleh akal
manusia. Karena itu dapat kita tegaskan bahwa manusia itu
menurut nalurinya adalah beragama tauhid.

Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaldea pada


mulanya adalah beragama tauhid, kemudian mereka
menyembah matahari, planet-planet dan bintang-bintang
yang mereka simbolkan dengan patung-patung. Sesudah
raja Namru© meninggal, mereka pun mendewakan dan
menyembah Namru© itu. Bangsa Asiria pun pada mulanya
beragama tauhid, kemudian mereka lupa kepada akidah
28
tauhid itu dan mereka sekutukan Tuhan dengan binatang-
binatang, dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang
Babilonia.

Adapun bangsa Mesir, bila diperhatikan nyanyian-nyanyian


yang mereka nyanyikan dalam upacara-upacara
peribadatan, jelas bahwa tidak semua orang Mesir
purbakala itu orang-orang musyrik dan wa£ani (penyembah
berhala), melainkan di antara mereka ada juga muwa¥¥id³n,
penganut akidah tauhid. Di dalam nyanyian-nyanyian itu
terdapat ungkapan sebagai berikut:;“Dialah Tuhan Yang
Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya”

“Dia mencintai seluruh makhluk, sedang Dia sendiri tak ada


yang menciptakan-Nya”

“Dialah Tuhan Yang Mahaagung, Pemilik langit dan bumi,


Pencipta seluruh makhluk”;Dapat ditegaskan bahwa akidah
tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, dan tetap ada.
Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta seluruh yang ada di
alam ini. Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain itu mereka
anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau
simbol bagi Yang Maha Esa.;c. Pendapat Orang-orang Arab
sebelum Islam tentang Khalik (Pencipta)

Orang-orang Arab sebelum datang agama Islam, kalau


ditanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan
langit dan bumi ini?” Mereka menjawab, “Allah.” Kalau
ditanyakan, “Adakah al-Lata dan al-Uzza itu menjadikan
29
sesuatu yang ada pada alam ini?” Mereka menjawab,
“Tidak!” Mereka sembah dewa-dewa itu hanya untuk
mengharapkan perantaraan dan syafaat dari mereka
terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah berfirman tentang
perkataan musyrikin Arab itu:

ۗ‫َما نَ ْعبُ ُدهُ ْم اِاَّل ِليُقَرِّ بُوْ نَٓا ِالَى هّٰللا ِ ُز ْل ٰفى‬

“Kami tidak menyembah mereka, melainkan (berharap)


agar mereka mendekatkan kami kepada Allah, dengan
sedekat-dekatnya.” (az-Zumar/39: 3);

d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai oleh akal

Manakala manusia memikirkan “kemanakah kembalinya


alam ini?” akan sampailah dia pada keyakinan bahwa di
balik hidup di dunia yang fana ini akan ada lagi hidup di
hari kemudian yang kekal dan abadi. Tetapi dapatkah
manusia dengan akal dan pikirannya semata-mata
mengetahui apakah yang perlu dikerjakan atau dijauhinya
sebagai persiapan untuk kebahagiaan di hari kemudian (hari
akhirat) itu? Jawabnya, “Tentu saja tidak, sejarah pun telah
membuktikan hal ini.”

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa manusia


telah diberi akal oleh Allah untuk jadi hidayah baginya, di
samping naluri dan pancaindra. Tetapi hidayah akal itu
belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia
dan akhirat.

30
Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama,
dengan akalnya dia kadang-kadang telah sampai kepada
tauhid. Tetapi tauhid yang telah dicapainya dengan akalnya
itu sering pula menjadi kabur dan tidak murni lagi.

Dengan mempergunakan akalnya, manusia juga dapat


sampai kepada kesimpulan tentang adanya akhirat, tetapi
hidayah akal itu belum mencukupi untuk kebahagiaan
hidupnya di dunia dan akhirat. Maka untuk menyampai-kan
manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang tidak
dicampuri sedikit pun oleh kepercayaan-kepercayaan
menyembah dan membesarkan selain Allah, untuk
membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya
dalam perjalanan mencari kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat, dan untuk jadi pedoman dalam hidupnya di dunia
ini, dia membutuhkan hidayah yang lain di samping
hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka Allah
mendatangkan hidayah yang keempat yaitu “agama” yang
dibawa oleh para rasul ‘alaihimu¡-¡al±tu was-sal±m.;4.
Hidayah Agama

a. Pokok-pokok agama ketuhanan

Allah mengutus rasul-rasul untuk membawa agama yang


akan menunjukkan kepada manusia jalan yang harus
mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka di dunia dan
akhirat. Mula-mula yang ditanamkan oleh rasul-rasul itu
adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa
dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna
31
membersihkan itikad manusia dari syirik
(mempersekutukan Allah).

Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid


dengan melalui akal dan logika, yaitu dengan
mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. Dialog
antara Nabi Ibrahim dengan Namru©, Nabi Musa dengan
Fir‘aun, dan seruan-seruan Al-Qur′an kepada kaum
musyrikin Quraisy semuanya mengajak agar mereka
mempergunakan akal.

Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha


Esa, rasul-rasul juga menyeru untuk percaya pada akhirat,
dan para malaikat.

Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan


segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat
dan hari kemudian dinamakan al-³m±n bi al-gaib (percaya
kepada yang gaib). Itulah yang menjadi pokok bagi semua
agama samawi, dengan arti bahwa semua agama yang
datangnya dari Tuhan adalah mempercayai keesaan Tuhan,
para malaikat dan hari akhirat.

Di samping Akidah (kepercayaan) yang disebutkan itu, para


rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan,
akhlak dan pelajaran-pelajaran. Hukum-hukum dan
peraturan-peraturan ini tidak seluruhnya sama, artinya apa
yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan
yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa
32
oleh Nabi Isa, tidak serupa dengan yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. Hal ini dikarenakan hukum-hukum dan
peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan
tempat dan masa. Maka syariat yang dibawa oleh nabi-nabi
itu adalah sesuai dengan masanya masing-masing. Jadi
yang berlainan itu ialah hukum-hukum furu‘ (cabang-
cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti
akidah adalah sama. Karena Muhammad saw adalah Nabi
penutup maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Allah
sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan segala masa dan
keadaan.;b. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan

Allah telah menganugerahkan agama Islam sebagai hidayah


dan senjata hidup yang penghabisan, atau jalan kepada
kebahagiaan yang terakhir, tetapi adakah semua orang,
pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua
hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang telah
dibentangkan oleh Tuhan?

Banyak manusia salah menerapkan agama, tidak beribadah


(menyembah Allah) sesuai dengan yang diridai oleh yang
disembah, tidak melaksanakan syariat sesuai dengan yang
dimaksud oleh pembuat syariat itu. Karena itu Allah
mengajarkan kepada manusia cara memohon kepada-Nya
agar diberi-Nya ma‘µnah, dibimbing dan dijaga selama-
lamanya, serta diberi-Nya taufik agar dapat memanfaatkan
semua macam hidayah yang telah dianugerahkan itu
menurut semestinya. Naluri-naluri agar dapat disalurkan ke

33
arah yang baik, pancaindra agar betul, akal agar sesuai
dengan yang benar, tuntunan-tuntunan agama agar dapat
dilaksanakan menurut yang dimaksudkan oleh yang
menurunkan agama itu, tanpa ada cacat, janggal dan salah.

Tegasnya, manusia yang telah diberi Allah bermacam-


macam hidayah yang disebutkan di atas (naluri, pancaindra,
akal dan agama) belumlah cukup, tetapi dia masih
membutuhkan ma‘µnah dan bimbingan dari Allah (yaitu
taufik-Nya). ) Maka ma‘µnah dan bimbingan itulah yang
kita mohonkan, dan kepada Allah sajalah kita hadapkan
permohonan itu. Dengan perkataan lain, Allah telah
memberi manusia hidayah-hidayah tersebut, seakan-akan
Dia telah membentangkan jalan raya yang akan
menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup duniawi
dan ukhrawi. Kemudian yang dimohonkan kepada-Nya
lagi, ialah “agar membimbing kita dalam melalui jalan yang
telah terbentang itu.”

Dengan ringkas hidayah dalam ayat ihdina¡-¡ir±¯al-


mustaq³m ini berarti “taufik” (bimbingan), dan taufik itulah
yang dimohonkan di sini kepada Allah. Taufik ini
dimohonkan kepada Allah sesudah kita berusaha dengan
sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar, karena berusaha
dengan sepenuh tenaga adalah kewajiban kita, tetapi
keberhasilan suatu usaha adalah termasuk kekuasaan Allah.
Dengan ini terlihat pertalian ayat ini dengan ayat yang
sebelumnya. Pada ayat yang sebelumnya Allah mengajari

34
hamba-Nya agar menyembah dan memohon pertolongan
kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini Allah menerangkan
apa yang akan dimohonkan, dan bagaimana
memohonkannya. Maka tidak ada pertentangan antara
kedua firman Allah tersebut dan firman Allah yang
ditujukan kepada Nabi:;‫ٍْم‬Dۙ‫اط ُّم ْستَقِي‬ ِ ‫ي اِ ٰلى‬
ٍ ‫ص َر‬ ْٓ ‫َواِنَّكَ لَتَ ْه ِد‬

… Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing


(manusia) kepada jalan yang lurus. (asy-Syµr±/42: 52).

َ‫اِنَّكَ اَل تَ ْه ِديْ َم ْن اَحْ بَبْتَ َو ٰل ِكنَّ هّٰللا َ يَ ْه ِديْ َم ْن يَّش َۤا ُء َۚوه َُو اَ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَ ِديْن‬

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi


petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan
Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk. (al-Qa¡a¡/28: 56).;Sebab yang dimaksud dengan
hidayah pada ayat pertama ialah menunjukkan jalan yang
harus ditempuh, dan ini memang tugas nabi. Yang
dimaksud dengan hidayah pada ayat kedua ialah
membimbing manusia dalam menempuh jalan itu dan
memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam
perjalanannya, dan ini tidaklah masuk dalam kekuasaan
nabi, tetapi hak Allah semata-mata.

‫ َم‬Dۙ‫الصِّ َراطَ ْال ُم ْستَقِ ْي‬

Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada yang


dituju).;Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu? Di

35
atas telah diterangkan bahwa rasul-rasul telah membawa
aq±′id (kepercayaan-kepercayaan), hukum-hukum,
peraturan-peraturan, akhlak, dan pelajaran-pelajaran.
Pendeknya, para rasul telah membawa segala sesuatu yang
perlu untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan
akhirat.

Maka aq±′id, hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak


dan pelajaran-pelajaran itulah yang dimaksud dengan jalan
lurus itu, karena dialah yang menyampaikan manusia
kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
sebagaimana disebutkan. Jadi dengan menyebut ayat ini
seakan-akan kita memohon kepada Allah, “Bimbing dan
berilah kami taufik, ya Allah dalam melaksanakan ajaran-
ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami.
Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan
kepercayaan kami. Bimbing dan berilah kami taufik dalam
melaksanakan hukum, peraturan-peraturan, serta pelajaran-
pelajaran agama kami. Jadikanlah kami mempunyai akhlak
yang mulia, agar berbahagia hidup kami di dunia dan
akhirat.”

٧ ࣖ َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َواَل الض َّۤالِّيْن‬


ِ ْ‫ت َعلَ ْي ِه ْم ەۙ َغي ِْر ْال َم ْغضُو‬
Dَ ‫ص َراطَ الَّ ِذيْنَ اَ ْن َع ْم‬
ِ

7. (7) Setelah Allah swt mengajarkan kepada hamba-Nya


untuk memohon agar selalu dibimbing-Nya menuju jalan
yang lurus dan benar, pada ayat ini Allah menerangkan apa
36
jalan yang lurus itu. Sebelum Al-Qur′an diturunkan, Allah
telah menurunkan kitab-kitab suci-Nya yang lain, dan
sebelum Nabi Muhammad diutus, Allah telah mengutus
rasul-rasul, karena sebelum umat yang sekarang ini telah
banyak umat terdahulu.

Di antara umat-umat yang terdahulu itu terdapat nabi-nabi,


¡idd³q³n yang membenarkan rasul-rasul dengan jujur dan
patuh, syuhad±′ yang telah mengorbankan jiwa dan harta
untuk kemuliaan agama Allah, dan orang-orang saleh yang
telah membuat kebajikan dan menjauhi larangan Allah.

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh


Allah, dan kita diajari agar memohon kepada-Nya, agar
diberi-Nya taufik dan bimbingan sebagaimana Dia telah
memberi taufik dan membimbing mereka. Artinya
sebagaimana mereka telah berbahagia dalam aq±′id, dalam
menjalankan hukum-hukum dan peraturan-peraturan
agama, serta telah mempunyai akhlak dan budi pekerti yang
mulia, maka demikian pula kita hendaknya. Dengan
perkataan lain, Allah menyuruh kita agar mengambil
contoh dan teladan kepada mereka yang terdahulu.

Timbul pertanyaan: mengapa Allah menyuruh kita


mengikuti jalan mereka yang terdahulu itu, padahal dalam
agama kita ada pelajaran-pelajaran, hukum dan petunjuk-
petunjuk yang tak ada pada mereka. Jawabnya: sebetulnya
agama Allah itu adalah satu. Kendatipun ada perbedaannya,

37
tetapi perbedaan itu pada bagian-bagiannya, sedang pokok-
pokoknya serupa, sebagaimana telah disebutkan.

Sebagaimana halnya dalam umat-umat yang terdahulu itu


terdapat orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, juga
terdapat di antara mereka orang yang dimurkai Allah dan
orang yang sesat. Orang yang dimurkai Allah itu mereka
yang tak mau menerima seruan Allah yang disampaikan
oleh rasul-rasul, karena berlainan dengan kebiasaan
mereka, atau karena tidak sesuai dengan hawa nafsu
mereka, kendatipun telah jelas bahwa yang dibawa oleh
rasul-rasul itu adalah benar. Termasuk juga ke dalam
golongan ini, mereka yang mulanya telah menerima apa
yang disampaikan oleh rasul-rasul, tetapi kemudian karena
suatu sebab mereka membelok, dan membelakangi
pelajaran yang dibawa oleh rasul-rasul itu.

Di dalam sejarah banyak ditemukan orang yang dimurkai


Allah, sejak di dunia mereka telah diazab Allah, sebagai
balasan yang setimpal bagi keingkaran dan sifat angkara
murka mereka. Umpamanya kaum ‘²d dan ¤amud yang
telah dibinasakan oleh Allah. Sampai sekarang masih ada
bekas-bekas peninggalan mereka di Jazirah (semenanjung)
Arab. Begitu juga Fir‘aun dan kaumnya yang telah
dibinasakan Allah di Laut Merah. Mumi Fir‘aun sampai
sekarang masih tersimpan di museum di Mesir.

Orang-orang yang sesat ialah mereka yang tidak betul


kepercayaannya, atau tidak betul pekerjaan dan amal
38
ibadahnya serta rusak budi pekertinya. Bila akidah
seseorang tidak betul, atau pekerjaan dan amal ibadahnya
salah, dan akhlaknya telah rusak, akan celakalah dia, dan
kalau suatu bangsa berada pada situasi seperti itu akan
jatuhlah bangsa itu.

Maka dengan ayat ini Allah mengajari hamba-Nya untuk


memohon kepada-Nya agar terjauh dari kemurkaan-Nya,
dan terhindar dari kesesatan. Di dalamnya juga tersimpul
perintah Allah agar manusia mengambil pelajaran dari
sejarah bangsa-bangsa yang terdahulu. Alangkah
banyaknya dalam sejarah kejadian-kejadian yang dapat
dijadikan iktibar dan pelajaran. Di dalam Al-Qur′an banyak
ayat yang berkenaan dengan kisah umat dan bangsa-bangsa
yang dahulu. Memang tak ada sesuatu yang lebih besar
pengaruhnya kepada jiwa manusia daripada contoh-contoh
orang dan perbandingan-perbandingan yang terdapat dalam
kisah-kisah dan sejarah.

39

Anda mungkin juga menyukai