Anda di halaman 1dari 12

BAB II

KERANGKA TEORI
A. Konsep Dasar
1. Antropologi kesehatan
a. Menurut Hasan dan Prasad (1959) mengatakan bahwa pada awal
pendefinisian dan diusulkan bahwa antropologi kesehatan adalah
cabang dari ilmu-ilmu mengenai manusia yang mempelajari aspek-
aspek biologi dan kebudayaan manusia (termasuk sejarahnya) dari titik
tolak pandangan untuk memahami kedokteran (medical), sejarah
kedokteran (medico-historical), hukum kedokteran ( medico-legal),
aspek sosial kedokteran (medico-social) dan masalah-masalah
manusia.
b. Menurut Hochestrasser dan Tapp (1970) mengatakan bahwa
antropologi kesehatan berkenaan dengan pemahamaan biobudaya
manusia dan karya-karyanya, yang berhubungan dengan kesehatan dan
pengobatan.
c. Menurut Lieban (1973) mengatakan bahwa antropologi kesehatan
mencakup studi tentang fenomena medis.
d. Menurut Fabrega (1972) merumuskan bahwa pertanyaan antropologi
kesehatan sebagai sesuatu yang:
Menjelaskan berbagai faktor, mekanisme dan proses yang memainkan
peranan didalam atau mempengaruhi cara-cara dimana individu dan
kelompok terkena oleh atau berespons terhadap sakit dan penyakit.
Mempelajari masalah-masalah ini dengan penekanan terhadap pola-
pola tingkahlaku.
Secara umum antropologi kesehatan didefinisikan sebagai aktivitas
formal antropologi yang berhubungan dengan kesehatan. Lahirnya
antropologi kesehatan sejak berakhirnya perang dunia II, ahli-ahli
antropologi sosial budaya maupun antropologi biologi semakin
meningkatkan perhatian mereka pada studi lintas-budaya mengenai sistem
kesehatan, juga pada faktor-faktor bioekologi dan sosial-budaya yang
berpengaruh terhadap kesehatan serta timbulnya penyakit, baik pada masa

4
5

kini maupun di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Sebagian dari minat


mereka terletak pada masalah-masalah teoretis, semata-mata karena
didorong oleh perasaan ingin tahu tentang perilaku kesehatan manusia
dalam manifestasinya yang seluas-luasnya.Sebagian lainnya terletak pada
masalah-masalah terapan, karena didorong oleh keyakinan bahwa dalam
teknik-teknik penelitian antropologi, teori-teori maupun datanya dapat dan
harus digunakan dalam program yang disusun untuk memperbaiki
perawatan kesehatan di negara-negara berkembang.Para ahli antropologi
tersebut umumnya disebut sebagai ahli antropologi kesehatan dan
lapangan yang diwakilinya, yakni “antropologi kesehatan”.
2. Teori Kebudayaan
Para pakar Antropologi budaya Indonesia umumnya sependapat
bahwa kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta “Buddayah”.
Kata “Buddayah” adalah bentuk jamak dari “Buddhi” yang berarti
“budi” atau “akal”. namun ada yang beranggapan pula bahwa kata
“budaya” berasal dari kata majemuk “Budi daya” yang berarti “daya dari
budi” atau “daya dari akal” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Berikut ini
definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh beberapa ahli:
a. Menurut Tylor (1871), seorang Antropolog Inggris mengemukakan
bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks dari ide dan segala
sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan,
dan kemampuan serta perilaku lainnya yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat.
b. Menurut Lowie (1937), pakar Antropolog Amerika Serikat
menyatakan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh
individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat,
norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh
bukan karena kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan
masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal.
c. Menurut Koentjaraningrat (1974), mengemukakan bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
6

karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan


milik diri manusia dengan belajar.
3. Paradigma Transculture Nursing
Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan
transkultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep
dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar
belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan (Andrew and
Boyle, 1995), yaitu:
a. Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki
nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk
menetapkan pilihan dan melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984)
manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan budayanya
pada setiap saat dimanapun dia berada (Geiger and Davidhizar, 1995).
b. Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam
mengisi kehidupannya, terletak pada rentang sehat dan sakit.
Kesehatan merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam
konteks budaya yang digunakan untuk menjaga dan memelihara
keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktivitas sehari-
hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin
mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif
(Andrew and Boyle, 1995).
c. Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang
mempengaruhi perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien.
Lingkungan dipandang sebagai suatu totalitas kehidupan dimana klien
dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk
lingkungan yaitu: fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik adalah
lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti daerah
khatulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah
di daerah Es kimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada
7

matahari sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan


struktur sosial yang berhubungan dengan sosialisasi individu, keluarga
atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam
lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan
yang berlaku di lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah
keseluruhan bentuk dan simbol yang menyebabkan individu atau
kelompok merasa bersatu seperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa
dan atribut yang digunakan.
Strategi yang digunakan dalam melaksanakan asuhan keperawatan
(Leininger, 1991) adalah:
1) Strategi I, Perlindungan/mempertahankan budaya.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi
keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang
telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau
mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya
berolahraga setiap pagi.
2) Strategi II, Mengakomodasi/negoasiasi budaya.
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan
untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang
lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar
dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai
pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan
sumber protein hewani.
3) Strategi III, Mengubah/mengganti budaya klien
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang
dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat berupaya
merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi
tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang
lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
8

4. Proses keperawatan Transcultural Nursing 


Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam
menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan
dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Geisser (1991) menyatakan
bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan
berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and
Boyle, 1995). Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai
tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi.
a. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang
budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang
berdasarkan 7 komponen yang ada pada “Sunrise Model” yaitu :
1) Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau
mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan
kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat-sakit, kebiasaan
berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan
kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi
klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk
mengatasi permasalahan kesehatan saat ini.
2) Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical
factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang
amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi
yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya,
bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus
dikaji oleh perawat adalah: agama yang dianut, status pernikahan,
cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan
dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.
9

3) Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)


Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor: nama
lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam
keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.
4) Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan
oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-
norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat
penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji
pada faktor ini adalah: posisi dan jabatan yang dipegang oleh
kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan,
makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit
berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan
diri.
5) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal
factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala
sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan
keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu
dikaji pada tahap ini adalah: peraturan dan kebijakan yang
berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang
boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
6) Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber
material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera
sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat
diantaranya: pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan
yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya
asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar
anggota keluarga.
10

7) Faktor pendidikan (educational factors)


Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin
tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung
oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat
belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi
kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: tingkat
pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk
belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga
tidak terulang kembali.
Prinsip-prinsip pengkajian budaya:
a) jangan menggunakan asumsi
b) jangan membuat streotip bisa terjadi konflik misal: orang
padang pelit, orang jawa halus
c) menerima dan memahami metode komunikasi
d) menghargai perbedaan individual
e) mengahargai kebutuhan personal dari setiap individu
f) tidak boleh membeda-bedakan keyakinan klien
g) menyediakan privacy terkait kebutuhan pribadi
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang
budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui
intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga
diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan
keperawatan transkultural yaitu: gangguan komunikasi verbal
berhubungan dengan perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial
berhubungan disorientasi sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam
pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
c. Perencanaan dan Pelaksanaan
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural
adalah suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan.
Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan
11

pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai dengan latar


belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga
pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew
and Boyle, 1995) yaitu: mempertahankan budaya yang dimiliki klien
bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan,
mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang
menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang
dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.
1) Cultural care preservation/maintenance/Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi
keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang
telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau
mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya
berolahraga setiap pagi.
a) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang
proses melahirkan dan perawatan bayi
b) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi
dengan klien
c) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan
perawat
2) Cultural care accomodation/negotiation /Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan
untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang
lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar
dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai
pantang makan yangberbau amis, maka ikan dapat diganti dengan
sumber protein hewani yang lain.
a) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
b) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
12

c) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana


kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan
klien dan standar etik
3) Cultual care repartening/reconstruction /Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi
gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok.
Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih
menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
a) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang
diberikan dan melaksanakannya
b) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya
kelompok
c) Gunakan pihak ketiga bila perlu
d) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa
kesehatan yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua
e) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan
kesehatan Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami
budaya masing-masing melalui proses akulturasi, yaitu proses
mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang
akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka.
f) Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul
rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat
dengan klien akan terganggu. Pemahaman budaya klien amat
mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan hubungan
perawat dan klien yang bersifat terapeutik.
d. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai
dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan
kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat
bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi
13

dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang


budaya klien.

B. Konsep Masalah yang dibahas


1. Kebudayaan Sunat Perempuan Atau Upacara Bakayekan Masyarakat
Suku Pasemah
Indonesia adalah negara yang kaya dengan beragam suku dan
budaya, yaitu sekitar 300 suku bangsa. Setiap suku memiliki keunikan
masing-masing. Salah satunya di provinsi sumatera selatan, Kabupaten
Empat Lawang, Kecamatan Pasemah Air Keruh, Desa Air Mayan. Ada
satu tradisi Masyarakat suku Pasemah yang masih dilestraikan sampai saat
ini yaitu upacara sunat atau khitan perempuan  yang berusia 4-7 tahun
yang dalam istilah lokal disebut dengan bekayekan.Suku ini mayoritas
menganut agama islam.
Menurut Suku Pasemah di Air Mayan mereka melaksanakan
upacara bekayekan dengan tujuan untuk memberi indentitas sosial kepada
anak perempuan sebagai Muslim, memberikan status sosial sebagai gadis
di dalam masyarakatnya, dan untuk menanamkan sifat-sifat feminim
terhadap perempuan di Air Mayan melalui media benda-benda yang
disertakan dan mantra-mantra yang diucapkan oleh dukun bekayekan.
Meskipun sampai saat ini belum ada bukti medis tentang manfaat
khitan bagi wanita namun, masyarakat di Desa Air Mayan ini menganggap
bahwa khitan bagi anak perempuan adalah suatu kewajiban, dan bagi yang
tidak melaksanakannya dianggap bukan merupakan bagian dari
masyarakat muslim. Masyarakat Air Mayan suku Pasemah ini juga masih
mempercayai doa atau jampi yang diucapkan dukun bekayekan, adanya
unsur pemahaman masyarakat terhadap setiap hal yang ada dalam setiap
prosesi adalah ada hubungannya dengan masa depan anak perempuan yang
dikayekan. Seperti mengenai kehidupan dan jodoh di masa depan.
Dari Pemaparan diatas, nampak jelas terlihat banyak sekali hal
yang perlu kita ketahui secara mendalam tentang Suku Pasemah, sehingga
dapat memperluas keilmuan dan untuk lebih memahami bahwa indonesia
14

mempunyai berbagai suku dan adat istiadat masing-masing sehingga kita


mempunyai bekal untuk menentukan sikap dan jalan apa yang paling tepat
untuk menyikapinya.
2. Sunat Perempuan Berdasarkan Ilmu Kesehatan
Menurut WHO, UNICEF, dan UNFPA (1997), sunat perempuan
didefinisikan sebagai penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar
kelamin wanita atau perlukaan lainnya pada organ kelamin wanita untuk
alasan non-medis.
Dari pandangan medis, sunat perempuan tidak ada manfaatnya,
bahkan faktanya dapat menimbulkan kematian. Walaupun petugas medis
yang melakukannya, namun dalam kurikulum kedokteran maupun
kebidanan tidak pernah diajarkan tentang praktik sunat perempuan. Praktik
sunat perempuan justru sering menyebabkan organ reproduksinya
terinfeksi, timbulnya masalah pada saluran kencing, trauma psikis,
komplikasi saat melahirkan dan, beberapa kasus, menyebabkan
pendarahan. Cukup banyak bukti menunjukkan bahwa sunat perempuan
menyebabkan berkurangnya kenikmatan bagi perempuan saat
berhubungan seks. Lebih jauh, WHO sudah mengeluarkan release bahwa
praktik sunat perempuan dapat menyebabkan kemandulan bagi perempuan
(Warta Komunitas, 2013).
Beberapa dampak akibat tindakan sunat perempuan yaitu:
a. Dampak jangka pendek adalah:
1) Perdarahan yang mengakibatkan shock atau kematian
2) Infeksi pada seluruh organ panggul yang mengarah pada sepsis
3) Tetanus yang menyebabkan kematian
4) Gangrene yang dapat menyebabkan kematian
5) Sakit kepala yang luar biasa mengakibatkan shock
6) Retensi urin karena pembengkakan dan sumbatan pada uretra.
b. Dampak jangka panjang adalah:
1) Rasa sakit berkepanjangan pada saat berhubungan seks
2) Penis tidak dapat masuk dalam vagina sehingga memerlukan
tindakan operasi
15

3) Disfungsi seksual (tidak dapat mencapai orgasme pada saat


berhubungan seks)
4) Disfungsi haid yang mengakibatkan hematocolpos (akumulasi
darah haid dalam vagina), hematometra (akumulasi darah haid
dalam rahim), dan hematosalpinx (akumulasi darah haid dalam
saluran tuba)
5) Infeksi saluran kemih kronis
6) Inkontinensi urine (tidak dapat menahan kencing)
7) Bisa terjadi abses, kista dermoid, dan keloid (jaringan parut
mengeras). (Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No.
4 Desember 2011)

Anda mungkin juga menyukai