Anda di halaman 1dari 34

KEPERAWATAN KRITIS III

STRIKTUR URETRA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 :

1. IDA KETUT TRI ADITYA (P07120317051)


2. GUSTI AYU ALIT PRAWENI (P07120317048)
3. NI KADEK DWI KRISNAYANTI (P07120317059)
4. NI NYOMAN WINDIANTARI (P07120317061)
5. NI MADE WIWIK ARYANTI (P07120317060)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI D IV KEPERAWATAN MATARAM

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
karunia-NYA kami telah berhasil menyusun makalah tentang “Striktur Uretra”.
Makalah ini menghimpun materi dari berbagai sumber seperti yang tertera di
daftar pustaka. Dengan adanya makalah ini semoga dapat menambah referensi
dan pemahaman bagi kita semua. Dan dengan adanya makalah ini semoga
dapat mempermudah kita untuk memahami materi tentang Striktur Uretra

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
tercapainya suatu kesempurnaan dalam makalah ini.

Mataram, 7 September 2020

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

KONSEP MEDIS (PENYAKIT)

A. DEFINISI
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya
jaringan parut dan kontraksi.Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria
daripada wanita karena adanya perbedaan panjang uretra. Uretra pria
dewasa berkisar antara 23-25 cm, sedangkan uretra wanita sekitar 3-5 cm.
Karena itulah uretra pria lebih rentan terserang infeksi atau terkena trauma
dibanding wanita. Selain itu, striktur uretra dapat disebabkan oleh trauma
(kecelakaan, intrumentasi), infeksi, dan tekanan tumor [ CITATION Wid13 \l
1033 ] [ CITATION Bar09 \l 1033 ].

Striktur uretra adalah penyempitanuretra disebabkan akibat jaringan


parut yang mengarah pada obstruktif disfungsi saluranberkemih dengan
konsekuensi yang berpotensiserius untuk saluran
kemih.Prevalensinyayang didapatkan pada kalangan priadi negara-negara
industri diperkirakan sebesar 0,9%. Striktur uretra dapat memberikan
gejala urin obstruktif dan iritatif dan pada akhirnya dapat merusak fungsi
ginjal.
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya
jaringan parut dan kontraksi. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria
daripada wanita karena adanya perbedaan panjang uretra. Uretra pria
dewasa berkisar antara 23-25 cm, sedangkan uretra wanita sekitar 3-5
cm.1 Karena itulah uretra pria lebih rentan terserang infeksi atau terkena
trauma dibanding wanita. Beberapa faktor resiko lain yang diketahui
berperan dalam insiden penyakit ini, diantaranya adalah pernah terpapar
penyakit menular seksual, ras orang Afrika, berusia diatas 55 tahun, dan
tinggal di daerah perkotaan. 4 Striktur dapat terjadi pada semua bagian
uretra, namun kejadian yang paling sering pada orang dewasa adalah di
bagian pars bulbosa-membranasea, sementara pada pars prostatika lebih
sering mengenai anak-anak. 5 Infeksi yang paling sering menimbulkan
striktur uretra adalah infeksi oleh kuman gonokokus, yang sempat
menginfeksi uretra sebelumnya. Trauma yang dapat menyebabkan striktur
uretra adalah trauma tumpul pada selangkangannya (straddle injury),
fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca bedah akibat insersi peralatan
bedah selama operasi transurethral, pemasangan kateter, dan prosedur
sitoskopi.1,3 Striktur kongenital sangat jarang terjadi. Striktur ini
disebabkan karena penyambungan yang tidak adekuat antara ureta anterior
dan posterior, tanpa adanya faktor trauma maupun peradangan

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi


menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1. Ringan, jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra.
2. Sedang, jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen
urethra.
3. Berat, jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen urethra.
Pada penyempitan derajat berat, kadang kala teraba jaringan keras di
korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

Tingkatan Striktur Urethra


B. ANATOMI SISTEM UROGENITALIA
a. Letak Uretra

Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna


dibagian buli- buli sampai orifisium uretra eksterna glands penis,
dengan panjang yang bervariasi.Uretra pria dibagi menjadi dua bagian,
yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretraposterior dibagi
menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra
anterior dibagi menjadi meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus
uretra. Dalam keadaan normal lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita
30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan
wanita 9 mm.

Gambar 1. Anatomi Uretra

b. Uretra bagian anterior


Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran
ini dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra.
Uretra anterior ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar
tubuh, sehingga kalau memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah.
Uretra anterior adalah bagian yang dibungkus oleh korpus
spongiousum penis. Uretra anterior terdiri atas :
a) Pars bulbosa
b) Pars pendularis
c) Fossa navikulare
d) Meatus uretra eksterna

Didalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara


kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar
Cowperi berada didalam diafragma urogenitalis bermuara di uretra
pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar para uretralis yang
bermuara di uretra pars pendularis.
c. Uretra bagian posterior

Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi).Uretra yang


dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian
selanjutnya adalah uretra membranasea, yang memiliki panjang
terpendek dari semua bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada
bagian ini terdapat otot yang membentuk sfingter.Sfingter ini bersifat
volunter sehingga kita dapat menahan kemih dan berhenti pada waku
berkemih. Uretra membranacea terdapat dibawah dan dibelakang
simpisis pubis, sehingga trauma pada simpisis pubis dapat mencederai
uretra membranasea.

Manusia memiliki organ saluran kemih yang berguna dalam pengeluaran


urine keluar tubuh. Organ-organ tersebut mencakup dua ginjal, dua ureter,
buli-buli, dua otot sfingter, dan uretra. Secara garis besar sistem tersebut
terletak di rongga retroperitoneal dan terlindung oleh organ lain yang
mengelilinginya. Ginjal adalah organ yang jumlahnya sepasang, merupakan
saluran kemih atas yang mempunyai fungsi utama dalam membentuk urine.
Selain mengeluarkan zat toksik dan sisa hasil metabolisme tubuh dalam
bentuk urine, ginjal juga memiliki fungsi dalam menghasilkan dan mengatur
sekresi hormon, mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D, dan 3
mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Urine dari ginjal kemudian
dialirkan ke buli-buli melalui sebuah tabung kecil bernama ureter. Pada
dinding ureter terdapat otot polos yang dapat melakukan gerakan peristaltik
untuk mendorong urine ke buli-buli. Jika terjadi sumbatan urin maka terjadi
kontraksi otot yang berlebih untuk mendorong sumbatan tersebut dari saluran
ureter. Kontraksi berlebih tersebut dirasakan sebagai nyeri kolik, datangnya
hilang timbul sesuai irama gerakan peristaltik ureter. Saat mencapai buli-buli,
posisi ureter miring agar mencegah terjadinya aliran balik urine dari buli-buli
ke ureter saat buli-buli berkontraksi.
Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri dari tiga otot lapis detrusor
yang saling beranyaman. Kontraksi otot ini merupakan tahap utama dalam
pengosongan urine dalam buli-buli dan kemudian mengeluarkannya melalui
uretra dalam mekanisme miksi. Uretra merupakan saluran akhir dalam
pengeluaran urine keluar tubuh. Uretra pada pria memiliki fungsi ganda yaitu
sebagai saluran urine dan saluran untuk semen dari organ reproduksi. Secara
anatomis uretra pria dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan
uretra anterior. Uretra posterior terdiri atas uretra pars prostatika, yaitu bagian
uretra yang dilingkupi kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea, terletak
lebih inferior dari pars prostatika. Sedangkan uretra anterior adalah bagian
uretra terpanjang yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra
dilengkapi dengan dua otot sfingter yang berguna untuk menahan laju urine.
Uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dipersarafi
oleh sistem simpatik, sehingga jika buli-buli penuh sfingter ini akan terbuka.
Sfingter uretra eksterna terletak pada perbatasan uretra posterior dengan uretra
anterior, dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai
keinginan seseorang.
C. ETIOLOGI
Berdasarkan etiologinya, striktur urethra dibagi menjadi 3 jenis :
1. Striktur uretra kongenital
Striktur uretra yang disebabkan karena bawaan. Misalnya kongenital
meatus stenosis (penyempitan lubang uretra) dan klep urethra posterior.
2. Striktur urethra traumatic
Striktur uretra yang disebabkan karena kecelakaan trauma langsung dan
tidak langsung (sekunder). Trauma langsung yang menyebabkan luka
(lesi) pada urethra anterior atau posterior seperti instrumentasi transurethra
yang kurang hati-hati (pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang
salah) serta post operasi (operasi prostat dan operasi dengan alat
endoskopi).Trauma sekunder seperti kecelakaan yang menyebabkan
trauma tumpul pada selangkangan atau fraktur pada pelvis, spasme otot
dan tekanan dari luar atau tekanan oleh pertumbuhan tumor dari luar.
3. Striktur akibat infeksi Infeksi dari urethra adalah penyebab tersering dari
striktur urethra, misalnya infeksi akibat transmisi seksual seperti uretritis
gonorrhoika atau non gonorrhoika. Dapat juga disebabkan oleh infeksi
sebagai komplikasi pemasangan kateter dan penggunaan kateter dalam
jangka waktu lama.

Etiologi striktur uretra anterior pada kasus infeksi yaitu 71,4% kasus
diikuti oleh iatrogenik sebanyak 45% hasil dari manipulasi uretra
(traumatis kateter, intervensi transurethral, koreksi hipospadia,
prostatectomy, brachytherapy) dan trauma urethra sebanyak 20% kasus.
Analisis urin dilakukan pada 82,5% pasien menunjukkan infeksi saluran
kemih pada 69,2% kasus dan E. coli yang terisolasi pada 77,7% kasus ,
sekitar 30% dari striktur uretra adalah idiopatik. Dalam kasus ini yang
paling mungkin memicuadalah pada trauma minor yang terjadi dalam
waktu yang lama di masa lalu (misalnya, cedera perineum saat naik
sepeda).
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Urine terputus (aliran urine tersumbat)
2. Pancaran urine berkurang/ mengecil dan bercabang\
3. Urine menetes
4. Urgency (keinginan kuat untuk berkemih)
5. Hesitancy (kelambatan yang abnormal atau kesulitan untuk memulai
berkemih yang menunjukkan kompresi urethra “neurogenik kandung
kemih”, obstruksi saluran kemih)
6. Kencing tidak puas (dribbling)
7. Over distensi bladder (vesica urinaria)
8. Frekuensi berkemih lebih sering dari normal
9. Sakit atau nyeri saat berkemih kadang-kadang dijumpai.
10. Gejala lanjut adalah retensi urine

Gejala utama dari striktur uretra adalah obstruksi dan iritasi berkemih
dengan peningkatan waktu buang air kecil dan pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap, dikombinasikan dengan peningkatan
frekuensi berkemih dan urgensi. Khususnya pada pasien yang
sebelumnya menjalani intervensi transuretral atau memiliki kateter
permanen jangka panjang selama pengobatan untuk penyakit lain
gejala gejala ini harus dicurigai mengarah striktur.

E. PATOFISIOLOGI
Cedera dan infeksi menyebabkan pertumbuhan jaringan fibrin pada
permukaan saluran kemih (meatus uretra) bagian dalam. Mukosa meatus
uretra yang terdiri dari sel otot polos akhirnya tergantikan oleh jaringan
sikatriks yang mengakibatkan penyempitan lumen uretra. Obstruksi ini
menyebabkan aliran urine melalui uretra tidak efektif. Sedangkan striktur
uretra yang timbul sebagai kelainan congenital terjadi karena
ketidaksempurnaan saat pembentukan organ.

F. PATHWAY
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Anamesis yang lengkap
Dengan anamnesis yang baik, diagnosis striktur urethra mudah
ditegakkan, apabila ada riwayat infeksi “veneral atau straddle injury”
seperti uretritis, trauma dengan kerusakan pada pinggul straddle injury,
instrumentasi pada urethra, pemasangan kateter, dan kelainan sejak lahir.
2. Inspeksi
Meatus, ekstermus yang sempit, pembengkakan serta fistula (e)
didaerah penis, skrotum, perineum dan suprapubik.
3. Palpasi
Teraba jaringan parut sepanjang perjalalanan urethra, anterior pada
bagian ventral dari penis, muara fistula (e) bila dipijat mengeluarkan getah
/ nanah.
4. Colok dubur
5. Kalibari dengan kateter lunak (lateks) akan ditemukan adanya hambatan
6. Untuk kepastian diagnosis dapat ditegakkan dan dipastikan dengan
uretrosistografi, uretoskopi kedalam lumen urethra dimasukkan dimana
kedalam urethra dimasukkan dengan kontras kemudian difoto sehingga
dapat terlihat seluruh saluran urethra dan buli-buli. dan dari foto tersebut
dapat ditentukan :
a. Lokalisasi striktur : Apakah terletak pada proksimal atau distal dari
sfingter sebab ini penting untuk tindakan operasi.
b. Besarnya kecilnya striktur
c. Panjangnya striktur
d. Jenis striktur
7. Bila sudah dilakukan sistomi : bipolar-sistografi dapat ditunjang dengan
flowmetri
8. Pada kasus-kasus tertentu dapat dilakukan IVP, USG, (pada striktura yang
lama dapat terjadi perubahan sekunder pada kelenjar
prostat,/batu/perkapuran/abses prostat, Efididimis / fibrosis diefididimis.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a) Pemeriksaan urin, diindikasikan untuk semua pasien yang ada
gejala atau tanda gangguan ISK.
1) Makroskopis:
- warna urin
- penampakan urin
- berat jenis urine
- tes kimiawi (pH, glukosa, protein, bakteri, leukosit)
2) Mikroskopis:
- bakteri
- leukosit
- erythrosit
- sel epitel
- kultur
Pemeriksaan penunjang bisa dari laboratorium atau radiologi, berguna untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan radiologi yang paling sering
dilakukan untuk striktur uretra adalah retrograde uretrogram seperti pada
kasus ini. Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui panjang dan lokasi dari
striktur. Pemeriksaan darah lengkap dan analisis urine dikerjakan untuk
memantau perkembangan pasien

b) Tes fungsi ginjal:


1) berat jenis urin
2) ureum
3) kreatinin
2. Radiology
a) BNO (foto polos abdomen)
Tujuan:
1) untuk mendeteksi batu radiopaque dalam saluran kemih.
2) untuk mengetahui kontur ginjal.
b) IVP (intra venous pyelography)
Tujuan:
1) untuk mengetahui fungsi kedua ginjal
2) untuk mengetahui letak obstruksi
3) untuk mengetahui indentasi prostat ke dalam buli-buli
4) dapat mendeteksi batu dan divertikel buli-buli.
c) RPG (retrograde pyelography)
1) untuk melihat keadaan pyelum ginjal dan ureter
2) kontras dimasukkan melalui kateter ureter
d) Urethro-cystography
1) kontras dimasukkan melalui urethtra
2) untuk mengetahui keadaan urethra dan buli-buli
3. Ultra Sonography(USG)
a) dapat mendeteksi batu pada saluran ginjal dan buli-buli
b) dapat mendeteksi kelainan pada ginjal dan buli-buli
c) dapat mengetahui pembesaran prostat
Penggunaan ultrasonografi (USG) cukup berguna dalam mengevaluasi
striktur pada pars bulbosa. Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi
panjang striktur dan derajat luas jaringan parut, contohnya
spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih jenis tindakan operasi
yang akan dilakukan kepada pasien. Kita dapat mengetahui jumlah
residual urine dan panjang striktur secara nyata, sehingga
meningkatkan keakuratan saat operasi. Pemeriksaan yang lebih maju
adalah dengan memakai uretroskopi dan sistoskopi, yaitu penggunaan
kamera fiberoptik masuk ke dalam uretra sampai ke buli-buli. Dengan
alat ini kita dapat melihat penyebab, letak, dan karakter striktur secara
langsung.1,3,7 Pencitraan menggunakan magneting resonance imaging
bagus dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur secara pasti
panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat. Namun alat
ini belum tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal sehingga
jarang digunakan. Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis atau cek
8 darah lengkap rutin dikerjakan untuk melihat perkembangan pasien
dan menyingkirkan diagnosis lain
4. Cystoscopy
a) untuk melihat langsung keadaan atau kelainan dalam buli-buli
b) dapat dilakukan biopsi kelainan dalam buli-buli
5. CT-Scan

I. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak
hanya sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada
lokasi striktur, panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya.
Beberapa pilihan terapi untuk striktur uretra adalah sebagai berikut:
1. Dilatasi uretra
Cara yang paling lama dan paling sederhana dalam penanganan
striktur uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat keparahan
striktur masih rendah atau pasien yang kontra indikasi dengan
pembedahan. Dilatasi dilakukan dengan menggunakan balon kateter atau
busi logam dimasukan hati-hati ke dalam uretra untuk membuka daerah
yang menyempit. Pendarahan selama proses dilatasi harus dihindari karena
itu mengindikasikan terjadinya luka pada striktur yang akhirnya
menimbulkan striktur baru yang lebih berat. Hal inilah yang membuat
angka kesuksesan terapi menjadi rendah dan sering terjadi kekambuhan.

2. Uretrotomi interna.
Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan
tindakan insisi pada jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi
menggunakan pisau otis atau sasche. Otis dikerjakan jika belum terjadi
striktur total, sedangkan pada striktur lebih berat pemotongan dikerjakan
secara visual menggunakan kamera fiberoptik dengan pisau sasche.Tujuan
uretrotomi interna adalah membuat jaringan epitel uretra yang tumbuh
kembali di tempat yang sbelumnya terdapat jaringan parut. Jika tejadi
proses epitelisasi sebelum kontraksi luka menyempitkan lumen, uretrotomi
interna dikatakan berhasil. Namun jika kontraksi luka lebih dulu terjadi
dari epitelisasi jaringan, maka striktur akan muncul kembali. Angka
kesuksesan jangka pendek terapi ini cukup tinggi, namun dalam 5 tahun
angka kekambuhannya mencapai 80%. Selain timbulnya striktur baru,
komplikasi uretrotomi interna adalah pendarahan yang berkaitan dengan
ereksi, sesaat setelah prosedur dikerjakan, sepsis, inkontinensia urine, dan
disfungsi ereksi.

3. Pemasangan stent
Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah
striktur.Stent biasanya dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi
interna.Ada dua jenis stent yang tersedia, stent sementara dan permanen.
Stent permanen cocok untuk striktur uretra pars bulbosa dengan minimal
spongiofibrosis. Biasanya digunakan oleh orang tua, yang tidak fit
menjalani prosedur operasi. Namun stent permanen juga memiliki kontra
indikasi terhadap pasien yang sebelumnya menjalani uretroplasti substitusi
dan pasien straddle injury dengan spongiosis yang dalam. Angka rekurensi
striktur bervariasi dari 40%-80% dalam satu tahun.Komplikasi sering
terjadi adalah rasa tidak nyaman di daerah perineum, diikuti nyeri saat
ereksi dan kekambuhan striktur.
4. Uretroplasti
Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra,
namun masih jarang dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang
menguasai teknik bedah ini. Sebuah studi memperlihatkan bahwa
uretroplasti dipertimbangkan sebagai teknik bedah dengan tingkat invasif
minimal dan lebih efisien daripada uretrotomi. Uretroplasti adalah
rekonstruksi uretra terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis.Ada dua
jenis uretroplasti yaitu uretroplasti anastomosis dan substitusi. Uretroplasti
anastomosis dilakukan dengan eksisi bagian striktur kemudian uretra
diperbaiki dengan mencangkok jaringan atau flap dari jaringan sekitar.
Teknik ini sangat tepat untuk striktur uretra pars bulbosa dengan panjang
striktur 1-2 cm. Uretroplasti substitusi adalah mencangkok jaringan
striktur yang dibedah dengan jaringan mukosa bibir, mukosa kelamin, atau
preputium. Ini dilakukan dengan graft, yaitu pemindahan organ atau
jaringan ke bagian tubuh lain, dimana sangat bergantung dari suplai darah
pasien untuk dapat bertahan. Proses graft terdiri dari dua tahap, yaitu
imbibisi dan inoskulasi. Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari
pembuluh darah paien dalam 48 jam pertama. Setelah itu diikuti tahap
inoskulasi dimana terjadi vaskularisasi graft oleh pembuluh darah dan
limfe. Jenis jaringan yang bisa digunakan adalah buccal mucosal graft, full
thickness skin graft, bladder epithelial graft, dan rectal mucosal graft. Dari
semua graft diatas yang paling disukai adalah buccal mucosal graft atau
jaringan mukosa bibir, karena jaringan tersebut memiliki epitel tebal
elastis, resisten terhadp infeksi, dan banyak terdapat pembuluh darah
lamina propria. Tempat asal dari graft ini juga cepat sembuh dan jarang
mengalami komplikasi. Angka kesuksesan sangat tinggi mencapai 87%.
Namun infeksi saluran kemih, fistula uretrokutan, dan chordee bisa terjadi
sebagai komplikasi pasca operasi.
5. Prosedur rekonstruksi multiple
Suatu tindakan bedah dengan membuat saluran uretra di perineum.
Indikasi prosedur ini adalah ketidakmampuan mencapai panjang uretra,
bisa karena fibrosis hasil operasi sebelumnya atau teknik substitusi tidak
bisa dikerjakan. Ketika terjadi infeksi dan proses radang aktif sehingga
teknik graft tidak bisa dikerjakan, prosedur ini bisa menjadi pilihan
operasi. Rekonstruksi multiple memang memerlukan anestesi yang lebih
banyak dan menambah lama rawat inap pasien, namun berguna bila pasien
kontra indikasi terhadap teknik lain.
J. KOMPLIKASI

Striktur uretra menyebabkan retensi urin di dalam kandung kemih,


penumpukan urin di dalam kantung kemih beresiko tinggi untuk terjadinya
infeksi, yang dapat menyebab ke kantung kemih, prostat, dan ginjal. Abses
diatas lokasi striktur juga dapat terjadi, sehingga menyebabkan kerusakan
uretra.
Selain itu terjadinya batu kandung kemih juga meningkat, timbul
gejala sulit ejakulasi, fistula uretrokutancus (hubungan abnormal antara
uretra dengan kulit).
Dampak masalah yang akan terjadi :
Pada klien striktur urethra akan timbul beberapa masalah, dengan
gejala yang telah diuraikan pada sub bab patofisiologi. Masalah ini dapat
berdampak pada pola pola fungsi kesehatan klien. Dimana klien sebagai
mahluk bio, psiko, sosial, spiritual. Dampak masalah yang muncul dapat di
bagi menjadi 2 yaitu dampak masalah pre operasi dan post operasi Sachse.
Dampak masalah pre operasi Sachse adalah :
1. Pola eleminasi .
Tanda tanda dan gejala yang berhubungan dengan striktura urethra
akibat penyempitan urethra yang berdampak pada penyumbatan parsial
atau sepenuhnya pada saluran kemih bagian bawah. Keluhan klien
antaralain adalah nokturia, frekuensi, hesistency, disuria, inkontinensia
dan rasa tidak lampias sehabis miksi . Dapat pula muncul hernia
inguinalis dan hemoroid .
2. Pola persepsi dan konsepsi diri
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul
kecemasan. Ketidak pastian tentang prosedur pembedahan, nyeri
setelah operasi, insisi dan immobilisasi dapat menimbulkan rasa
cemas. Klien juga cemas akan ada perubahan pada dirinya setelah
operasi.
3. Pola tidur dan istirahat
Tanda dan gejala striktur urethra antara lain nokturi dan frekuensi.
Bila keluhan ini muncul pada klien maka tidur klien akan terganggu.
Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap
pada setiap miksi sehingga interfal antara miksi lebih pendek.
Akibatnya klien akan sering terbangun pada malam hari untuk miksi
dan waktu tidur akan berkurang.

Dampak masalah post operasi Sachse adalah:

1. Pola eliminasi
Klien post operasi Sachse dapat mengalami perubahan eliminasi.
Hal ini terjadi bila terdapat bekuan darah yang menyumbat kateter,
edema dan prosedur pembedahan . Perdarahan dapat terjadi pada klien
post operasi Sachse karena fiksasi dari traksi yang kurang tepat. Infeksi
karena pemasangan kateter yang kurang tepat atau perawatan kateter
kurang atau tidak aseptik dapat juga terjadi.
2. Pola istirahat
Pada klien post Sachse dapat mengalami gangguan tidur karena
klien merasakan nyeri pada lika operasi atau spasme dari kandung
kemih. Karena gangguan ini maka lama/ waktu tidur klien berkurang.
3. Pola aktifitas.
Klien post Sachse aktifitasnya akan berkurang dari aktifitas biasa.
Klien cenderung mengurangi aktifitas karena nyeri yang dirasakan
akibat dari Sachse nya. Klien akan banyak memilih di tempat tidur dari
pada beraktifitas pada hari pertama dan hari yang kedua post Sachse
Sedangkan kebutuhan klien dibantu.
4. Pola reproduksi dan seksual.
Klien post Sachse dapat mengalami disfungsi seksual. Hal ini di
sebabkan karena situasi krisis ( inkontinensia, kebocoran urine setelah
pengangkatan kateter ). Dengan terjadinya disfungsi seksual maka
dapat terjadi ancaman terhadap konsep diri karena perubahan status
kesehatan.

5. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat.


Perubahan penatalaksanaan dan pemeliharaan kesehatan dirumah
dapat menimbulkan masalah dalam perawatan diri selanjutnya.
Sehingga klien perlu informasi tentang perawatan selanjutnya
khususnya saat dirumah supaya tidak terjadi perdarahan atau tanda
tanda infeksi.

Striktur mengakibatkan urin mengalir balik (refluks) dan


mencetuskan sistitis (radang vesica urinaria), prostatitis (radang kelenjar
prostate), dan pyelonefritis (suatu bentuk infeksi ginjal yang menyebar ke
luar dari dalam pelvis renalis dan mengenai bagian korteks renal).
Obstruksi urethra yang lama akan menimbulkan stasis urine dan
menimbulkan berbagai komplikasi sebagai berikut.
1. Infeksi(saluran kemih, prostat, ginjal).
2. Divertikel urethra atau vesica urinaria.
3. Abses periurethra.
4. Batu urethra.
5. Fistula uretrokutan.
6. Karsinoma urethra.

K. PENCEGAHAN

Elemen penting dalam pencegahan adalah menangani infeksi uretral


dengan tepat. Pemakaian kateter uretral untuk drainase dalam waktu lama
harus dihindari dan perawatan menyeluruh harus dilakukan pada setiap
jenis alat uretral termasuk kateter. (C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal 1468)
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem perkemihan striktur
uretra.meliputi pengumpulan data dan analisa data. Dalam pengumpulan
data, sumber data klien diperoleh dari diri klien sendiri, keluarga, perawat,
dokter ataupun dari catatan medis.
a. Pengumpulan data meliputi :
1.) Biodata klien dan penanggung jawab klien. Biodata klien terdiri
dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status,
agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, dan
diagnose medik. Biodata penanggung jawab meliputi : umur,
pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan keluarga.

2.) Keluhan utama. Merupakan keluhan klien pada saat dikaji yang
mengatakan tidak dapat BAK seperti biasa dan merasakan nyeri
pada daerah post op striktur uretra (cystostomi).
3.) Riwayat kesehatan masa lalu/lampau akan memberikan informasi-
informasi tentang kesehatan atau penyakit masa lalu yang pernah
diderita pada masa lalu.
4.) Pemeriksaan fisik. Dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi terhadap bagian sistem tubuh, Maka akan
ditemuikan hal-hal sebagai berikut:
a) Keadaan umum
Klien post op striktur uretra perlu dilihat dalam hal :
keadaan umumnya meliputi penampilan, kesadaran, gaya
bicara. Pada post op striktur uretra mengalami gangguan pola
eliminasi BAK sehingga dilakukan pemasangan kateter tetap.
b) Sistem pernafasan
Perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya sakit
pada lubang hidung, pergerakan cuping hidung pada waktu
bernafas, kesimetrisan gerakan dada pada saat bernafas,
auskultasi bunyi nafas dan gangguan pernafasan yang timbul.
Apakah bersih atau ada ronchi, serta frekuensi nafas.hal ini
penting karena imobilisasi berpengaruh pada pengembangan
paru dan mobilisasi secret pada jalan nafas.
c) Sistem kardiovaskuler
Mulai dikaji warna konjungtiva, warna bibir, ada tidaknya
peninggian vena jugularis dengan auskultasi dapat dikaji bunyi
jantung pada dada dan pengukuran tekanan darah dengan
palpasi dapat dihitung frekuensi denyut nadi.
d) Sistem pencernaan
Yang dikaji meliputi keadaan gigi, bibir, lidah, nafsu
makan, peristaltik usus, dan BAB.Tujuan pengkajian ini untuk
mengetahui secara dini penyimpangan pada sistem ini.
e) Sistem genitourinaria
Dapat dikaji dari ada tidaknya pembengkakan dan nyeri
pada daerah pinggang, observasi dan palpasi pada daerah
abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urine dan
kaji tentang keadaan alat-alat genitourinaria bagian luar
mengenai bentuknya ada tidaknya nyeri tekan dan benjolan
serta bagaimana pengeluaran urinenya, lancar atau ada nyeri
waktu miksi, serta bagaimana warna urine.
f) Sistem musculoskeletal
Yang perlu dikaji pada sistem ini adalah derajat Range of
Motion dari pergerakan sendi mulai dari kepala sampai anggota
gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri yang dilaporkan
klien waktu bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan
observasi adanya luka pada otot harus dikaji juga, karena klien
imobilitas biasanya tonus dan kekuatan ototnya menurun.
g) Sistem integument
Yang perlu dikaji adalah keadaan kulitnya, rambut dan
kuku, pemeriksaan kulit meliputi : tekstur, kelembaban, turgor,
warna dan fungsi perabaan.
h) Sistem neurosensori
Sisten neurosensori yang dikaji adalah fungsi serebral,
fungsi saraf cranial, fungsi sensori serta fungsi refleks.

5.) Pola aktivitas sehari-hari


Pola aktivitas sehari-hari pada klien yang mengalami post
op striktur uretra meliputi frekuensi makan, jenis makanan, porsi
makan, jenis dan kuantitas minum dan eliminasi yang meliputi
BAB (Frekuensi, warna, konsistensi) serta BAK (frekuensi,
banyaknya urine yang keluar setiap hari dan warna urine). Personal
hygiene (frekuensi mandi, mencuci rambut, gosok gigi, ganti
pakaian, menyisir rambut dan menggunting kuku). Olahraga
(frekuensi dan jenis) serta rekreasi (frekuensi dan tempat rekreasi).
6.) Data psikososial
Pengkajian yang dilakukan pada klien imobilisasi pada
dasarnya sama dengan pengkajian psikososial pada gangguan
sistem lain yaitu mengenai konsep diri (gambaran diri, ideal diri,
harga diri, peran diri, dan identitas diri) dan hubungan interaksi
klien baik dengan anggota keluarganya maupun dengan lingkungan
dimana ia berada.
Pada klien dengan post op striktur uretra dan imobilisasi
adanya perubahan pada konsep diri secara perlahan-lahan yang
mana dapat dikenali melalui observasi terhadap adanya perubahan
yang kurang wajar dan status emosional perubahan tingkah laku,
menurunnya kemampuan dalam pemecahan masalah dan
perubahan status tidur
7.) Data spiritual
Klien dengan post op striktur uretra perlu dikaji tentang
agama dan kepribadiannya, keyakinan : harapan serta semangat
yang terkandung dalam diri klien yang merupakan aspek penting
untuk kesembuhan penyakitnya.
b. Klasifikasi data
Klasifikasi data dilakukan dengan mengelompokkan dalam data
subyektif dan obyektif.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomik
2. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis
3. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, truma jaringan
(insisi bedah)
4. Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan struktur tubuh
5. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi

C. INTERVENSI / PERENCANAAN

N
O Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1 Gangguan  Berkemih Mandiri:


eliminasi dalam jumlah
urine  Kaji adanya kateter  Mempertahankan
normal tanpa
berhubungan dan observasi patensi kateter.
retensi.
dengan aliran urine.
 Menunjukkan
obstruksi perilaku yang
anatomik  Kaji haluaran  Penurunan aliran
meningkatkan
urine. urine tiba-tiba dapat
kontrol
mengindikasikan
urinaria.
obstruksi.

 Observasi dan catat


warna urine.  Urine normal
berwarna kuning
muda jernih.
 Posisikan selang
kantung sehingga
memungkinkan  Hambatan aliran
tidak terhambatnya memungkinkan
aliran urine. terbentuknya
tekanan dalam
saluran perkemihan.
 Dorong
peningkatan cairan  Mempertahankan
dan pertahankan hidrasi dan aliran
pemasukan akurat. urine balik.

 Awasi tanda vital.


Kaji nadi perifer,  Indikator
turgor kulit, keseimbangan
pengisian kapiler cairan. Menunjukkan
dan mukosa mulut. tingkat hidrasi dan
keefektifan terapi
penggantian cairan.

Kolaborasi:

 Berikan cairan IV
 Membantu
sesuai indikasi.
mempertahankan
hidrasi/sirkulasi
volume adekuat dan
aliran urine.

 Awasi elektrolit,
GDA, Kalsium
 Gangguan fungsi
ginjal meningkatkan
risiko beratnya
masalah elektrolit
dan masalah asidosis
hiperkloremik.
Peningkatan kadar
kalsium
meningkatkan risiko
pembentukan kristal,
mempengaruhi aliran
urine dan integritas
kulit.

 Melaporkan
2 Nyeri akut Mandiri:
nyeri hilang
berhubungan  Memberikan
atau
dengan  Kaji nyeri,
informasi untuk
terkontrol.
agens cedera perhatiak PQRST
membantu dalam
 Tampak
biologis menentukan
rileks.
pilihan/keefektifan
 Mampu
intervensi.
untuk
tidur/istiraha
 Pertahankan tirah
 Tirah baring
t dengan
baring bila
mungkin diperlukan
baik.
diindikasikan.
pada awal selama
fase retensi akut.
Namun, ambulasi
dini dapat
memperbaiki pola
berkemih normal dan
menghilangkan rasa
nyeri.

 Meningkatkan
 Berikan tindakan relaksasi,
kenyamanan, memfokuskan
seperti pijatan kembali perhatian
punggung, dan dapat
membantu klien meningkatkan
melakukan posisi kemampuan koping.
yang nyaman,
mendorong
penggunaan teknik
relaksasi/latihan
napas dalam.

 Diberikan untuk
Kolaborasi
menghilangkan nyeri
berat, memberikan
 Berikan obat nyeri
relaksasi mental dan
sesuai indikasi,
fisik.
seperti narkotik
(epideprin).
 Mencapai
3 Risiko Mandiri:
waktu
infeksi
penyembuha
 Pertahankan
berhubungan  Mencegah
n.
dengan sistem kateter
pemasukan bakteri
 Tidak
prosedur steril, berikan
dan infeksi/sepsis
mengalami
invasif, perawatan kateter
lanjut.
tanda infeksi.
truma regular dengan

jaringan sabun dan air.

(insisi Berikan salep

bedah) antiboiotik
disekitar sisi
kateter.
 Ambulasi dengan
 Menghindari refluks
kantung drainase
balik urine yang
dependen.
dapat memasukkan
bakteri kedalam
kandung kemih.

 Awasi tanda vital,


perhatikan demam
 Peningkatan suhu
ringan.
mungkin merupakan
indikator tanda
infeksi.
 Observasi drainase
dari luka sekitar  Adanya drain, insisi
kateter suprapubik
suprapubik. meningkatkan risiko
untuk infeksi yang
diindikasikan dengan
eritema, drainase
purulen.
 Ganti balutan
dengan sering.  Balutan basah
menyebabkan kulit
iritasi dan
memberikan media
untuk pertumbuhan
bakteri, peningkatan
risiko infeksi luka.

Kolaborasi:

 Mungkin diberikan
 Berikan antibiotik secara profilaktik
sesuai indikasi. sehubungan dengan
peningkatan risiko
infeksi.
 Tampak
4 Disfungsi Mandiri:
rileks dan
seksual  Ansietas dapat
melaporkan
berhubungan  Berikan
mempengaruhi
ansietas
dengan keterbukaan pada
kemampuan untuk
menurun
gangguan klien/keluarga
menerima informasi
sampai
struktur untuk
yang diberikan
tingkat dapat
tubuh membicarakan
sebelumnya
diatasi.
masalah
 Menyatakan
inkontinensia dan
pemahaman
fungsi seksual
situasi
individual.
 Berikan informasi
 Impotensi fisiologis
 Menunjukka
akurat tentang
terjadi bila saraf
n
harapan kembalinya
perineal dipotong
keterampilan
fungsi seksual
selama prosedur
pemecahan
radikal. Pada
masalah.
pendekatan lain,
aktivitas seksual
dapat dilakukan
seperti biasa dsalam
6-8 minggu.

 Instruksikan latihan
 Meningkatkan
perineal dan
peningkatan kontrol
interupsi/kontinu
otot kontinensia
aliran urine
urinaria dan fungsi
seksual.
Kolaborasi

 Rujuk untuk
 Masalah menetap
konsultasi ke ahli
atau tidak teratasi
seksualitas sesuai
memerlukan
indikasi
intervensi
profesional.
 Berpartisipas
5 Defisiensi Mandiri:
i dalam
pengetahuan  Memberikan dasar
program
berhubungan  Kaji ulang proses
pengetahuan di mana
pengobatan.
dengan penyakit,
klien dapat membuat
Menyatakan
kurang pengalaman klien.
pilihan informasi
pemahaman
informasi terapi.
prosedur.
 Melakukan
 Membantu klien
perubahan
 Dorong menyatakan
mengalami perasaan
perilaku yang
rasa takut/cemas
yang enak dapat
perlu.
dan perhatian.
menjadi rehabilitaqsi
vital.

 Memiliki informasi
 Berikan informasi
tentang kondisi
tentang kondisi
kesehatan yang
yang dialami
dialami dapat
(pendidikan
membantu
kesehatan).
memahami implikasi
tindakan lanjut
D. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan dalam bentuk intervensi keperawatan guna
membantu klien mencapai tujuan yang telah diterapkan. Kemampuan yang
harus dimiliki perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan
komunikasi yang efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan saling
percaya dan saling bantu, kemampuan melakukan teknik psikomotor,
kemampuan melakukan observasi sistematis, kemampuan memberikan
pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi
[ CITATION Asm08 \l 1033 ].
E. EVALUASI
Evaluasi dalam proses keperawatan adalah pernyataan kesimpulan
yang menunjukkan tujuan dan memberikan indikator kualitas dan
ketepatan perawatan yang menghasilkan hasil yang positif [ CITATION Asi05
\l 1033 ]
DAFTAR PUSTAKA

Asih, Y. (2005). Standar asuhan pasien: Proses keperawatan, diagnosis, dan


evaluasi vol.4. Jakarta: EGC.

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.

Baradero, M., & Dayrit, M. (2009). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Ginjal. Jakarta: EGC.

Bulechek, G., Butcher, H., & Dochterman, J. (2013). Nursing Intervention


Classification (NIC), Sixth Edition. Mosby: Elsevier.

Carpenito-Moyet, L. J. 2007. Buku Saku: Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Doenges, M. E dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., L. Maas, M., & Swanson, E. (2013). Nursing
outcomes clasification (NOC) Measurement of Health Outcomes. Mosby:
Elsevier.

Nanda International. (2015). Nanda International Inc. Nursing Diagnoses:


Definitions & Clasifications 2015-2017. Jakarta: EGC.

Potter, P. A & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar: Fundamental Keperawatan Konsep,


Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar: Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC

Aziz, Nursaktiani. 2016. Striktur Uretra. https://id.scribd.com (Diakses pada 22


Oktober 2019, pukul 18.00 WITA).

Anda mungkin juga menyukai