Anda di halaman 1dari 3

Nama : Kevin Ely Asar Greas

Program Studi : Pendidikan Matematika


Jalur Kelulusan : SNMPTN
Judul Opini : Kebijakan New Normal Dalam Perfektif Pendidik

New Normal atau yang sekarang sering disebut Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB)
merupakan perubahan perilaku masyarakat agar tetap produktif belajar, bekerja, dan
beribadah dimasa pandemi COVID-19.
Dimasa pandemi ini semua kegiatan sangat terhambat karena seluruh masyarakat
diwajibkan untuk mengikuti protokol kesehatan agar terhindar dari penularan virus corona.
Penerapan social distancing, physical distancing, dan protokol kesehatan sebagai
faktor utama new normal sendiri bagaimanapun menciptakan tantangan tersendiri bagi
mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan.
Banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19 ini, seperti banyak
para pekerja yang di PHK, banyak kegiatan usaha tutup, bahkan dampak yang ditimbulkan
oleh pandemi ini berpengaruh kepada bidang pendidikan, yaitu ditutupnya sekolah untuk
menghindari penularan virus, sehingga para siswa dan guru mulai belajar dari rumah.
Demi bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi, akhirnya pemerintah
Indonesia menerapkan new normal yang sudah dilaksanakan sejak bulan Juni lalu yang
dibagi dalam beberapa fase. Banyak tempat wisata, mall, perkantoran, jalan , terminal, dan
fasilitas perekonomian lainnya dibuka, tetapi sekolah belum dibuka dan tetap melaksanakan
belajar dari rumah.
Sudah hampir 6 bulan lamanya pelajar Indonesia menerapkan “Belajar dari Rumah”.
Hal ini sejalan dengan anjuran yang diucapkan Presiden Joko Widodo pada 15 Maret lalu.
Dikeluarkannya kebijakan ini menyusul karena adanya COVID-19 yang merebak di
Indonesia. Tentu saja banyak pengalaman baru, kejadian dan kejanggalan yang dirasakan
semua pihak dengan kebijakan ini. Di minggu pertama pasti banyak dari para siswa, guru,
maupun para mahasiswa yang mengirimkan rasa rindu kembali ke sekolah dengan berbagai
bentuk kreasi mereka contohnya di sosmed.
Sebagai seorang pendidik, tentu ini menjadi pemikiran tersendiri akan
keberlangsungan kegiatan belajar mengajar disekolah. Fenomena yang terjadi dan
terperhatikan dalam waktu hampir 6 bulan ini menjadi dasar dalam penulisan ini.
Kebijakan new normal yang diberlakukan ditempat wisata, pasar, mall, perkatoran,
dan fasilitas perekonomian lainnya sangat berpengaruh pada kehidupan siswa-siswi yang
sedang dirumahkan.
Bicara soal belajar dari rumah, salah satu alat jembatan antara guru dan siswa ialah
telepon seluler. Sudah tentu barang tersebut menjadi barang yang wajib dimiliki oleh semua
orang, walaupun belum memiliki sinyal untuk mengakses internet.
Dilansir dari kemdikbud.go.id (15/04/2020) untuk menunjang itu semua
Kemendikbud mengeluarkan Permendikbud No. 19 Tahun 2020 tentang perubahan atas
Permendikbud No. 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Bantuan Operasional
Sekolah Reguler yang disebutkan pada Pasal 9A ayat 1 point A, dana BOS dapat digunakan
untuk pembelian pulsa, paket data, dan/atau layanan pendidikan daring berbayar bagi
pendidik dan atau peserta didik selama belajar dari rumah.
Sayangnya, niat baik Kemendikbud untuk mencairkan anggaran pulsa dan internet
bagi guru maupun siswa tak kunjung terealisasi. Ironi tentunya, kebijakan tak seiring dengan
solusinya. Padahal sudah tertulis jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Permendikbud) Nomor 19 Tahun 2020.
Namun, lagi-lagi hal tersebut masih menjadi isapan jempol belaka. Alih-alih
mencairkan dana BOS Reguler, untuk penerapannya saja sampai sekarang masih belum
terlaksana. Bahkan dengan tidak teralisasinya peraturan tersebut, banyak guru yang
mendatangi rumah para siswa dan bahkan ada beberapa guru yang tetap melaksanakan
pembelajaran tatap muka walaupun tidak di sekolah agar para siswa yang tidak memiliki
handphone tetap mendapatkan pelajaran.
Lebih dari itu, sebenarnya penerapan belajar dari rumah menggunakan gadget masih
sangat awam bagi para siswa. Betapa tidak, beberapa sekolah saja masih anti apabila ada
siswa yang ketahuan membawa handphone ke sekolah.
Akhirnya demi menghilangkan kebosanan dan penat mereka, anak-anak keluar rumah
karena mall dan dan fasilitas lainnya yang sudah beroperasi. Kalau mereka bisa keluar
keluyuran/keluar rumah, mengapa pemerintah tidak membuka sekolah agar mereka kembali
ke sekolah saja?
Pertanyaan sederhana ini kemudian menjadi sebuah wacana. Siapkah lembaga
pendidikan khususnya sekolah untuk melakukan protokol kesehatan secara ketat disekolah
jika kebijakan dibukanya sekolah diberlakukan.
Memang benar sampai sekarang mereka belajar dirumah dengan sistem daring, tetapi
efektifitas pembelajaran ini pun masih dipertanyakan, juga bagaimana nasib siswa-siswi yang
tidak bisa mengikuti pembelajaran daring karena keterbatasan perangkat dan kemampuan?
Apakah mereka pantas dianak tirikan? Bagaimana dengan mental para siswa? Bukankah
mereka akan terus tertekan karena keterbatasan perangkat, kemampuan dan menumpuknya
tugas yang diberikan guru? Bukankah akhirnya mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan
sekolah? Dan bagaimana dengan EQ dan SQ mereka? Bukankah mereka akan semakin jarang
bersosialisasi langsung kepada teman-teman mereka? Walaupun mereka dapat bersosialisasi
secara virtual, tetapi itu pasti berbeda dengan sosialisasi secara tatap muka.
Kebijakan belajar dari rumah sebagai bentuk antisipasi penyebaran virus corona
rupanya menimbulkan masalah lain, contohnya tidak semua guru mengerti betul bagaimana
sistem pembelajaran secara online.
Dilansir dari m.kumparan.com (19/03/2020) Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) menerima pengaduan sejumlah orangtua siswa yang mengeluhkan anak-anak mereka
malah stress karena mendapatkan berbagai tugas setiap hari dari guru. Mungkin bagi
kebanyakan guru memahami bahwa sistem pembelajaran secara daring adalah dengan
memberikan tugas secara online dan pengumpulannya pun secara online. Alhasil banyak dari
orangtua dan siswa yang mengeluh.
KPAI menyayangkan Kemdikbud dan Dinas - dinas Pendidikan karena tidak
memberikan edukasi terlebih dahulu kepada guru dan sekolah ketika ada kebijakan belajar
dari rumah selama 14 hari. Kalau ada persiapan maka semestinya tidak terjadi penumpukan
tugas.
Jika saya ditanya siap tidak lembaga pendidikan membuka sekolah dengan protokol
kesehatan di era new normal? Maka dengan lantang saya menjawab SIAP! Tetapi yang
menjadi masalah adalah siapkah masyarakat jika sekolah dibuka?

Anda mungkin juga menyukai