DISUSUN OLEH : NAMA : ROSY NOOR AZIZAH NIM : P1337420920122
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG 2020 KONSEP TEORI KEPERAWATAN TRANSKULTURAL
Manusia adalah mahluk yang komplek dan unik, sehingga manusia
memiliki cara berbeda ketika melihat sesuatu, termasuk ketika menghadapi atau menyelesaikan masalah. Kompleksitas dan keunikan dibentuk dari latar belakang kultur, berbagai kondisi sosial yang dialami masing-masing. Latar belakang budaya inilah yang akan membentuk cara berfikir dan menjalani kehidupan sehari-hari. Perawat harus memiliki pemahaman lebih banyak tentang kultur dari pasien yang dirawat karena perawatlah yang bertugas melayani pasien. Agar proses keperawatan berlangsung lancar, tidak terjadi kesalahpahaman diantara perawat-pasien, perawat harus memahami kebiasaan hidup sehari-hari, bagaimana pasien dididik, ekspresi perasaan, hubungan kekeluargaan dan bagaimana pasien melihat peranan setiap elemen yang ada dalam proses keperawatan tergantung umur dan statusnya (Putri, 2017 dalam Handayani, dkk, 2020). Setiap pasien memiliki nilai, keyakinan, dan kebudayaan yang beraneka ragam. Joint Commission International (JCI, 2010) menuliskan bahwa suatu pelayanan kesehatan seperti rumah sakit perlu mewujudkan rasa percaya pasien, menjalin komunikasi yang terbuka dengan mereka serta untuk memahami dan menjaga nilai-nilai budaya, psikososial, dan spiritual mereka. Hasil perawatan akan lebih baik jika pasien dan keluarganya dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan proses perawatan pasien sesuai dengan budaya mereka. Asuhan keperawatan harus memperhatikan bagaimana latar belakang kebudayaan, nilai- nilai, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan yang memengaruhi pasien dan keluarganya. Perawat harus memiliki cara dalam membantu pasien mengatasi penyakit, dan memberikan intervensi yang sesuai dengan kebudayaan mereka sehingga pasien dapat beradaptasi dengan perubahan kebiasaan atau kebudayaan mereka apabila diperlukan (Novieastari, Jajang, Agustin, 2018). Banyak keluhan yang muncul sebagai akibat kurangnya kepedulian dan kepekaan perawat terhadap keragaman kebutuhan dan kebudayaan pasien yang dirawat. Mereka tidak dapat dengan leluasa berkomunikasi dengan pasien sesuai dengan tuntutan profesi keperawatan karena mereka kurang memahami nilai, keyakinan dan kebiasaan dari budaya pasien yang mereka hadapi setiap hari. Seorang perawat yang memiliki kompetensi kultural diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan yang lebih bermakna bagi kehidupan pasien yang berasal dari beragam kebudayaan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pendekatan budaya yang diberikan oleh perawat (Novieastari, Jajang, Agustin, 2018). Konflik lain yang dapat timbul adalah hambatan komunikasi efektif dan interaksi perawat dengan klien yang berdampak stress pada perawat hal ini seperti pada penelitian Hendson et. al, (2015) yang menyatakan bahwa perawat yang tidak memiliki cultural competence mengakibatkan perasaan menyalahkan diri sendiri dan orang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh stereotip yang melekat pada perawat, waktu yang terbatas perawat dalam berinteraksi antara perawat dan pasien sehingga kurang terbangun kepercayaan dan menurunnya kepekaan perawat terhadap kebutuhan pasien terutama pada pasien baru. Pasien memiliki budaya sendiri yang dipegang erat begitu juga perawat memiliki budaya pribadi yang dipercaya dan budaya profesional sebagai perawat. Hal ini ketika tidak disertai dengan toleransi dan adaptasi dari kedua belah pihak akan mengganggu perawatan pasien sehingga menyebabkan timbulnya kesalahpahaman yang mengarah pada kepuasan pasien yang rendah dan bahkan kesalahan dalam prosedur medis dan keperawatan (Ozga et al., 2018 dalam Binteriawati, Tuti, Aan, 2020). Menurut Høye dan Severinsson (2010) budaya yang beraneka ragam membawa keyakinan dan pemahaman yang berbeda terhadap proses perawatan. Klien mungkin akan mempertahankan tradisi dan perawat pun harus melaksanakan asuhan keperawatan sesuai keilmuannya. Dampak dari pelaksanaan asuhan yang tidak memperhatikan budaya pasien adalah kelemahan dalam proses interaksi yang dapat menghambat komunikasi. Bahasa dapat pula menimbulkan konflik, dan konflik terjadi terjadi ketika perilaku budaya dominan dan non dominan bertemu (Høye & Severinsson, 2010 dalam Binteriawati, Tuti, Aan, 2020). Salah satu kunci suksesnya pelayanan keperawatan adalah pemahanan terhadap budaya yang dipercaya oleh klien. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan pendekatan transkultural. Hal ini didasarkan pada konsep keperawatan yang mencakup pemberian pelayanan bio- psiko-sosio-kultural dan spiritual secara komprehensif baik sehat maupun sakit dalam seluruh kehidupan manusia. Pendekatan transkultural adalah asuhan keperawatan yang berorientasi pada latar belakang budaya berupa norma, kepercayaan, adat istiadat, dan gaya hidup yang menjadi acuan untuk berfikir dan bertindak. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah mempertahankan budaya yang tidak bertentangan dengan kesehatan dan mengubah atau mengganti budaya klien yang merugikan kesehatan klien (Meltzer et al, 2011 dalam Novitasari dan Arum, 2019). Asuhan keperawatan yang bermakna dan sesuai dengan budaya pasien bertujuan untuk membantu dan mengarahkan tindakan dan keputusan keperawatan yang didasari oleh pemeliharaan atau pelestarian perawatan berbasis budaya (Ozga et al., 2018 dalam Novieastari, Jajang, Agustin, 2018). Keperawatan memahami bahwa setiap individu pasien itu adalah unik, berbeda satu dengan yang lainnya. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang perawat adalah kompetensi kultural. Seorang perawat yang memiliki kompetensi kultural akan mempedulikan dan peka terhadap kebutuhan budaya pasien yang menerima asuhan keperawatan. Cultural Competence perawat menunjukkan pengetahuan dan pemahaman tentang budaya pasien, menerima dan menghormati perbedaan budaya, menyesuaikan perawatan agar selaras dengan budaya pasien (Flower, 2017 dalam Novieastari, Jajang, Agustin, 2018). Leininger sebagai seorang pelopor keperawatan di bidang keperawatan transkultural, mendefinisikan perawatan yang nyata dan sesuai secara budaya adalah tindakan atau keputusan yang berdasarkan kognitif, suportif, fasilitatif atau dukungan yang disesuaikan dengan nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan budaya individu, kelompok atau institusional untuk memberikan atau mendukung layanan kesehatan atau layanan kesejahteraan yang bermakna, bermanfaat dan memuaskan (Leininger 1991 dalam Binteriawati, Tuti, Aan, 2020). Keperawatan transkultural telah dimulai dari pertengahan 1950-an. Sejak Leininger memulai konseptualisasi budaya dan perkembangannya teori keperawatan transkulturalnya pada tahun 1960-an, keperawatan transkultural telah menjadi bidang utama keperawatan. Banyak konsep termasuk kompetensi budaya, pengetahuan budaya, kepekaan buday, dan perantara budaya telah dikembangkan dan digunakan. Kompetensi budaya telah dikemukakan oleh banyak penelitian sebagai komponen utama keperawata. Di bawah pengaruh berat antropologi dan psikologi, para ahli teori mulai menentukan dasar teori keperawatan transkultural dan untuk mendefinisikan budaya dan asuhan keperawatan, lingkungan keperawatan, intervensi keperawatan, dan peran perawat. Seperti disebutkan sebelumnya, konsep sentral dalam keperawatan transkultural adalah budaya, keperawatan, dan lingkungan. Transkultural keperawatan sekarang dianggap sebagai area keperawatan yang penting baik untuk penelitian dan praktik. Teori ini terpengaruh dari ilmu antropologi dan psikologi kemudian para ahli teori ini mulai menentukan dasar teoritis keperawatan transkultural untuk mendefinisikan budaya pada asuhan keperawatan, lingkungan keperawatan, intervensi keperawatan, dan peran perawat (Im & Lee, 2018). Aspek ras/etnis erat berhubungan dengan nilai budaya dan keyakinan pribadi yang unik sehingga dapat memengaruhi perilaku kesehatan dan lingkungannya (Cogburn, 2019 dalam Binteriawati, Tuti, Aan, 2020). Pelaksanaan budaya pasien terkait kesehatan terkadang bertolak belakang dengan asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien seperti pengunaan obat-obat alternatif yang dipercaya membantu penyembuhan, penanganan pasien menjelang kematian juga biasanya memiliki perbedaan antara perawat dan klien, hal ini dapat menimbulkan permasalahan yang akan mengganggu asuhan keperawatan yang baik (Schim et al, 2007 dalam Binteriawati, Tuti, Aan, 2020). Perawat dalam menjalankan tugasya menghadapi masyarakat, memiliki kecenderungan memaksa atau menerapkan kepercayaan, praktik, nilai terhadap budaya orang lain. Perawat merasa memiliki nilai dan pengetahuan secara ilmu dan profesi sebagai ahli di bidangnya. Sunrise model merupakan salah satu teori model keperawatan yang memandang bahwa nilai- nilai, keyakinan, serta konsep implementasi asuhan keperawatan berdasarkan budaya pasien (Putri, 2017). Hasil ini juga dikuatkan dengan penelitian Josephine & Quinta, (2017) yang menyimpulkan bahwa akomodasi budaya dan pemahaman dalam lingkungan perawatan kesehatan yang multicultural dapat bermanfaat untuk pasien, hubungan dengan perawat, dan mampu meningkatkan kualitas perawatan serta meningkatkan kepuasan pasien Handayani, dkk. (2020). Hal ini sejalan dengan hasil dari studi Novieastari, Jajang, Agustin (2018) yang menunjukkan bahwa pelatihan asuhan keperawatan peka budaya pada pasien dengan gangguan respirasi dapat meningkatkan kompetensi kultural dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan budaya secara bermakna. Pelatihan asuhan keperawatan peka budaya dapat diterapkan untuk mendukung pencapaian salah satu standar akreditasi internasional rumah sakit sesuai standar JCI. Salah satu aspek yang perlu dipenuhi dalam akreditasi tersebut adalah perawat perlu memenuhi kebutuhan pasien sesuai dengan kebudayaannya. Pelatihan asuhan keperawatan peka budaya merupakan salah satu bentuk upaya peningkatan kompetensi kultural perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang dikembangkan. Pelatihan asuhan keperawatan peka budaya yang diberikan pada perawat dapat meningkatkan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan budaya perawat secara bermakna. Hal ini sejalan dengan model konsep keperawatan yang dikemukakan oleh Campinha-Bacote (2002) dalam Novieastari, Jajang, Agustin (2018) yaitu bahwa kompetensi kultural merupakan suatu proses dimana pemberi pelayanan profesional secara terus menerus berjuang dalam mencapai kemampuan untuk bekerja secara efektif di dalam konteks budaya klien (baik secara individu, keluarga, atau masyarakat). DAFTAR PUSTAKA
Binteriawati, Tuti, Aan. 2020. Literature Review: Pengalaman Perawat Terkait
Pelaksanaan Cultural Competence Di Ruang Intensive Care Unit. Faletehan Health Journal. Vol.7. No.1. hal 52-61. www.journal.lppm- stikesfa.ac.id/ojs/index.php/FHJ Handayani, dkk. 2020. Pengaruh Pendekatan Asuhan Keperawatan Sunrise Model Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan 'Aisyiyah. Vol.16 No. 1. Hal 44-54. Im, E., & Lee, Y. (2018). Transcultural Nursing : Current Trends in Theoretical Works. Asian Nursing Research. https://doi.org/10.1016/j.anr.2018.08.006 Novieastari E, Jajang, Agustin. 2018. Pelatihan Asuhan Keperawatan Peka Budaya Efektif Meningkatkan Kompetensi Kultural Perawat. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 21 No.1. DOI: 10.7454/jki.v21i1.484. Novitasari dan Arum. 2019. Keyakinan Makanan dalam Perspektif Keperawatan Transkultural pada Ibu Hamil. Jurnal Berita Ilmu Keperawatan. Vol. 12 (1), 2019, 7-1.