Anda di halaman 1dari 3

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hukum

Berkembangan legislasi Advance directives telah berevolusi secara dramatis di


Amerika Serikat, walaupun secara bertahap. Konstruksi hukum ini, dimulai di California
yang mengadopsi tentang keinginan hidup (living will) pada tahun 1976, yang menciptakan
arahan untuk dokter, saat ini lebih populer disebut keinginan hidup. Model living
willberusaha menawarkan sesuatu yang menarik, baik untuk individu maupun dokter. Untuk
individu, ini merupakan alat yang terstandar dalam mengungkapkan keinginan mereka
tentang: perawatan penopang kehidupan, dapat untuk menunda atau mengakhiri, jika terjadi
kondisi terminal atau ketidaksadaran permanen. Bagi dokter, living will ini berperan sebagai
alat kekebalan hukum jika mereka memenuhi keinginan pasien dengan itikad baik. Pada
pertengahan 1980-an hingga 1990-an muncul gelombang pembentukan peraturan yang
memberikan peluang pemberian kuasa kepada orang lain untuk membuat keputusan di bidang
perawatan klinis (power of attorney statutes). Baru sesudah itu muncul gelombang legislasi
yang memberi hak seseorang yang sakit berat untuk menolak resusitasi dilakukan di luar
rumah sakit dengan menggunakan out-of-hospital do-not-resuscitate (DNR) protocol.
Selanjutnya berangsur dilakukan perbaikan dan penyempurnaan peraturan, termasuk uraian
tentang siapa yang berhak menjadi surrogate, penggabungan ADs dan power of attorney.

Advance directives dibuat pada kondisi pasien masih sadar penuh dan dapat
mengambil keputusan secara rasional. Advance directives terdapat dalam berbagai bentuk
pernyataan, dan hal yang tidak kalah pentingnya adalah hukum yang mengatur tentang ADs
pada setiap negara adalah berbeda. Klinisi harus memiliki kemampuan untuk mengerti
peraturan setempat yang berlaku, demikian juga hukum yang berlaku di negara masing-
masing. Di Indonesia ada aturan yang mengatur tentang penentuan kematian seseorang, yaitu
Peraturan Menteri Kesehatan nomer 37 tahun 2014. Isinya adalah tentang penentuan
kematian dan pemanfaatan organ. Di dalamnya juga dijelaskan tentang istilah with-drawing
life support dan with-holding life support. With-drawing life support adalah menghentikan
sebagian atau semua terapi bantuan hidup yang sudah diberikan pada pasien, sedangkan with-
holding life support adalah menunda pemberian terapi bantuan hidup baru atau lanjutan tanpa
menghentikan terapi bantuan hidup yang sedang berjalan. Untuk DNR dan allow death
naturally juga tercantum dalam peraturan tersebut, yang menyebutkan kedua keputusan ini
ditetapkan setelah berkonsultasi dengan tim dokter yang telah ditunjuk oleh Komite Medik
atau Komite Etik pada layanan kesehatan. Perlu diketahui bahwa bantuan hidup berupa
pemberian oksigen, nutrisi enteral, dan hidrasi cairan kristaloid tidak dapat dihentikan. Kedua
pasal dalam KUHP tersebut mengancam dengan pidana penjara kepada mereka yang “dengan
sengaja merampas nyawa orang lain” dan mereka yang “sengaja membujuk orang lain untuk
bunuh diri, membantunya atau memfasilitasinya”. Tindakan withdrawing dan withholding
bukan merupakan perbuatan merampas nyawa, karena penyakitnya yang sudah terminal
itulah yang sebenarnya mengakibatkan kematian. Pasal 344 ditujukan untuk perbuatan
euthanasiaaktif dan Pasal 345 ditujukan untuk kasus assisted suicide.

Pasal-pasal dalam KUHP yang terkait dengan advanced

Pasal Isi pasal


344 Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sungguh
sungguh dari orang itu sendiri, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun. (KUHP 35, 37-1 sub 2, 338, 350, 487)
345 Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang
itu jadi bunuh diri. (KUHP 37-1 sub 2, 56)

Di Indonesia, paliatif diperkenalkan ke dalam sistem pelayanan kesehatan di


Indonesia sejak tahun 1989, melalui Peraturan Menteri Kesehatan No.
604/Menkes/SK/IX/1989 tentang program pengendalian kanker Nasional. Dengan peraturan
ini, pemerintah menciptakan empat kelompok kerja, salah satunya difokuskan pada
pengembangan perawatan paliatif dan manajemen nyeri untuk pasien kanker. Perawatan
paliatif telah dimulai sejak tahun 1992 dan telah menjadi agenda pemerintah Indonesia pada
tahun 2007 dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.812/Menkes/SK/VII/2007 tentang kebijakan perawatan paliatif.

Penyelenggaraan pelayanan paliatif di Indonesia masih dalam masa pertumbuhan dan


masih sangat terbatas pada rumah sakit tertentu. Jumlah tenaga kesehatan yang paham akan
konsep pelayanan paliatifpun masih sangat terbatas. Alhasil, lebih banyak pasien dengan
kanker meninggal dirumah sakit tanpa menerima perawatan paliatif tertentu atau mereka
meninggal dirumah tanpa dukungan yang memadai dari para profesional perawatan paliatif.
Pasien juga mengalami berbagai penderitaan terkait dengan gejala penyakit yang mestinya
tidak perlu terjadi jika kebutuhan mereka akan pelayanan paliatif terpenuhi dengan baik.

Perawatan paliatif yang efektif membutuhkan pengkajian yang akurat terkait


kebutuhan fisik dan emosional, dan perencanaan yang tepat untuk mengatasi kebutuhan
personal pasien. Mengingat bahwa pelayanan paliatif hendaknya berpusat pada pasien dan
diberikan oleh tim multi profesional yang bekerja sama dengan pasien dan keluarganya, maka
pendekatan “Patient-Centered Care (PCC)” atau “Perawatan berpusat pada pasien” sangat
cocok untuk diterapkan dalam pelayanan paliatif. Dengan pendekatan ini, pasien akan
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan personalnya dengan melibatkan
keluarganya untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan menjunjung tinggi aspek/budaya,
filosofi hidup, keinginan, dan otonomi pasien.

3.2 Kesimpulan

3.3 Saran

Tantangan untuk meningkatkan kualitas perawatan paliatif di Indonesia tergantung dari


kebijakan pemerintah, pendidikan perawatan paliatif yang lebih baik dan kondisi sosial secara
umum dinegeri ini. Untuk mencapai upaya penyelenggaraan pelayanan paliatif berkualitas
dan mencapai tujuan pelayanan yang optimal, maka diperlukan peningkatan kompetensi
setiap petugas kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan paliatif, termasuk dokter,
perawat, psikolog, ahli gizi, sosial worker. Adanya modul perawatan paliatif dalam
kurikulum pendidikan doketr dan keperawatan. Perlunya peningkatan kesadaran masyarakat
tentang keberadaan perawatan paliatif agar dapat berkontribusi untuk perawatan paliatif yang
lebih kualitas di Indonesia.

Dafpus

Sharti, H., dkk. (2020). Advance directives pada perawatan paliatif. Jurnal penyakit dalam
Indonesia, vol. 7, no. 2

Effendy, C., (2014). Pengembangan manajemen pelayanan paliatif. Jurnal manajemen


pelayanan kesehatan, vol. 17, no. 1

Anda mungkin juga menyukai