Disusun Oleh :
Yusuf Alfandi
Nim: 18400010
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, dan Hidayah-Nya sehingga
Penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Agama Islam dengan judul
"Bagaimana Membumikan Islam di Indonesia" tepat pada waktunya.
Pembuatan makalah semaksimal mungkin Penulis upayakan dan didukung oleh bantuan
beberapa pihak sehingga dapat memperlancar dalam pembuatan makalah. Untuk itu tidak lupa
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Penulis dalam
merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada Penulis membuka selebar-lebarya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi
saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhimya dari pembuatan makalah ini, sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana
ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca
untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………………………i
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………………………………..ii
Bab 1 Pendahuluan ……………………………………………………………………………………………..1
A. Latar Belakang ..……………………………………………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………………….2
C. Tujuan Masalah………………………………………………………………………………………………..2
Bab II Pembahasan……………………………………………………………………………………………….4
Bab III Kesimpulan………………………………………………………………………………………………..5
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………………………….
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam pada satu sisi dapat disebut sebagai high tradition, dan pada sisi lain disebut sebagai
low tradition.Dalam sebutan pertama Islam adalah firman Tuhan yang menjelaskan syariat-
syariat-Nya yang dimaksudkan sebagai petunjuk bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di
dunia dan akhirat, termaktub dalam nash (teks suci) kemudian dihimpun dalam shuhuf dan
Kitab Suci (Al-Quranul Karim). Secara tegas dapat dikatakan hanya Tuhanlahyang paling
mengetahui seluruh maksud, arti, dan makna setiap firman-Nya. Oleh karena itu. kebenaran
Islam dalam data ran high tradition ini adalah mutlak.Bandingkan dengan Islam pada sebutan
kedua: Iow tradition Pada dataran ini Islam yang terkandung dalam nash atau teks-teks suci
bergumul dengan realitas sosial pada pel bagai masyarakat yang berbeda-beda secara kultural.
Islam dalam kandungan nash atau teksteks suci dibaca, dimengerti, dipahami, kemudian
ditafsirkan dan dipraktikkan dalam masyarakat yang situasi dan kondisinya berbedabeda. Kata
orang, Islam akhimy a tidak hanya melulu ajaran yang tercantum dalam teks-teks suci
melainkan juga telah mewujud dalam historisitas kemanusiaan.
Spirit Islam telah menggelora di bumi Ibu Pertiwi sejak dahulu. Kala nusantara belum
disatukan dalam nama “Indonesia”, beberapa kerajaan telah menjadikan Islam sebagai dasa r
pemerintahannya. Hingga pada masa perjuangan merebut kemerdekaan pun, ajaran Islam turut
memberikan pengaruh yang besar. Nilai Islam yang antidiskriminasi, menjiwai para pahlawan
dalam menumpas penjajah yang zalim.
Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, juga tak lepas dari nuansa keislaman.
Pembacaan teks Proklamasi yang bertepatan dengan hari Jumat, 9 Ramadan 1364 H, dilakukan
BungKarno setelah mengunjungi sejumlah ulama, antara lain, KH Syekh Musa, KH Abdul Mukti,
dan KH Hasyim Asyari. Dengan dukungan ulama, Bung Karno pun merasa mantap dan tak takut
atas ancaman dan serbuan tentara sekutu pasca Proklamasi.
Tidak berhenti pada perjuangan menggapai kemerdekaan, kontribusi pendiri bangsa yang
berkeyakinan dan berpandangan Islam, juga tampak dalam penyusunan dasar negara. Taruhlah
misalnya KH Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimejo, Drs Mohammad
Hatta, dan Mohammad Teuku Hasan. Merekalahyang turut merumuskan Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945.
Uraian singkat di atas membuktikan bahwa s ejak dahulu, Islam telah menjadi spirit
perjuangan bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai Islam telah mengobarkan semangat para
pahlawan dalam mewujudkan kemerdekaan. Sampai akhirnya, Islam sebagai agama rahmatan
lil ‘alamin, juga mengilhami para pendiri bangsa dalam merancang tata negara yang
mengayomi semua anak bangsa yang plural.
B. Rumusan Masalah
1. Apa sumber histroris, sosiologis, teologis, dan f ilosofis tentang pribumisasi islam ?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui sumber histroris, sosiologis, teologis, dan filosofis tentang pribumisasi islam
Bab II
PEMBAHASAN
Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis tentang Pribumisasi Islam
Istilah pribumisasi Islam diperkenalkan oleh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sebagai
alternatif dalam upaya pencegahan praktik radikalisme agama. Gus Dur, telah berupaya
menjawab tantangan ini sejak tahun 1980 yang lalu, lewat konsepsi pemikirannya mengenai
“Pribumisasi Islam”. Melaui gagasannya ini.Gus Dur merespon secara intens dengan
mengajukan alternatif antitesa sebagai penyelesaian atau mungkin juga ‘w acana counter ’
terhadap gejala keagamaan masyarakat modern yang kering, paradoks, ahistoris, eksklusif, dan
sebagainya
Penghargaan Gus Dur terhadap metamorfosis Islam Nusantara yang menempatkan Islam
secara kontekstual sebagai bagian dari proses budaya. Kalau boleh disadari, m eskipun sedikit
terlambat, tempo itu dapat ditempatkan sebagai cara pandang futuristik Gus Dur perihal Islam
Indonesia ke depan agar tidak terperangkap dalam radikalisme dan terorisme.
Dua hal yang mencerabut Islam dari akar Nusantara. Pribumisasi Islam menampik bahwa
praktik keislaman "tidak selalu identik" dengan pengalaman Arab (Arabisme). la adaptif dengan
lokalitas. Pribumisasi merupakan semangat lanjutan dari perjuangan kakek Gus Dur, KH Hasyim
Asy'ari. Kelahiran Nahdhatul Ulama (NU) merupakan kristalisasi semangat pribumisasi Islam di
Indonesia.
Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islamseb agai ajaran yang normatif berasal
dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan
identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses
menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah. Bukankah
Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya
kita dari akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan
timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya
itu tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi
antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan
Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budayatidak saling mengalahkan, melainkan
berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari
agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selam a ini memisahkan antara agama
dan budaya.
Secara filosofis pribumisasi Islam didasari oleh paradigm suflstik tentang substansi
keberagamaan. Dalam paradigma su fistik, agama memiliki dua wajah yaitu aspek esoteris
(aspek dalam) dan aspek eksoterik (aspek luar). Dalam tataran esoteris, semua agama adalah
sama karena ia berasal dari Tuhan Yang tunggal. Dalam pandangan sufistik, bahkan dikatakan
semua yang maujud di alam ini pada hakikatnya berasal dari Wuj ud Yangsatu (Tuhan Yang
Maha Esa). Alam ciptaan dengan pluralitas manifestasinyapada hakikatnya diikat oleh sebuah
kebenaran universal yang berasaldari Sang Pencipta Yangtunggal. Perbedaan maujud dalam
ciptaan Tuhan semuanya dibingkai dalam keesaan wujud. Tuhanlah sa tu-satunya wujud (Ia
wujud illa Allah). Perbedaan hanya tampakpada aspek eksoterik, yaitu unsur Iahir dan amalan
kasat mata saja. Sejalan dengan pemahaman ini, maka substansi keagamaan adalah satu, cara
manusia dapat menyembah (tunduk, patuh, dan berserah diri) kepada Tuhan sebagai
kebenaran universal. Adapun ekspresi keberagamaan atau aksentuasi paham keagamaan pasti
berbedabeda karena perbedaan kebutuhan dan tuntutan fisik dan materi yang berbeda pula.
Secara teologis, tauhid bukan sekedar pengakuan atau persaksian bahwa tiada llah selain
Alla h, tapi pemaknaan terhadap tauhid melampaui dari sekedar pengakuan atas eksistensinya
yang tunggal. Jika kita tarik pemaknaan tauhid dalam ranah realitas ciptaan (makhluk), maka
tauhid berarti pengakuan akan pluralitas atas selain Dia (makhluk-Nya). Hanya Dia yang tunggal,
dan selain Dia adalah plural. Al-Quran juga mengem ukakan, bahwa Allah menakdirkan
pluralitasf sebagai karakteristik m akhluk ciptaan-Nya. Tuhan tidak menakdirkan pluralitas
dalam ciptaan untuk mendorong ketidak harmonisan dan perang. Pluralitas sekaligus menjadi
bukti relativitas makhluk.
Bangsa Indonesia sangat memerlukan kerja kolaboratif dan koordinatif dari berbagai
komponen untuk menggalang semua potensi bangsa agar terjadi sebuah kerjasama yang
efektif dan prodiiktif bagi pembumian Islam yang penuh rahmat. Nam un, upaya-upaya seperti
itu sering kali terhambat oleh adanya potensi-potensi konflik yang sangat banyak di negeri ini
(agama, etnis, strata sosial, dan sebagainya). Salah satu potensi konflik yang mungkin dapat
menghalangi proses pembangunan dan modernisasi di Indonesia adalah pemahaman agama.
Sering kali ajaran agama, yang bernilai universal dan tidak memihak, berubah menjadi sebuah
pemahaman agama yang bersifat sektarian dan lokal. Sering kali pula Tuhan yang Mahaluhur
dan Mahamulia diseret oleh subjektivitas manusia untuk membenarkan sikap sektarian
tersebut. Teks suci agama pun tidak luput dari tangan-tangan nakal manusia. Teks sengaja
dipahami secara lepas dari konteks kebahasaan dan sosio-psiko-historisnya agar dapat dijadikan
alat untuk mengafirkan orang lain yang berbeda pemahamannya. Sejarah terus berulang
menjadi kesadaran-kesadaran baru. Pada era 1990-an kritik terhadap model keberagamaan
umat yang masih bercorak puritan kembali menguat. Kiri Islam-nya Hassan Hanafi, dan gagasan
post- tradisionalisme Islam yang mengambil jalan pemikiran Muhamm ad Abed al-Jabiri,
Mohammad Arqoun, Nashr Hamid Abu Zayd, dan Muham mad Shahrur telah menjadi rujukan
utama dari kelompok Islam tradisional untuk melakukan kritik nalar Islam, sekaligus
menjadikan tradisi sebagai jembatan emas menuju pemikiran Islam yang membebaskan. Pada
gilirannya, usahausaha ini melahirkan gagasan “Islam Pribumi” sebag ai kelanjutan dari
pemikiran-pemikiran Islam yang telah b erkembang dalam denyut nadi perubahan.
“Pribumisasi Islam” juga sangat terkait erat dengan proses pengkomunikasian pesan Islam
yang dibawa oleh kebudayaan tertentu kepada penerima pesan dari budaya yang berbeda.
Inilah komunikasi antarbudaya, yang oleh A ndrea L. Rich da n Dennis M. Ogawa dalam
bukunya Intercultural Communication, A Reader didefinisikan sebagai komunikasi antara orang-
orang yang berbeda kebudayaannya, semisal antar suku bangsa, etnik, ras, dan kelas sosial.
Atau Charley H. Dood yang mengungkapkan bahwa komunikasi antar budaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antar pribadi, antar
kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi
perilaku komunikasi para peserta. (Liliweri, 2003: 12).
“Pribumisasi Islam” yang digagas Gus Dur pada akhirtahun 80 -an itu menggambarkan
bagaimana Islam sebagai ajaranyang normative berasal dari Tuhan- diakomodasikan ke dalam
budayayang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. “Pribumi
Islam” menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam
pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta
berus aha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.
Dengan demikian tidak ada lagi p ertentangan antara agama dan budaya. “Pribumisasi Islam”
memberikan peluang bag I keanekaragaman interpretasi dalam kehidupan beragama (Islam) di
setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan d emikian, Islam tidak lagi dipandang secara
tunggal, melainkan majemuk. Tidak lagi ada anggapan bahwa Islam yang di Timur-Tengah
sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas
yang terus berlanjut.
BAB III
KESIMPULAN
Sampai di sini, “Pribumisasi Islam” dipahami menjadi sebuah kebutuhan praksis (berupa
keterampilan pada proses komunikasi/ dakwah/ tabligh antar budaya), sekaligus sebagai
kebutuhan paradigmatik pemikiran (berupa kontekstu alisasi paham keislaman untuk
historisitas ruang dan waktu yang berbeda, dimana syariah didialogkan dengan berbagai
konteks yang melingkupinya). Penulis merasa akan pentingnya konsep “Pribumisasi Islam” ini.
Sebab, konsepsi “Pribumisasi Islam” sepertinya akan sangat membantu bagi berkembangnya
pemahaman Islam yang pantas untuk diterapkan dalam konteks Indonesia maupun keindones
iaan itu sendiri. Dari situ, membangun masyarakat yang religius juga kultural akan lebih mudah
terwujud, tanpa kehilangan kebinekaannya, tetap harmonis, toleran dan menganut pluralisme
yang dewasa.
Daftar Pustaka