Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PENGARUH OBAT KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK TERHADAP


MATA

Disusun Oleh :
POPPY FITRA HIDAYAH
18121336
IIB

Dosen :
AINUN WULANDARI .M.Sc.,Apt.

POLITEKNIK HANG TUAH


PRODI FARMASI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang  mempelajari kemampuan obat
dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi
dan nasipnya didalam organisme hidup. Untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan
tubuh manusia khususnya, serta penggunaan pada pengobatan penyakit, disebut farmakologi
klinis.
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi sistem
saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Dua perangkat neuron dalam
komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron aferen atau sensorik dan neuron
eferen atau motorik. Neuron aferen mengirimkan impuls ke sistem saraf  pusat, dimana
impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen menerima impuls (informasi) dari otak dan
meneruskan impuls ini melalui medulla spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur eferen dalam
sistem saraf otonom dibagi menjadi dua cabang yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis.
Dimana kedua sistem saraf ini bekerja pada organ-organ yang sama tetapi menghasilkan
respon yang berlawanan agar tercapainya homeostatis (keseimbangan). Kerja obat-obat pada
sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis dapat berupa respon yang merangsang
atau menekan.
Dalam dunia farmasi, sistem saraf otonom ini sangat erat hubungannya dengan
farmakologi dan toksikologi karena kita dapat mengetahui mekanisme kerja obat yang akan
mempengaruhi sistem saraf otonom itu sendiri.

1.2 Tujuan Percobaan


Tujuan Percobaan
1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbegai obat system saraf otonom dalam
pengendalian fungsi vegetative tubuh.
2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergeik atau antikolinergik
pada neuroefektor parasimpatis

1.3 Prinsip Percobaan


Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan sailvasi dan
intersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1 Sistem Saraf Otonom


Sistem saraf dibagi mnjadi 2, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf Tepi (SST). SSP
terdiri dari otak dan medulla spinalis, SST mempunyai 2 cabang, sistem saraf somatik (SSS) dan
sistem saraf otonom (SSO).
SSS merupakan saraf volunter karena mensarafi otot rangka yang dapat dikendalikan.
Sedangkan SSO bekerja pada otot polos dan kelenjar yang tidak dapat dikendalikan. Fungsi SSO
adalah mengendalikan dan mengatur organ-organ otonom, seperti jantung, saluran
gastrointestinal (GI), mata, kandung kemih, pembuluh darah, kelenjar, paru-paru dan bronkus.
SSO mmpunyai 2 neuron, yaitu aferen (sensorik) dan eferen (motorik). Neuron aferen
mengirimkan inpuls (informasi) ke SSP, untuk diinterprestasikan. Neuron eferen menerima
inpuls dari otak dan diteruskan melalui medulla spinalis ke sel-sel organ efektor, seperti jantung,
paru-paru, dan saluran pencernaan. Jalur eferen dari SSO dibagi menjadi 2, saraf simpatik dan
saraf parasimpatik, yang sering disebut sebagai sistem saraf simpatik dan sistem saraf para
simpatik.
Sistem saraf simpatik dan parasimpatik jika bekerja pada organ yang sama akan
menghasilkan efek yang berlawanan untuk tujuan keseimbangan, kecuali pada organ tertentu.
Sistem saraf simpatik bersifat katabolik artinya menghabiskan energi. Sistem saraf parasimpatik
bersifat anabolik berarti berusaha menyimpan energi. Kerja obat pada kedua sistem saraf ini
menyebabkan perangsangan atau penghambatan.
Istilah untuk obat perangsangan simpatik adalah adrenergik, simpatomimetik atau agonis
adrenergik, dan penghambat simpatik, dan penghambat simpatik disebut simpatolitik atau
antiadrenergik. Istilah untuk perangsang parasimpatik adalah kolinergik, parasimpatomimetik
atau agonis kolinergik, dan penghambat parasimpatik disebut parasimpatolitik atau antikolinrgik.

2.2 Sistem Saraf Parasimpatik


2.2.1 Kolinergik (Parasimpatomimetik)
1. Kolinoseptor
1) Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pila muskarin, yaitu suatu
alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebalikya, reseptor muskarinik ini
menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin.
2) Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas
lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun
setelah itu akan menyerap reseptor itu sendiri.
Reseptor nikotinik ini terdapat didalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia
otonom, dan sambungan neuromuskular.
2. Obat yang bekerja pada kolinergik
1) Parasimpatomimetik langsung
Mekanisme: bekerja agonis terhadap reseptor kolinergik (M,N)
Klasifikasi berdasarkan struktur kimia :
• Ester cholin (asetilkolin, karbakol, metakolin) => (M,N)
• Alkaloida (muskarin, pilokarpin (M), nikotin, cytisine, labeline (N)).
2) Parasimpatomimetik tidak langsung
Mekanisme:menghambat kolinesterase sehingga meningkatkan konsentrasi asetilkolin
endogen disekitar kolinoseptor.
Dibagi 2:
Reversibel : mengikat kolineterase dalam waktu tertentu.
Irreversibel : mengikat kolineterase secara permanen.

3. Respon
Kontriksi pupil, kontriksi bronkus, denyut jantung menurun, dilatasi pembuluh darah,
meningkatnya kontraksi otot polos saluran GI, kontriksi kandung kemih, meningkatkan saliva,
meningkatkan motilitas usus.
2.2.2 Antikolinergik (Parasimpatolitik)
1. Mekanisme : antagonis kompetitif asetilkolin di reseptor muskarin ->
menghambat aktivitas sistem saraf parasimpatik -> semua efek asetilkoin diperlemah.
2. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi pembuluh darah,
relaksasi otot polos saluran GI, relaksasi kandung kemih, relaksasi uterus.

2.3 Sistem Saraf Simpatik


2.3.1 Adrenergik (Simpatomimetik)
1. Simpatomimetik langsung
Pada reseptor :
Alfa-1 : mengaktivasi organ-organ efektor seperti otot-otot polos (vasokontriksi) dan sel-
sel kelenjar dengan efek bertambahnya sekresi ludah dan keringat.
Alfa-2 : menghambat pelepasan noradrenalin pada saraf-saraf adrenergik dengan efek
turunnya tekanan darah.
Beta-1 : memperkuat data dan frekuensi kontraksi jantung.
Beta-2 : bronkodilatasi dan stimulatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak.
1) Simpatomimetik Nonspesifik Langsung
Mekanisme : bekerja antagonis pada sistem saraf simpatik, aktivasi adrenoseptor
2) Simpatomimetik Alfa Langsung
• Penggunaan sistemik (nonselektif) : alfa-1 dan alfa-2
• Penggunaan lokal (selektif) : alfa-1 atau alfa-2
3) Simpatomimetik Beta Langsung
• Nonselektif :kerja pada beta-1 dan beta-2
• Selektif beta 2
2. Simpatomimetik Tidak Langsung
Mekanisme : melepaskan noradrenalin dan atau menghambat penguraian atau
menghambat uptake noradrenalin.
3. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi pembuluh darah,
relaksasi GI, relaksasi otot kandung kemih, relaksasi uterus
ATROPIN
Atropine adalah alkaloid belladonna yang mempunyai afinitas kuat terhadap reseptor
muskarinik. Obat ini bekerja kompetitif antagonis dengan Ach untukmenempati kolinoreseptor.
Umumnya masa kerja obat ini sekitar 4 jam. Terkecuali, pada pemberian sebagai tetets mata,
masa kerjanya menjadi lama bahkan sampai beberapa hari

Farmakokinetik
Atropine mudah diabsorpsi sebagian dimetabolisme dalam hepar dan diekskresi ke dalam
urine. Waktu paruhnya sekitar 4 jam.
Farmakodinamik
Efek antikolinergikdapat emnstimulasi ataupun mendepresi bergantung pada organ target.
Di dalam otak, dosis rendah merangsang dan dosis tinggi mndepresi. Efek obat ini juga ditetukan
oleh kondisi yang akan diobati. Misalnya Parkinson yang dikarakteritsikan dengan defisiensi
dopamine yang mengintensifkan eegfek stimulasi Ach. Antimuskarinik menumpulkan atau
mendepresi efek ini. Pada kasus lain, efek obat ini pada SSP terlihat sebagai stimulator.
Efek pada mata – midriasi dapat sampai sikloplegia (tidak berakomodasi)
Saluran cerna – atropine digunakan sebagai antispasmodic (mungkin atropine merupakan obat
terkuat untuk menghambat saluran cerna). Obat ini tidak mempengaruhi sekresi asam lambung
sehingga tidak bermanfaat sebagai antiulkus.
Saluran kemih – attroopin digunakan untuk menurunkan hipermotilitas kandung kemih dan
kadang-kadang masih digunakan untuk enuresis pada anak yang mengompol. Ole karena itu,
agonis alfa-aderenergik lebih efektif dengan efek samping yahng lebih sedikit.
Kardiovaskular – efek atropine pada jantung bergantung pada besar dosis. Pada dosis kecil
menyebabkan bradikardi. Atropine dosis tinggi terjadi penyekatan reseptor kolinergik di SA
nodus dan denyut jantung sedikit bertambah (takikardi). Efek ini baru timbul bila atropine diberi
1mg.
Kelenjar eksokrin – atropine menghambat sekressi kelenjar saliva sehingga mukosa mulut
menjadi kering ( serestomia). Kelenjar saliva sangat peka terhadap atriopin. Hambatan sekresi
kelenjar keringat menyebabkan suhutubh jadi naik, juga kelenjar air mata mengalaami gangguan.
Indikasi klinis
· Efek midriasi atropine digunakan untuk diagnostic tes pada kelainan dalam
mata/retina.
· Sebagai antisekretori pada waktu operasi.
· Antispasmodic saluran cerna dan kandung kemih.
· Antidotum obat-obat agoni kolinergik, seperti pada keracunan insektisisda
karbamat, organofosfat, dan jamur.
Efek Samping
ESO atropine sangat bergantung pada besarnya dosis yang diberikan. Atropine dapat
meyebabksn mulut kering, penglihatan kabur, mata rasa berpasir ( sandy eyes), takkikardi, dan
konstipasi. ESO pada SSp berupa rasa capek, bingung, halusinasi, delirium yang dapat menjadi
depresi, depresi napas dan kematian.
PILOKARPIN
Pilokarpin Berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandi dan Pilokarpus microphyllus. Pilokarpin
memiliki efek nikotinik. Efek nikotinik ini juga terlihat setelah diadakan denervasi. Pilokarpin terutama
menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar keringat, kelenjar air mata, dan kelenjar ludah. Produksi
keringat dapat mencapai tiga liter. Efek terhadap kelenjar keringat ini terjadi karena perangsangan
langsung (efek muskarinik) dan sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik). Suatu
kekhususan dari kelenjar keringat ialah bahwa, secara anatomi kelenjar ini termasuk sistem simpatik,
tetapi neurotransmiternya asetilkolin. Ini yang menjelaskan terjadinya hiperhidrosis oleh zat kolinergik

Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier yang stabil terhadap hidrolisis oleh
asetilkolinesterase. Pilokarpin termasuk obat yang lemah disbanding dengan asetilkolin
danturunanya. Aktivitas utamanya adalah muskarinik dan digunakan untuk oftalmologi.
Efek samping : perangsangan keringat dan salvias yang berlebihan. Pilokarpin juga dapat
masuk ke SSP dan menimbulkan gangguan SSP.

ANTIKOLINERGIK
Obat antikolinergik disebut juga parasimpatolitik, berarti obat yang bekerja menghambat
timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis. Antimuskarinik merupakan
antikolinergik yang bekerja di alat yang dipersarafi serabut pascaganglion kolinergik.
Antimuskarinik memperlihatkan efek sentral terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang
pada dosis kecil dan mendepresi pada dosis toksik. Efek samping dari antikolinegik dapat dibagi
menjadi 2, yaitu periferal dan sentral. Efek samping sentral menimbulkan gangguan pada otak
seperti gangguan konsentrasi, kebingungan, kurang perhatian, dan lemahnya ingatan. Efek
samping periferal lebih mudah terlihat secara fisik. Beberapa gejala khas yang ditimbulkan efek
samping periferal adalah mulut kering, sembelit, sumbatan usus, dilatasi pupil, denyut jantung
meningkat, dan keringat berkurang.4 Sekresi kelenjar saliva dikontrol oleh sistem saraf otonom
simpatik dan parasimpatik. Stimulasi pada sistem saraf simpatik akan melepaskan noradrenalin
sedangkan stimulasi pada sistem saraf parasimpatik menyebabkan pelepasan asetilkolin.5 Agen
antikolinergik merupakan obat yang dapat mengurangi atau menghambat produksi asetilkolin
pada sistem saraf sentral dan perifer, sehingga menyebabkan penurunan sekresi kelenjar saliva

ATROPIN
Atropine adalah alkaloid belladonna yang mempunyai afinitas kuat terhadap reseptor
muskarinik. Obat ini bekerja kompetitif antagonis dengan Ach untukmenempati kolinoreseptor.
Umumnya masa kerja obat ini sekitar 4 jam. Terkecuali, pada pemberian sebagai tetets mata,
masa kerjanya menjadi lama bahkan sampai beberapa hari

Farmakokinetik
Atropine mudah diabsorpsi sebagian dimetabolisme dalam hepar dan diekskresi ke dalam
urine. Waktu paruhnya sekitar 4 jam.
Farmakodinamik
Efek antikolinergikdapat emnstimulasi ataupun mendepresi bergantung pada organ target.
Di dalam otak, dosis rendah merangsang dan dosis tinggi mndepresi. Efek obat ini juga ditetukan
oleh kondisi yang akan diobati. Misalnya Parkinson yang dikarakteritsikan dengan defisiensi
dopamine yang mengintensifkan eegfek stimulasi Ach. Antimuskarinik menumpulkan atau
mendepresi efek ini. Pada kasus lain, efek obat ini pada SSP terlihat sebagai stimulator.
Efek pada mata – midriasi dapat sampai sikloplegia (tidak berakomodasi)
Saluran cerna – atropine digunakan sebagai antispasmodic (mungkin atropine merupakan
obat terkuat untuk menghambat saluran cerna). Obat ini tidak mempengaruhi sekresi asam
lambung sehingga tidak bermanfaat sebagai antiulkus.
Saluran kemih – attroopin digunakan untuk menurunkan hipermotilitas kandung kemih
dan kadang-kadang masih digunakan untuk enuresis pada anak yang mengompol. Ole karena itu,
agonis alfa-aderenergik lebih efektif dengan efek samping yahng lebih sedikit.
Kardiovaskular – efek atropine pada jantung bergantung pada besar dosis. Pada dosis
kecil menyebabkan bradikardi. Atropine dosis tinggi terjadi penyekatan reseptor kolinergik di
SA nodus dan denyut jantung sedikit bertambah (takikardi). Efek ini baru timbul bila atropine
diberi 1mg.
Kelenjar eksokrin – atropine menghambat sekressi kelenjar saliva sehingga mukosa
mulut menjadi kering ( serestomia). Kelenjar saliva sangat peka terhadap atriopin. Hambatan
sekresi kelenjar keringat menyebabkan suhutubh jadi naik, juga kelenjar air mata mengalaami
gangguan.
Indikasi klinis
• Efek midriasi atropine digunakan untuk diagnostic tes pada kelainan dalam
mata/retina.
• Sebagai antisekretori pada waktu operasi.
• Antispasmodic saluran cerna dan kandung kemih.
• Antidotum obat-obat agoni kolinergik, seperti pada keracunan insektisisda
karbamat, organofosfat, dan jamur.
Efek Samping
ESO atropine sangat bergantung pada besarnya dosis yang diberikan. Atropine dapat
meyebabksn mulut kering, penglihatan kabur, mata rasa berpasir ( sandy eyes), takkikardi, dan
konstipasi. ESO pada SSp berupa rasa capek, bingung, halusinasi, delirium yang dapat menjadi
depresi, depresi napas dan kematian.
Fenobarbital
Merupakan salah satu golongan barbiturat yang masih banyak digunakan sebagai anastetikum
i.v.
Monografi
Pemeriaan Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa agak pahit.
Kelarutan Sangat sukar larut dalam air, larut dalam etanol (95%) P, dalam eter P,
dalam larutan alkali hidroksida dan dalam larutan alkali karbonat.
Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik
Khasiat penggunaan Hipnotikum, sedativum
Dosis maksimum Sekali 300 mg, sehari 600 mg

Farmakodinamik
Efek utama adalah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis,
berbagai tingkat anestesi, koma hingga kematian. Efek hipnotik dapat dicapai dalam waktu 20-60
menit dengan dosis hipnotik. Fenobarbital bekerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap
tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanestesi terutama menekan respons pasca sinaps.
Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi
mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator. Fenobarbital memperlihatkan
beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi tranmisi sinaptik.
Farmakokinetik
Fenobarbital secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna. Bentuk garam natrium lebih cepat
diabsorpsi dari bentuk asamnya. Mula kerja bervariasi antara 10-60 menit, bergantung kepada zat
serta formula sediaan, dan dihambat oleh adanya makanan di dalam lambung. Fenobarbital
dimetabolisme hampir sempurna dalam hati sebelum diekskresi lewat ginjal. Oksidasi gugus
pada atom C-5 merupakan metabolisme yang paling utama dan yang menghentikan aktivitas
biologisnya. Oksidasi tersebut menyebabkan terbentuknya alkohol, keton, fenol, atau asam
karboksilat yang diekskresi dalam urin sebagai zat tersebut atau konjugatya dengan asam
glukoronat. Kira – kira 25% fenobarbital diekskresi ke dalam urin dalam bentuk utuh.
Ekskresinya dapat ditingkatkan dengan diuresis osmotik dan/atau alkalisasi urin. Penggunaan
berulang fenobarbital mempersingkat waktu paruh akibat induksi enzim mikrosomal. Data
farmakokinetik menunjukkan bahwa fenobarbital yang digunakan sebagai hipnotik dan sedatif
tidak memilik waktu paruh yang cukup singkat untuk dapat dieliminasi sempurna dalam 24 jam.
Jadi, akan diakumulasi selama pemberian ulang, kecuali bila dilakukan pengaturan dosis yang
cermat. Eliminasi obat lebih cepat berlangsung pada yang berusia dewasa muda Dari pada yang
tua dan anak-anak. Waktu paruh meningkat selama kehamilan dan pada penyakit hati kronik,
terutama sirosis. Selain itu menetapkannya obat dalam plasma sepanjang hari mempermudah
terjadinya toleransi dan penyalahgunaan.
BAB III
METODE KERJA

1. Kolinergik dan Antikolinergik Mata


Hewan Coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg
Obat : - Tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes - Tetes mata
atropin SO4 sebanyak 3 tetes - Larutan NaCl 0,9%

Alat : Senter, loupe, penggaris

Prosedur:
1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu pengamatan.
2. Sebelum pemberian obat; amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram dan pada
penyinaran dengan senter.
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:
a. Mata kanan : tetes mata atropin SO4 sebanyak 3 tetes
b. Mata kiri : tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.
5. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
6. Uji respon refleks mata.
7. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, teteskan atropine SO4.
8. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
9. Catat dan tabelkan pengamatan.
10. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada kedua mata
kelinci
BAB IV
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN
Pada praktikum pengaruh obat otonom terhadap mata ini menggunakan hewan uji berupa
kelinci. Pada praktikum ini menggunakan obat tetes mata berupa atropine, pilokarpin dan larutan
fisologis NaCl 0,9%. Setiap kelinci diukur terlebih dahulu diameter matanya digunakan sebagai
pembanding ketika telah ditetesi obat.
Pada kelinci pertama mata kanan ditetesi Atropine SO4 sebanyak -3 tetes mata kiri
diteteskan Pilokarpin HCL sebanyak 3 tetes . Lalu dihitung tiap menit sesuai data pengamatan.
Atropin merupakan obat golongan antimuskarinik yang dapat menyebabkan dilatasi pupil,
sedangkan pilokarpin adalah obat golongan agonis muskarinik yang menyebabkan kontriksi
pupil.
Hasil yang didapat adalah tidak terjadinya perubahan pada diameter karena atropin
menyebabkan dilatasi sedangkan pilokarpin menyebabkan kontriksi pupil, karena sebelum
pilokarpin bekerja dan menyebabkan kontrikasi pupil telah dihambat oleh atropin yang
menyebabkan dilatasi pupil. Sehingga tidak terjadi kontriksi pupil dan diameter mata normal
PERCOBAAN BAHAN EFEK DIAMETER PUPIL MATA
Efek Obat Sistem Mata Kanan Cahaya suram (cm) 1
Saraf Otonom Kelinci Cahaya senter (cm) 0,9
pada Mata Setelah pemberian atropine SO4 (cm) 0,6
Respon refleks mata Berkedip
pemberian atropine SO4 (cm) 0,9

Mata Kiri Cahaya suram (cm) 1


Kelinci Cahaya senter (cm) 0,9
Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm) 0,7
Respon refleks mata Berkedip
Pemberian atropine SO4 (cm) 0,9
BAB V
KESIMPULAN

1. Sistem saraf dibagi menjadi 2 yaitu sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf Tepi (SST). SSP
terdiri dari otak dan medulla spinalis SST mempunyai 2 cabang sistem saraf somatic (SSS) dan
sistem saraf otonom (SSO).
2. Fungsi SSO adalah mengendalikan dan mengatur organ-organ otonom seperti jantung &
saluran gastrointestinal (GI) mata, kandung kemih, pembuluh darah, kelenjar, paru-paru dan
bronkus.
3. Jalur eferen dari SSO dibagi menjadi 2, saraf simpatik dan saraf parasimpatik. Yang sering
disebut sebagai sistem saraf simpatik dan sistem saraf para simpatik.
4. Jenis obat yang digunakan pada praktikum ini yaitu : atropine dan pilokarpin.
5.Tiap-tiap obat memiliki efek yang berbeda, dari perbedaan efek tersebut dilakukan pengujian
dan perbandingan dengan efek yang sesuai yang diakibatkan oleh masing-masing obat
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1995.
Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
Panitia Farmakope Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen
Kesehatan Repulbik Indonesia. Jakarta.
Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Peterbit
FKUI
Priyanto, Lilin Batubara. 2010. Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan
Keperawatan. Depok Jabar: Leskonfi

Anda mungkin juga menyukai