Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KLIEN DENGAN TRAUMA KEPALA

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi/Pengertian
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada
kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma
langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce & Neil. 2006). Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik. Trauma kepala adalah segala bentuk cedera fisik yang mengenai bagian dahi, tulang
kepala, atau otak. Trauma pada kepala tidak selalu berdampak serius terhadap secara
langsung, namun kerusakan dapat berdampak terhadap jaringan di sekitar kepala, pembuluh
darah bagian luar dan dalam tengkorak, dan tulang kepala terlebih dahulu.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma pada
kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung
pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat
menyebabkan kematiaan.
2. Penyebab/Faktor Predisposisi
Menurut Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

3. Patofisiologis terjadinya penyakit


Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil
atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan
kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara
kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera
otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat
atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah
atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi
atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila
trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang
terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).

Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi
perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan
kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama
motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
4. Pathway ( bagan)
Terlampir

5. Klasifikasi (kalau ada)


Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk
dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan
masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak
akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman
pathogen memiliki abses langsung ke otak.

b. Cedera kepala tertutup


Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi:
kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.

Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera kepala


diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu
berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat memperkirakan
dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama diantaranya kekuatan cedera
(kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional, translational, atau angular), dan besar
serta lamanya dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak terjadi ketika kepala
bergerak setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada percepatan atau
perlambatan kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif terhadap tengkorak.
Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar pasien dengan cedera
kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala (Goldsmith, 1966);
benturan kepala dengan benda padat pada kecepatan yang cukup, beban impulsif
memproduksi gerak tiba-tiba kepala tanpa kontak fisik yang signifikan, dan statis
beban kompresi statis atau kuasi kepala dengan kekuatan bertahap.

2. Beratnya cedera kepala


Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara klinis
sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis dan
tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala dan faktor
patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran.
Respon Nilai
Membuka mata :
a. Spontan 4
b. Terhadap rangsangan suara 3
c. Terhadap nyeri 2
d. Tidak ada 1
Verbal :
a. Orientasi baik 5
b. Orientasi terganggu 4
c. Kata – kata tidak jelas 3
d. Suara tidak jelas 2
e. Tidak ada respon 1
Motorik :
a. Mampu bergerak 6
b. Melokalisasi nyeri 5
c. Fleksi menarik 4
d. Fleksi abnormal 3
e. Ekstensi 2
f. Tidak ada respon 1

a. Cedera kepala ringan (CKR)


GCS 14-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit
atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio cerebral maupun hematoma.
b. Cedera kepala sedang (CKS)
GCS 9-13, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit
tetapu kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera kepala berat (CKB)
GCS 3-8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atauhematoma intracranial.

3. Morfologi Cedera Kepala


Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara
garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup
merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala
setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma
kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-
tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala
terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater.
(Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).
Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008)
a. Laserasi kulit kepala
Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing.
b. Fraktur kulit kepala
Fraktur tulang tengkorang berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi :
a) Fraktur linier
Merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang
tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
b) Fraktur diastasis
Adalah jenis fraktur yang trejadi pada sutura tulang tengkorak yang
menyebabkan pelebaran sutura – sutura tulang kepala.
c) Fraktur kominutif
Adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen
dalam satu area fraktur.
d) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang papela terjadi akibat benturan dengan tenaga
besar yang langsung mengenai tulang kepala.
e) Fraktur basis cranii
Adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak.

c. Luka memar (kontusio)


Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah
kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh
darah kapiler pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada frontal,
temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau
MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada kontusio dapat terlihat suatu
daerah yang mengalami pembengkakan yang disebut edema. Jika
pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan penekanan hingga dapat
mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).

d. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial.
Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai
pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-
ujung saraf yang rusak.

e. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,
tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain
intak kulit pada kranial terlepas setelah cedera (Mansjoer, 2010).
6. Manifestasi Klinis
Gejala – gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1) Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebingungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku.
Gejala – gejala ini dapat menetap selma beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2) Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau
bahkan koma.
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba – tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepla, vertigo dan gangguan pergerakan.
3) Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak, dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Konvensional radiografi (X-ray)
Pada cedera kepala ringan, Xray tengkorak jarang menunjukkan temuan yang
signofikan, sedangkan pada cedera kepala berat tidak adanya kelainan pada x-ray
tengkorak tidak menyingkirkan cedera intrakranial utama.
X-ray tengkorak dapat dilakukan bila CT scan tidak ada (State of Colorado
Department of Labor and Employment, 2006)
Indikasi pemeriksaan x-ray pada cedera kepala, diantaranya :
a) Kehilangan kesadaran, amnesia.
b) Nyeri kepala menetap
c) Tanda neurologis menetap
d) Cedera SCALP
e) Dugaan cedera penetrating
f) Cairan serebrospinal dari darah ataupun telinga
g) Deformintas tengkorak tampak atau teraba.
h) Kesulitan penilaian (dalam pengaruh alkohol, obat, epilepsi atau anak – anak)
i) gCS 12 dengan riwayat trauma multipel yang langsung dan keras.
Foto polos berguna untuk penilaian triase. Fraktur mempengaruhi tindakan :
a) karena ada kemungkinan perdarahann , perlu CT
b) fraktur terbuka termasuk kemungkinan kejang, terutama bila laserasi durameter.
c) Fraktur menunjukan sisi operasi pada pasien dengan pemburukan cepat karena
perdarahan ekstradural.

b. Computed Tomography Scanner (CT Scan)


Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap pasien
dengan cedera kepala, dan merupakan modalitas pilihan karena cepat, digunakan
secara luas, dan akurat dalam mendeteksi patah tulang tengkorak dan lesi intrakranial.
CT scan dapat memberikan gambaran cepat dan akurat lokasi perdarahan, efek
penekanan, dan komplikasi yang mengancam serta apabila membutuhkan intervensi
pembedahan segera.

Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput
pada pemeriksaan CT scan.
d. Analisa gas darah
Mendeteksi bentilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan
TIK.
e. Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan TIK.

8. Therapy/Tindakan Penanganan
a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pemberian analgetik.

d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa


40% atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama
dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
g. Pembedahan. (Smelzer, 2001)
9. Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala
adalah :
a. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari
gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi
akibat refleks cushing / perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah
dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembuluh darah paru berperan pada proses
berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
b. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatannya hingga 15 mmHg dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam
otak disebut sebagai tekanan perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi serius dengan
akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
c. Kejang
Kejang terjadi kira – kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Salah satu
tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan
obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intravena.
d. Kebocoran cairan serebrospinalis
e. Infeksi
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Fokus
1) Identitas pasien, meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama, pendidikan, alamat,
pekerjaan, penanggung jawab, hubungan dengan pasien.
2) Riwayat kesehatan
waktu kejadian, penyabab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
3) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala biasanya mengalami penurunan kesadaran (cedera
kepala ringan GCS 14-15, cedera kepala sedang GCS 9-13, dan cedera kepala
berat GCS 3-8) dan terjadi juga perubahan tanda – tanda vital.
b. Sistem respirasi
Airway
 Jalan nafas pasien biasanya tidak paten dikarenakan adanya obstruksi
berupa cairan, muntahan, darah atau lidah yang terlipat ke belakang.
 Suara nafas pasien biasanya ssnoring atau gurgling atau bisa juga stridor
tergantung pada penyebab terjadinya obstruksi.
Breathing
 Inspeksi : klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi nafas. Terdapat
retraksi klafikula atau dada, pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi
dada tidak penuh dan tidak simetris.
 Palpasi : fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan jika melibatkan trauma pada rongga otak.
 Perkusi : adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada torak atau hematoraks.
 Auskultasi : bunyi nafas tambahan, stridor, ronchi pada klien yang dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk menurun terutama
pada status kesadaran koma.
Circulation
 Sering ditemukan syok hipovolemik pada cedera kepala sedang dan berat.
Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia dan
aritmia.
 Frekuensi nadi cepat dan lemah karena homeostatis tubuh untuk
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.
 Nadi bradikardia sebagai tanda perubahan perfusi jaringan otak.
 Kulit pucat karena penurunan kadar hemoglobin dalam darah.
 Hipotensi menandakanadanya perubahan perfusi jaringan dan tanda –
tanda awal dari syok.
 Terjadi retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus sehingga
elektrolit meningkat.
c. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cedera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstermitas.
Bila perdarahan hebat / luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan
pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku
dan memori).
b. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajaman, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto pobia.
c. Perubahan pupil (respon terhadapt cahaya, simetris), devisiasi pada
mata.
d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e. Sering timbul hiccup atau cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f. Gangguan nervus hipoglosus, gangguan yang tampak pada lidah jatuh
ke salah satu sisi, disfagia, sehingga kesulitan menelan.
d. Blader
Pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin,
ketidakmampuan menahan miksi.
e. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan : bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin muntah proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera dan
gangguan menelan (disfagia).
f. Bone
Paseien cedera kepala sering datang dalam keadaan parase, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat etrjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula
terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot – otot antagonis yang
terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
reflek pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


1) Resiko infeksi berhubungan dengan trauma pada jaringan lunak, rusaknya jaringan
kepala dan adanya luka terbuka.
2) Defisit nutrisi berhubungan dengan melemahnya otot untuk mengunyah,
ketidakmampuan menelan dan terjadinya mual muntah.
3) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan kognitif, penurunan
kekuatan otot, dan kelemahan.
4) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis (cedera kepala)
5) Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran
6) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi serebral,
penurunan kesadaran
7) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma kepala)
8) Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan trauma atau perdarahan
3. Rencana Tindakan
Terlampir
4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan.
5. Evaluasi
Diagnosa 1 : resiko infeksi
a. Klien bebas dari tanda – tanda infeksi.
b. Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
c. Suhu tubuh dalam batas normal (36,5 – 37,5°C)
Diagnosa 2 : defisit nutrisi
a. Terjadi peningkatan nafsu makan.
b. Asupan nutrisi klien adekuat.
c. Energi klien dapat kembali pulih.
d. Tidak ada tanda-tanda malnutris
e. Klien mampu mengunyah dan menelan dengan baik.
Diagnosa 3 : gangguan mobilitas fisik
a. Adanya peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
b. Mampu mendemonstrasikan aktivitas yng memungkinkan dilakukukan secara
mandiri.
Diagnosa 4 : pola nafas tidak efektif
a. Klien menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas,frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal
dan penggunaan otot nafas tambahan)
b. Tanda vital klien dalam rentang normal.
c. Kapasitas/volume tidal > 6-8 ml/kgBB
Diagnosa 5 : gangguan persepsi sensori
a. Klien mampu mengenali orang dan linkungan sekitar
b. Klien mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.
Diagnosa 6 : gangguan komunikasi verbal
a. Klien mampu mengenali pesan yang diterima.
b. Klien mampu berbicara denagn jelas.
c. Klien mampu mengerti dan membalas pesan atau percakapan yang dilakukan.
Diagnosa 7 : nyeri akut
a. Klien mampu mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri
b. Klien mampu menggambarkan faktor penyebab nyeri
c. Klien mampu menggunakan tindakan pencegahan nyeri
d. Klien mampu melakukan tindakan pengurangan nyeri tanpa analgesic
Diagnosa 8 : resiko ketidakseimbangan cairan
a. Tekanan darah normal 120/80 mmHg
b. Denyut nadi dalam batas normal.
c. Klien mengalami keseimbangan input dan output dalam 24 jam.
d. Turgor kulit elastis.
e. BB dalam batas normal sesuai tinggi badan.
DAFTAR PUSTAKA
Hardhi Kusuma, Amin Huda Nurarif. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA Edisi 1. Mediaction
Jogja
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan : DPP PPNI
Bulechek, Gloria M. dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Indonesia : Moco
Media
Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). Indonesia : Moco
Media
Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC
Fatimah, Vita. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Trauma Kepala. Fakultas Ilmu Kesehatan
UMP. Diunduh pada tanggal 8 Maret 2019 pukul 19.25 Wita.

Anda mungkin juga menyukai