ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN PNEUMONIA
2. Etiologi Pneumonia
Menurut Ridha, 2014. Pneumonia bisa disebabkan karena beberapa faktor,
diantaranya adalah :
1. Bakteri (pneumokokus, streptokokus, H. Influenza, klebsiela
mycoplasma pneumonia)
2. Virus (virus adena, virus para influenza, virus influenza).
3. Jamur / fungi (kandida abicang, histoplasma, capsulatum, koksidiodes).
4. Protozoa (pneumokistis karinti)
5. Bahan kimia (aspirasi makan/susu/isi lambung, keracunan hidrokarbon
(minyak tanah, bensin, dan lain-lain)).
3. Klasifikasi Pneumonia
a. Klasifikasi berdasarkan anatomi (IKA FKUI)
1) Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari
satu atau lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal
sebagai pneumonia bilateral (ganda).
2) Pneumonia lobularis (bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir
bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk
membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya,
disebut juga pneumonia loburalis.
3) Pneumonia interstitial (bronkiolitis) proses inflamasi yang terjadi di
dalam dinding alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta
interlobular.
b. Klasifikasi pneumonia berdasarkan inang dan lingkungan
1) Pneumonia komunitas dijumpai pada H. influenza pada pasien
perokok, pathogen atipikal pada lansia, gram negative pada pasien
dari rumah jompo, dengan adanya PPOK, penyakit penyerta
kardiopolmonal/ jamak, atau paska terapi antibiotika spectrum luas.
2) Pneumonia nasokomial yaitu tergantung pada 3 faktor antaranya
tingkat berat sakit, adanya resiko untuk jenis pathogen tertentu, dan
masa menjelang timbul onset pneumonia.
3) Pneumonia aspirasi disebabkan oleh infeksi kuman, pneumonitis
kimia akibat aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi cairan inert
misalnya cairan makanan atau lambung, edema paru, dan obstruksi
mekanik simple oleh bahan padat.
4) Pneumonia pada gangguan imun terjadi akibat proses penyakit dan
akibat terapi. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman
pathogen atau mikroorganisme yang biasanya nonvirulen, berupa
bakteri, protozoa, parasit, virus, jamur, dan cacing.
4. Patofisiologi Pneumonia
Sistem pertahanan tubuh terganggu menyebabkan virus masuk ke
dalam tubuh setelah menghirup kerosin atau inhalasi gas yang mengiritasi.
Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon
inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu,
atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran
nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari
saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat
meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian
bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun.
Ketika mikroorganisme penyebab pneumonia berkembang biak,
mikroorganisme tersebut mengeluarkan toksin yang mengakibatkan
peradangan pada parenkim paru yang dapat menyebabkan kerusakan pada
membran mukus alveolus. Hal tersebut dapat memicu perkembangan
edema paru dan eksudat yang mengisi alveoli sehingga mengurangi luas
permukaan alveoli untuk pertukaran karbondioksida dan oksigen sehingga
sulit bernafas.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif
jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau
intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat
pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan
fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi
merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance paru
dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yang melewati paru yang
terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-
perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan
kerja jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan
disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada
kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana
eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan
dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke
kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema.
Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun
kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan
perlekatan (Bennete, 2013).
5. Pathway Pneumonia
Nyeri akut
Menggigil
dispnea
PNEUMONIA
Demam
Hipertermi
Distensi Peningkatan anoreksia Keringat muntah
abdomen kebutuhan banyak
metabolik
Deficit
nutrisi
6. Manifestasi Klinis
1) Demam
2) Anoreksia
3) Muntah
4) Dispnea
5) Takipnea
6) Nyeri dada pleuritis
7) Menggigil
8) Haempotisis
9) Batuk produktif berupa sputum purulen atau putih
10) Penurunan toleransi terhadap aktivitas
11) Kehilangan nafsu makan
7. Komplikasi
1) Sianosis: warna kulit dan membran mukosa kebiruan atau pucat
karena kandungan oksigen yang rendah dalam darah.
2) Hipoksemia: penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah, kadang-
kadang khusus sebagai kurang dari yang, tanpa spesifikasi lebih
lanjut, akan mencakup baik konsentrasi oksigen terlarut dan oksigen
yang terikat pada hemoglobin
3) Bronkaltasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari
pelebaran bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan
komponen elastis dan muskular dinding bronkus.
4) Atelektasis (pengembangan paru yang tidak sempurna/bagian paru-
paru yang diserang tidak mengandung udara dan kolaps). Terjadi
akibat penumpukan secret.
5) Meningitis: terjadi karena adanya infeksi dari cairan yang
mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang.
(Elizabeth, 2009)
8. Pemeriksaan Penunjang
1) Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar,
bronchial); dapat juga menyatakan abses)
2) Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat
mengidentifikasi semua organisme yang ada.
3) Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis
organisme khusus.
4) Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan
luas berat penyakit dan membantu diagnosis keadaan.
5) Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
6) Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
7) Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda
asing
(Elizabeth, 2009)
9. Terapi
Kepada penderita yang penyakitnya tidak terlalu berat, bisa diberikan
antibiotic peroral dan tetap tinggal dirumah. Penderita yang lebih tua dan
penderita dengan sesak nafas atau dengan penyakit jantung atau penyakit
paru lainnya, harus dirawat dan antibiotic diberikan melalui infuse.
Mungkin perlu diberikan oksigen tambahan, cairan intravena dan alat
bantu nafas mekanik.
Kebanyakan penderita akan memberikan respons terhadap pengobatan
dan keadaanya membaik dalam waktu 2 minggu. Penatalaksanaan umum
yang dapat diberikan antara lain :
1) Oksigen 1- 2 L/ menit.
2) IVFD dekstrose 10% : NaCl 0,9 % = 3 : 1, + KCl 10 mEq/ 500 ml
cairan. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu, dan status
hidrasi.
3) Jika sesak tidak terlalu berat dapat dimulai makanan enteral bertahap
melalui selang nasogastrik dengan feeding drip .
4) Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin
normal dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier.
Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Primer
a. Breathing
Penggunaan otot bantu nafas
Dispnea, takipnea
Batuk
Terdapat ronchi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa
Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
Ekspirasi memanjang
b. Blood
Frekuensi nadi meningkat
Takikardia
Sianosis
Bunyi jantung terdengar jauh
c. Brain
Nyeri pada dada
d. Bladder
Urin output menurun
e. Bowel
Kehilangan nafsu makan
Mual
Muntah
f. Bone
Mengetahui kondisi muskuloskeletal dan integumen dengan
memeriksa adanya edema, luka, cek pola aktivitas dan latihan
2. Pengkajian Sekunder
a. Data Subyektif
Keadaan umum : lemah, pucat, gelisah
b. Data Objektif
1) Inspeksi
Pursed- lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Barrel chest (diameter antero- posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu nafas
Membrane mukosa pucat
Dispnea
Tampak meringis
Hipertropi otot bantu nafas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai
Sianosis
Batuk
2) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diagfragma rendah, hepar terdorong kebawah
4) Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
Takikardia
Frekuensi nadi meningkat
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
4. Intervensi Tindakan
N Diagnosa
NOC NIC
O Keperawatan
1. Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor
nafas tidak …x.. jam diharapkan jalan kemampuan pasien
efektif nafas kembali normal untuk batuk efektif.
berhubungan dengan kreteria hasil : 2. Lakukan fisioterapi
dengan spasme 1. Tidak ada suara nafas dada.
jalan nafas di tambahan 3. Ajarkan pasien
tandai dengan 2. Frekuensi pernafasan melakukan batuk
batuk tidak dalam rentang normal efektif
efektif, adanya 3. Tidak menggunakan 4. Kolaborasi
suara nafas otot bantu nafas pemberian nebulizer
mengi, ronki, 4. Pasien tidak batuk udv
adanya dispnea, 5. Tidak ada dispnea
gelisah, sianosis
5. Implementasi
(terlampir pada asuhan keperawatan)
6. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana
evaluasi dilakukan berdasarkan respon pasien terhadap tindakan yang
diberikan (Doenges M. E, Moorhous M.F, Geissler A.C, (2012))
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan
nafas di tandai dengan batuk tidak efektif, adanya suara nafas mengi,
ronki, adanya dispnea, gelisah, sianosis, evaluasi:
1) Tidak ada suara nafas tambahan
2) Frekuensi pernafasan dalam rentang normal
3) Tidak menggunakan otot bantu nafas
4) Pasien tidak batuk
5) Tidak ada dispnea
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolus- kapiler ditandai dengan dispnea, takkikardi, suara nafas
tambahan, pucat, gelisah, adanya sianosis, evaluasi :
1) TTV pasien dalam batas normal
2) Saturasi oksigen normal
3) Tidak ada sianosis
4) Tidak ada dispnea
5) Tidak ada gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi
c. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi parenkin paru ditandai dengan
tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat, evaluasi:
1) Ttv dalam batas normal
2) Strategi untuk menontrol nyeri dengan skala 4
3) Pasien tidak berkeringat berlebih
4) Pasien tidak kehilangan nafsu makan
5) Tidak ada anoreksia
d. Deficit nutrisi berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi
ditandai dengan anoreksia, muntah, evaluasi :
1) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
2) Tidak ada tanda- tanda malnutrisi
3) Tidak ada mual dan muntah
4) Mampu mengidentifikasikan kebutuhan nutrisi
5) Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari penelanan
e. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan suhu
tubuh diatas nilai normal, takikardi, kulit terasa hangat, takipneu,
evaluasi:
1) Suhu tubuh pasien kembali normal (36,5°C – 37,5°C)
2) Turgor kulit elastic
3) Mukosa bibir lembab
4) Tidak terjadi kemerahan pada kulit pasien.
5) Tubuh pasien tidak teraba panas.
DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi: Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.
Jaypee Brothers. 2006. IAP Textbook of Pediatrics: Third Edition. India: Medical
Publhishers.
Ridha, Nabiel. 2014. Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta : Pustaka Pelajar