Anda di halaman 1dari 8

Etiologi

Berdasarkan tabel di atas, secara mikrobiologi peritonitis primer disebabkan oleh satu
macam bakteri, peritonitis dapat disebabkan oleh lebih dari satu bakteri baik dari jenis
aerob maupun anaerob, sedangkan pada peritonitis tersier dapat disebabkan oleh bakteri
aerobic atau anaerob yang resisten. Baik peritonitis primer ataupun sekunder memiliki
kesamaan yaitu, bakteri yang didapatkan berasal dari nosocomial atau post-operative.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagian di bawah ini :

 Peritonitis primer
- Infeksi :
o E. coli  sering menyebabkan peritonitis
o Klebsiella pneumonia
o S. pneumonia
o Enterococci
Bakteri diatas dapat ditemukan pada pasien yang mengalami sirosis
o Bacteroides spp, Bacteroides fragilis, Clostridiumper feringen, Campylobacter
fetus  merupakan bakteri anaerobic penyebab peritonitis pada pasien yang
mengalami sirosis sebelumnya, pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa
bakteri ini jarang menjadi penyebab terjadinya peritonitis.
o Staphylococcus aureus  jarang, biasanya infeksi ini terjadi karena adanya
erosi dari hernia umbilikal
o Bakteri aerob (etiologi yang sering pada peritonitis primer) seperti
Mycobacterium tuberculosis, N. Gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, atau
Coccidioides Immitis
- Faktor predisposisi :
o Sirosis
o Nefrotik sindrom
o Lupus Eritematosus Sistemik
o Konsumsi alkohol berlebih
o Pasien yang menggunakan CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis)
o Trauma pada abdomen
o Pelvic Inflammatory Disease (Mustafa, 2015)

 Peritonitis sekunder  infeksi pada intraabdomen yang disebabkan oleh bocornya


mikroorganisme genitourinary atau gastrointestinal ke dalam kavitas peritoneal akibat
hilangnya ketahanan barrier mukosa

-
-
-
-
-
Bh

- Infeksi :
o Bakteri gram negative : E.coli, enterobacter species, klebsiella species,
proteus species
o Bakteri gram positive : streptococcus species, entrobius species
o Anaerobic : bacteroides fragilis, eubacterium species, clostridium species
- Perforasi oleh tukak lambung
- Trauma perforasi dari uterus, kandung kemih, serta usus
- Perforasi akibat ulcer oleh strongyloides atau CMV, typhoid, tuberculosis pada
individu immunocompromised
- Apendisitis
- Diverticulitis
- Neoplasma intestinal
- Kolestitis supuratif
- Peritonitis empedu
- Pancreatitis
- Dialisis chronic ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) (JT Ross, 2018)

 Peritonitis tersier
- Infeksi :
o Gram negative : enterobacter spesies, pseudomonas spesies, enterococcus
spesies
o Gram positive : staphylococcus species
o Fungal : candida species
- Peritonitis tersier ini disebabkan karena terjadinya perburukan atau kekambukahan
pada peritonitis sekunder
- Immunodefisiensi
- Post-operative (Mishra, 2014)
Patofisiologi

 Spontaneus Bacterial Peritonitis atau Peritonitis Primer

Istilah SBP (Spontaneus Bacterial Peritonitis) pertama kali digunakan pada tahun
1964, kata spontan pada SBP merujuk pada pathogenesis peritonitis yang saat itu tidak
jelas. Seperti yang sudah dipaparkan di bagian etiologi bahwa terdapat beberapa bakteri
pathogen di peritonitis, serta adanya penyakit penyerta seperti sirosis yang disertai
dengan ascites dan kebiasaan meminum alkohol yang menjadi penyebab terjadinya
peritonitis, semua hal ini dapat memicu pertumbuhan bakteri yang tidak terkendali
khususnya menyebabkan gangguan pada saluran cerna. Infeksi pada peritonitis biasanya
monomikrobial dan biasanya SBP ini ditemukan sebagai komplikasi pada asites.
Terdapat penelitian yang menguji dua kelompok, kelompok pertama berisikan 20 pasien
dengan sirosis dan memiliki riwayat SBP sedangkan kelompok kedua berisikan 20 pasien
dengan sirosis dan tanpa memiliki riwayat SBP, hasilnya didapatkan pertumbuhan
bacterial lebih tinggi pada kelompok pertama dibandingkan kelomok kedua yang tidak
memiliki riwayat SBP. Hal ini, membuktikan bahwa peritonitis terjadi karena
pertumbuhan bakteri yang massif. Mekanisme terjadinya peritonitis pada asites adalah
ketika bakteri masuk, kemudian mengeluarkan toksin yang dapat menstimulasi makrofag
dan host cell untuk mengeluarkan tumor necrosis factor-α(TNC-α), interleukin(IL)-1, 11-
6,interferon-ɣ(IFN-ɣ). Bakteri tersebut juga dapat melakukan translokasi atau melakukan
perpindahan dari usus ke kelenjar getah bening mesenterika kemudian dapat melalui
sirkulasi darah dan meginfeksi cairan asites. Terjadinya translokasi ini dapat disebabkan
karena pertumbuhan bakteri yang berlebih, rusaknya barrier usus, dan terjadinya
disfungsi imun. Hal yang memperburuk keadaan pasien SBP adalah sitokin-sitokin yang
dikeluarkan tadi dapat meningkatkan aktvitas plasma renin yang dapat menurunkan
kemampuan ginjal dan berisiko kematian. Bakteri enterik seperti E.coli juga dapat
memicu terjadinya peritonitis, hal ini dapat terjadi pada pasien yang melakukan
peritoneal dialysis. Bakteri pneumococcus yang dapat menyebabkan terjadinya SBP, hal
ini bisa disebabkan karena terjadinya ascending infection dari genital yang kemudia
bakteri dapat melalui tuba fallopi dan menginfeksi saluran pencernaan sehingga
menyebabkan terjadinya SBP. Konsumsi alkohol yang berlebih juga dapat menimbulkan
SBP karena zat yang terdapat pada alcohol tersebut dapat menyebabkan monosit dan
neutrofil tidak dapat bekerja dengan baik sehingga opsonisasi tidak dapat terjadi dan
menyebabkan pertumbuhan bakteri yang masif (Mustafa, 2015).

 Peritonitis Sekunder
Berbeda dengan peritonitis primer, peritonitis sekunder biasanya disebabkan oleh
berbagai macam bakteri dan biasanya didapatkan dari komunitas atau dapat terjadi pada
pasien post-operasi. Mekanisme terjadinya peritonitis sekunder ini adalah ketika bakteri
masuk ke dalam peritoneum dan kemudian akan merangsang respon dari innate immunity
yang juga akan merangsang makrofag dan kemudia terjadi sekresi sitokin pro-inflamasi
seperti tumor necrosis factor α, interleukin 1, dan interleukin 6. Kemudian diikuti dengan
migrasi neutrofil di daerah inflamasi dan menjadi sel predominant selama 48-72 jam.
Migrasi leukosit ini diperantarai oleh as leukotriene B4, prostaglandins PGE2 dan PGI2,
serta sitokin-sitokin pro-inflamasi dan komponen seperti C3 dan C5. Interaksi antra
leukosit dan juga sel residen yang ada di jaringan yang mengalami inflamasi akan
menghasilkan lipoxins, resolvins, protectins, dan juga maresins yang merupakan senyawa
lipid yang juga berfungsi untuk membersihkan neutrofil apoptosis. Selama proses
inflamasi ini, akan menghasilkan lipopolysaccharida dan komponen sel lainnya yang
berasal dari bakteri yang di destruksi. Selain itu, terjadinya inflamasi ini bukan hanya
menyebabkan destruksi pada pathogen, namun juga dapat merusak sel dan kelamaan akan
merusak organ sekitar. Sehingga beberapa penelitian menyatakan bahwa, proses
perburukan pada peritonitis ini terjadi bukan hanya karena pathogen, namun juga dapat
terjadi karena inflamasi. Inflamasi ini apabila masih terjadi pada daerah yang lokal,
efeknya dapat diminimalisir, namun apabila inflamasi ini terjadi secara sistemik maka
akan menyebabkan terjadinya sepsis dan risiko terjadinya kematian meningkat (JT Ross,
2018).
 Peritonitis Tersier
Peritonitis ini dapat ditemukan pada pasien yang sebelumnya mengalami peritonitis
sekunder yang menetap atau kambuh kembali, biasanya terjadi ketika peritonitis sekunder
sudah diobati, namun gagal karena sudah terjadi inflamasi yang lama dan menetap, hal
ini biasa ditemukan pada pasien yang mengalami immunodefiesiensi, terutama pada
pasien yang menderita HIV dengan TBC. Seperti yang kita ketahui, berdasarkan
penjelasan tentang peritonitis sekunder di atas, beberapa mekanismenya dapat
menyebabkan melemahnya kemampuan untuk melakukan opsonisasi dan fagositosis,
sehingga terjadi pertumbuhan pathogen yang massif dan juga terjadi inflamasi dimana
pada TP kebanyakan ditemukan pada pasien yang mengalami immunodefisensi sehingga
proses eradikasi bakteri mungkin tidak berjalan dengan baik sehingga dapat muncul
abscess formation yang merupakan tanda ketika host dri bakteri tidak dapat
mengeradikasi bakteri (Mishra, 2014).

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang umum ditemukan pada peritonitis adalah nyeri akut abdomen
yang akan semakin nyeri apabila peritoneum digerakkan, misalnya pada saat batuk, mengangkat
satu kaki, dan Blumberg sign positive. Manifestasi klinis ini tergantung dimana letak peritonitis,
awalnya rasa nyeri tidak dapat terlokalisasi dengan baik sehingga cenderung raa sakit dirasakan
di seluruh abdomen, namun seiring berjalannya waktu rasa nyeri dapat di lokalisasikan dengan
baik. Karakteristik nyeri dari abdomen ini berbeda antara peritoneum parietal dan visceral,
perbedaan karakteristik nyeri ini disebabkan oleh perbedaan syaraf yang menginervasi keduanya.
Pada peritoneum parietal di inervasi oleh, n.pherenicus, thoracoabdominal, subcostal, dan
lumbosacral pada bagian atas abdomen dan n.obturator di pelvis. Persarafan ini mengandung
saraf motorik, sensorik dan simpatetik. Sedangkan persyarafan pada peritoneum visceral belum
terdapat penjelasan yang lebih jelas, diduga di inervasi oleh n.splanchnicus, plexus mesenteric,
dan plexus celiac. Perbedaan ini membuat peritoneum parietalis lebih sensitive terhadap tekanan,
suhu, dan laserasi sedangkan pada peritoneum visceral hanya sensitive terhadap iritasi kimia dan
distensi. Peritonitis parietal bermanifestasi sebagai nyeri yang tajam, konstan, terlokalisasi, dan
apabila peritonitis terjadi di dekat kelompok otot superficial di peritoneum maka akan
menghasilkan manifestasi klinis yaitu kekakuan otot sehingga pasien hanya dapat berbaring
diam. Sebaliknya pada peritonitis visceral, nyeri yang dihasilkan adalah nyeri kolik dimana
pasien dapat menggeliat akibat nyeri yang hebat (JT Ross, 2018).

Pada peritonitis primer, gejala yang sering ditunjukkan adalah demam, mual, muntah,
diare, pada pemeriksaan fisik di temukan suara bising usus yang hipoaktif atau bahkan sama
sekali tidak terdengar. Demam yang dirasakan bisa sampai >37.°C dan demam ini bisa tidak
disertai dengan nyeri pada perut, sehingga pada anak-anak sering dikatakan sebagai apendiksitis.
Pada pasien sirosis dengan peritonitis primer, dapat ditemukan asites yang mendahului proses
infeksi, dapat ditemukan gejala stadium akhir penyakit hepar seperti hepatorenal syndrome dan
ensefalopati progressif (Mustafa, 2015).
Daftar Pustaka

Mustafa, M., Menon, J., Muniandy, R., Sieman, J., Sharifa, A. and Illzam, E., 2015.
Pathophysiology, Clinical manifestation and diagnosis of peritonitis. IOSR J Dent Med Sci Ver I
[Internet], 14(10), pp.2279-861.

Ross JT, Matthay MA, Harris HW. Secondary peritonitis: principles of diagnosis and
intervention. BMJ (Clinical Research ed.). 2018 Jun;361:k1407. DOI: 10.1136/bmj.k1407.

Mishra, S. P., Tiwary, S. K., Mishra, M., & Gupta, S. K. (2014). An introduction of
Tertiary Peritonitis. Journal of emergencies, trauma, and shock, 7(2), 121–123.
https://doi.org/10.4103/0974-2700.130883

Anda mungkin juga menyukai