Politik luar negeri merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki oleh negara berdaulat, begitu pula Indonesia. Pancasila dipilih karena kelima silanya berisi pedoman dan aturan bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa bernegara yang ideal dan mencakup segala aspek kehidupan manusia. Berangkat dari situ, segala kegiatan politik harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, termasuk kegiatan yang dijalankan oleh kelompok kepentingan dan partai-partai politik . Selain landasan idiil dan konstitusional, pelaksanaan politik luar negeri RI juga mempunyai landasan operasional yang selalu berubah menyesuaikan kepentingan nasional. Pada masa Orde Lama, landasan operasional politik luar negeri RI adalah bebas aktif yang intinya tidak ikut campur dalam urusan internal negara lain dan bersedia melakukan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Di samping itu Indonesia juga meningkatkan partisipasi dalam menciptakan perdamaian dunia yang adil, abadi, dan sejahtera. Mohammad Hatta dalam bukunya yang berjudul Dasar Politik Luar Negeri Politik Indonesia menjelaskan, bahwa politik bebas aktif yang dianut Indonesia dicetuskan pertama kali pada tahun 1948. Pada saat itu, Indonesia berusaha mempertahankan kemerdekaan yang berusaha direbut oleh Belanda. Sementara itu, pada masa Kabinet Sukiman Politik Bebas Aktif Indonesia diartikan sebagai politik luar negeri yang berdasar pada pancasila dengan menghendaki terciptanya perdamaian dunia. Di tengah ketegangan antara blok barat dan blok timur, Indonesia akan berusaha maksimal untuk mengurangi ketegangan antara kedua blok tersebut dengan menggunakan segala kesempatan yang menurut pemerintah dapat digunakan sebagai pelaksana perdamaian. Di tengah keterpurukan itu, bekas tentara Belanda yang ingin menggulingkan Pemerintahan Indonesia membentuk APRA yang diimpin oleh Kapten Westerling dengan niat merebut kekuasaan di Bandung. Selain itu, muncullah gerakan–gerakan bersenjata lain seperti gerakan Andi Aziz di Makassar, Darul Islam, dan lain–lain yang mewarnai kekacaun dalam negeri Indonesia. Faktor geografis Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera menjadikan Indonesia sebagai daerah lalu lintas dunia. Faktor yang kedua yakni politik bebas-aktif yang dilakukan indonesia berdasarkan geopolitik. Indonesia yang merupakan salah satu kawasan Asia, masuk dalam negara-negara yang menjadi sorotan dunia pada tahun 1950-an karena banyak negara-negara Asia pada saat itu merdeka. Ketiga, politik bebas-aktif yang dilakukan indonesia adalah berdasarkan perkembangan politik. Pada masa Susilo Bambang Yudhoyono, karakteristik yang dilakukan politik bebas-aktif adalah demokrasi yang diutamakan sebagai alasan pelaksanaan politik luar negeri. Tak seorangpun pengikut Natsir didalam Masyumi atau pimpinan PSI masuk ke dalam Kabinet Sukiman, dengan demikian kelompok- kelompok yang sangat bersimpati kepada pemimpin tentara pusat ditempatkan di luar kabinet. Tidak masuknya Sultan Hamengku Buwono IX dalam suatu kabinet yang untuk pertama kalinya sejak tahun 1946 telah melemahkan hubungan tentara-kabinet. Tokoh radikal yang bukan anggota sebuah partai, Muhammad Yamin menjadi Menteri Kehakiman di dalam kabinet baru tersebut. Pada saat itu terdapat sekitar 17.000 orang tahanan, sebagian besar belum mendapat tuntutan dari majelis hukum yang telah ditahan oleh pihak tentara sejak tahun 1949 karena terlibat dalam kelompok- kelompok pemberontak atau penjahat. Pada awal bulan Juni, Muhammad Yamin membebaskan 950 orang tahanan, termasuk beberapa kaum kiri yang terkemuka. Pihak tentara segera menangkap mereka kembali kecuali mereka yang berhasil menyembunyikan diri. Kabinet Sukiman menjadi paling terkenal karena dengan dilakukannya satu-satunya usaha yang serius pada masa itu untuk menumpas PKI. Kaum komunis menjadi marah dengan bersedianya PNI bergabung dalam satu koalisi dengan Masyumi, karena strategi mereka tergantung pada kedua partai itu yang menginginkan kedua partai itu terus bertikai. Pemerintah memutuskan bahwa PKI-lah yang bersalah, suatu tuduhan yang diingkari oleh kepemimpinan Aidit tetapi sia-sia. Tidak jelas berapa banyak orang yang ditangkap pada waktu itu, tetapi pada akhir bulan Oktober pemerintah menyebutkan jumlah 15.000 orang. Dari peristiwa itu para pemimpin PKI menyimpulkan bahwa politisi Jkarta tidak akan membiarkan mereka memainkan politik atas dasar yang sama dengan partai partai yang lainnya. Oleh karena itu, mereka memilih suatu basis massa yang bebas yang begitu besar sehingga partai tersebut tidak dapat diabaikan ataupun lumpuh karena penangkapan terhadap para pemimpinnya, sementara pada waktu yang sama bekerja paling tidak untuk netralis «front persatuan nasional» dan slogan-slogan nasionalis lebih diutamakan daripada tuntutan-tuntutan kelas. Untuk menenangkan sekutu- sekutu yang potensial, partai tersebut mengikuti peranan yang kurang bersifat militan dengan memberi tahu OBSI pada bulan Maret 1952 bahwa melakukan pemogokan untuk menuntut upah yang lebih tinggi adalah «sektarisme» yang mengancam strategi front persatuan nasional. Di Sulawesi Selatan diselenggarakan perundingan-perundingan yang sulit mengenai pengurangan jumlah dan penggabungan satuan- satuan tentara yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Kahar Muzakar , seorang komandan Republik yang terkemuka dalam Revolusi. Pada bulan Juli 1950 Kahar mengumpulkan sekitar 20.000 orang prajurit yang menolak untuk didemobilisasikan. Pada bulan Januari 1952 Kahar menghubungi Kartosuwirjo dan secara resmi menjadikan pemberontakannya sebagai bagian dari gerakan Darul Islam yang masih tetap belum mereda di Jawa Barat.
B. Bidang Ekonomi pada Masa Pemerintahan Kabinet Sukiman
24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. Pada 15 Januari 1952 diadakan penandatanganan Mutual Security Act Nasionalisasi De Java Bank. Desakan nasionalisasi De Javasche Bank sebenarnya sudah diamini oleh Pemerintah Indonesia sejak Indonesia berdiri. Menteri Keuangan saat itu, Jusuf Wibisono mengumumkan dalam suatu wawancara pers niatan pemerintah untuk menasionalisasi De Javasche Bank dalam waktu singkat. Parlemen menyetujui gagasan Menkeu saat itu, lalu pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank yang terdiri dari pejabat Kemenkeu, antara lain Soetikno Slamet , Moh. Dalam proses nasionalisasi De Javasche Bank, berdasarkan tafsiran atas Pasal 19 Persetujuan Ekonomi-Keuangan KMB, tidak perlu lagi dengan persetujuan pihak Belanda. Langkah konkrit panitia nasionalisasi adalah membeli saham-saham bank yang pada saat itu diperdagangkan dalam Bursa Efek di Amsterdam. Pembelian saham juga termasuk aset-aset De Javasche Bank yaitu gedung, barang inventaris, dan persediaan emas yang ditaksir sebesar 1 Miliar. Dan pada 15 Desember 1951, pemerintah mengumumkan nasionalisasi De Javasche Bank lewat UU. Nomor 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N. Telah disahkannya undang-undang mengenai nasionalisai DJB menandakan telah resminya DJB sebagai bank milik pemerintah, bukan lagi kepemilikan swasta. Langkah berikut dari pemerintah adalah merancang undang-undang baru tentang bank sentral. Rencana undang-undang Pokok Bank Indonesia kemudian disampaikan Pemerintah kepada parlemen pada bulan September 1952. 11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia dinyatakan berlaku pada 1 Juli 1953, dan setiap 1 Juli diperingati sebagai hari lahirnya Bank Indonesia. Dengan lahirnya Bank Indonesia, ditandakan sebagai simbol kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi dan moneter.