Anda di halaman 1dari 33

2.1.

KLASIFIKASI LESI ULSERASI-VESIKULOBULOSA SEDERHANA


NON-INFEKSI
2.2.1. Drug-Reactions (Stomatitis Medikamentosa)
a. Definisi

Stomatitis medikamentosa adalah efek samping obat yang


bermanifestasi di mukosa rongga mulut.(1)
b. Etiologi
Walaupun kulit lebih sering terkena efek dalam reaksi obat
yang merugikan (adverse drug reaction, mukosa oral juga dapat
menjadi target. Pada dasarnya, semua obat memiliki potensi untuk
menyebabkan reaksi yang tidak diharapkan, namun beberapa obat
memiliki kemampuan untuk memberikan efek yang lebih dari yang
lain. Selain itu, beberapa pasien memiliki kecenderungan untuk
mengalami adverse drug reaction yang lebih besar dibandingkan yang
lainnya. Berikut merupakan obat-obatan yang dapat menimbulkan
adverse reactions:(1)

Gambar 8. Daftar Obat yang dapat menimbulkan adverse reaction(1)


c. Patogenesis

Patogenesis dari reaksi obat dapat memiliki salah satu dari 2


mekanisme, yaitu reaksi imunologis ataupun non-imunologis.(1)

Gambar 9. Mekanisme Patogenesis dari reaksi obat(1)

 Respon Hiperimun (Alergi)


 Mekanisme imun ini dipicu oleh komponen antigen
(hapten) pada molekul obat.
 Potensi alergi obat ini tergantung pada immunogenisitas
obat, frekuensi pemaparan, rute administrasi obat (topikal
lebih sering), serta reaktivasi innate dari sistem imun
pasien
 Mekanisme dalam alergi obat ini meliputi :
1. Reaksi IgE-mediated, dimana sel mast dilapisi oleh
IgE.
2. Reaksi sitotoksik, dimana antibodi berikatan dengan
sel yang telah melekat dengan obat.
3. Deposisi kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi.
 Respon Nonimunologis (Bukan Diperantarai Antibodi)
Reaksi obat yang non-imunologis tidak menstimulasi
respon imun dan tidak antibody-dependent. Pada respon tipe
ini, obat langsung mempengaruhi sel mast, yang akan
melepaskan mediator kimia. Reaksi ini dapat pula diakibatkan
overdosis, toksisitas, atau efek samping obat.

d. Gambaran Klinis
Manifestasi pada kulit dari drug reactions bervariasi dimana
reaksi obat terjadi secara cepat (misalnya pada reaksi anafilaksis,
angioedema, dan urtikaria) atau timbul beberapa waktu setelah
penggunaan obat. Manifestasi drug reactions ini termasuk urtikaria,
maculopapular rash, eritema, vesikel, ulser, dan target lesions
(eritema multiformis).(1)

Gambar 10. Urtikaria pada kulit akibat reaksi hipersensitivitas terhadap


metronidazole(1)

Angioedema, baik yang didapat (acquired) maupun herediter,


tampak sebagai pembengkakan lunak, difus, dan tanpa rasa sakit.
Biasanya pembengkakan terjadi pada bibir, wajah atau leher. Tidak ada
perubahan warna yang tipikal dari angioedema. Kondisi ini secara
umum terjadi setelah 1– 2 hari dan mungkin mengalami rekurensi pada
hari-hari berikutnya Acquired angioedema adalah reaksi alergi yang
diperantarai oleh IgE dan ditimbulkan oleh obat atau makanan seperti
kacang dan kerang-kerangan. Substansi tersebut berperan sebagai agen
sensitisasi (antigen) yang memicu produksi IgE. Dalam reaksi
pertahanan tubuh, sel mast terikat dengan IgE pada kulit atau mukosa
sehingga menghasilkan gambaran klinis berupa angioedema.
Angioedema herediter memiliki gambaran klinis serupa dengan
angioedema acquired dan hanya berbeda pada mekanismenya saja.
Angioedema memerlukan perawatan emergensi terutama jika proses
alergi berlanjut hingga pasien kesulitan bernapas karena keterlibatan
laring dan glottis. Antihistamin dan kortikosteroid (dalam kasus yang
lebih berat) dapat digunakan untuk mengatasi alergi ini. Manifestasi
oral dari reaksi obat dapat berupa erythematous, vesicular atau
ulseratif. Kadang juga terlihat seperti lichen planus, sehingga disebut
lichenoid drug reactions. Ulser menyebar yang mirip dengan eritema
multiformis juga merupakan tanda-tanda dari reaksi obat.(1)

Gambar 11. Pembengkakan bibir pada Acquired angioedema (1)

Gambar 12. Lichenoid Drug Reactions (1)


e. Gambaran Histopatologi
Gambaran mikroskopis dari reaksi obat meliputi fitur
nonspesifik seperti spongiosis, apoptotic keratinocytes, infiltrasi
limfoid, eosinofil, dan ulserasi. Terlihat juga pola seperti mukositis
(infiltrasi limfoid yang terfokus pada permukaan jaringan ikat-epitel)
pada reaksi alergi di mukosa.(1)

f. Diagnosis

Akibat gambaran klinis dan histopatologi dari drug reactions


sangat bervariasi, penegakkan diagnosis difokuskan kepada riwayat
terakhir konsumsi obat serta pemeriksaan lengkap rekam medis pasien.
Penggunaan obat-obatan terakhir penting untuk diketahui meskipun
delayed reaction (hingga 2 minggu) terkadang tercatat. Penarikan obat-
obatan yang dicurigai menimbulkan alergi seharusnya menghasilkan
peningkatan dan pemulihan obat-obatan terkait seharusnya dapat
mempertajam tentang kondisi pasien. Biasanya penghentian pemakaian
obat akan menghasilkan penyembuhan, sedangkan pemberian kembali
dapat menimbulkan gejala atau bahkan memperparah keadaan pasien.
Teknik tersebut tidak direkomendasikan. Pada stomatitis
medikamentosa, hasil patch test adalah negatif.(1)

g. Tatalaksana Perawatan

Penanganan paling utama adalah identifikasi dan penghentian


agen penyebab drug reactions. Jika penghentian ini dirasa tidak
mungkin dilakukan karena satu dan lain hal, substitusi obat adalah
alternatif perawatan yang dapat dilakukan. Pemberian antihistamin
atau kortikosteroid dapat berguna dalam penanganan erupsi obat pada
kulit dan mukosa oral.(1)
2.2.2. Stomatitis Kontak (Stomatitis Venenata)
a. Definisi
Stomatitis Kontak (Stomatitis Venenanata) merupakan suatu
reaksi hipersensitivitas disebabkan oleh kontak langsung dengan
alergen penyebab seperti obat-obatan, makanan dan minuman, serta
bahan kedokteran gigi.(2)

b. Etiologi
Reaksi alergi kontak dapat diakibatkan oleh stimulasi antigenik
oleh zat-zat asing, antara lain:(1),(3)
 Obat-obatan, terutama antibiotik, antiseptik, barbiturat,
phenacetin, tetrasiklin, dan sulfonamid
 Makanan, terutama kayu manis (cinnamon)
 Zat pengawet
 Produk perawatan mulut, seperti pasta gigi, obat kumur,
antimikroba topikal, steroid topikal, golongan iodide, essential
oils, anestesi topikal
 Bahan kedokteran gigi, seperti akrilik basis gigi tiruan, bahan
gloves, dan rubber dam.

c. Patogenesis
Stomatitis venenata termasuk reaksi hipersensitivitas tipe IV
dimana respon terutama dimediasi oleh sel T (cell-mediated immunity).
Pada fase sensitisasi, sel dendritik berupa sel langerhans memiliki
peranan utama dalam mengikat antigen asing (Ag) dalam tubuh. Sel
dendritik tersebut bertanggung jawab dalam memproses antigen (dari
lingkungan eksternal) yang telah masuk ke epitelium. Sel langerhans
kemudian membawa antigen determinan ke limfosit T. Setelah itu,
limfosit T mensekresi mediator inflamasi (sitokin) yang menghasilkan
perubahan klinis dan histopatologi pada proses tersebut.(1)

d. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari stomatitis akibat kontak alergen dapat
berupa akut maupun kronis. Prevalensi stomatitis alergi kontak lebih
predominan pada populasi wanita. Reaksi alergi kontak sering pada
area kulit, namun jarang pada intraoral. Hal ini disebabkan karena: (1)
Periode kontak alergen lebih singkat, (2) Cairan saliva melarutkan
berbagai macam antigen, serta (3) Keratinisasi mukosa mulut yang
terbatas menyebabkan penempelan hapten lebih sulit dan tingginya
vaskularisasi cenderung menghilangkan antigen dengan cepat.(4)
Pada tahap akut dari stomatitis kontak, gejala umumnya berupa
sensasi terbakar. Manifestasi klinis pada mukosa oral bervariasi dari
mukosa merah ringan hingga lesi eritematosa dengan/tanpa edema.
Selain itu, lesi jarang terlihat dengan vesikel (Vesikel cepat ruptur dan
membentuk erosi). Ulserasi superfisial mirip apthosa terkadang
meningkat disertai rasa gatal, menyengat serta adanya edema.(4)
Sedangkan tahap kronis dari stomatitis kontak terlihat berupa
mukosa eritematosa atau putih dan hiperkeratosis. Timbul erosi pada
area alergi dapat terjadi secara periodis. Beberapa agen alergen,
terutama pasta gigi dapat menyebabkan eritema meluas dengan
deskuamasi lapisan epitel superfisial. Cheilitis akibat alergi kontak
merupakan gambaran klinis akibat iritasi kronik yang timbul sebagai
chronic dryness atau cracking pada batas vermilion bibir. Selain itu,
terkadang terlihat gambaran klinis yaitu Plasma cell gingivitis akibat
kontak alergen yang mengandung kayu manis (cinnamon), terutama
terjadi di attached gingiva sebagai masa bilateral berwarna merah
terang.(4)

Gambar 13. Mukosa eritematosa dengan deskuamasi lapisan epitel superfisial (4)
e. Gambaran
Gambar 14. Plasma Cell Gingivitis(1)

Histopatologi
Secara mikroskopik, lapisan epitel dan
jaringan ikat menunjukan perubahan inflamasi.
Lapisan epitel terlihat spongiosis dan vesikel,
sedangkan infiltrat limfofagositik perivaskuler
terdapat pada jaringan ikat. Selain itu, dapat
juga terjadi dilatasi pembuluh darah dan
terkadang muncul eosinofil.(1) ,(4) Gambar 15. Infiltrat limfofagositik
perivaskuler pada jaringan ikat
f. Diagnosis stomatitis kontak (4)

Dalam melakukan diagnosis pada


penyakit ini, diperlukan pemeriksaan riwayat kesehatan secara hati-hati
untuk mendapatkan cause- and-effect relationship. Patch test pada
mukosa oral sulit dilakukan dan terkadang menyebabkan hasil false-
negative. Di sisi lain, Pemeriksaan biopsi mungkin diperlukan dalam
mengkonfirmasi penyebab alergen pada stomatitis kontak. Apabila
pemeriksaan kulit menunjukan hasil negatif pada pasien yang diduga
stomatitis akibat alergi kontak, pemeriksaan pada oral mukosa dapat
dilakukan dengan menempatkan campuran antigen dan orabase.(1),(4)

g. Tatalaksana Perawatan
Tatalaksana pada tahapan akut dari stomatitis kontak berupa
eliminasi faktor predisposisi alergen. Sedangkan pada kasus yang lebih
berat, dilakukan terapi antihistamin dengan kombinasi topikal anestesi
(Diklonik HCl). Pada tahapan kronis dari stomatitis kontak dapat
dilakukan perawatan berupa eliminasi alergen dan aplikasi topikal
kortikosteroid (0.05% gel flukosinosid-Lidex® atau elixir
dexametason). Lama waktu penyembuhan stomatitis kontak umumnya
1-2 minggu. Apabila alergen masih belum diketahui secara jelas,
lakukan cutaneous patch test.(1),(4)

2.2.3. Eritema Multiforme

(Sinonim: Herpes Iris, Dermatostomatitis, Eritema eksudativum multiforme)

a. Definisi
Eritema multiforme (EM) merupakan erupsi mendadak dan
rekuren pda kulit dan terkadang pada selaput lendir dengan gambaran
bermacam-macam spektrum dan gambaran khas bentuk iris. Pada
kasus yang berat, EM disertai simtom konstitusi dan lesi viseral. EM
biasa menyerang laki-laki muda dan dikarakteristikkan sebagai lesi
mucosa dan/atau kutan rekuren, termasuk semua tipe rash. EM
diklasifikasikan menjadi dua subtipe, yaitu:(1),(5)
 EM minor: hanya melibatkan kurang dari 10% kulit, keterlibatan
membrane sedikit hinggga tidak ada. EM minor biasanya terkait
virus herpes simpleks (HSV).
 EM mayor: melibatkan area kulit lebih luas dibandingkan EM
minor. Umumya EM Mayor dipicu oleh obat sistemik tertentu.

Gambar 16. Eritema Multiforme(1)

b. Etiologi
Etiologi dasar EM masih belum diketahui, namun EM
merupakan reaksi hipersensitivitas dimana mekanisme penyakit EM
berhubungan dengan kompleks antigen-antibodi yang bertarget pada
pembuluh darah kecil pada kulit atau mukosa. Faktor pemicu EM dapat
terbagi menjadi dua kategori yaitu:(5)
 Infeksi: HSV (tipe 1 dan 2), TB, histoplasmosis. Tetapi HSV
tidak berkultur pada lesi karena EM merupakan reaksi
hipersensitivitas.
 Reaksi obat: NSAID, barbiturat, sulfonamid, serta obat
antikonvulsan (eg. carbamazepine dan phenytoin).
 Faktor-faktor lain: rangsangan fisik (mis/ sinar matahari dan
hawa dingin) malignansi, vaksinasi, penyakit autoimun, serta
radioterapi.

Gambar 17. Beberapa penyebab dari Eritema Multiforme(3)

Gambar 18. Daftar Obat Pemicu Eritema Multiforme (Serta SSJ dan TEN )(3)
Pada pasien anak-anak dan dewasa muda, erupsi EM biasanya
disertai dengan infeksi. Sedangkan, pasien dewasa umumnya disebabkan oleh
obat-obatan dan keganasan.(5)

c. Patogenesis
Mekanisme utama yang menggambarkan patogenesis eritema
multiforme didasarkan pada investigasi terkait virus herpes simpleks
(HSV). Berikut merupakan mekanisme patogenesis dari eritema
multiforme terhadap infeksi virus HSV:(6),(7)
 Tahapan awal dimana terjadi fagositosit virus yang dilepaskan
ke dalam aliran darah selama reaktivasi virus herpes simpleks
(HSV) oleh sel-sel mononuklear darah perifer terutama sel
langerhans yang terdapat pada seluruh bagian epidermis kulit.
 Sel langerhans berisi HSV menembus jaringan epidermis,
dimana sel langerhans akan mentransfer fragmen DNA virus ke
dalam sel keratinosit yang berperan utama sebagai penyusun
lapisan epidermis.
 Ekspresi gen HSV pada jaringan kulit menginduksi sel CD4+
Th1 yang akan memproduksi interferon gamma (IFN-∂) sebagai
respons terhadap antigen virus.
 Pelepasan interferon gamma (IFN-∂) inisiasi terjadinya cascade
inflamasi, sehingga menyebabkan lisis pada sel keratinosit yang
terinfeksi HSV serta induksi sel T autoreaktif. Proses ini akan
menimbulkan kerusakan lapisan epidermis dengan infiltrat
inflamasi yang menjadi ciri khas lesi kulit dari EM.

Patogenesis EM yang dipicu oleh obat-obat tertentu memiliki


mekanisme yang hampir serupa dengan pemicu virus herpes simpleks.
Pada drug-induced EM, tumor necrosis factor alpha (TNF-α)
dibandingkan IFN-gamma memiliki keterkaitan dengan perkembangan
lesi kulit.(6),(7)
d. Gambaran Klinis

Gambar 19. Gambaran Klinis dari Eritema Multiforme(8)

Gejala Klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal


kulit dan selaput lendir sampai bentuk berat berupa kelainan
multisistem yang dapat menyebabkan kematian. Terdapat dua tipe
dasar pada eritema multiforme, antara lain:(5)(8)
i Tipe Makula-Eritema
Erupsi timbul mendadak, simetrik dengan tempat
predileksi di punggung tangan, telapak tangan, bagian
ekstensor ekstremitas, dan selaput lendir. Pada keadaan berat
dapat juga mengenai badan. Lesi terjadi tidak serentak, tetapi
berturut-turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas pada tipe ini
berupa iris (target lesion) yang terdiri dari 3 bagian, yaitu
bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-
unguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris berwarna pucat
dan kemudian lingkaran yang merah.

ii Tipe Vesikobulosa
Lesi mula-mula berupa makula, papul, dan urtika yang
kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini
dapat juga mengenai selaput lendir.

Gambar 20. Ulserasi pada Eritema Multiforme(1)

Gambar 21. Target lesion pada kulit dan tangan(1),(3),(8)


Gambar 22. Lesi okular pada EM(1)

e. Gambaran Histopatologi
Pola mikroskopis EM terdiri dari hiperplasia dan
spongiosis epitel. Lesi awal menunjukkan adanya limfosit dan
histiosit di antara pembuluh darah dermis superfisial. Seiring
berkembangnya lesi, terjadi degenerasi hydropic sel basal,
apoptosis dan nekrosis keratinosit, pembentukan bulla supepitel,
dan infiltrasi limfositik. Tampak pula eksositosis leukosit.
Bagaimanapun, tampakan klinis EM perlu diperhatikan dalam
menegakkan diagnosis.

Gambar 23. Gambaran Histopatologi pada EM(1)

f. Diagnosis
Identifikasi lesi target dengan “zona tiga warna” merupakan ciri
khas dari EM. Akan tetapi, target lesion bervariasi timbul sebagai lesi
mukokutan dengan manifestasi mirip lesi EM(9)
 Urtikaria- muncul sebagai lesi eritematosa, plak edema yang
akan hilang kurang dari 24 jam. Hal ini berbeda dengan EM,
dimana keseluruhan lesi muncul dalam 72 jam pertama sebelum
terjadinya gangguan dan lesi terus bermunculan.
 Sindrom Stevens-Johnson- kedua lesi ini timbul dengan erosi
mukosa dan target lesions atipikal pada kulit. Lesi target atipikal
pada SSJ lebih cenderung berupa lesi makular, sedangkan lesi
papular cenderung terkait dengan EM. Berbeda dengan EM,
medikasi merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan
SSJ.

 Fixed drug eruption- fixed drug eruption memiliki karateristik


lesi tunggal/multipel, plak eritematosa kehitaman dengan atau
tanpa central bulla. Pada beberapa kasus, gambaran klinis dan
histologi sulit dibedakan dengan EM. fixed drug eruption
umumnya memiliki lesi sedikit pada awal serangan. Pemeriksaan
riwayat medikasi dapat membantu diferensiasi diagnosis kondisi
ini.
 Primary HSV gingivostomatitis dengan viral prodromal berupa
erosi serta ulserasi. Perbedaan lesi ini terhadap EM adalah lesi
positif HSV dan tidak menunjukkan ruam. Selain itu, lesi tampak
lebih kecil dan berbatas jelas.

 Penyakit autoimmune vesiculobullous- seperti pemphigus dan


pemphigoid dengan lesi ulser pada kulit dan rongga mulut dengan
perkembangan sentripetal sebagaimana yang terjadi pada EM.
Pada lesi ini, durasi penyakit lebih lama dibandingkan dengan
EM.
Gambar 24. Tabel Perbedaan Eritema Multiforme dan Primary Herpes Simplex(1)

g. Tatalaksana Perawatan
Kedua tipe eritema multiforme termasuk rekuren, terutama
pada kasus-kasus yang disebabkan oleh virus herpes simpleks. Biasanya
penyakit ini berjalan ringan dan sembuh selama 2-3 minggu.(5)
Pada kasus EM ringan, tindakan yang diberikan adalah
pengobatan simptomatik serta perawatan suportif (mis. Obat kumur).
Pada kondisi seperti ini biasanya diberikan pengobatan kortikosteroid per
oral, contohnya prednison 3 x 10 mg sehari(5).
Sedangkan pada kondisi EM yang lebih parah, dapat diobati dengan
kortikosteroid sistemik maupun steroid topikal dengan antifungal. Pada
kasus EM dengan infeksi virus herpes simpleks harus diobati dengan
medikasi antiviral yaitu acyclovir 400 mg 2 kali sehari atau valacyclovir
500 mg dua kali sehari. Apabila tidak ada keterlibatan infeksi virus
herpes simpleks, rencana perawatan berupa azathioprine 100-150 mg/dL.
Pemberian antibiotik tetrasiklin dapat diberikan pada pasien EM terkait
mycoplasma pneumonia. Terapi suportif sebaiknya diberikan untuk
keseluruhan pasien EM berupa irigasi mulut, kontrol intake cairan, dan
antipiretik..(5)
.
Gambar 25. Tatalaksana Perawatan Oral Erythema Multiforme(14)

.
2.2.4. Sindrom Stevens-Johnson dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)

a. Definisi

Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal


Necrolysis (TEN) merupakan reaksi mukokutaneus akut yang
mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis dan detachment yang
meluas pada epidermis, diikuti dengan adanya erosive stomatitis dan
keterlibatan okular. SJS dan TEN sama-sama mengalami keterlibatan
kulit dan membrane mukosa, adanya macula kemerahan yang biasanya
ditemukan pada tubuh, ekstremitas bagian proksimal, dan berkembang
menjadi confluent flaccid blisters yang kemudian menyebabkan
epidermal detachment.(10)

SJS dan TEN memiliki kemiripan dalam ciri klinis dan


histopatologi, etiologi (obat), dan mekanisme. SJS dan TEN merupakan
dua kondisi dengan tingkat keparahan, dimana perbedaannya hanya
terletak pada persentase jumlah permukaan tubuh yang terlibat. Oleh
karena itu, lebih baik menggunakan sebutan epidermal necrolysis (EN)
untuk menyebut keduanya.(10)

b. Epidemiologi(10)

 Epidermal necrolysis (EN) merupakan penyakit yang jarang


ditemukan.
 Prevalensi SJS: 1-6 kasus per 1 juta orang per tahun.
 Prevalensi TEN: 0.4-1.2 kasus per 1 juta orang per tahun.
 Dapat terjadi pada usia berapapun, pasien berusia lebih dari 40 tahun
memiliki risiko yang lebih tinggi, dan lebih sering terjadi pada wanita
(rasio gender 0.6).
 Pasien HIV, collagen vascular disease, dan kanker berisiko lebih
tinggi.
 Tingkat mortalitas 20-25%. Semakin bertambah usia, adanya
komorbiditas, dan semakin luasnya keterlibatan kulit mempengaruhi
semakin buruknya prognosis.
 Terdapat suatu sistem skor prognosis yang disebut SCORTEN untuk
pasien EN seperti pada gambar berikut.

Gambar 26. SCORTEN: Sistem Penilaian Prognosis untuk Pasien dengan epidermal necrolysis(10)

c. Etiologi(10)

 Patofisiologi EN masih belum jelas. Namun, hingga saat ini peran


obat-obatan merupakan faktor etiologi yang penting. Terdapat
berbagai obat-obatan yang berisiko menyebabkan EN.

 Peran agen infeksius dalam menyebabkan EN tidak terlalu besar


dibandingkan pada eritema multiformis.

 Penyebab fisik seperti radioterapi (sebagai tambahan perawatan


obat antiepileptic) dapat memicu terjadinya EN pada daerah
dilakukannya radiasi.
Gambar 27. Daftar obat besera risiko yang menimbulkan epidermal necrolysis. (10)

d. Patogenesis

Patogenesis penyakit ini sama dengan NET, yaitu akibat reaksi


hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut klasifikasi Coomb dan Gel.
Gambaran klinus atau gejala reaksi tersebut bergantung kepada sel sasaran
(target cell). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa
destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T,
termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin lainnya. CD4
terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8 pada lapisan epidermis.
Keratinosit epidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2, dan MHC II. Sel
langerhans tidak ada atau sedikit. TNF-α epidermis meningkat.(5)

e. Pemeriksaan Klinis
I. History (Riwayat)(10)
o EN tampak secara klinis selama 8 minggu (biasanya 4-30 hari)
setelah paparan obat.
o Gejala nonspesifik seperti demam, sakit kepala, rhinitis, dan
myalgia mungkin dapat terjadi 1-3 hari sebelum timbulnya lesi
mukokutaneus.
o Keterlibatan membrane mukosa seperti nyeri saat menelan dan
rasa pedih/terbakar pada mata juga dapat terjadi.
o Terdapat 1/3 kasus yang dimulai dengan gejala nonspesifik, 1/3
diawali dengan keterlibatan membrane mukus, dan 1/3 sisanya
diawali dengan exanthema.

II. Lesi kuteneus(10),(11)


o Lesi awalnya menyebar secara simetris pada wajah, dada, dan
ekstrimitas bagian proksimal. Bagian distal ekstrimitas
biasanya tidak terkena, namun setelah beberapa hari atau
bahkan beberapa jam, rash dapat menyebar ke seluruh tubuh.
o Lesi kulit awalnya berupa macula kemerahan yang bentuknya
ireguler. Terkadang lesi berbentuk seperti target dengan warna
yang lebih gelap di bagian tengah.

Gambar 28. Gambaran klinis lesi kutaneus pada penderita epidermal necrolusis. (10)

o Epidermis eritematous yang luas dan menyebar menandakan


terjadinya nekrosis. Daerah yang kemerahan ini mudah
mengalami dislodgement akibat tekanan lateral. Dislodgement
tersebut menandakan Nikolsky’s sign positif.
o Pada tahap ini, lesi menjadi flaccid blister, yang mudah rapuh
ketika diberi tekanan.
o Lesi epidermis yang nekrotik tersebut mudah detach ketika
diberi gaya friksi, sehingga menampakkan lapisan dermis yang
merah dan terkadang berdarah.

Gambar 29. Fase awal eksantema dengan Nikolsky’s sign yang positif . (10)

o Pasien diklasifikasikan menjadi 3 grup berdasarkan total luas


epidermis yang detach:
 SJS: kurang dari 10% luas permukaan tubuh
 SJS/TEN overlap: 10-30% luas permukaan tubuh
 TEN: lebih dari 30% luas permukaan tubuh
(1% luas permukaan tubuh direpresentasikan oleh luas 1
telapak tangan dan jari)
Gambar 30. Klasifikasi epidermal necrolysis berdasarkan luas permukaan tubuh yang terlibat (11)

III. Keterlibatan membran mukus(10),(12)


o Awalnya berupa kemerahan yang diikuti dengan erosi nyeri
pada mukosa bukal, mata, dan genital.
o Rongga mulut dan tepi vermillion bibir sering terkena, tampak
berupa erosi hemorraghic yang nyeri yang dilapisi
pseudomembran putih keabuan dan krusta pada bibir.
o Lesi konjungtiva biasanya berupa hyperemia, erosi, kemosis,
photophobia, dan lakrimasi. Terkadang bulu mata pasien
mengalami rontok. Pada kasus yang parah, dapat terjadi
ulserasi kornea, anterior uveitis, dan konjungtivitis purulen.
o Sering teradi synechiae antara kelopak mata dan konjungtiva.
o Shedding kuku juga mungkin terjadi pada kasus yang parah.

Gambar 31. Pasien SJS yang mengalami erosi yang parah pada bibir, lidah, dan hidung (12)
Gambar 32. pasien yang menderita epidermal necrolysis mengalami erosi dan nekrosis pada bibir
dan mukosa oral yang membentuk krusta (A dan B) serta bulu mata dapat rontok (B). (10)

IV. Gejala Ekstrakutaneus


o Biasanya pasien mengalami demam tinggi, nyeri, dan lemah.
o Adanya komplikasi pada paru-paru dan saluran cerna.
 Sekitar 25% pasien mengalami dyspnea, hipersekresi
bronkus, dan hypoxemia. Terkadang juga terdapat
penderita EN yang mengalami hemoptysis dan
ekspektorasi bronchial mucosal cast.
 Komplikasi pada saluran cerna lebih jarang ditemukan.
Ditemukannya nekrosis epithelial pada esofagus, usus
kecil, dan kolon, sehingga bermanifestasi menjadi diare
dengan malabsorpsi, melena, bahkan perforasi kolon.
o Adanya komplikasi pada ginjal juga pernah ditemukan. Pasien
mengalami proteinuria, microalbuminuria, hematuria, dan
azotemia.

f. Gambaran Histopatologi
Biopsi kulit dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis EN. Pada
tahap awal, keterlibatan epidermis diketahui dengan apoptosis keratinosit
pada lapisan suprabasal, yang kemudian berlanjut hingga
detachment/lepasnya lapisan sub-epidermal. Tampak infiltrasi sel
monobuklear (limfosit dan makrofag) pada daerah dermis.(10)

Gambar 33. Gambaran Histopatologi pada TEN(10)

g. Diagnosis Banding(13)

Gambar 34. Diagnosis Banding EM, SSJ, SSJ/TEN overlap, dan TEN(13)
h. Tatalaksana Perawatan
Pasien EN yang diberikan perawatan biasanya akan sembuh
dalam waktu 6 minggu.(10),(13)
Perawatan Simptomatik
o Pasien dengan skor SCORTEN 0-1 dapat dirawat pada non-
specialized wards, sedangkan yang lainnya harus dimasukkan
ke ICU.
o Terapi suportif dilakukan dengan menjaga keseimbangan
hemodynamic dan mencegah komplikasi yang mengancam
jiwa.
o Pasien EN biasanya mengalami fluid loss yang signifikan
akibat erosi, menyebabkan hipovolemia dan tidak seimbangnya
elektrolit. Cairan harus segera ditambah dengan memberikan
infus.
o Pemberian nutrisi yang adekuat melalui nasogastric tube untuk
membantu penyembuhan dan mengurangi risiko translokasi
bakteri dari saluran cerna.
o Pemberian antibiotik profilaksis tidak diindikasikan. Pasien
diberikan antibiotic apabila terdapat tanda klinis adanya infeksi
dengan jelas.
o Extensive debridement jaringan epidermis yang nekrosis tidak
disarankan, karena nekrosis superfisial tidak mengambat re-
epitelisasi, melainkan dapat mempercepat proliferasi stem cells
karena adanya inflamasi sitokin.
o Mata pasien diperiksa setiap harinya oleh ophthalmologist.
Pada fase akut, berikan artificial tears, obat tetes mata berupa
antibiotikatau antiseptic, dan vitamin A setiap 2 jam. Apabila
terjadi synechiae, segera atasi secara mekanis.
o Rongga mulut sebaiknya diberikan obat kumur antiseptic atau
antifungal setiap harinya.
Perawatan Spesifik
Terapi imunosupresan dan/atau antiinflamatori diberikan untuk
mengehentikan berlanjutnya penyakit. Berikut adalah beberapa obat
yang dapat diberikan.
o Kortikosteroid sistemik
o Intravenous immunoglobulin
o Siklosporin A
o Anti-tumor necrosis factor agents

2.2.5. Cheilosis/Cheilitis

Cheilitis adalah peradangan pada bibir yang dapat disebabkan


oleh berbagai faktor, misalnya infeksi, alergi, trauma, maupun
fotosensitivitas. Daerah yang paling umum terkena cheilitis adalah
bibir bawah, karena bibir bawah paling sering terkena trauma. Lesi
dapat terlokalisasi di bibir atau dapat meluas ke mukokutan yang
berdekatan atau bahkan sampai ke kulit wajah. Terdapat beberapa
klasifikasi dri cheilitis, antara lain:(4)(12)

2.2.5.1. Angular Cheilitis

Angular cheilitis atau perlèche adalah kelainan yang


sering terjadi pada sudut-sudut mulut. Etiologi dari angular
cheilitis ini biasanya dikarenakan turunnya dimensi vertical,
trauma mekanis, Candida albicans, staphylococci, streptococci,
anemia defisiensi zat besi, dan defisiensi riboflavin. Bisa juga
disebabkan kebiasaan buruk, air liur, penurunan dimensi
vertikal, perluasan infeksi oral dan immunosupresi. Kondisi ini
ditandai dengan adanya eritema, fisur, erosi, dan krusta pada
komisura. Lesi ini tidak meluas dari border mukokutan. Paisen
akan merasakan burning sensation dan merasakan kering pada
sudut-sudut bibir. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan klinis. Rencana perawatan pada kondisi ini dapat
berupa perbaikan dimensi vertical, pemberian topikal steroid,
dan obat
salep
antifungal.
(12)

Gambar 35. Angular Cheilitis(12)

2.2.5.2. Cheilitis Glandularis

Cheilitis glandularis adalah kondisi inflamasi kronik


pada kelenjar saliva minor yang terjadi pada bibir bawah.
Penyakit ini jarang atau tidak umum terjadi. Penyakit ini
ditunjukkan dengan adanya pembengkakkan pada bibir bawah
karena adanya hiperplasia dan inflamasi pada kelenjar. Ciri
khas penyakit ini adalah adanya dilatasi pada orifis kelenjar
saliva minor dan apabila bibir ditekan maka mngkin akan
menghasilkan mucus atau cairan mucopustular dari duktus.
Krusta dan erosi juga bisa terjadi. Diferensial diagnosis pada
kondisi ini antara lain: cheilitis granulomatosa, Melkersson-
Rosenthal syndrome, crohn disease, sarcoidosis, dan fibrosis
kistik. Perawatan pada kondisi ini berupa terapi suportif dan
vermilionectomy untuk kasus yang parah.(12)
Gambar 36. Cheilitis Glandularis(12)

2.2.5.3. Cheilitis Granulomatosa

Cheilitis granulomatosa adalah kelainan kronik yang


langka pada bibir. Etiologi pada kondisi ini belum diketahui
secara jelas. Gambaran klinis pada cheilitis granulomatosa
tanpa rasa nyeri (painless), persisten, dan pembengkakannya
menyebar baik satu maupun kedua bibir. Selain itu, terdapat
vesikel-vesikel kecil dan erosi. Cheilitis granulomatosa
dianggap merupakan gejala tunggal dari Melkersson-Rosenthal
Syndrome. Diferensial diagnosis pada kondisi ini antara lain:
cheilitis glandularis, crohn disease, sarcoidosis, fibrosis kistik,
limphangioma, dan angioneurotic edema. Tatalaksana
perawatan pada kondisi ini berupa pemberian steroid secara
topikal atau sistemik dan antibiotik tetrasiklin. Bedah plastik
dapat menjadi salah satu perawatan pada kasus yang lebih berat .
(12)

Gambar 38. Cheilitis Granulomatosa(12)


2.2.5.4. Exfoliative Cheilitis

Exfoliative cheilitis merupakan kelainan inflamatoris


kronis pada bibir dengan etiologi yang belum diketahui secara
jelas. Gambaran klinis pada exfoliative cheilitis berupa adanya
krusta dan eritema pada vermilion border bibir. Pola penyakit
ini berulang dan menghasilkan warna kekuningan, penebalan
hiperkeratotik, krusta, dan bibir berfisur. Lesi ini biasanya
terjadi pada wanita muda, biasanya terjadi dengan tingkat
keparahan bervariasi selama berbulan-bulan atau bertahun-
tahun dan dapat menimbulkan permasalahan kosmetik.
Diferensial diagnosis pada kondisi ini antara lain cheilitis
kontak dan actinic cheilitis. Tatalaksana perawatan pada
exfoliative cheilitis antara lain berupa terapi simptomatis
dengan pemberian agen pelembab topikal dan steroid. Selain
itu, pemberian topikal oinment 0.1% tacrolimus juga dapat
digunakan sebagai terapi simptomatis.(12)

Gambar 38. Exfoliative Cheilitis(12)


2.2.5.5. Actinic Cheilitis

Actinic cheilitis adalah kelainan degeneratif kronis pada


bibir bawah yang disebabkan oleh pemaparan sinar matahari
dalam jangka waktu panjang. Pada tahap awal, terdapat
gambaran erythema ringan dan edema yang diiringi dengan
vermilion border bibir bawah yang kering dan bersisik. Pada
tahap yang lebih lanjut, epitel akan menjadi tipis dan licin
dengan area putih keabu-abuan yang berbatasan langsung
dengan area merah. Terdapat pula erosi dan nodul kecil. Lesi ini
premalignan dan banyak terjadi pada pria usia lebih dari 50
tahun. Diferensial diagnosis pada kondisi ini antara lain:
leukoplakia, liken planus, lupus erytematosus, early squamous-
cell carcinoma, cheilitis akibat sinar radiasi. Tatalaksana
perawatan pada Actinic cheilitis dapat berupa proteksi bibir dari
paparan sinar matahari dengan menggunakan sunscreen agent
seperti para-aminobenzoic acid (PABA) atau turunannya. Sun-
blocking agent seperti titanium dioksid a atau seng oksida dapat
melengkapi proteksi baik terhadap sinar ultraviolet A maupu B.
Vermilionectomy dilakukan pada kasus-kasus yang parah.
Vermilionectomy dapat menyebabkan komplikasi seperti
parestesi bibir.(12)

2.2.5.6. Cheilitis Kontak

Gambar 39. Actinic Cheilitis (1)(12)


Cheilitis kontak adalah kelainan inflamasi akut pada
bibir yang disebabkan oleh kontak topikal dengan berbagai
jenis bahan kimia. Gambaran klinis pada cheilitis kontak berupa
edema ringan dan erythema, diiringi dengan iritasi dan bersisik
tebal, meluas ke vermilion border pada kedua bibir. Reaksi
kontak alergi pada mukosa oral lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan reaksi kontak alergi pada bibir. Hal ini
terjadi karena adanya fenomena dari efek cleansing dari saliva
yang membilas antigen pada mukosa dan vaskularitas dari
mukosa bukal yang dapat melindungi mukosa dari antigen.
Namun, mukosa dapat pula tersensitisasi oleh reaksi inflamasi
yang seringkali diakibatkan oleh bahan dan alat selama
perawatan kedokteran gigi seperti amalgam, bahan tambal
akrilik, crown, dan gigi tiruan. Diferensial diagnosis pada kondisi ini
antara lain exfoliative cheilitis dan plasma-cell cheilitis. Tatalaksana
perawatan pada kondisi ini berupa menghilangkan faktor predisposisi
berupa kontak dengan bahan kmiawi serta pemberian steroid secara
topikal.(12)

Gambar 40. Cheilitis Kontak (12)

DAFTAR PUSTAKA
1. Regezi JA. Oral Pathology Clinical Pathologic Correlations. Oral Pathology:
Clinical Pathologic Correlations: Sixth Edition. 2012.
2. GARDNER AF. Differential Oral Diagnosis in Systemic Disease [Internet].
Differential Oral Diagnosis in Systemic Disease. 1970. 215-279 p. Available
from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780723602545500151
3. Scully C. Medical Problems in Dentistry. Zhurnal Eksperimental’noi i
Teoreticheskoi Fiziki. 2010. 768 p.
4. NEVILLE BW. Oral & Maxillofacial PATHOLOGY [Internet]. Zhurnal
Eksperimental’noi i Teoreticheskoi Fiziki. 2002. 451-452 p. Available from:
http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:No+Title#0
5. Djuanda A. ilmu penyakit kulit dan kelamin. Vol. 5, fkui. 2007. 110-112 p.
6. Ono F, Sharma BK, Smith CC, Burnett JW, Aurelian L. CD34+ cells in the
peripheral blood transport herpes simplex virus DNA fragments to the skin of
patients with erythema multiforme (HAEM). J Invest Dermatol.
2005;124(6):1215–24.
7. Aurelian L, Ono F, Burnett JW. Herpes simplex virus (HSV)-associated
erythema multiforme (HAEM): a viral disease with an autoimmune component.
Dermatol Online J. 2003;9(1).
8. Cawson M, Odell W. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral
Medicine. 7th ed. New York: Churchill Livingstone; 2002. 1-15 p.
9. Bolognia JL, Jorizzo J, Rapini R. Dermatology. 1st ed. Toronto: Mosby
Elsevier; 2003.
10. GOLDSMITH LA, KATZ SI, GILCHREST BA, PALLER AS, LEFFELL DJ,
WOLFF K. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Eighth Edition.
Vol. 150, McGraw-Hill. 2012. 1-3190 p.
11. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome.
Orphanet J Rare Dis [Internet]. 2010;5(1):39. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=3018455&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
12. Laskaris G. Pocket Atlas of Oral Diseases. Vol. 57, Journal of Oral and
Maxillofacial Surgery. 2006. 355 p.
13. Scully C. Oral and Maxillofacial Medicine: The Basis of Diagnosis and
Treatment: Third Edition [Internet]. Oral and Maxillofacial Medicine: The
Basis of Diagnosis and Treatment: Third Edition. 2013. 1-435 p. Available
from: http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-
84906800040&partnerID=40&md5=5f2630d62e0c4bdc9fd89a41517cb96f
14. Little, Wallace, Miller R. Dental Management in Medically Compromised
Patient. In: Dental Management in Medically Compromised Patient. 6th ed. St.
Louis: Mosby; 1997.

Anda mungkin juga menyukai