Anda di halaman 1dari 9

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Etik berasal dari bahasa yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan
yang baik atau yang seharusnya dilakukan. Dalam organisasi profesi
kesehatan pedoman baik atau buruk dalam melakukan tugas profesi telah
dirumuskan dalam bentuk kode etik yang penyusunnya mengacu pada sistem
etik dan asas etik yang ada. Meskipun terdapat perbedaan aliran dan
pandangan hidup, serta adanya perubahan dalam tata nilai kehidupan
masyarakat secara global, tetapi dasar etik dibidang kesehatan klien
senantiasa diutamakan dan merupakan asas yang tidak pernah berubah. Asas
dasar tersebut dijabarkan menjadi 6 asas etik, yaitu:
1. Asas menghormati otonomi klien
Klien mempunyai kebebasan untuk mengetahui dan memutuskan apa
yang akan dilakukan terhadapnya, untuk ini perlu diberikan informasi
yang cukup.
2. Asas kejujuran
Tenaga kesehatan hendaknya mengatakan yang sebenarnya tentang apa
yang terjadi, apa yang akan dilakukan serta resiko yang dapat terjadi.
3. Asas tidak merugikan.
Tenaga kesehatan tidak melakukan tindakan yang tidak diperlukan dan
mengutamakan tindakan yang tidak merugikan klien serta mengupayakan
resiko yang paling minimal atas tindakan yang dilakukan.
4. Asas manfaat
Semua tindakan yang dilakukan terhadap klien harus bermanfaat bagi
klien untuk mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya.
5. Asas kerahasiaan
Kerahasiaan klien harus dihormati meskipun klien telah meninggal.
6. Asa keadilan
Tenaga kesehatan harus adil, tidak membedakan kedudukan sosial
ekonomi, pendidikan, gender, agama, dan lain sebagainya.
Prinsip etik yang harus dipegang oleh seseorang, masyarakat, nasional,
dan internasional dalam menghadapi HIV/AIDS adalah :
a. Empati
Ikut merasakan penderitaan sesama termasuk ODHA dengan penuh
simpati, kasih sayang dan kesediaan saling menolong
b. Solidaritas
Secara bersama-sama membantu meringankan dan melawan
ketidakadilan yang diakibatkan oleh Hiv/Aids
c. Tanggung jawab
Bertanggung jawab mencegah penyebaran dan memberikan perawatan
pada ODHA.
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS tidak dapat
dipisahkan dari aspek hukum dan hak Asasi manusia (HAM).
Permasalahan pokok yang menyangkut hukum berkaitan dengan maraknya
kasus HIV/ AIDS adalah bagaimana menyeimbangkan antara
perlindungan kepentingan masyarakat dan  kepentingan individu pengidap
HIV dan penderita AIDS (Indar, 2010).
Aspek hukum dan HAM merupakan dua komponen yang sangat
penting dan ikut berpengaruh terhadap berhasil tidaknya program
penanggulangan yang dilaksanakan. Telah diketahui bahwa salah satu sifat
utama dari fenomena HIV & AIDS terletak pada keunikan dalam
penularan dan pencegahannya. Berbeda dengan beberapa penyakit
menular lainnya yang penularannya dibantu serta dipengaruhi oleh alam
sekitar, pada HIV & AIDS  penularan dan pencegahannya berhubungan
dengan dan atau tergantung pada perilaku manusia.
Terdapat dua hak asasi fundamental yang berkaitan dengan epidemi
HIV/ AIDS yaitu : hak terhadap kesehatan dan hak untuk bebas dari
diskriminasi. Dibandingkan dengan hak terhadap kesehatan, jalan keluar
dari masalah diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS ini jauh lebih
kompleks dan sulit.

4
Pada banyak kasus, penderita akhirnya bisa berdamai dengan
kenyataan bahwa mereka memang mengidap HIV dan mungkin akan
meninggal karena AIDS. Akan tetapi penderitaan yang lebih parah justru
dialami karena adanya stereotype yang dikenakan kepada mereka. Orang
terinfeksi acap kali dihubungkan dengan orang terkutuk (amoral) karena
perilakunya yang menyimpang dan memang harus menanggung
penderitaan sebagai karma atas dosa-dosanya.
Tidak hanya dalam bentuk stereotip tetapi di banyak tempat
ditemukan berbagai pelanggaran HAM berupa stigmatisasi dan
diskriminasi, bahkan  juga penganiayaan dan penyiksaan. Berbagai
pelanggaran HAM dan hukum sebagai yang tergambar di atas pada
akhirnya merupakan fakta sosial yang menjadi bagian dari penderitaan
orang terinfeksi bahkan merupakan penyebab sekunder/non medis bagi
kematian mereka.
Dalam Pasal 4 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa
setiap orang berhak atas kesehatan. Permasalahan HIV dan AIDS sangat
terkait dengan hak atas kesehatan. Hak atas kesehatan adalah aset utama
keberadaan manusia karena terkait dengan kepastian akan adanya
pemenuhan atas hak yang lain, seperti pendidikan dan pekerjaan. Secara
garis besar di dalam UU Kesehatan perlindungan hukum terhadap
penderita HIV/ AIDS diatur mengenai :
a.   Hak atas pelayanan kesehatan
Undang-Undang Kesehatan mewajibkan perawatan diberlakukan
kepada seluruh masyarakat tanpa kecuali termasuk penderita HIV
AIDS. Dalam Pasal 5 UU Kesehatan  dinyatakan bahwa terdapat
kesamaan hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber daya
kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan
terjangkau.Tugas pemerintah dalam hal ini untuk menyediakan tenaga
medis, paramedik dan tenaga kesehatan lainnya yang cukup dalam
memberikan pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS dan
menjamin ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan sehingga
tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Penyediaan obat

5
dan perbekalan kesehatan serta jaminan ketersediaan obat dan alat
kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan berlaku juga bagi penderita
HIV/AIDS.
b.   Hak atas informasi
Pasal 7 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa setiap orang
berhak mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan serta
informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan
pengobatan atas dirinya. pada pasal 8 Peningkatan pendidikan untuk
menangani HIV dan AIDS termasuk metode pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS serta peningkatan pemahaman
masyarakat mengenai pentingnya pencegahan dan penyebaran HIV
dan AIDS, misalnya melalui penyuluhan dan sosialisasi merupakan
upaya dalam memberikan informasi mengenaiHIV/AIDS.
c.   Hak atas kerahasiaan
Hak atas kerahasiaan dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 57
dimana setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatannya. Selain
itu UUPK No. 29/2004 juga mengatur mengenai rahasia medis dan
rekam medis ini pada paragraph 3 dan 4 tentang rekam medis dan
rahasia kedokteran. Rahasia Medis itu bersifat pribadi, hubungannya
hanya antara dokter - pasien.  Ini berarti seorang dokter tidak boleh
mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien yang
dipercayakannya kepada orang lain, tanpa seizin si pasien. Masalah
HIV / AIDS banyak sangkut pautnya dengan Rahasia Medis sehingga
kita harus berhati hati dalam menanganinya. Dalam mengadakan
peraturan  hukum, selalu terdapat dilema antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan. Seringkali harus
dipertimbangkan kepentingan mana yang dirasakan lebih berat. Dalam
sistim Demokrasi, hak asasi seseorang harus diindahkan, namun hak
asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak. Pembatasan dari hak asasi
seseorang adalah hak asasi orang lain didalam masyarakat itu. Jika ada
pertentangan kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah
terhadap kepentingan masyarakat banyak.

6
d.   Hak atas Persetujuan Tindakan Medis
Dalam pasal 56 UU Kesehatan diatur tentang persetujuan tindakan
medis atau informed consent. Masalah AIDS juga ada erat kaitannya
dengan Informed Consent. Merupakan tugas dan kewajiban seorang
dokter untuk memberikan informasi tentang penyakit-penyakit yang
diderita pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan, disamping
wajib merahasiakannya. Pada pihak lain kepentingan masyarakat juga
harus dilindungi. Semua tes HIV harus mendapatkan informed consent
dari pasien setelah pasien diberikan informasi yang cukup tentang tes,
tujuan tes,implikasi hasil tes positif ataupun negatif yang berupa
konseling prates.

B. Issue Etik Pada Konseling Pre-Post tes HIV


1. Pengertian konseling
Konseling adalah proses pertolongan dimana seseorang dengan
tulus ikhlas dan tujuan yang jelas memberikan waktu, perhatian, dan
keahliannya untuk membantu klien mempelajari dirinya, mengenali
dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang
diberikan lingkungannya. Voluntary counseling and tesing (VCT) rela
dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah
dilaboratorium. Tes hiv dilakukan setelah klien terlebih dahulu
memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat
persetujuan setelah mendapatkan pen;jelasan yang lengkap dan benar.
Pelayanan VCT harus dilakukan oleh petugas yang sangat terlatih dan
memiliki keterampilan konseling dan pemahaman akan hiv/aids.
Konseling dilakukan oleh konselor terlatih dengan modul VCT.
Mereka dapat berprofesi perawat, pekerja sosial, dokter, psikolog,
psikiater, atau profesi lain.
2. Informed consent untuk tes HIV/AIDS
Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan
apakah seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan
cara mendeteksi adanya antibody HIV di dalam sampel darahnya. Hal

7
ini perlu dilakukan setidaknya agar seseorang bisa mengetahui secara
pasti status kessehatan dirinya, terutama menyangkut risiko dari
perilakunya selama ini. Tes HIV harus bersifat :
a. Sukarela : bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV
haruslah berdasarkan atas kesadarannya sendiri, bukan atas
paksaan/tekanan orang lain ini juga berarti bahwa dirinya setuju
untuk dites setelah mengetahui hal-hal apa saja yang tercakup
dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian dari tes HIV, serta apa
saja implikasi dari hasil positif ataupun negative tersebut.
b. Rahasia : apapun hasil tes ini (baik positif maupun negative)
hasilnya hanya boleh diberitahu langsung kepada orang yang
bersangkutan.
c. Tidak boleh diwakilkan  kepada siapapun baik orangtua/pasangan,
atasan atau siapapun.
Semua tes HIV harus mendapat informed consent dari klien
setelah klien diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes,
implikasi hasil tes positif atau negative yang berupa konseling prates.
Dalam  menjalankan fungsi perawat sebagai advokat bagi klien,
sedangkan tugas perawat dalam informed consent adalah memastikan
bahwa informed consent telah meliputi tiga aspek penting, yaitu ;
a. Persetujuan harus diberikan secara sukarela.Persetujuan harus
diberikan oleh individu yang mempunyai kapasitas dan
kemampuan untuk memahami.
b. Persetujuan  harus diberikan setelah diberikan informasi yang
cukup sebagai pertimbangan untuk membuat keputusan.
c. Persetujuan pada tes HIV harus bersifat jelas dan khusus,
maksudnya, persetujuan diberikan terpisah dari persetujuan
tindakan medis atau tindakan perawatan lain. persetujuan juga
sebaiknya dalam bentuk tertulis, karena persetujuan secara verbal
memungkinkan pasien untuk menyangkal persetujuan yang telah
diberikannya dikemudian hari

8
3. Aspek Etik dan Legal Tes HIV
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau
keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut (Permenkes, 1989). Dasar dari
informed consent yaitu;
a. Asas menghormati otonomi pasien setelah mendapatkan informasi
yang memadai pasien bebas dan berhak memutuskan apa yang
akan dilakukan terhadapnya.
b. Kepmenkes 1239/Menkes/SK/XI/2001 pasal 16: dalam
melaksanakan kewenangannya perawat wajib menyampaikan
informasi dan meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
c. PP No. 32 tahun1996 tentang tenaga kesehatan pasal 22 ayat 1:
bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas wajib memberikan
informasi dan meminta persetujuan.
d. UU No. 23 tahun 1992 tentang tenaga kesehatan pasal 15 ayat 2:
tindakan medis tertentu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan
yang bersangkutan atas keluarga.

4. Kerahasiaan Status HIV


Pasien HIV berhak atas kerahasiaan, ini sesuai dengan prinsip
etik asas kerahasiaan yaitu kerahasiaan klien harus dihormati meskipun
klien meninggal. Untuk itu tenaga kesehatan mempunyai kewajiban
untuk melindungi hak klien tersebut dengan tetap merahasiakan
apapun yang berhubungan dengan klien. Hak klien atas kerahasiaan ini
juga dilindungi oleh hukum sehingga apabila kita melanggarnya kita
bisa terkena sanksi hukum. Terdapat perkecualian di mana pasien
HIV/AIDS bisa dibuka yaitu bilamana:
a. Berhubungan dengan administrasi .
b. Bila kita dimintai keterangan dipersidangan.
c. Informasi bisa diberikan kepada seseorang yang merawat atau
memberikan konseling dan informasi diberikan dengan tujuan
untuk merawat, mengobati, atau memberikan konseling pada klien.

9
d. Informasi diberikan kepada Depkes berdasarkan Instruksi Menkes
no. 72/Menkes/Inst/II/1988 tentang kewajiban melaporkan
penderita dengan gejala AIDS: petugas kesehatan yang mengetahui
atau menemukan seseorang dengan gejala AIDS wajib melaporkan
kepada sarana pelayanan kesehatan yang di teruskan.
e. Informasi diberikan kepada partner seks/keluarga yang merawat
klien dan berisiko terinfeksi oleh klien karena klien tidak mau
menginformasikan pada keluarga/pasangan seksnya dan
melakukan hubungan seksual yang aman. Hal ini berkaitan dengan
tugas tenaga kesehatan untuk melindungi masyarakat. keluarga dan
orang terdekat klien dari bahaya tertular HIV. dalam hai ini,
Petugas kesehatan boleh membuka status HIV pasien hanya jika
petugas mengidentifikasi keluarga/partner seks klien berisiko
tinggi tertular, pasien menolak memberi tahu pasangannya atau
melakukan hubungan seks yang aman, pasien telah diberi
konseling tentang pen!ngnya memberi tahu pasangan/keluarganya
dan melakukan hubungan seks yang aman, tenaga kesehatan telah
memberitahu klien bahwa klien berkewajiban melindungi orang
lain dari bahaya penularan HIV/AIDS tapi klien tetap menolak
memberitahu keluarga atau pasangannya tentang status
penyakitnya.

C. Isu Etik Khusus


Karena keterkaitannya yang erat dengan perilaku seksual,
penggunaan obat-obatan terlarang, dan penurunan kondisi fisik dan
kematian, AIDS menimbulkan stigma sosial, menurut pernyataan sikap
ANA, kewajiban moral untuk merawat klien yang terinfeksi HIV tidak
dapat di kesampingkan, kecuali jika resikonya melebihi tanggung jawab.
“bukan  hanya asuhan  keperawatan yang  harus diberikan, tetapi perawat
harus diberi tahu juga mengenai resiko dan tanggung jawab yang mereka
hadapi dalam memberikan  asuhan  keperawatan menerima resiko

10
pribadi  yang melebihi batasan tugas bukan kewajiban moral, melainkan
pilihan moral” (ANA, 1998 dalam buku Kozier, 2010).
Isu etik lainnya berpusat pada pemeriksaan untuk mengetahui
status HIV dan adanya AIDS pada  professional kesehatan  klien muncul
pertanyaan mengenai apakah semua penyedia pelayanan kesehatan dan
pasien wajib atau secara sukarela menjalani pemeriksaan ini dan apakah
hasil pemeriksaan tersebut harus diberikan kepada perusahaan asuransi,
pasangan seksual, atau  pemberi asuhan. sama halnya dengan  semua
dilematik, terdapat dampak positif dan negative setiap kemungkinan  bagi
individu tersebut.

11

Anda mungkin juga menyukai