Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi
ahmadfauzi068@gmail.com
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Asy’ari Kediri
Abstrak.
Penelitian ini dibingkai dalam topik besar Psikologi Pendidikan Islam yang secara
khusus melihat pada perspektif pemikiran Syekh Ibnu Atha’illah dari
keterkaitannya antara pendidikan karakter di Indonesia dengan konsep
pendidikan tasawuf . Sedangkan lingkup penelitian ini difokuskan pada tiga
permasalahan utama yaitu: 1) Bagaimana pemikiran Ibnu Athaillah as-Sakandari
tentang pendidikan sufistik dalam karyanya al-Ḥikam, 2) Bagaimana konsep
pendidikan sufistik Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab al-Hikam, dan 3)
Bagaimana relevansinya pendidikan sufistik Ibnu Athaillah as-Sakandari dengan
pendidikan karekter di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
kualitatif jenis kajian pustaka (library research). Sumber data yang
digunakandalampenelitianinidiperoleh dari buku, jurnal, dan karya ilmiah lain
yang relevan dengan pembahasan. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah metode dokumentasi. Setelah data terkumpul lalu dilakukan reduksi data
dan analisis isi. Dari penelitian ini berhasil menunjukkan metode pendidikan
sufistik Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari yang disebut dengan istilah sulūk,
dimana hakikat pendidikan adalah upaya penempaan diri / tazkiyatu al-Nafs
yang pada tujuan utamanya mengantarkan manusia menjadi insan kamil dan
pada puncaknya bisa dekat atau wuṣūl kepada Allah swt. Adapun Relevansi
antara metode sulūk dengan pendidikan karakter terdapat dalam langkah-
langkah pembelajaran. jika dalam pendidikan karekater Proses pembelajaran
menyentuh tiga ranah, yaitu sikap yang menyangkut dimensi jiwa, pengetahuan,
dan keterampilan. sedangkan dalam metode tasawuf/ Suluk ditemukan metode
Takhalli (mensunyikan diri dari kotoran-kotoran jiwa ) dan Tahalli (menghiasi
diri dengan keutamaan-keutamaan). Maka dapat disimpulkan bahwa antara
pendidikan tasawuf dan pendidikan karakter di Indonesia memiliki kesamaan
yaitu mengedepankan pembentukan jiwa/kondisi psikologis sebelum pada ranah
yang lain, dengan harapan melalui model belajar yang terintegratif dapat
menghasilkan peserta didik yang arif, produktif, kreatif dan inovatif.
pendidikan spiritual bisa saja dilandasi sebuah obsesi akan kebutuhan rohaniah
atas dasar nilai- nilai agama atau tata nilai sesaat, dan dapat pula sekadar memenuhi
yang lain. Pendidikan sufistik dan ambisi untuk mencari ketenangan
konsepnya dibangun atas dasar paradigma terhadap tingkah laku manusia yang dapat
tasawuf yang berbasis al Qur’an dan al diamati. Perolehan data tingkah laku yang
Hadits.Keilmuan mengenai psikologi secara lahiriah akan dianalisis secara
sufistik selalu mengedepankan psikologis.
pengembangan potensi batin ke arah Kedua, metode tarjib ruhani, yakni
kesadaran psikologis untuk senantiasa metode yang digunakan untuk mengetahui
dekat dengan Allah.4 hubungan antara perilaku spiritual dengan
Secara keilmuan, pendekatan perilaku keseharian, mengetahui adanya
psikosufistik memiliki kerangka filosofis pengaruh antara tingkat keagamaan
sebagaimana disiplin ilmu lainnya, antara terhadap perilaku seseorang.Metode ini
lain sebagai berikut: dapat digunakan dalam kegiatan penelitian
1. Kerangka Ontologis secara deskriptif ataupun eksperimen.
Dalam kerangka ontologis, bahwa Seperti penelitian yang dilakukan Moh.
psikosufistik memiliki objek kajian Sholeh yang telah dibukukan dengan judul
psikologis manusia baik dalam wilayah «Tahajud Manfaat Praktis Ditinjau dari
empiris yang terpikirkan maupun empiris Ilmu Kedokteran» (2003), menemukan
yang tak terpikirkan, yakni wilayah adanya manfaat shalat Tahajud bagi
spiritual transendental.Dalam psikologi individu yang melaksanakannya secara
sufistik, manusia dipandang secara utuh konsisten dan bersungguh-sungguh
sebagai makhluk psiko-fisik dan psiko- terhadap respon daya tahan tubuhnya
spiritual.Maka, tidak hanya aspek perilaku (respon imunologik).
yang teramati secara empiris saja yang Ketiga, interpretasi kitab suci, yakni
dikaji, tetapi juga pengalaman spiritual metode yang digunakan melalui proses
transedental yang tidakterpikirkan. penafsiran dan interpretasi terhadap teks
Perilaku dan pengalaman spiritual yang atau ayat ayat al-Quran. Penggunaan
tidak terpikirkansecara rasional manusia. metode ini sebagai proses penelusuran
terhadap konsep-konsep dasar pemikiran
2. Kerangka Epistimologis
psikologi sufistik yang memang mengacu
Kerangka epistimologis mendasar-
pada sumber utama keilmuan Islam, yakni
kan proses penemuan berbagai teori dalam
Al-Quran dan Hadits. Misalnya dalam
kajian psikologi sufistik. Psikologi sufistik
menemukan konsep al-ruh, al-qalb, al-aql,
mendasarkan teorinya pada kebenaran
an-nafs6
yang bersifat rasional dan transedental
Keempat, metode intuitif (kasyf),
yang bersumber dari wahyu (Al-Quran dan
yakni perolehan kebenaran melalui
Hadits). Untuk memahami manusia secara
kemampuan intuitif untuk menyingkap
utuh, perlu berbagai pendekatan deduktif
pengetahuan tentang hakekat jiwa.Metode
(menjelaskan teks suci al-Quran) dan
ini merupakan kekhasan dalam pendekatan
induktif (mempelajari realitas psikologis
sufistik yang membutuhkan kemampuan
manusia untuk mendapatkan sebuah
intuitif. Kemampuan intuitif dapat
simpulan empirik). Kedua pendekatan
diperoleh melalui proses penyucian diri
tersebut akan saling menguatkan dalam
(tazkiyatun nafs) dan proses riyadlah.7
upaya memahami kejiwaan manusia.
Dalam perspektif keilmuan Barat yang
Sebagai hasil pemikiran secara
cenderung rasional positivistik,
epistimologis, psikologi sufistik dapat dikaji
pengetahuan intuitif tidak ilmiah karena
melalui beberapa metode.5 Pertama,
kebenarannya bersifat subyektif dan sulit
metode mulahazhah thabiiyyah. Metode ini
untuk diukur dan diamati. Namun, dalam
digunakan untuk memperoleh pemahaman
psikologi sufistik termasuk juga psikologi
4AbdullahHadziq,
Islam, perolehan intuitif ini merupakan
Rekonsiliasi Psikologi
Sufistik dan Humanistik,RaSAIL, Semarang, hlm. 24
Page231
salah satu cara untuk memahami hakekat kepada Allah Jalla Jalaluhu. Orang boleh
jiwa. Metode kasyf ini juga ditegaskan Al- sibuk bekerja dan mengejar karir, tekun
Ghazali sebagai proses menemukan sebuah belajar dan mengembangkan ilmu
kebenaran dengan tetap berpegang pada pengetahuan, aktif dalam berbagai
prinsip ajaran Islam. Demikian halnya kegiatan kemasyarakatan, organisasi, atau
dengan pendapat Sumadi Suryabrata pemerintahan, namun semua harus
bahwa metode kasyf dapat dijadikan dikembaliakan bahwa dibalik kesuksesan,
sebagai metode dalam memahami kejiwaan proses kehidupan, danhasil akhir dari
manusia yang memang memiliki dimensi sebuah pencarian ada kehendak Allah
spiritual yang tidak selalu dipahami secara Jalla Jalaluhu danhanya kepada-Nya
rasional positivistic. segala aktivitas dan kehendak manusia
tertuju.
3. Kerangka Aksiologis
Prinsip ketauhidan ini sebagaimana
Kerangka aksiologis dalam keilmuan
yang dijelaskan Kautsar Noer dalam
menekankan adanya nilai yang akan
menjelaskan tasawuf. Noer menjelaskan
diperoleh dari hasil (produk) kajian ilmu.
bahwa hakekattasawuf adalah sebuah
Psikologi sufistik mendasarkan kajiannya
jalan spiritual yang bersumber dari al-
pada al-Quran sebagai kitab suci sekaligus
Qurandan Sunnah untuk menuju Allah,
sebagai pedoman hidup.Oleh karenanya
membentuk akhlak mulia, dengantetap
pengetahuan dan kebenaran yang
setia pada syariat, dan membangun
diperoleh bersifat etis relijius untuk
keseimbangan antara aspek-aspeklahiriah
kemaslahatan manusia.Tidak sekedar
dan batiniah, material dan spiritual,
untuk memperoleh ilmu pengetahuan
duniawi danukhrawi, berpihak kepada
(sains) semata, tetapi untuk menjadi dasar
orang-orang lemah dan tertindas.
keilmuan dalam pengembangan
Ketauhidan ini juga akan menjadi dasar
kepribadian manusia yang senantiasa
pembentukan kepribadian yang
menuju pada pembentukan insan kamil
seimbang.9
atau kesempurnaan akhlak.
Kedua, nilai kemanusiaan. Islam
adalah agama yang tidak hanya
Nilai Psikosufistik dalam Pendidikan
mengharuskan umatnya menyibukkan
Islam
diri untuk beribadah secara vertikal saja
Ada beberapa nilai ajaran Tasawuf
dan mengenyampingkan sisi
yang mendasari pendekatan
kemanusiaan. Sisi kemanusiaan di sini
psikosufistik.Melalui beberapa nilai
adalah bahwa Islam juga sarat dengan
ajaran tasawuf ini dapat dijadikan
ajaran untuk membangun kehidupan
kerangka pemikiran dalam membangun
kemanusiaan secara seimbang baik dari
pendidikan Islam dengan pendekatan
sisi relasi sosial kemasyarakatan,
psikosufistik8.
kehidupan keluarga, perekonomian,
Pertama, nilai ketauhidan.
pendidikan, hukum, maupun bidang
Penanaman nilai-nilai tauhid akan
kehidupan lain yang menjadi bagian
menjadi dasar pembentukan kesadaran
kebutuhan manusia sebagai makhluk
ilahiyah manusia, bahwa hanya kepada
bumi. Kesadaran akan nilai kemanusiaan
Allah Jalla Jalaluhu manusia beribadah,
membangun kesadaran untuk berbuat
memuja, dan bersandar sehingga akan
kebajikan; saling menghormati dan
mengikatkan diri secara kuat dengan
menghargai dengan sesama, saling
Allah Jalla Jalaluhu. Segala aktivitas
menolong dan kerjasama dalam kebaikan,
apapun dalam kehidupan manusia, hati
mengutamakan kepentingan bersama,
dan pikiran akan selalu terikat (kumantil)
berlaku jujur, tanggung jawab, dan
Page232
15 Robert C. Bogdan, dan Sari Knopp Biklen, hubungan-hubungan kongkret, baik vertikal
(1982), Riset Kualitatif untuk Pendidikan. Pengantar maupun horizontal dan bersifat aktual. Lihat:
Teori dan Metode.( Alih Bahasa: Munandir), Dirjen Musa Asy’arie, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam
Dikti Depdikbud, hlm. 27-30 Berpikir,(tt.), LESFI, Yogyakarta, hlm. 50-51.
tingkat penyebutan “manusia” dalam Al- mulk-nya, maka dia akan menjadi
Qur’an.17 manusia yang dipenuhi cahaya.
Pertama, sebutan “al-basyar”, yakni
manusia dalam dimensi jasmani dan 2) Hakikat Ilmu Menurut Syekh Ibnu
lahiriahnya, yang memiliki nafsu, dan Athaillah
nafsu itu berisi gharizah ghadlabiyah Dalam bahasa Arab kata ‘ilm yang
(naluri atau insting untuk membangun seakar dengan kata ‘alāmah (tanda)
cita-cita) dan gharizah syahwaniyah diartikan sesuatu yang mendasar yang
(untuk menikmati hidup dan kemapanan). menunjukkan pada sebuah hal pembeda
Al-Bouti mengomentari penjelasan dari yang lain.20 Dalam bahasa Arab pula
Syekh Ibnu Athaillah di atas, beliau al’ilm merupakan antonim dari kata al-
menjelaskan bahwa manusia terdiri dari jahl yang artinya tidak adanya
dua substansi.Pertama, substansi fisik pengetahuan yang tepat tentang
yang terbuat dari lumpur dan unsur sesuatu.21
tanah, air, api, dan udara. Kedua, substansi Syekh Ibnu Athaillah membagi ilmu
ruhani dengan memiliki potensi yang menjadi dua: bermanfaat dan tidak
tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.Pada bermanfaat. Bagian pertama adalah ilmu
substansi kedua inilah manusia memiliki yang mengakibatkan ketakwaan pada diri
ruh dengan kelengkapan perasaan yang seseorang. Sebagaimana analisis filosofis
berbeda dengan makhluk hidup lainnya, sumber ilmu perspektif Islam, yang mana
juga ada akal budi yang mampu tujuan puncak berilmu dalam Islam
membuatnya melakukan yang disebut al- adalah untuk mengetahui Allah Swt, yakni
fikr (berpikir) dan al-idrāk pengetahuan yang haqq al-yaqin dan
(menyadari).18Potensi pertama adalah sisi dekat kepada-Nya. Sedangkan tujuan
jasad yang terbuat dari unsur-unsur fisik praktis berilmu adalah membantu
yang itupun berbeda dari hewan lainnya manusia merealisasikan amanah sebagai
jika dilihat dari perkembangan dan khalifah Allah di bumi. Dalam kaitan ini,
kemampuannya. Sedangkan potensi Allah telah membantu manusia untuk
kedua merupakan sisi yang mampu mengenalinya dengan ayat Allah. Ayat
berkembang menuju alam metafisik dimaksud terbagi dua, yaitu ayat
ruhani, karena ada ruh, kesadaran, dan tanziliyah (naqliyah) dan ayat kauniyah
akal budi serta rahasia-rahasia Tuhan (aqliyah). Ayat tanziliyah adalah wahyu
yang ditanamkan di dalamnya.19 yang diturunkan melalui malaikat Jibril,
Pengoptimalan kedua potensi ini sedangkan ayat kauniyah adalah ciptaan
kemudian membuat manusia mampu Allah Swt.22
menjadi makhluk dengan strata tertinggi
(khalīfah) melalui mujāhadah dan 3) Hakikat Pendidikan dalam Pandangan
musyāhadah, tidak hanya di antara Syekh IbnuAthaillah
makhluk fisik tapi juga makhluk Tuhan Belum ditemukan secara gamblang
yang lainnya. Tanpa mujāhadah dan definisi pendidikan dalam pandangan
musyāhadah, manusia akanlebih condong Syekh Ibnu Athaillah, baik dalam al-
sisi kehayawaniannya yang membuatnya Ḥikam-nya atau dalam karya- karyanya
masih berada dalam gelapnya lingkaran yang lain. Hanya saja, dari penjelasan
dunia fisik. Sedangkan orang-orang yang beliau mengenai apa itu ilmu dan apa itu
mampu menyucikan hatinya, sisi hakikat manusia di atas, dapat dipahami
malakūt-nya lebih dominan dari sisi
20Abul Husain Ahmad bin Faris, Mu’jam
Maqāyīs al-lughah (Maktabah Syamelah v.3.1.2),
17KH. Said Aqil Siraj (2012), Tasawuf Sebagai juz. 4, hlm. 109.
Kritik Sosial, SAS Foundation / LTN PBNU, Jakarta, 21Ibid.,hlm. 110.
Page235
perkuliahan Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UINSA), dan Hadis Tarbawi (Buku Perkuliahan Fakultas
UIN SA Press, Surabaya, hlm. 33. Tarbiyah UINSA), UINSA Press, Surabaya, hlm. 33
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Santoso, Agus dan Yusria Ningsih, Terapi
Kementrian Pendidikan Nasional. Islam, Surabaya: UINSA Press, 2013
Kerangka Acuan Pendidikan
Karakter. Jakarta: Kementerian Taufik. Tazkiyah Nafs; Konsep Pendidikan
Pendidikan Nasional, 2010. Sufistik dalam Upaya Membangun
Akhlak, Jurnal Tadris, Volume 6, No. 2,
Jalaludin.Psikologi Agama (Memahami Desember 2011.
Perilaku Keagamaan dengan
Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Thohir, Muhamad, Pemahaman Individu,
Psikologi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Surabaya: UINSA Press, 2014.
Persada, 2010.
Thobroni, Ahmad Yusam dan Noviandri
Kemendiknas.Pedoman Pelaksanaan Eko, Al Qudus, Tafsir dan Hadis
Pendidikan Karakter Berdasarkan Tarbawi, Surabaya: IAIN SA Press,
lldan Pengembangan Pusat 2013
Kurikulum dan Perbukuan, 2011.
Ubaidillah dan Yuliyatun, 2014, Suluk Kyai
Kemendiknas.Pedoman Pengembangan Cebolek dalam Konflik
Pendidikan Budaya dan Karakter Keberagamaan dan Kearifan Lokal,
Bangsa. Jakarta: Kemendiknas, 2011. Jakarta, Prenada Media
Aksara, 2015.