Anda di halaman 1dari 12

Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif Pemikiran

Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

PSIKOSUFISTIK PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN SYEKH IBNU


ATHA’ILLAH

Ahmad Fauzi
ahmadfauzi068@gmail.com
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Asy’ari Kediri

Abstrak.
Penelitian ini dibingkai dalam topik besar Psikologi Pendidikan Islam yang secara
khusus melihat pada perspektif pemikiran Syekh Ibnu Atha’illah dari
keterkaitannya antara pendidikan karakter di Indonesia dengan konsep
pendidikan tasawuf . Sedangkan lingkup penelitian ini difokuskan pada tiga
permasalahan utama yaitu: 1) Bagaimana pemikiran Ibnu Athaillah as-Sakandari
tentang pendidikan sufistik dalam karyanya al-Ḥikam, 2) Bagaimana konsep
pendidikan sufistik Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab al-Hikam, dan 3)
Bagaimana relevansinya pendidikan sufistik Ibnu Athaillah as-Sakandari dengan
pendidikan karekter di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
kualitatif jenis kajian pustaka (library research). Sumber data yang
digunakandalampenelitianinidiperoleh dari buku, jurnal, dan karya ilmiah lain
yang relevan dengan pembahasan. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah metode dokumentasi. Setelah data terkumpul lalu dilakukan reduksi data
dan analisis isi. Dari penelitian ini berhasil menunjukkan metode pendidikan
sufistik Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari yang disebut dengan istilah sulūk,
dimana hakikat pendidikan adalah upaya penempaan diri / tazkiyatu al-Nafs
yang pada tujuan utamanya mengantarkan manusia menjadi insan kamil dan
pada puncaknya bisa dekat atau wuṣūl kepada Allah swt. Adapun Relevansi
antara metode sulūk dengan pendidikan karakter terdapat dalam langkah-
langkah pembelajaran. jika dalam pendidikan karekater Proses pembelajaran
menyentuh tiga ranah, yaitu sikap yang menyangkut dimensi jiwa, pengetahuan,
dan keterampilan. sedangkan dalam metode tasawuf/ Suluk ditemukan metode
Takhalli (mensunyikan diri dari kotoran-kotoran jiwa ) dan Tahalli (menghiasi
diri dengan keutamaan-keutamaan). Maka dapat disimpulkan bahwa antara
pendidikan tasawuf dan pendidikan karakter di Indonesia memiliki kesamaan
yaitu mengedepankan pembentukan jiwa/kondisi psikologis sebelum pada ranah
yang lain, dengan harapan melalui model belajar yang terintegratif dapat
menghasilkan peserta didik yang arif, produktif, kreatif dan inovatif.

Kata Kunci : Psiko-Sufistik, Syekh Ibnu Atha’illah

Pendahuluan pendidikan spiritualitas sama-sama


Pendidikan sufistik merupakan menggerakkan potensi diri manusia
pendidikan karakter hanya saja dengan kepada sesuatu yang lebih baik dan
kriteria dan arah yang lebih spesifik, bermoral, di mana potensi-potensi inilah
yakni berlandaskan nilai- nilai tasawuf yang akan memberikan makna tertentu
keislaman. Pendidikan sufistik juga lebih dalam suatu tindakan. Akan tetapi,
khusus dari pada pendidikan spiritual, spiritualitas tidak mesti memiliki kaitan
karena pendidikan sufistik khusus pada dengan sesuatu yang bersifat ilahiah.
pendidikan spiritual yang islami Spiritualitas bisa sekadar berfungsi
(berlandaskan tasawuf), sedang sebagai pelarian psikologis, sebagai
Page229

pendidikan spiritual bisa saja dilandasi sebuah obsesi akan kebutuhan rohaniah
atas dasar nilai- nilai agama atau tata nilai sesaat, dan dapat pula sekadar memenuhi
yang lain. Pendidikan sufistik dan ambisi untuk mencari ketenangan

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif
Pemikiran Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

tertentu. Tasawuf bukanlah spiritualitas Said Ramadan al-Bouti dalam syarḥ-nya


seperti itu, bukan pula sesuatu yang terhadap kitab al-Ḥikam menjelaskan,
hanya berupa tempat pengasingan diri. “Saya tidak pernah melihat satu buku
Sebaliknya, tasawuf berusaha minipun yang tersebar di masyarakat
menampilkan visi keagamaan yang seperti tersebarnya kitab al-Ḥikam, serta
otentik, yang mengarahkan diri untuk yang diterima oleh banyak kalangan
melampaui kedirian dan sifat egois. seperti diterimanya kitab al-
Tasawuf adalah sebuah visi yang tepat Ḥikam. Bahkan
2 al-Bouti mengutip
dalm menafsirkan dunia, serta alam lain pendapat beberapa orang yang
di luar dunia ini yang mungkin ada dan mengatakan, “Andai saat shalat
melingkupi seluruh realitas. Selain pula, diperbolehkan membaca selain ayat al-
tasawuf juga sebuah visi tentang sesuatu Quran, maka tentu yang boleh adalah
tatanan ideal masyarakat yang semua itu dengan al-Ḥikam Ibnu Athaillah.3
dilandasi atas ajaran agama Islam. Di Indonesia, kitab al-Ḥikam juga
Menurut Said Agil Siradj, pada banyak menjadi rujukan yang dikaji
pengantarnya dalam buku Samsul Munir dibanyak lembaga pendidikan, utamanya di
Amin, Ilmu Tasawuf, menyatakan bahwa pondok-pondok pesantren dan majelis
tasawuf yang dipraktikkan dengan benar taklim di masyarakat. Hanya saja, kajian
dan tepat akan menjadi metode yang kitab ini yang banyak masih menggunakan
efektif dan impresif untuk menghadapi metode tradisional yang hanya dibaca
tantangan zaman. Bagi kaum sufi, apapun sekilas saja, dan tidak banyak yang
zamannya atau bagaimanapun gejolak merumuskan secara analisis sistematis
dunia ini, semuanya akan dihadapi tentang pemikiran Ibnu Athaillah as-
dengan pikiran yang jernih, suasana hati Sakandari, lebih- lebih tentang pendidikan
yang dingin, objektif, dan penuh sufistik.Maka berangkat dari latar belakang
ketenangan (ṭuma’nīnah). Sebaliknya, di atas, penulis bermaksud untuk melakuan
justru kaum sufi yang terbiasa dengan penelitian mendalam tentang pemikiran
kehidupan nyata, walaupun hatinya telah Ibnu Athaillah as-Sakandari mengenai
melampaui kenyataan lahiriah, mereka pendidikan sufistik, khususnya dalam
akan melihat dinamika kehidupan ini karyanyaal-Ḥikam.
secara proporsional.1 Fokus penelitian meiputi,
Kemudian, di antara sekian bagaimana pemikiran Ibnu Athaillah as-
banyak pemikir sufi Islam, Tajuddin Ibnu Sakandari tentang pendidikan sufistik
Athaillah as-Sakandari merupakan salah dalam karyanya, al-Ḥikam, bagaimana
satu pemikir dan pelaku tasawuf yang konsep pendidikan sufistik Ibnu Athaillah
sangat fenomenal. Ulama abad keenam as-Sakandari dalam kitab al-Hikam, dan
ini, dengan kitabnya al-Ḥikam al-Aṭāiyah bagaimana relevansinya pendidikan
menjelaskan ilmu tasawuf melalui kalam- sufistik Ibnu Athaillah as-Sakandari
kalam hikmah, salah satu metode yang dengan pendidikan karekter di Indonesia.
tidak banyak dilakukan oleh penulis kitab
tasawuf lainnya. Kitab al-Ḥikam, yang jika Tinjauan Psikosufistik dalam
diterjemah artinya adalah kalam-kalam Pendidikan
hikmah, merupakan kata-kata mutiara Psikosufistik, atau dengan istilah lain,
yang ringkas namun sangat mendalam Psikologi Sufistik, sebenarnya sebagai
pemaknaannya, serta mengenai dalam sisi kajian psikologis terhadap pemahaman
inti ajaran tasawuf itu sendiri. Tidak sufistik. Psikologi sufistik (psikosufistik)
heran bila ulama- ulama setelahnya didefinisikan sebagai suatu ilmu tentang
banyak yang menulis komentar-komentar tingkah laku manusia yang konsep-
(syarḥ) terhadap kitab al-Hikam tersebut.
Page230

2 Muhammad Said Ramadan al-Bouti (tt), al-


1Said Agil Siradj (2014), Pendidikan Sufistik, Hikam al-Athaiyah Syarh wa Tahlil,Dar al-Fikr, Suriah
Sebuah Urgensi dalam Pengantar Samsul Munir Amin, , hlm. 9
Ilmu Tasawuf, Amzah, Jakarta , hlm. xi. 3Ibid, hlm. 8

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif Pemikiran
Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

konsepnya dibangun atas dasar paradigma terhadap tingkah laku manusia yang dapat
tasawuf yang berbasis al Qur’an dan al diamati. Perolehan data tingkah laku yang
Hadits.Keilmuan mengenai psikologi secara lahiriah akan dianalisis secara
sufistik selalu mengedepankan psikologis.
pengembangan potensi batin ke arah Kedua, metode tarjib ruhani, yakni
kesadaran psikologis untuk senantiasa metode yang digunakan untuk mengetahui
dekat dengan Allah.4 hubungan antara perilaku spiritual dengan
Secara keilmuan, pendekatan perilaku keseharian, mengetahui adanya
psikosufistik memiliki kerangka filosofis pengaruh antara tingkat keagamaan
sebagaimana disiplin ilmu lainnya, antara terhadap perilaku seseorang.Metode ini
lain sebagai berikut: dapat digunakan dalam kegiatan penelitian
1. Kerangka Ontologis secara deskriptif ataupun eksperimen.
Dalam kerangka ontologis, bahwa Seperti penelitian yang dilakukan Moh.
psikosufistik memiliki objek kajian Sholeh yang telah dibukukan dengan judul
psikologis manusia baik dalam wilayah «Tahajud Manfaat Praktis Ditinjau dari
empiris yang terpikirkan maupun empiris Ilmu Kedokteran» (2003), menemukan
yang tak terpikirkan, yakni wilayah adanya manfaat shalat Tahajud bagi
spiritual transendental.Dalam psikologi individu yang melaksanakannya secara
sufistik, manusia dipandang secara utuh konsisten dan bersungguh-sungguh
sebagai makhluk psiko-fisik dan psiko- terhadap respon daya tahan tubuhnya
spiritual.Maka, tidak hanya aspek perilaku (respon imunologik).
yang teramati secara empiris saja yang Ketiga, interpretasi kitab suci, yakni
dikaji, tetapi juga pengalaman spiritual metode yang digunakan melalui proses
transedental yang tidakterpikirkan. penafsiran dan interpretasi terhadap teks
Perilaku dan pengalaman spiritual yang atau ayat ayat al-Quran. Penggunaan
tidak terpikirkansecara rasional manusia. metode ini sebagai proses penelusuran
terhadap konsep-konsep dasar pemikiran
2. Kerangka Epistimologis
psikologi sufistik yang memang mengacu
Kerangka epistimologis mendasar-
pada sumber utama keilmuan Islam, yakni
kan proses penemuan berbagai teori dalam
Al-Quran dan Hadits. Misalnya dalam
kajian psikologi sufistik. Psikologi sufistik
menemukan konsep al-ruh, al-qalb, al-aql,
mendasarkan teorinya pada kebenaran
an-nafs6
yang bersifat rasional dan transedental
Keempat, metode intuitif (kasyf),
yang bersumber dari wahyu (Al-Quran dan
yakni perolehan kebenaran melalui
Hadits). Untuk memahami manusia secara
kemampuan intuitif untuk menyingkap
utuh, perlu berbagai pendekatan deduktif
pengetahuan tentang hakekat jiwa.Metode
(menjelaskan teks suci al-Quran) dan
ini merupakan kekhasan dalam pendekatan
induktif (mempelajari realitas psikologis
sufistik yang membutuhkan kemampuan
manusia untuk mendapatkan sebuah
intuitif. Kemampuan intuitif dapat
simpulan empirik). Kedua pendekatan
diperoleh melalui proses penyucian diri
tersebut akan saling menguatkan dalam
(tazkiyatun nafs) dan proses riyadlah.7
upaya memahami kejiwaan manusia.
Dalam perspektif keilmuan Barat yang
Sebagai hasil pemikiran secara
cenderung rasional positivistik,
epistimologis, psikologi sufistik dapat dikaji
pengetahuan intuitif tidak ilmiah karena
melalui beberapa metode.5 Pertama,
kebenarannya bersifat subyektif dan sulit
metode mulahazhah thabiiyyah. Metode ini
untuk diukur dan diamati. Namun, dalam
digunakan untuk memperoleh pemahaman
psikologi sufistik termasuk juga psikologi
4AbdullahHadziq,
Islam, perolehan intuitif ini merupakan
Rekonsiliasi Psikologi
Sufistik dan Humanistik,RaSAIL, Semarang, hlm. 24
Page231

5Fadli Rahman (2011) ”Pendidikan 6Abdul Mujibdan Jusuf Mudzakir( tt.),


Multikuttural dalam Perspektif Psikologi Nuansa-nuansa Psikologi Islam,Raja Grafindo
Sufistik”, Jurnal Tarbiyatuna Pendidikan Persada: Jakarta.
Agama lslam, Vol.1- No.1 7Ibid., hlm. 24

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif
Pemikiran Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

salah satu cara untuk memahami hakekat kepada Allah Jalla Jalaluhu. Orang boleh
jiwa. Metode kasyf ini juga ditegaskan Al- sibuk bekerja dan mengejar karir, tekun
Ghazali sebagai proses menemukan sebuah belajar dan mengembangkan ilmu
kebenaran dengan tetap berpegang pada pengetahuan, aktif dalam berbagai
prinsip ajaran Islam. Demikian halnya kegiatan kemasyarakatan, organisasi, atau
dengan pendapat Sumadi Suryabrata pemerintahan, namun semua harus
bahwa metode kasyf dapat dijadikan dikembaliakan bahwa dibalik kesuksesan,
sebagai metode dalam memahami kejiwaan proses kehidupan, danhasil akhir dari
manusia yang memang memiliki dimensi sebuah pencarian ada kehendak Allah
spiritual yang tidak selalu dipahami secara Jalla Jalaluhu danhanya kepada-Nya
rasional positivistic. segala aktivitas dan kehendak manusia
tertuju.
3. Kerangka Aksiologis
Prinsip ketauhidan ini sebagaimana
Kerangka aksiologis dalam keilmuan
yang dijelaskan Kautsar Noer dalam
menekankan adanya nilai yang akan
menjelaskan tasawuf. Noer menjelaskan
diperoleh dari hasil (produk) kajian ilmu.
bahwa hakekattasawuf adalah sebuah
Psikologi sufistik mendasarkan kajiannya
jalan spiritual yang bersumber dari al-
pada al-Quran sebagai kitab suci sekaligus
Qurandan Sunnah untuk menuju Allah,
sebagai pedoman hidup.Oleh karenanya
membentuk akhlak mulia, dengantetap
pengetahuan dan kebenaran yang
setia pada syariat, dan membangun
diperoleh bersifat etis relijius untuk
keseimbangan antara aspek-aspeklahiriah
kemaslahatan manusia.Tidak sekedar
dan batiniah, material dan spiritual,
untuk memperoleh ilmu pengetahuan
duniawi danukhrawi, berpihak kepada
(sains) semata, tetapi untuk menjadi dasar
orang-orang lemah dan tertindas.
keilmuan dalam pengembangan
Ketauhidan ini juga akan menjadi dasar
kepribadian manusia yang senantiasa
pembentukan kepribadian yang
menuju pada pembentukan insan kamil
seimbang.9
atau kesempurnaan akhlak.
Kedua, nilai kemanusiaan. Islam
adalah agama yang tidak hanya
Nilai Psikosufistik dalam Pendidikan
mengharuskan umatnya menyibukkan
Islam
diri untuk beribadah secara vertikal saja
Ada beberapa nilai ajaran Tasawuf
dan mengenyampingkan sisi
yang mendasari pendekatan
kemanusiaan. Sisi kemanusiaan di sini
psikosufistik.Melalui beberapa nilai
adalah bahwa Islam juga sarat dengan
ajaran tasawuf ini dapat dijadikan
ajaran untuk membangun kehidupan
kerangka pemikiran dalam membangun
kemanusiaan secara seimbang baik dari
pendidikan Islam dengan pendekatan
sisi relasi sosial kemasyarakatan,
psikosufistik8.
kehidupan keluarga, perekonomian,
Pertama, nilai ketauhidan.
pendidikan, hukum, maupun bidang
Penanaman nilai-nilai tauhid akan
kehidupan lain yang menjadi bagian
menjadi dasar pembentukan kesadaran
kebutuhan manusia sebagai makhluk
ilahiyah manusia, bahwa hanya kepada
bumi. Kesadaran akan nilai kemanusiaan
Allah Jalla Jalaluhu manusia beribadah,
membangun kesadaran untuk berbuat
memuja, dan bersandar sehingga akan
kebajikan; saling menghormati dan
mengikatkan diri secara kuat dengan
menghargai dengan sesama, saling
Allah Jalla Jalaluhu. Segala aktivitas
menolong dan kerjasama dalam kebaikan,
apapun dalam kehidupan manusia, hati
mengutamakan kepentingan bersama,
dan pikiran akan selalu terikat (kumantil)
berlaku jujur, tanggung jawab, dan
Page232

8Yuliyatun Tajuddin (2014), Komunikasi


Dakwah Walisongo Perspektif Psikosufistik, AT- 9Kautsar Azhari (tt), Tasawuf Perenial,
TABSYIR, Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol. 2- Kearifan Kritis Kaum Sufi, Serambi Ilmu Semesta:
No. 2 Jakarta, hlm.37

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif Pemikiran
Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

memberi perlindungan kepada yang takhalli, dan tajalli.11 Tahalli,


lemah. mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela,
Ketiga, kerendahan hati (low seperti syirik, tinggi hati, iri, hasud, suka
profile). Sifat rendah hati merupakansifat mencela, dan suudzan. Takhalli, mengisi
yang sangat ditekankan dalam ajaran jiwa dengan sifat-sifat terpuji, seperti
tasawuf. Kerendahan hati akan mendidik rendah hati, sabar, tawakkal, penuh kasih
individu untuk menyadari akan sayang, senang berbuat kebajikan. Setelah
keberadaan diri dihadapan eksistensi pada tahap tahalli dan takhalli akan
Allah Jalla Jalaluhu sebagai Zat Maha mengantarkan seseorang pada tahap
Kuasa, Maha Memiliki, dan Zat Maha tajalli, yakni membangun integrasi diri
Berkehendak, sehingga akan menyadari sebagai pribadi yang telah merasakan
bahwadirinya dan sesamanya adalah kehadiran Allah Jalla Jalaluhu dalam
sama di hadapan Allah baik seorang setiap gerak langkahnya.
pejabat, jenderal, profesor, manajer,
Nilai-nilai yang menjadi prinsip
buruh, karyawan, maupun seorang
Tasawuf tersebut di atas menjadi
tunawisma, secara kemanusiaan adalah
landasan dalam membentuk kepribadian
sama. Kesadaran tersebutakan
muslim yang beriman, bertaqwa, dan
menimbulkan jiwa yang lemah lembut,
berakhlakul karimah. Pemahaman iman,
penuh kasih sayang, kebersamaan, dan
taqwa, dan akhlakul karimah merupakan
memiliki rasa empati dalam pergaulan
dasar pembentukan pola pandangan,
sosialnya.
sikap, dan perilaku seorang muslim. Hal
Keempat, kearifan lokal (local
inilah yang menjadi tugas para da’i dalam
wisdom). Merupakan puncak capain hati
mengembangkan pola komunikasinya
seorang sufi adalah meraih kebijaksanaan
dalam berdakwah, yakni memahamkan
(wisdom) yang berbasis pada kekuatan
mad’u terhadap hakekat Islam sebagai
spiritual. Dan ini salah satu karakter sikap
agama Tauhid yang menyeimbangkan
seorang sufi yang menjadikannya dapat
dengan sisi kehidupan sosial, budaya, dan
hidup secara berdampingan dengan
berbagai kebutuhan manusia dalam aspek
berbagai komunitas yang berbeda secara
lahiriyah maupun bathiniyahnya.
damai. Inayat Khan mengatakan bahwa
Pola pendidikan Islam yang
siapapun yang memperoleh kearifan
demikian itu akan membentuk
adalah seorang sufi karena tasawuf
pemahaman Islam sebagai agama inklusif,
sendiri berarti kearifan. Dalam konteks
dialogis, dan benar-benar rahmatal
tasawuf yang mendasari pendekatan
lil’alamin. Agama Islam tidak sekedar
psikosufistik, adalah kearifan lokal,
dipahami sebagai sebuah simbol dan
dimana sikap arif seorang sufi atau
ritual yang hanya ingin menampakkan sisi
seorang guru menjadi sikap yang utama
luarnya saja, akan tetapi Agama Islam
untuk memberikan dampingan kepada
dipahami sebagai sebuah pola sikap dan
masyarakat10.
perilaku baik dalam kehidupan beragama,
Kelima, perubahan diri
bermasyarakat, beraktivitas dalam bidang
(transformasi diri), yakni bahwa seorang
pekerjaan, pendidikan, pemerintahan,
yang beriman memiliki satu tujuan akhir
ataupun aktivitas lainnya.
yang hendak dicapai, yaitu dekat dengan
Allah Jalla Jalaluhu. Transformasi diri
Metode Penelitian
dalam ajaran Tasawuf mengacu pada
Pendekatan penelitian ini
konsep penyucian diri (tazkiyatun nafs)
menggunakan pendekatan kualitatif
yang membutuhkan tiga tahapan: tahalli,
dengan jenis penelitian kepustakaan
Page233

11Ubaidillah dan Yuliyatun (2014), Suluk Kyai


10Kautsar Azhari (tt), Tasawuf Perenial, Cebolek dalam Konflik
Kearifan Kritis Kum Sufi, Keberagamaan dan Kearifan Lokal, , Prenada
Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, hlm.37 Media, Jakarta, hlm.59

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif
Pemikiran Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

(library research). Bogdan dan Taylor, pandang esensi16 (hakikatnya dalam


sebagaimana dikutip oleh Moleong, lingkup dirinya sendiri), melainkan dilihat
mendefinisikan metodologi kualitatif dari sudut eksistensi vertikal, yakni
sebagai prosedur penelitian yang hakikat manusia dalam kaitannya dengan
menghasilkan data deskriptif berupa yang lain – dalam hal ini kaitannya secara
kata-kata tertulis atau lisan dari orang- vertikal kepada Allah swt. Secara esensi,
orang dan perilaku yang dapat diamati.12 substansi manusia tidaklah melebihi dari
Menurut Imron Arifin, penelitian seonggok daging dan tulang serta
kualitatif pada hakekatnya mengamati serangkaian unsur kehidupan di
orang dalam lingkungan hidupnya, dalamnya. Secara esensi ini manusia
berinteraksi dengan mereka, berusaha hampir tidak ada bedanya dengan hewan.
memahami bahasa dan tafsiran mereka Hanya kemampuan kecerdasan lebih
tentang dunia sekitarnya.13 (nalar, nutq) yang merupakan substansi
Kirk dan Miller mendefinisikan, pembeda antara manusia dan hewan.
bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi Dengan nalar, manusia mampu
tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial menyimpan data dan merangkainya
yang secara fundamental bergantung menjadi data-data baru, sehingga dia
pada pengamatan manusia dalam mampu melakukan sesuatu yang tak bisa
kawasannya sendiri dan berhubungan dilakukan hewan karena tingkat
dengan orang tersebut dalam bahasanya kecerdasan hewan memang lebih rendah.
dan peristilahannya.14 Sedangkan secara eksistensi,
Menurut Bogdan dan Biklen, manusia berada di skala tertinggi di
penelitian kualitatif mempunyai ciri-ciri: antara makhluk hidup lain di muka bumi,
(1) mempunyai latar alami (natural yang karena itulah membuatnya menjadi
setting) sebagai sumber data langsung khalīfah (sang penguasa, sang pengemban
dan peneliti merupakan instrument kunci amanah). Dalam eksistensi pula, manusia
(the key instrument), (2) bersifat menjadi makhluk sosial, membentuk
deskriptif, yaitu memberikan situasi komunitas, dan bergerak dalam
tertentu dan pandangan tentang dunia organisasi besar dengan segala ragam dan
secara deskriptif, (3) lebih perbedaan manusia itu sendiri. Manusia
memperhatikan proses dari pada hasil juga merupakan bagian dari kosmik fisik
atau produk semata, (4) cenderung alam semesta dan alam metafisik. Dari
menganalisa data secara induktif, dan (5) eksistensi inilah manusia bisa disebut
makna merupakan hal yang esensial.15 baik-buruk, cantik-jelek, dan lain
sebagainya dengan melihat aktualitas
Hasil Penelitian dirinya saat bersinggungan dengan yang
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam lain.
Pandangan Syekh Ibnu Atahaillah Kesufian adalah wilayah yang
1) Hakikat Manusia Sebagai Obyek menghubungkan dimensi lahiriah (fisik)
Pendidikan manusia dengan dimensi batiniahnya
Syekh Ibnu Athaillah lebih banyak (metafisik).Dan, pengalaman kesufian ini
melihat manusia bukan dari sudut hanya dapat dialami dalam kedirian
batiniah manusia.Pemilahan kedua
dimensi kemanusiaan ini sesuai dengan
12 Lexi J. Moleong (1989), Metodologi
Penelitiaan Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, hlm. 3
13Imron Arifin (ed.), (1996), Penelitian 16Menurut Paul Tillich dalam Musa Asy’arie,
Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan, esensi adalah alam potensial sedangkan eksistensi
Kalimasahada, Malang, hlm. 22 adalah alam aktualisasi dari potensi. Musa Asy’arie
14Ibid., hlm. 3 menambahkan bahwa eksistensi berada dalam
Page234

15 Robert C. Bogdan, dan Sari Knopp Biklen, hubungan-hubungan kongkret, baik vertikal
(1982), Riset Kualitatif untuk Pendidikan. Pengantar maupun horizontal dan bersifat aktual. Lihat:
Teori dan Metode.( Alih Bahasa: Munandir), Dirjen Musa Asy’arie, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam
Dikti Depdikbud, hlm. 27-30 Berpikir,(tt.), LESFI, Yogyakarta, hlm. 50-51.

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif Pemikiran
Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

tingkat penyebutan “manusia” dalam Al- mulk-nya, maka dia akan menjadi
Qur’an.17 manusia yang dipenuhi cahaya.
Pertama, sebutan “al-basyar”, yakni
manusia dalam dimensi jasmani dan 2) Hakikat Ilmu Menurut Syekh Ibnu
lahiriahnya, yang memiliki nafsu, dan Athaillah
nafsu itu berisi gharizah ghadlabiyah Dalam bahasa Arab kata ‘ilm yang
(naluri atau insting untuk membangun seakar dengan kata ‘alāmah (tanda)
cita-cita) dan gharizah syahwaniyah diartikan sesuatu yang mendasar yang
(untuk menikmati hidup dan kemapanan). menunjukkan pada sebuah hal pembeda
Al-Bouti mengomentari penjelasan dari yang lain.20 Dalam bahasa Arab pula
Syekh Ibnu Athaillah di atas, beliau al’ilm merupakan antonim dari kata al-
menjelaskan bahwa manusia terdiri dari jahl yang artinya tidak adanya
dua substansi.Pertama, substansi fisik pengetahuan yang tepat tentang
yang terbuat dari lumpur dan unsur sesuatu.21
tanah, air, api, dan udara. Kedua, substansi Syekh Ibnu Athaillah membagi ilmu
ruhani dengan memiliki potensi yang menjadi dua: bermanfaat dan tidak
tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.Pada bermanfaat. Bagian pertama adalah ilmu
substansi kedua inilah manusia memiliki yang mengakibatkan ketakwaan pada diri
ruh dengan kelengkapan perasaan yang seseorang. Sebagaimana analisis filosofis
berbeda dengan makhluk hidup lainnya, sumber ilmu perspektif Islam, yang mana
juga ada akal budi yang mampu tujuan puncak berilmu dalam Islam
membuatnya melakukan yang disebut al- adalah untuk mengetahui Allah Swt, yakni
fikr (berpikir) dan al-idrāk pengetahuan yang haqq al-yaqin dan
(menyadari).18Potensi pertama adalah sisi dekat kepada-Nya. Sedangkan tujuan
jasad yang terbuat dari unsur-unsur fisik praktis berilmu adalah membantu
yang itupun berbeda dari hewan lainnya manusia merealisasikan amanah sebagai
jika dilihat dari perkembangan dan khalifah Allah di bumi. Dalam kaitan ini,
kemampuannya. Sedangkan potensi Allah telah membantu manusia untuk
kedua merupakan sisi yang mampu mengenalinya dengan ayat Allah. Ayat
berkembang menuju alam metafisik dimaksud terbagi dua, yaitu ayat
ruhani, karena ada ruh, kesadaran, dan tanziliyah (naqliyah) dan ayat kauniyah
akal budi serta rahasia-rahasia Tuhan (aqliyah). Ayat tanziliyah adalah wahyu
yang ditanamkan di dalamnya.19 yang diturunkan melalui malaikat Jibril,
Pengoptimalan kedua potensi ini sedangkan ayat kauniyah adalah ciptaan
kemudian membuat manusia mampu Allah Swt.22
menjadi makhluk dengan strata tertinggi
(khalīfah) melalui mujāhadah dan 3) Hakikat Pendidikan dalam Pandangan
musyāhadah, tidak hanya di antara Syekh IbnuAthaillah
makhluk fisik tapi juga makhluk Tuhan Belum ditemukan secara gamblang
yang lainnya. Tanpa mujāhadah dan definisi pendidikan dalam pandangan
musyāhadah, manusia akanlebih condong Syekh Ibnu Athaillah, baik dalam al-
sisi kehayawaniannya yang membuatnya Ḥikam-nya atau dalam karya- karyanya
masih berada dalam gelapnya lingkaran yang lain. Hanya saja, dari penjelasan
dunia fisik. Sedangkan orang-orang yang beliau mengenai apa itu ilmu dan apa itu
mampu menyucikan hatinya, sisi hakikat manusia di atas, dapat dipahami
malakūt-nya lebih dominan dari sisi
20Abul Husain Ahmad bin Faris, Mu’jam
Maqāyīs al-lughah (Maktabah Syamelah v.3.1.2),
17KH. Said Aqil Siraj (2012), Tasawuf Sebagai juz. 4, hlm. 109.
Kritik Sosial, SAS Foundation / LTN PBNU, Jakarta, 21Ibid.,hlm. 110.
Page235

hlm.36. 22Jalaludin Rahmat (2013), Islam Alternatif


18al-Bouti, (tt.), al-Ḥikam al-Aṭāiyah Syarḥ wa dalam Ahmad Yusam T., Damanhuri, Tafsir dan Hadis
Taḥlīl, juz. 5, hlm. 221. Tarbawi (Buku Perkuliahan Fakultas Tarbiyah
19Ibid., hlm. 223. UINSA), UINSA Press, Surabaya, hlm., 97.

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif
Pemikiran Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

bahwa pendidikan sufistik adalah Tujuan Pendidikan Sufistik Menurut


perjalanan hidup manusia menuju Allah Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari
swt dengan meneguhkan sifat-sifat Dalam pendidikan sufistik sulūk,
kehambaannya dan meresapi sifat-sifat tujuan utama adalah menjadi pribadi
ketuhanan Allah swt baginya. Artinya yang sedekat mungkin kepada Allah swt.
pendidikan adalah upaya tanpa henti Dalam istilah Syekh Ibnu Athaillah (dan
hingga ajal untuk menjadi seorang mungkin juga digunakan oleh ulama lain)
hamba yang baik di sisi-Nya, dengan disebut wuṣūl ila Allah, artinya sampai
mengokohkan diri sebagai manusia dan kepada Allah swt. Yang dimaksud wuṣūl
melakukan segala upaya (amal baik) yang yakni sampai pada kesadaran penuh
mungkin untuk dilakukan. atasAllah swt dan sifat-sifat-Nya. Syekh
Secara ilmiah tiap ahli pendidikan mengungkapkan:24
memberi batasan yang berbeda tentang
‫العلم ِب ِه َواال َّ فَ َج َّل َربُّنَا ا َ ْن‬
ِ َ َ‫صولُكَ الَى الل ِه ُوصولُك‬
‫الى‬ ُ ‫ُو‬
belajar.Diantaranya dapat dikemukakan
‫يَتـ َّ ِص َل ِب ِه شَى ٌء او تَتـ َّ ِص َل ه َُو ِبشىء‬
oleh ilmuan barat, yaitu Henry E Garret
yang berpendapat bahwa belajar Artinya : Sampaimu pada-Nya adalah
merupakan proses yang berlangsung sampaimu pada ilmu tentang-
dalam jangka waktu lama melalui latihan Nya.Jika tidak, maka Maha
maupun pengalaman yang membawa Agung Tuhan hingga bisa
kepada perubahan diri dan perubahan dicapai oleh sesuatu (yang
cara mereaksi terhadap suatu rangsangan fana).
tertentu.23
Penggunaan kata ‘perjalanan’ ini Hal ini sejalan dan selaras dengan
mengindikasikan bahwa seorang pencari tujuan hidup seorang Muslim, atau
ilmu adalah seorang pengelana yang bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan
mengarungi jalan panjang. Karena itu pendidikan Islam adalah tujuan hidup
banyak dalam karya beliau, peserta didik Muslim. Ini disebabkan karena
disebut dengan as-sālik yang secara pendidikan dan menuntut ilmu dalam
bahasa artinya orang yang sedang Islam dilaksanakan sepanjang hayat.25
berjalan, juga istilah al-murīd yang artinya
orang yang menghendaki untuk sampai Relevansi Pendidikan Sufistik Ibnu
pada tujuan. Karena itu pendidikan Athaillah
sufistik diistilahkan dengan as-sulūk yang Didalam pandangan pemerintah,
artinya berjalan dan at-ṭarīq yang artinya pendidikan karakter adalahmerupakan
adalah jalan. Kata at-ṭarīq bahkan disebut proses pembudayaan dan pemberdayaan
beliau menjadi salah satu judul karyanya, nilai-nilai luhurdalam lingkungan sekolah,
‘unwān at-taufīq fī adāb at-ṭarīq, artinya lingkungan keluarga dan
tanda pertolongan dalam menjelaskan lingkunganmasyarakat. Nilai-nilai luhur
tatakrama perjalanan. tersebut berasal dari ajaran agama,
Dalam perjalanan panjang ini, Pancasila, UUD 1945, UU nomor 20 tahun
Tuhan memberi rintangan-rintangan yang 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional,
merupakan ujian. Ketika seseorang dapat teori-teori pendidikan, psikologi
melewati satu ujian, dia akan melewati pendidikan, nilai-nilai sosial budaya, serta
ujian berikutnya, dan demikian
seterusnya hingga ajal menjemputnya.
Rintanganitu berupa nafsu dirinya sendiri
dan godaan serta bisikan setan pada
hatinya. 24Ibnu Athaillah as-Sakandari (tt.), al-Ḥikam

al-Aṭāiyah lampiran dalam Ahmad Zarruq, Syarḥ


Page236

Ḥikam Ibn Aṭaillah, hlm. 433


23Bahri (2014), Psikologi Pembelajaran (Buku 25Ahmad Yusam T., Damanhuri (2013), Tafsir

perkuliahan Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UINSA), dan Hadis Tarbawi (Buku Perkuliahan Fakultas
UIN SA Press, Surabaya, hlm. 33. Tarbiyah UINSA), UINSA Press, Surabaya, hlm. 33

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif Pemikiran
Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

pengalaman terbaik dan praktik nyata Mengenai proses pendidikan


dalam kehidupan sehari-hari.26 karakter, Kemendiknas dalam Kerangka
Sedangkan dalam pendidikan sufistik Acuan Pendidikan Karakter menjelaskan
sulūk Syekh Ibnu Athaillah hakikat bahwa konfigurasi karakter dapat
pendidikan sufistik adalah sebuah proses dikelompokan dalam: olah hati (spiritual
and emotional development), olah pikir
yang tujuan akhirnya taqarrub pada Allah (intellectual development), olah raga dan
swt atau menjadi pribadi baik di sisi-Nya. kinestetik (physical and kinestetic
Persamaannya adalah terletak dari development), dan olah rasa dan karsa
pengertian pendidikan itu sendiri yang (affective and Creativity development).
berarti sebuah proses penanaman nilai, Keempat proses psikososial (olah hati, olah
pikir, olah raga, dan olahrasa dan karsa)
meski secara langsung Syekh Ibnu tersebut secara holistik dan koheren
Athaillah tidak menjelaskannya. Yang memiliki saling keterkaitan dan saling
berbeda adalah terletak pada nilai apa yang melengkapi, yang bermuara pada
akan ditanamkan pada peserta didik. Jika pembentukan karakter yang menjadi
dalam pendidikan karakter di Indonesia perwujudan dari nilai- nilai luhur.27
Pendidikan sufistik Syekh Ibnu
tidak hanya nilai-nilai agama, melainkan Athaillah lebih menitik beratkan pada
juga nilai- nilai kebangsaan dan sosial kofigurasi olah hati, olah pikir, dan olah
kemasyarakatan. Sedangkan dalam rasa dan karsa. Sedangkan olah raga dan
pendidikan sufistik nilai-nilai yang akan kinestetik tidak banyak dibahas secara
ditanamkan, baik pada peserta didik (sudut langsung oleh beliau. Hanya saja jika
ditarik dari konsep al-ahwāl, yakni
pandang guru) maupun pada diri sendiri
kesadaran seseorang tentang situasi, baik
(pendidikan dari sudut pandang murid), individu dirinya sendiri maupun situasi dia
adalah nilai- nilai sufistik yang berorientasi dalam komunitasnya, maka olah raga dan
pada upaya menjadi pribadi yang dekat kinestetik dapat dimasukkan di dalamnya.
pada Allah swt. Dari sini dapat dipahami Artinya, olah raga dan kinestetik jika dalam
situasinya memang merupakan suatu
bahwa pendidikan sufistik lebih khusus
kebutuhan, maka dia juga harus
dari pada pendidikan karakter dari sudut mengupayakan hal itu sesuai dengan
pandang isi atau bahan yang akan tuntutan situasi yang dia hadapi.
ditanamkan. Gambar 4: Perbandingan antara
Selain pada perbedaan tentang isi Pendidikan Karakter di Indonesia
nilai, perbedaan lainnya terletak dari sudut dengan Pendidikan Sufistik Sulūk Ibnu
pandang ruang lingkup pendidikan itu Athaillah
sendiri.Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari
menjelaskan bahwa pendidikan adalah tak
ubahnya perjalanan panjang menuju suatu
tujuan.Karena itu pendidikan sufistik tidak
terbatas pada hal- hal bersifat formil,
seperti lembaga pendidikan, jenjang
pendidikan, dan bahan ajar. Hal itu muncul
karena Syekh Ibnu Athaillah memandang
pendidikan dari filosofi eksistensi vertikal,
yakni hakikat pendidikan yang dilihat dari
hubungannya dengan Tuhan.
Page237

27Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi


26Tim Penyusun (2011), Grand Design Kementrian Pendidikan Nasional (2010),
Pendidikan Karakter Bangsa,Kementerian Kerangka Acuan Pendidikan Karakter,Kementrian
Pendidikan Nasional, Jakarta, hlm. 9 Pendidikan Nasional, Jakarta, hlm. 8-9

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif
Pemikiran Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

Bagian kedua dari proses karena perjalanan untuk memperbaiki


pendidikan karakter di Indonesia adalah diri harus tidak pernah terhenti selagi dia
pendekatan dan strategi yang digunakan masih hidup di dunia.
dalam pendidikan karakter. Kemendiknas
merumuskan strategi pendidikan Gambar 4: Perbandingan antara
karakter menjadi dua bagian: intervensi Pendidikan Karakter di Indonesia
dan habituasi. Intervensi adalah dengan Pendidikan Sufistik Sulūk Ibnu
penanaman nilai karakter pada peserta Athaillah
didik secara langsung melalui
pembelajaran, pemodelan dan
penguatan.Sedangkan habituasi adalah
penanaman nilai karakter melalui
lingkungan dengan cara penyusunan
suasana, pembiasaan, dan penguatan.
Sedangkan pendekatan pendidikan
karakter menurut Kemendiknas dilakukan
dengan beberapa model, di antaranya:28
1) keteladanan, 2) pembelajaran, 3)
pemberdayaan dan pembudayaan, 4)
penguatan, 5) penilaian.
Perbedaan paling mendasar
antara pendidikan karakter di Indonesia An-Nahlawi memberikan
dengan pendidikan sufistik Syekh Ibnu pandanganya bahwa tugas pokok guru
Athaillah adalah terletak dari sudut (pendidik) dalam Islam adalah: (1) tugas
pandang pendidikan itu sendiri. Jika pensucian, guru (pendidik) hendaknya
pendidikan karakter di Indonesia lebih mengembangkan dan membersihkan jiwa
berbicara kepada tenaga pendidik atau perseta didik agar dapat mendekatkan
tenaga kependidikan sebagai pengatur diri kepada Allah, menjauhkannya dari
pendidikan, maka pendidikan sufistik keburukan dan menjaganya agar tetap
Syekh Ibnu Athaillah lebihberbicara berada pada fitrahnya, (2) tugas
langsung kepada murid sebagai subjek pengajaran, guru (pendidik) hendaknya
utama pendidikan.Artinya pendidikan menyampaikan berbagai pengetahuan
karakter di Indonesia lebih banyak dan pengalaman kepada peserta didik
menjelaskan apa yang harus atau untuk diterjemahkan dalam tingkah laku
sebaiknya dilakukan oleh tenaga pendidik dan kehidupannya.29
atau tenaga kependidikan, sedang Secara garis besar, tujuan
pendidikan sufistik lebih menjelaskan apa pendidikan sufistik tidak banyak berbeda
yang harus murid lakukan. Karena itulah dengan tujuan pendidikan karakter, yaitu
tidak banyak ditemukan – kalau enggan upayauntuk memanusiakan manusia atau
berkata tidak ada sama sekali – menciptakan manusia seutuhnya sesuai
penjelasan mengenai strategi pendidikan dengan waktu dan tempat dia berada.Di
dalam pendidikan sufistik Syekh Ibnu dalam UU No. 20 2003 disebutkan:
Athaillah. Hal itu dikarenakan pendidikan “Pendidikan nasional berfungsi
dalam pandangan Syekh Ibnu Athaillah mengembangkan kemampuan dan
merupakan sebuah perjalanan panjang membentuk watak serta peradaban
yang tidak berhenti saat seorang peserta bangsa yang bermartabat dalam rangka
didik lulusdari jenjang tertentu. Bahkan mencerdaskan kehidupan bangsa,
bisa dikatakan tidak ada jenjang
pendidikan dalam pendidikan sufistik, 29Abdurrahman an-Nahlawi (2013), Ushul al-
Page238

Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-


28Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Madrasah wa al-Mujtama’ dalam Tafsir dan Hadis
Kementrian Pendidikan Nasional, Kerangka Acuan Tarbawi (Buku Perkuliahan Fakultas Tarbiyah
Pendidikan Karakter, hlm. 14-9 UINSA), UINSA Press, Surabaya, hlm. 70

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif Pemikiran
Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

bertujuan untuk berkembangnya potensi menjadi pribadi yang menyebarkan


peserta didik agar menjadi Marusia yang kebaikan dan menginspirasi orang lain
beriman dan bertakwa kepada Tuhan untuk berbuat baik.
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, Ada lima poin konsep dalam
berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan pendidikan sufistik sulūk, yaitu tiga
menjadi warga negara yang konsep utama: 1) hal- hal negatif (‫)العلل‬,
demokratisserta bertanggungjawab.”30 2) etika sesuai asas ketakwaan (‫)االخالق‬,
dan 3) pengetahuan tentang hidup
Kesimpulan (‫)االمعارف‬, dan dua konsep tambahan: 1)
Pendidikan sufistik menurut Syekh situasi (‫ )االحوال‬dan 2) perbuatan yang
Ibnu Athaillah adalah usaha untuk sejalan dengan empat konsep sebelumnya
mentransofrmasikan nilai- nilai tasawuf (‫)االعمال‬.
dalam perjalanan hidup manusia menuju Dalam pendidikan sufistik sulūk,
Allah swt dengan meneguhkan sifat-sifat tujuan utama adalah menjadi pribadi
kehambaannya dan meresapi sifat-sifat yang sedekat mungkin kepada Allah swt.
ketuhanan Allah swt baginya. Artinya Dalam istilah Syekh Ibnu Athaillah (dan
pendidikan adalah upaya tanpa henti mungkin juga digunakan oleh ulama lain)
hingga ajal untuk menjadi seorang hamba disebut wuṣūl ilaAllah, artinya sampai
yang baik di sisi-Nya, dengan kepada Allah swt. Yang dimaksud wuṣūl
mengokohkan diri sebagai manusia dan yakni sampai pada kesadaran penuh atas
melakukan segala upaya (amal baik) yang Allah swt dan sifat-sifatNya.
mungkin untuk dilakukan. Pendidikan sufistik Syekh Ibnu
Adapun metode yang dijelaskan Athaillah as-Sakandari melihat sudut
oleh Syekh dapat disebut dengan istilah pandang berbeda dari pendidikan
sulūk atau ṭarīq, yang secara bahasa karakter di Indonesia, meski secara
artinya berjalan, karena pendidikan tak aplikatif tidak ada benturan di dalamnya.
ubahnya sebuah perjalanan panjang Jika pendidikan karakter di Indonesia
menuju suatu tempat yang sangat jauh, melihat pendidikan dari arah sosial-
maka bekal dan segala perlengkapan dan kemasyarakatan dan kebangsaan lalu ke
persiapan harus diupayakan sedemikian arah vertikal pada Tuhan, maka
rupa. sebaliknya, pendidikan sufistik
Dalam sulūk, tahapan pendidikan memulainya dari arah vertikal
dibagi menjadi dua fase: marhalah ta’sīs laluhorizontal.
(fase penanaman dan penguatan) dan
marhalah numuww (fase penyebaran Daftar Pustaka
danperkembangan). Fasepenanaman
Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: PT.
dilakukan melalui konsep khumūl
Sygma Examedia Arkanleema, 2012.
(menyendiri dan berpikir), fungsinya
untuk memperkuat diri sebagai seorang As-Sakandari, Ibnu Atha’illah.Al-Hikam
hamba, menjernihkan hatinya, (Kitab Kebijaksanaan Hidup untuk
menstabilkan mentalnya, menguatkan jati Meraih Ridha Ilahi), terj. Imam
diri, dan hal-hal lainyang dibutuhkan Firdaus. Jakarta: Wali Pustaka, 2016.
untuk menjadi pribadi yang matang
sebelum dia memasukifase berikutnya. Asmani, Jamal.Buku Panduan Internalisasi
Sedangkan fasepenyebaran adalah saat Pendidikan Karakter Sekolah.
dia memasuki dunia orang banyak, Jogjakarta: Diva Press, 2010.
berkecimpung dalam urusan sosial
kemasyarakatan dengan berbagai Aunillah, Nurla Isna. Panduan
bidangnya. Saat itu dia diminta untuk Menerapkan Pendidikan Karakter di
Page239

Sekolah. Yogyakarta: Laksana, 2011.


30http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU20

03.pdf, diakses pada Rabu, 10 Mei 2017

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018
Psikosufistik Pendidikan Islam dalam Perspektif
Pemikiran Ibnu Atha’illah…
Oleh: Ahmad Fauzi

Aqib, Kharisudin. An-Nafs.Nganjuk: Ulul Majid, Abdul dan Dian Andayani.


Albab Press, 2010. Pendidikan Karakter Perspektif
Islam.Bandung: Remaja Rosdakarya,
Dahlan, Bayani. Pemikiran Sufistik Syekh 2012.
Muhammad Arsyad Al-
Banjari.Yogyakarta: Pustaka Ilmu, Majid, Abdul. Pendidikan Karakter
2015. Perspektif Islam.Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011.
Dalmeri, Pendidikan untuk Pengembangan
Karakter, Jurnal: Al-Ulum, vol. 14, No. Siswanto.Pendidikan Karakter Berbasis
1, Juni 2014, hlm. 212. Nilai-Nilai Religius, Jurnal Tadrīs
Volume 8 Nomor 1 Juni 2013.
Dinarni, Dian. Pendidikan
KarakterBerbasisTasawuf; Studi Siroj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik
Analisis Kitab ar- Risalah al- Sosial (Mengedepankan Islam sebagai
Qusyairiyah fi Ilm at-Tasawwuf. Tesis: Inspirasi bukan Aspirasi).Jakarta: SAS
UIN SunanKalijaga Yogyakarta, 2015. Foundation / LTN PBNU, 2012

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Santoso, Agus dan Yusria Ningsih, Terapi
Kementrian Pendidikan Nasional. Islam, Surabaya: UINSA Press, 2013
Kerangka Acuan Pendidikan
Karakter. Jakarta: Kementerian Taufik. Tazkiyah Nafs; Konsep Pendidikan
Pendidikan Nasional, 2010. Sufistik dalam Upaya Membangun
Akhlak, Jurnal Tadris, Volume 6, No. 2,
Jalaludin.Psikologi Agama (Memahami Desember 2011.
Perilaku Keagamaan dengan
Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Thohir, Muhamad, Pemahaman Individu,
Psikologi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Surabaya: UINSA Press, 2014.
Persada, 2010.
Thobroni, Ahmad Yusam dan Noviandri
Kemendiknas.Pedoman Pelaksanaan Eko, Al Qudus, Tafsir dan Hadis
Pendidikan Karakter Berdasarkan Tarbawi, Surabaya: IAIN SA Press,
lldan Pengembangan Pusat 2013
Kurikulum dan Perbukuan, 2011.
Ubaidillah dan Yuliyatun, 2014, Suluk Kyai
Kemendiknas.Pedoman Pengembangan Cebolek dalam Konflik
Pendidikan Budaya dan Karakter Keberagamaan dan Kearifan Lokal,
Bangsa. Jakarta: Kemendiknas, 2011. Jakarta, Prenada Media

Khairuddin, Hafid. Pendidikan Sufistik


Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan
Relevansinya terhadap Pendidikan
Islam; Telaah Kitab al-Fath ar-
Rabbani wa al-Fayd ar-Rahmani.
Tesis: UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014.

Lickona, Thomas, Mendidik Untuk


Membentuk Karakter, terj. Jumu
Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi
Page240

Aksara, 2015.

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman


Volume 8, Nomor 2, Agustus 2018

Anda mungkin juga menyukai