Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Paru

Paru-paru adalah organ penting dari respirasi, jumlahnya ada dua, terletak di
samping kanan dan kiri mediastinum, dan terpisah satu sama lain oleh jantung dan
organ lainnya dalam mediastinum. Paru-paru memiliki area permukaan alveolar
kurang lebih seluas 40 m2 untuk pertukaran udara (Faiz & Moffat, 2003).
Karakteristik paru-paru yaitu berpori, tekstur kenyal ringan; mengapung di air, dan
sangat elastis. Permukaan paru-paru halus, bersinar, dan membentuk beberapa daerah
polihedral, yang menunjukkan lobulus organ: masing-masing daerah dibatasi oleh
garis-garis yang lebih ringan (fisura). Paru kanan dibagi oleh fisura transversa dan
oblik menjadi tiga lobus: atas, tengah, dan bawah. Paru kiri memiliki fisura oblik dan
dua lobus (Gray, 2008).

Gambar 2.1. Anatomi paru

Sumber : Sobotta: Atlas Anatomi Manusia (2013)


Setiap paru memiliki bentuk kerucut yang terdiri dari bagian puncak (apeks),
dasar (basis), tiga perbatasan, dan dua permukaan. Puncak (apeks pulmonis) memiliki
permukaan halus dan tumpul. Puncak apeks menonjol ke atas dalam leher sekitar 2,5
cm di atas klavikula. Dasar (basis pulmonis) memiliki permukaan luas, konkaf, dan
terletak di atas diafragma, yang memisahkan paru-paru kanan dari lobus kanan hati,
dan paru-paru kiri dari lobus kiri hati, lambung, dan limpa. Karena diafragma sebelah
kanan lebih tinggi daripada di sisi kiri, kecekungan dasar paru kanan lebih dalam dari
yang di sebelah kiri. Basis pulmonalis paru turun selama inspirasi dan naik selama
ekspirasi (Snell, 2012).

Permukaan mediastinal adalah permukaan medial yang cekung. Pada permukaan


mediastinal terdapat dari hilus pulmonis, yaitu suatu cekungan dimana bronkus,
pembuluh darah, dan saraf yang membentuk radiks pulmonalis masuk dan keluar
paru. Ligamentum pulmonal adalah lipatan ganda yang menghubungkan kedua
lapisan pleura pada hilus paru. Ruang diafragma (base) tergantung dengan
permukaan cembung diafragma dimana di sebelah kanan lebih cekung karena adanya
hati (Snell, 2012).

2.2. Fisiologi Paru

a. Mekanisme Bernapas.

Perubahan ritme kapasitas volume rongga dada dipengaruhi oleh kinerja otot-
otot pernapasan. Pada pernapasan normal, saat inprirasi, otot interkostal eksternal
berkontraksi, tulang kosta dan sternum akan tertarik ke atas, karena tulang kosta
pertama tidak bergerak. Diameter anterior-posterior dari rongga dada bagian atas
akan membesar dan memperbesar diameter transversal rongga dada bagian bawah.
Pada saat inspirasi, diafragma berkontraksi sehingga turun, akibatnya kapasitas
rongga dada meningkat (Faiz & Moffat, 2003). Akibatnya, tekanan antar permukaan
pleura (dalam keadaan normal negatif) menjadi lebih negatif: -2.5 menjadi -6 mmHg,
lalu jaringan elastis pada paru akan meregang, dan paru akan mengembang
memenuhi kapasitas rongga dada. Pada saat ini tekanan udara di alveolus adalah -1,5
mmHg (lebih rendah dari tekanan atmosfir). Udara akan masuk ke dalam alveolus
akibat perbedaan tekanan tersebut.

Sebaliknya, pada saat ekspirasi dalam pernapasan normal, otot interkostal


eksternal akan relaksasi. Tulang kosta dan sternum akan turun. Lebar dan dalamnya
dada akan berkurang. Diafragma akan relaksasi, melengkung naik, panjang rongga
dada akan berkurang. Kapasitas rongga dada akan berkurang. Tekanan antar
permukaan pleura menjadi kurang negatif: dari -6 menjadi -2 mmHg. Jaringan elastis
paru akan kembali ke keadaan semula. Tekanan udara pada alveolus saat ini adalah
+1,5 mmHg (lebih tinggi dari tekanan udara). Udara akan terdorong keluar alveolus.

Gambar 2.2. Aktifitas otot pernafasan saat inspirasi dan ekspirasi


Sumber : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (2011)
Pada keadaan pernafasan paksa, tepatnya saat inspirasi, otot cuping hidung dan
otot glotis akan berkontraksi untuk membantu masuknya udara ke dalam paru-paru.
Otot pada leher akan berkontraksi, tulang kosta pertama akan bergerak ke atas (dan
sternum bergerak naik dan ke depan). Pada saat ekspirasi pada pernapasan paksa, otot
interkostal internal berkontraksi, sehingga tulang kosta akan menurun lebih dari
pernafasan normal. Otot abdominal juga berkontraksi untuk membantu naiknya
diafragma (Sherwood, 2011).

b. Volume dan Kapasitas Paru

Volume tidal: volume udara yang masuk dan keluar selama pernapasan normal.
Volume tidal pada manusia umumnya kurang lebih 500 ml.

Volume cadangan inspirasi (Inspiratory Reserve Volume ,IRV): volume udara


tambahan yang dapat secara maksimal dihirup di atas volume alun napas istirahat.
IRV dicapai oleh kontraksi maksimal diafragma, otot interkostal eksternal, dan otot
inspirasi tambahan. Nilai rerata = 3000 ml.

Kapasitas inspirasi (inspiratory capacity, IC): volume udara maksimal yang


dapat dihirup pada akhir ekspirasi tenang normal (IC = IRV + TV). Nilai rerata =
3500 ml.

Volume cadangan ekspirasi (Expiratory Reserve Volume, ERV): volume udara


tambahan yang dapat secara aktif dikeluarkan dengan mengkontraksikan secara
maksimal otot-otot ekspirasi melebihi udara secara normal dihembuskan secara pasif
pada akhir volume alun napas istirahat. Nilai rerata = 1000 ml.

Volume residual (Residual Volume, RV): volume udara minimal yang tertinggal
di paru bahkan setelah ekspirasi maksimal. Nilai rerata = 1200 ml.

Kapasitas residual fungsional (Functional Residual Capacity, FRC): volume


udara di paru pada akhir ekspirasi pasif normal (FRC = ERV + RV). Nilai rerata =
2200 ml.

Kapasitas vital (Forced Vital Capacity, FVC) volume udara maksimal yang
dapat dikeluarkan dalam satu kali bernapas setelah inspirasi maksimal (VC = IRV +
TV + ERV). Kapasitas ini menggambarkan nilai kapasitas fungsional paru. Nilai
rerata = 4500 ml.
Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume in one
second, FEV1): volume udara yang dapat dihembuskan selama detik pertama
ekspirasi dalam suatu penentuan VC. Normalnya FEV1 adalah sekitar 80% dari VC.
Rasio antara FVC dengan FEV1 sangat berguna untuk menentukan tingkat penyakit
jalan napas (Sherwood, 2011).

GG

Gambar 2.3. Variasi volume paru pada laki-laki dewasa sehat

Sumber : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (2011)

2.3. Penyakit Paru Obstruktif Kronik

2.3.1. Pengertian

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang sering


terjadi yang dapat dicegah ataupun diterapi dengan karakteristik terbatasnya aliran
udara persisten yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi
yang kronik di saluran nafas dan paru-paru terhadap gas ataupun partikel berbahaya
(GOLD, 2014).

2.3.2. Epidemiologi

Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi tertinggi penderita PPOK dengan


umur ≥ 30 tahun, terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah
(8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen. Untuk
Sumatera Utara, prevalensi penderita PPOK adalah 3,6 persen. Menurut karakteristik,
prevalensi PPOK meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sekitar 1,6 persen
penderita PPOK berusia 25-34 tahun. Sedangkan di Amerika, pada tahun 2007
sampai 2009, sekitar 5,1% atau 11,8 juta orang berusia 18 tahun ke atas menderita
PPOK. Angka tersebut berjalan stabil sejak 1998 sampai 2009 (Akinbami & Liu,
2011). Prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan dan lebih
tinggi terjadi di perdesaan dibanding perkotaan. Prevalensi PPOK cenderung lebih
tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan
terbawah (Riskesdas, 2013).

2.3.3. Faktor Risiko

1. Genetik

Genetik sebagai faktor risiko yang pernah di ditemukan adalah defisiensi berat
antitripsin alfa-1, yang merupakan inhibitor dari sirkulasi serin protease. Walaupun
defisiensi antitripsin alfa-1 relevan hanya pada sedikit populasi di dunia, itu cukup
menggambarkan interaksi antara genetik dan paparan lingkungan dapat menyebabkan
PPOK.

Risiko genetik terhadap keterbatasan bernafas telah di observasi pada saudara


atau orang terdekat penderita PPOK berat yang juga merokok, dengan sugesti dimana
genetik dan faktor lingkungan secara bersamaan dapat mempengaruhi terjadinya
PPOK. Gen tunggal seperti gen yang memberi kode matriks metalloproteinase 12
(MMP12) berhubungan dengan menurunnya fungsi paru (GOLD, 2014).

2. Umur dan Jenis Kelamin

Umur sering dikaitkan sebagai faktor risiko PPOK. Masih belum jelas apakah
keadaan fisik yang menurun pada usia tua atau akibat pajanan lingkungan yang secara
kumulatif didapat di sepanjang hidup yang menjadi penyebab PPOK. Sebelumnya,
kebanyakan penelitian menunjukkan prevalensi dan angka mortalitas lebih tinggi
pada pria dibanding wanita. Namun pada data di negara berkembang menunjukkan
bahwa prevalensi penyakit pada pria maupun wanita hampir sama, mungkin akibat
perubahan pola merokok tembakau di masyarakat. Beberapa penelitian juga
memperkirakan wanita lebih mudah terkena efek rokok tembakau dibanding pria
(GOLD, 2014).

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Paru

Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses masa kehamilan, kelahiran, dan


pajanan pada masa kecil dan remaja. Sebuah penelitian besar, secara meta analisis
menemukan hubungan positif antara berat lahir dan FEV 1 pada masa dewasa dan
beberapa menemukan infeksi paru saat anak-anak (GOLD, 2014).

4. Merokok

Di seluruh dunia, merokok merupakan faktor risiko paling umum pada PPOK.
Prevalensi tertinggi gejala gangguan pernafasan dan penurunan fungsi paru terjadi
pada perokok. Angka penurunan FEV1, dan angka mortalitas lebih tinggi didapat pada
perokok dibanding non perokok. Paparan asap rokok pada perokok pasif juga
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pernafasan dan PPOK dengan
peningkatan kerusakan paru akibat partikel dan gas yang masuk.
Pada penelitian yang telah dilakukan di negara-negara Eropa dan Asia,
menunjukkan bahwa adanya hubungan antara merokok dan terjadinya PPOK
menggunakan metode cross-sectional dan cohort (Eisner et al, 2010).

5. Paparan lingkungan kerja

Paparan lingkungan kerja seperti debu organik dan anorganik, bahan kimia,
dan asap dari bahan kimia, tidak begitu dipermasalahkan sebagai faktor risiko PPOK.
Eisner dkk (2010) sudah menemukan cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa
adanya hubungan antara paparan lingkungan kerja dan peningkatan keparahan PPOK.
Hubungan yang konsisten antara paparan lingkungan kerja dan PPOK tersebut sudah
diobservasi dengan penelitian epidemiologi multipel berkualitas tinggi.

6. Polusi udara

Polusi udara di daerah kota dengan level tinggi sangat menyakitkan bagi pasien
PPOK. Penelitian cohort longitudinal menunjukkan bukti kuat tentang hubungan
polusi udara dan penurunan pertumbuhan fungsi paru di usia anak-anak dan remaja.
Hubungan tersebut diobservasi dengan ditemukannya karbon hitam di makrofag pada
saluran pernafasan dan penurunan fungsi paru yang progresif. Hal ini menunjukkan
hal yang masuk akal secara biologi bagaimana peran polusi udara terhadap penurunan
perkembangan fungsi paru (GOLD, 2014).

7. Asma

Asma tidak digolongkan sebagai PPOK karena bersifat reversibel (Ward,


Ward, Leach & Wiener, 2007). Ada hubungan antara asma kronik dengan obstruksi
jalan napas dan percepatan penurunan fungsi paru. Karena obstruksi jalan napas dapat
menyebabkan PPOK, dapat disimpulkan bahwa asma, dengan atau tanpa faktor risiko
tambahan, dapat menjadi predisposisi terjadinya PPOK (GOLD, 2014).
2.3.4. Patofisiologi

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya.

Bronkitis kronik dan emfisema merupakan dua penyakit yang sering


ditemukan bersama-sama pada PPOK. Temuan patologis utama pada bronkitis kronik
adalah hipertrofi kelenjar mukosa bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel
goblet, dengan infiltrasi sel-sel radang dan edema mukosa bronkus. Pembentukan
mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk
kronik yang disertai peningkatan sekresi mukus menyebabkan bronkiolus rusak dan
dindingnya melebar (Wilson, 2012). Pasien bronkitis kronik lanjut mengalami
penurunan dorongan respirasi dan retensi CO 2, yang berhubungan dengan nadi kuat,
vasodilatasi, konfusi, nyeri kepala, flapping tremor, dan edema papil (Ward, Ward,
Leach & Wiener, 2007). Rokok dan polusi udara merupakan predisposisi infeksi
rekuren karena memperlambat aktivitas silia dan fagositosis, sehingga timbunan
mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya melemah.

Alfa1-antiprotease penting sebagai perlindungan terhadap protease yang


terbentuk secara alami. Kekurangan protease ini merupakan faktor penting terjadinya
emfisema. Protease dihasilkan oleh bakteri, PMN, monosit, dan makrofag sewaktu
proses fagositosis berlangsung dan mampu memecah elastin dan makromolekul lain
pada jaringan paru. Normalnya, antiprotease mencegah kerusakan jaringan paru.

Selama inspirasi, lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati


penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu
ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat
menghalangi keluarnya udara. Hilangnya elastisitas dinding bronkiolus pada
emfisema juga dapat menyebabkan kolaps prematur. Dengan dengan demikian udara
terperangkap pada segmen paru yang terkena, akibatnya terjadi pengembangan
(distensi) berlebihan serta penggabungan beberapa segmen alveolus. Pada emfisema
dapat timbul banyak bula (rongga parenkim yang terisi udara dengan diameter lebih
dari 1 cm) yang dapat ataupun tidak saling berhubungan. Bleb (rongga subpleura
yang terisi udara) yang terbentuk akibat ruptura alveoli dapat pecah ke dalam rongga
pleura sehingga menimbulkan pneumotoraks spontan (Wilson, 2012).

2.3.5. Diagnosis

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, lalu pemeriksaan


penunjang.

1. Anamnesis

Diagnosis klinis pada PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang


mengalami sesak napas (dyspnea), batuk kronis atau produksi sputum kronis, mengi
dan riwayat terpapar faktor resiko dari PPOK (Gleadle, 2006). Batuk kronis
merupakan gejala awal pada umumnya, sering diabaikan pasien sebagai gejala karena
dianggap merupakan gejala konsekuensi dari merokok ataupun paparan lingkungan.
Produksi sputum pada penderita PPOK umunya terjadi ketika pasien mengalami
batuk yang kuat (GOLD, 2014). Pada pasien bronchitis kronik, produksi sputum
dialami hampir setiap hari selama 3 bulan atau 2 tahun berturut-turut (Gleadle, 2006).
Dyspnea merupakan penyebab utama keterbatasan dan kekhawatiran pada pasien.
Penilaian kuantitas dyspnea dan hubungannya dengan kualitas kesehatan dan prediksi
mortalitas penderita PPOK dapat diukur menggunakan kuesioner Modified Medical
Research Council scale (mMRC scale) (GOLD, 2014).
Tabel 2.1. Skala sesak menurut Modified Medical Research Council (mMRC)

Skala Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas


Sesak
0 Hanya mengalami sesak saat melakukan aktivitas berat.
1 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat.
2 Berjalan lebih lambat dibandingkan orang-orang seumur saya karena
merasa sesak dan akan berhenti berjalan untuk bernapas saat berjalan.
3 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit.
4 Sesak bila berjalan keluar rumah atau sesak bila mandi atau berpakaian.
(GOLD, 2014)

Pada saat anamnesis kita perlu mempertimbangkan apakah pasien memiliki


riwayat merokok ataupun bekas perokok, baik dengan gejala maupun tanpa gejala
pernafasan. Penentuan derajat merokok dapat dilihat menggunakan indeks Brinkman.
Indeks Brinkman yaitu jumlah batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun. Interpretasi hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut.

Tabel 2.2. Derajat merokok menurut indeks Brinkman

Indeks Brinkman Klasifikasi


0 – 200 Perokok ringan
200 – 600 Perokok sedang
>600 Perokok berat
(PDPI, 2003)

Pertimbangkan kemungkinan pasien pernah terpapar zat iritan yang bermakna


di tempat kerja. Pasien dengan riwayat penyakit emfisema pada keluarga juga perlu
kita pertimbangkan dalam anamnesis pasien PPOK. Faktor predisposisi pada masa
bayi/anak misalnya berat bayi lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas, infeksi
saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara dapat membantu
penegakkan diagnosa kita (PDPI, 2003).

2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi

Terlihat adanya tanda-tanda seperti pursed - lips breathing yaitu sikap


seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang.
Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada
gagal napas kronik. Hal lain yang dapat ditemukan pada inspeksi penderita PPOK
adalah barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding),
penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga, bila
telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema
tungkai. Selain itu tampak juga penampilan pink puffer yaitu gambaran yang khas
pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips
breathing atau blue bloater, yaitu gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita
gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer (PDPI, 2003).

b. Palpasi
Pada emfisema didapati suara fremitus melemah dan sela iga melebar (PDPI,
2003).
c. Perkusi
Pada emfisema, terdengar suara perkusi hipersonor dan batas jantung
mengecil, letak diafragma lebih rendah, dan hepar terdorong ke bawah (PDPI, 2003).
d. Auskultasi
Pada saat auskultasi terdengar suara napas vesikuler normal, atau melemah.
Selain itu terdengar suara ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa. Periode ekspirasi pada pasien PPOK terdengar memanjang dan bunyi
jantung terdengar jauh (PDPI, 2003).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Faal paru
Pemeriksaan rutin faal paru menggunakan spirometri. Dalam hasil
pemeriksaan spirometri akan didapatkan hasil VEP1, VEP1 prediksi, KVP,
VEP1/KVP. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi dalam persen (%) dan
atau VEP1/KVP dalam persen (%). Dinyatakan obstruksi apabila nilai persentase
VEP1(VEP1/VEP1 pred) adalah < 80% dan nilai persentase VEP1 (VEP1/KVP) <
75 %. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Uji bronkodilator dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1
atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK
stabil (PDPI, 2003).
b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar,
diafragma mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance). Pada bronkitis kronik gambaran paru cenderung normal, namun
terdapat corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus (PDPI, 2003).
d. Pemeriksaan bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat.
Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia (PDPI, 2003).
2.3.6. Klasifikasi
Tabel 2.3. Tabel klasifikasi PPOK berdasarkan spirometri
Berat Penyakit Fungsi Paru Hasil Spirometri
Derajat I (Ringan) VEP1/KVP < 70%, VEP1 ≥ 80% prediksi
Derajat II (Sedang) VEP1/KVP < 70%
50% ≤ VEP1 < 80% prediksi
Derajat III (Berat) VEP1/KVP < 70%
30% ≤ VEP1 < 50% prediksi
Derajat IV (Sangat berat) VEP1/KVP < 70%, VEP1 < 30% prediksi
(GOLD, 2014)
2.3.7. Diagnosis banding
Lima penyakit yang menjadi diagnosis banding PPOK adalah asma, sindroma
obstruksi pascatuberkulosis, pneumotoraks, gagal jantung kronik, dan penyakit
obstruksi saluran napas lain misalnya bronkiektasis (PDPI, 2003).
Tabel 2.4. Tabel gejala klinis diagnosis banding PPOK
Diagnosis Gambaran Klinis
PPOK Onset pada usia tua.
Progresifitas simptom lambat.
Riwayat merokok atau terpapar rokok.
Asma Onset pada usia muda (biasanya pada anak-anak).
Gejala berbeda jauh dari hari ke hari.
Gejala memburuk pada pagi atau malam hari.
Alergi, rinitis, dan/atau eczema juga didapati.
Ada riwayat asma pada keluarga.
Penyakit Jantung X-ray dada menunjukkan dilatasi jantung, edema paru.
Kongestif Tes fungsi pulmonal menunjukkan restriksi volume,
bukan terbatasnya aliran udara.
Bronkiektasis Sputum purulen dalam volume besar.
Umumnya berhubungan dengan infeksi bakteri.
Gambaran X-ray/CT dada menunjukkan dilatasi bronkial,
penebalan dinding bronkial.
Tuberkulosis Onset terjadi pada semua umur.
Gambaran X-ray dada menunjukkan infiltrat paru.
Konfirmasi mikrobiologi.
Berada pada daerah prevalensi tinggi tuberculosis.
Bronkiolitis Obliteratif Onset pada usia muda, bukan perokok.
Memiliki riwayat arthritis reumatik atau paparan debu
akut.
Terjadi setelah transplantasi paru atau sumsum tulang.
Gambaran CT pada saat ekspirasi menunjukkan
gambaran hipodens.
Panbronkitis difus Terjadi pada laki-laki dan bukan perokok.
Kebanyakan pasien memiliki sinusitis kronis.
Gmabaran X-ray dada dan HRCT menunjukkan nodul
cenntrilobular difus kecil dan hiperinfalsi.
(GOLD, 2014)
2.3.8. Penatalaksanaan
1. Edukasi
Menurut skala prioritas, edukasi yang pertama adalah berhenti merokok.
(PDPI, 2003). Dokter juga harus berpartisipasi mengatasi kecanduan nikotin yang
dialami perokok. Dalam mempertahankan pasien tidak merokok dalam jangka
panjang, dokter bisa menganjurkan konsumsi nikotin dalam bentuk permen karet,
inhaler, spray, dan tablet sublingual. Dokter harus memberi edukasi tentang dosis
konsumsi yang tepat agar hasilnya optimal. Kontraindikasi pemberian nikotin
tersebut adalah penyakit arteri koroner tidak stabil, ulkus peptikum, dan stroke. Selain
konsumsi nikotin pengganti rokok, dokter juga dapat meresepkan sediaan varenicline
dan bupropion dalam mengatasi kecanduan nikotin (GOLD, 2014).
2. Bronkodilator
Merupakan penatalaksanaan yang meningkatkan FEV1 dan variabel
spirometri lainnya. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
Golongan antikolinergik digunakan pada derajat ringan sampai berat.
Golongan ini bekerja menginhibisi reseptor muskarinik (Chest, 2008). Pada short
acting antikolonergik seperti ipratotrium bromida dan oxitropium bromida, akan
menginhibisi reseptor M2 dan M3. Pada long acting seperti tiotropium, akan
menginhibisi reseptor M3 dan M1 (GOLD, 2014). Disamping sebagai bronkodilator,
antikolinergik juga mengurangi sekresi lendir (PDPI, 2003).
Golongan agonis beta – 2 bekerja mereleaksasi otot polos pernafasan dengan
menstimulasi reseptor beta-2 adrenergik yang akan menghasilkan antagonis
fungsional bronkokonstriksi (GOLD, 2014). Bentuk inhaler digunakan untuk
mengatasi sesak. Peningkatan jumlah penggunaan dapat digunakan sebagai monitor
timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang (long acting) seperti tulobuterol. Bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, namun tidak dianjurkan untuk
penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi berat (PDPI, 2003).
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2 akan memperkuat efek
bronkodilatasi, yang lebih baik karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita (PDPI, 2003).
Golongan xantin dalam bentuk lepas lambat (slow release) digunakan sebagai
pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.
Sediaan teoflin biasanya berguna bagi anak yang tidak dapat menggunakan inhalan
dan orang orang dewasa yang gejala nokturnalnya lebih dominan (Neal, 2006).
Bentuk tablet biasa atau puyer digunakan untuk mengatasi sesak (pelega napas),
bentuk suntikan bolus atau drip digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang harus monitor kadar aminofilin darah (PDPI, 2003).
3. Antiinflamasi
Antiinflamasi digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi. Golongan yang dipilih
umumnya metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan
VEP1 pascabronkodilator yaitu meningkat > 20% dan minimal 250 mg (PDPI, 2003).
4. Antibiotik
Antibiotik diberikan pada pasien yang memiliki riwayat infeksi saluran napas.
Ditandai dengan adanya demam, leukositosis, dan perubahan temuan radiografi
(Chest, 2008). Antibiotik yang digunakan sebagai lini pertama umumnya amoksisilin
dan makrolid. Lini kedua antibiotik diberikan sediaan amoksisilin dan asam
klavulanat, sefalosporin, kuinolon, dan makrolid baru. Jika pasien dalam perawatan di
rumah sakit dapat dipilih sediaan amoksilin dan klavulanat atau sefalosporin generasi
II & III injeksi atau kuinolon per oral dan dikombinasikan dengan yang anti
pseudomonas seperti aminoglikose per injeksi, kuinolon per injeksi, sefalosporin
generasi IV per injeksi (PDPI, 2003).
5. Mukolitik
Mukolitik bekerja mengurangi viskositas sputum dan mengurangi
adhesitivitas untuk membantu ekspektorasi (Chest, 2008). Namun jika dievaluasi
secara keseluruhan, manfaat mukolitik pada PPOK hanya sedikit (GOLD, 2014).
Mukolitik hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena. Walaupun
mukolitik dapat mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin. (PDPI, 2003)
6. Antitusif
Batuk, walaupun sering dikeluhkan pasien, namun dapat menjadi faktor
protektif signifikan. Oleh karena itu, antitusif harus diberikan dengan hati – hati
(GOLD, 2014).
7. Terapi oksigen
Terapi oksigen berkepanjangan (> 15 jam per hari) pada pasien PPOK telah
terbukti meningkatkan daya tahan pasien dengan hipoksemia berat. Indikasi
pemberian terapi oksigen berkepanjangan adalah PaO2 ≤ 7.3 kPa (55 mmHg) atau
SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapinia dikonfirmasi terjadi dua kali dalam
periode tiga minggu. Indikasi lain terapi oksigen berkepanjangan pada PPOK adalah
PaO2 berada diantara 7.3 kPa (55 mmHg) dan 8.0 kPa (60 mmHg) atau SaO 2 berada
di 88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer akibat penyakit gagal jantung
kongestif, atau polisitemia (hematokrit >55%) (GOLD, 2014).
Terapi oksigen jangka panjang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama
bila tidur atau sedang aktivitas. Lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian
oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan
mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada
waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan
aktivitas. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90% (PDPI,
2003).
8. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat
dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU
atau di rumah.Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV),
baik yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi
mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan
NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi (PDPI,
2003).
2.3.9. Komplikasi
Komplikasi dari PPOK adalah adanya gagal napas. Gagal napas kronik dijumpai
hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg, dan pH normal.
Gagal napas akut dan gagal napas kronik ditandai dengan adanya sesak napas dengan
atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun.
Selain gagal napas, infeksi berulang juga menjadi komplikasi PPOK. Pada pasien
PPOK, produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal
ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini sistem imun
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah. Kor
pulmonal juga menjadi komplikasi PPOK yang ditandai oleh P pulmonal pada EKG,
hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan. (PDPI, 2003).

Anda mungkin juga menyukai