Anda di halaman 1dari 14

KAPITA SELEKTA PRODUKSI PERTANIAN

Produksi Pangan Berkelanjutan dan Pengaruh Faktor Sosial

Disusun Oleh:
Putri Nafisah Kirana 20170210008
Mita Dwi Novita Sari 20170210009
Khaerun Nabila 20170210020
Afifah Yasmin 20170210026
Alwi Pratama Arsyad T 20170210029
Nur Rahmi 20170210038
Dugo Prasojo 20170210058

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2020
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi isu


penting dalam pembangunan pertanian Indonesia masa depan mengingat pesatnya
pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan laju pertumbuhan produksi
pertanian dan tingkat konversi lahan pertanian yang semakin tinggi. Hal tersebut
sesuai hasil kesepakatan Konferensi Tingkat TInggi (KTT) Bumi di Rio De
Janero tahun 1992 yang menyepakati suatu paradigma pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) yang menghubungkan aspek
pertumbuhan ekonomi, sosial dan lingkungan. United Nations (UN) mencatat
perkiraan penduduk Indonesia mencapai 248,8 juta jiwa, sedangkan laju produksi
padi sebagai pangan utama penduduk Indonesia pada tahun 2014 hanya sebanyak
70 juta ton dengan tingkat konsumsi beras per kapita 85,5 kg per tahun (Badan
Pusat Statistik, 2013) .Kebutuhan pangan senantiasa meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk. Namun demikian, tidak semua kebutuhan pangan
dapat dipenuhi, karena kapasitas produksi dan distribusi pangan semakin terbatas.
Hal ini menyebabkan ketidakstabilan pangan antara kebutuhan dan
pemenuhannya secara nasional (Purwaningsih, 2008).

Pangan merupakan komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya


manusia yang berkualitas, bahkan menjadi pilar utama bagi pembangunan
nasional yang berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi, sosial dan politik,
dengan demikian ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam
rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang
berkualitas, mandiri dan sejahtera melalui ketersediaan pangan yang cukup, aman,
bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia
dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Indriani, 2015). Pangan menurut
Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumberdaya hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan dan perairan baik yang diolah maupun/tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau 2 pembuatan makanan atau
minuman
II. PEMBAHASAN
A. Kesehatan

Pangan merupakan faktor utama untuk mengoptimalkan kesehatan manusia


dan kelestarian lingkungan di bumi.Akan tetapi, situasi pangan saat ini
mengancam manusia, Tantangan besar yang di hadapi adalah untuk mewujudkan
pola makan sehat dari sistem pangan berkelanjutan bagi penduduk dunia yang
semakin bertambah. Walaupun produksi pangan global umumnya sejalan dengan
pertumbuhan penduduk, lebih dari 820 juta penduduk masih kekurangan pangan,
dan jumlah penduduk yang memiliki pola makan berkualitas rendah atau
mengkonsumsi terlalu banyak pangan bahkan lebih banyak lagi.

Komisi EAT-Lancet mengusulkan batasan produksi pangan global yang harus


dijaga untuk mengurangi risiko dampak negative permanen dan berpotensi
menimbulkan perubahan yang merusak pada sistem  bumi. Secara konseptual,
keterbatasan dunia dalam produksi pangan berdampak pada lingkungan dan
terhadap produksi pangan pada skala global.Upaya untuk mewujudkan sistem
pangan berkelanjutan yang berpotensi mencukupi pola makan sehat bagi
penduduk yang terus bertambah merupakan suatu tantangan yang berat. dampak
lingkungan yang telah dikaji oleh Komisi EAT-Lancet, antara lain:

1. perubahan global menuju pola makan sehat;


2. peningkatan praktik produksi pangan; dan
3. mengurangi kehilangan pangan dan limbah pangan.

Dalam pembangunan dunia menunjukkan bahwa sistem pangan dapat


menyediakan pola makan sehat untuk sekitar 10 miliar penduduk pada tahun 2050
dan tetap dalam safe operating space. Akan tetapi, peningkatan kecil dalam
konsumsi daging merah atau susu sekalipun akan menyulitkan atau menggagalkan
pencapaian target. Analisis menunjukkan bahwa upaya agar sistem pangan tetap
dalam safe operating space memerlukan kombinasi antara perubahan besar
menuju pola yang dominan dengan pangan nabati, pengurangan dramatis dalam
kehilangan pangan dan limbah pangan, dan perbaikan besar dalam praktik
produksi pangan. Pola makan sehat mencakup asupan kalori yang optimal dan
sebagian besar terdiri dari beragam jenis pangan nabati, sedikit pangan hewani,
mengandung lemak tak jenuh (bukan lemak jenuh), dan sedikit biji-bijian olahan,
pangan olahan (highly processed foods) dan gula tambahan.

B. Gender

Ketahanan   pangan   mengandung   arti   memiliki pangan yang cukup untuk


mempertahankan kehidupan yang sehat dan produktif, baik hari ini maupun  di 
masa  mendatang. Perbedaan gender terhadap ketahanan pangan sangat
berpengaruh memiliki   ketahanan   pangan   apabila semua anggota keluarga
memiliki akses terhadap makanan dalam jumlah yang cukup dan  mutu  yang
baik,  dengan  harga  terjangkau, dapat  diterima  dan  selalu  tersedia  secara
lokal/dalam negeri secara berkelanjutan. Perempuan adalah aktor kunci dalam
pencapaian ketahanan pangan rumah tangganya. Salah satu alasannya adalah
ketahanan pangan merupakan bagian dari peranan reproduktif. peranan
reproduktif perempuan berkembang pada ketahanan pangan dan nutrisi rumah
tangganya secara keseluruhan dan tidak terbatas hanya pada anak-anak. Produksi
ketahanan pangan dan nutrisi rumah tangga terdiri dari beberapa aktivitas yang
saling terkait, yaitu budidaya tanaman pangan, pengadaan pangan, pengumpulan
dan penukaran, persiapan dan pengolahan pangan, dan akhirnya distribusi pangan.
Mendapatkan atau mengakses sumberdaya yang memungkinkan melaksanakan
aktivitas tersebut juga merupakan tugas wanita. Namun demikian kendala
lingkungan dan sosial yang menghambat wanita dalam mengakses cukup
sumberdaya untuk melaksanakan aktivitasaktivitas tersebut dalam sistem pangan
menimbulkan permasalahan serius bagi wanita untuk melaksanakan tanggung
jawab reproduktif mereka dan sering berakibat pada buruknya kondisi nutrisi anak
(Aprodev dalam Sukiyono, 2008).

Perempuan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya konsumsi


bahan pangan pada tingkat rumah tangga, diolah dan dipersiapkan sebagai
hindangan bagi keluarganya. Besar kecilnya anggaran dalam merencanakan,
mengolah, mempersiapkan dan menghidangkan bahan pangan juga menjadi dasar
bagi seorang perempuan (ibu rumah tangga) dalam upaya memperbaiki kualitas
pangan yang dikonsumsi. Dalam kesenjangan gender dapat diperhatikan
diantaranya:
1. Akses Perempuan Kepala Rumah Tangga (PKRT) terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi, fasilitas/ dana bantuan dan
pelatihan/peningkatan kapabilitas dalam rangka pemberdayaan ketahanan
pangan masyarakat lebih rendah dibanding Lelaki KepalaRumah Tangga
(LKRT);
2. Laki-laki memiliki kontrol terhadap sumberdaya lahan dan sarana
prasarananya yang lebih tinggi dibanding perempuan;
3. Anggota kelompok afinitas (berdasarkan tempat tinggal) pada umumnya
laki-laki, sehingga merekalah yang lebih banyak berpartisipasi mengikuti
pembinaan dan diskusi dengan petugas setempat;
4. Dikarenakan masarakat pedesaan yang terdata umumnya laki-laki, maka
pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat cenderung lebih
dimanfaatkan oleh petani laki-laki.
Kesenjangan antara laki-laki dengan perempuan tersebut disebabkan oleh :
1.      Kesenjangan internal:
a)      para pengambil keputusan/ kebijakan belum memahami tentang isu
gender dan belum dilakukan pendataan terpilah antara peserta laki-laki dan
perempuan dalam pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat serta
analisis gender yang baku;
b)      belum semua petugas baik di pusat maupun daerah mengetahui
kegiatan responsif gender secara baik;
c)      issue gender belum dianggap sebagai issue penting yang perlu
ditangani secara serius oleh personil yang merencanakan maupun yang
melaksanakan program/ kegiatan khususnya pemberdayaan ketahanan
pangan masyarakat dalam rangka pemantapan ketahanan pangan keluarga;
d)     aparat di tingkat lapangan kurang mendorong keadilan dan kesetaraan
gender dalam pelaksanaan kegiatan.

2.      Kesenjangan eksternal:
a) Masih kuatnya persepsi yang bias gender di kalangan masyarakat dimana
Kepala Rumah Tangga adalah laki-laki, sedangkan perempuan berperan
dalam urusan rumah tangga;
b) Motivasi perempuan untuk mengikuti peningkatan kapabilitas dalam
ketahanan pangan keluarga yang difasilitasi pemerintah masih rendah
karena perempuan lebih memfokuskan urusannya pada rumah tangga;
c) Adanya anggapan bahwa kepentingan dan kebutuhan perempuan (ibu
rumah tangga) cukup diwakilkan kepada Kepala Keluarga (laki-laki);
d) Adanya anggapan bahwa manfaat bagi Kepala Keluarga (laki-laki) juga
dinikmati oleh ibu rumah tangga (perempuan).

C. Tradisi

Pertanian di Indonesia yang diawali dari pola pertanian skala kecil yang
merupakan awal mula sejarah pertanian di Indonesia yang hanya berdasarkan
luasan kecil berupa ladang, sawah dan pekarangan yang cukup untuk kebutuhan
keluarga yang tersimpan dalam lumbung dan hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Meskipun dengan pola pertanian konvensional skala kecil,
namun hasil pertanian tersebut masih dianggap mampu memenuhi kebutuhan
keluarga. Hal tersebut karena kesadaran masyarakat akan kebutuhan hidup yang
bergantung pada hasil tani. Sehingga kebutuhan harian bahkan musiman akan
selalu terpenuhi dengan adanya pasokan (lumbung) dari hasil pertanian. Dengan
demikian kesadaran untuk selalu berhemat akan menjaga ketersediaan pangan
yang terjaga untuk keluarga bahkan untuk masyarakat desa.

Tradisi pertanian yang selalu menjaga kelestarian dan keberlangsungan hidup


keluarga dan bermasyarakat tersebut saat ini nampaknya sudah harus kembali
digalakkan. Seperti halnya tradisi Leuit yang terdapat di Kampung Sarongge,
Cisarua, Bogor. Masyarakat disana masih menggunakan lumbung padi sebagai
sarana pertanian untuk menjaga pasokan gabah hasil panen maupun penyimpanan
benih unggul yang disiapkan untuk musim tanam berikutnya. Hal tersebut
berlangsung sejak lama dan turun temurun sekaligus menjadi bukti kedaulatan
pangan di tingkat petani lokal. Banyak tradisi yang ada di Indonesia yang dapat
mempengaruhi angka produksi yang berkelanjutan. Tradisi tersebut yaitu sebagai
berikut :
1. Tradisi Ngarot
Ngarot adalah upacara adat yang terdapat di Desa Lelea, Kecamatan Lelea,
Provinsi Jawa Barat. Tradisi Ngarot memiliki arti ucapan syukur terhadap
datangnya musim tanam. Tradisi Ngarot bermaksud mengumpulkan para
pemuda-pemudi untuk diajarkan pertanian sejak dini, kemudian dalam tradisi
ini mengatur mengenai aturan panen yang hanya dilakukan sebanyak dua kali
dalam satu tahun. Selain itu, bagi masyarakat Lelea, ngarot merupakan suatu
pengingat untuk menjaga pertanian yang ada dengan tidak mengalihfungsikan
persawahan yang ada.
2. Tradisi Pertanian Kesepuhan Ciptagelar
Kampung Ciptagelar yang terletak di wilayah Taman Nasional Gunung
Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat. Warga kesepuhan adalah masyarakat
adat yang bersandar kepada budidaya padi. Banyak ritual yang dilakukan oleh
warga kesepuhan, terutama dalam proses pembudidayaan tanaman padi, ritual
yang dilakukan diantaranya yaitu upacara membuka ladang, upacara ngaseuk,
upacara mipit (upacara pendahuluan sebelum dilakukan panen pertama,
upacara seren taun (Upacara adat pasca panen), upacara nganyaran (makan
nasi pertama kali dari hasil panen), dan upacara ngahudangkeun
(membangunkan padi yang telah didiukeun di dalam leuit sebelum
dipergunakan oleh pemilik leuit.
Dalam pengelolaan ekkosistem, masyarakat adat kesepuhan mengenal tiga
jenis kawasan yaitu leweunng titipan, leweung tutupan, dan leweung bukaan.
Siklus panen padi di kesepuhan hanya dilakukan satu kali setahunnya selama
5-6 bulan untuk selebihnya diistirahtkan. Masyarakat adat percaya bahwa
tanah perlu dipulihkan, dikembalikan untuk mencapai keseimbangan dan
keselarasan alam.
Dari kedua contoh tradisi yang ada, baik tradisi ngarot maupun tradisi
masyarakat kesepuhan semuanya merupakan upaya untuk melakukan
produksi pertanian yang berkelanjutan. Entah dari generasi muda yang harus
meneruskan bertani ataupun pengaturan waktu tanam yang memperhatikan
kualitas lahan pertanian.
D. Sosial

Dalam hubungan dengan sistem produksi tanaman, faktor sosial yang dapat
dilakukan ialah seperti pendidikan petani, kelembagaan. Pada kehidupan
komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian
pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay dalam suatu
komunitas. Kelembagaan pertanian juga memiliki titik strategis (entry point)
dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya
yang ada di pedesaan perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan
profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompok tani). Kelembagaan petani
merupakan lembaga yang ditumbuh kembangkan dari, oleh dan untuk petani guna
memperkuat kerjasama dalam memperjuangankan kepentingan petani dalam
bentuk kelompoktani dan gabungan kelompok tani. Kelompok tani secara tidak
langsung dapat dipergunakan sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan
produktivitas usaha tani melalui pengelolaan usaha tani secara bersamaan.
Kelompok tani juga digunakan sebagai media belajar organisasi dan kerjasama
antar petani. Dengan adanya kelompok tani, para petani dapat secara bersama-
sama memecahkan permasalahan yang ada, misalnya pemenuhan sarana produksi
pertanian, teknis produksi maupun pemasaran hasil. Kelompok tani sebagai
wadah organisasi dan kerjasama antar anggota mempunyai peran yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat tani, sebab segala kegiatan dan
permasalahan dalam berusahatani dilaksanakan oleh kelompok secara bersamaan.
Melihat potensi tersebut, maka kelompok tani perlu dibina dan diberdayakan lebih
lanjut agar dapat berkembang secara optimal (Turindra, 2009). Faktor umur
sangat erat kaitannya dengan produktivitas kerja, jika seseorang masih berada
dalam umur produktif produktivitasnya cenderung tinggi dan mudah menerima
informasi. Semakin tinggi usia maka akan rendah produktivitas kerjanya.
Sebaliknya semakin rendah usia maka akan semakin tinggi produktivitas kerjanya
(Pandapotan, 2013).

Terdapat perbedaan perilaku antara petani berpendidikan tinggi dengan petani


berpendidikan rendah yaitu dalam aspek produksi dan sosial. Namun demikian,
pendidikan formal bukan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi
perilaku bertani, perilaku bertani masyarakat juga dipengaruhi oleh pendidikan
non formal, lingkungan, dan budaya masyarakat setempat. Rendahnya tingkat
pendidikan formal seorang petani bisa ditutup dengan keaktifan dia dalam
mengikuti pendidikan non formal (contoh: penyuluhan) dan lingkungan yang
mendukung. Lingkungan disini ditunjukkan dengan adanya kelompok tani yang
maju, budaya gotong royong (saling membantu) yang tinggi dan lain sebagainya
(Saparyati, 2008). Mayoritas responden mempunyai pekerjaan utama sebagai
petani (88,57%) sisanya bekerja disektor swasta (pertanian hanya sebagai
sampingan). Usaha pertanian yang utama diusahakan adalah petani tanaman
pangan, sedangkan usaha perkebunan cengkeh, kelapa, pala dan tanaman sayuran
umumnya diusahakan secara sambilan. Namun demikian terkadang penghasilan
dari usaha sambilan tersebut cenderung lebih besar daripada pekerjaan utamanya.

Kelompok tani belum dapat memerankan perannya sebagai organisasi usaha


tani yang bertujuan untuk mengembangkan usaha, meningkatkan inovasi dan
perluasan pemasaran. Seperti halnya gapoktan, pada dasarnya pembentukan
gapoktan adalah sebagai gateway institution yang menjadi penghubung antara
petani satu desa dengan petani-petani lainnya. Longgarnya eksistensi kelompok
tani dan gapoktan saat ini ditengarai karena beberapa alasan diantaranya; belum
adanya visi kepentingan yang sama diantara anggota, belum adanya kader tani
yang berdedikasi dalam menggerakan petani lainnya, dan aspek leadership yang
masih kurang. Padahal kalau kita mengacu kepada konsep pengembangan dan
penumbuhan kelompok tani, salah satu aspek yang diperhatikan adalah bahwa
aktivitas kelompok tani harus berdiri diatas kepentingan seluruh anggotanya.
Kegiatan-kegiatan dalam kelompok tani yang dikelola akan tergantung kepada
kesepakatan anggotanya. Bisa didasarkan kepada jenis usaha, dan unsur-unsur
sektor kegiatan usaha misalnya, penyediaan input, pemasaran, atau pengolahan
hasil panen. Dalam penumbuhan kelompok tani biasanya akan memperhatikan
kondisi kesamaan kepentingan, faktor sumberdaya alam, sosial ekonomi, dan
keserasian. Sehingga dapat menjadi faktor pengikat untuk kelestarian hidup
kelompok, dimana setiap orang akan merasa memiliki dan menikmati manfaat
dari kehadiran kelompok tani (Hendayana, 2011). Secara umum petani tidak
mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan usahatani pangan yang
menguntungkan. Hal tersebut disebabkan karena ketersediaan informasi alternatif
usahatani tanaman pangan yang menguntungkan relatif terbatas. Keterbatasan
tersebut disebabkan oleh kemampuan petani, informasi inovasi dan perencanaan
pola tanam pada usahatani tanaman pangan yang lemah. Solusi menghadapi
permasalahan tersebut yaitu dengan memberdayakan kelompok tani di pedesaan
sehingga dengan adanya lembaga ini dapat menyiapkan segala informasi yang
dibutuhkan oleh petani (Ramadhani et al., 2012).

E. Kultur
Mayoritas masyarakat Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan pokok,
jika belum memakan beras yang selanjutnya diolah menjadi nasi, banyak orang
yang merasa belum makan ataupun tidak kenyang. Beberapa daerah di Indonesia
yang jauh dari dataran rendah biasanya memiliki komoditas lain yang menjadi
makanan pokok, seperti ubi kayu, jagung, dll.
Jumlah penduduk yang kian bertambah disandingkan dengan permintaan yang
tidak sebanding dengan penawaran beras menjadi kendala utama. Banyak orang
telah mencoba untuk beralih dari beras dengan mengolah makanan pokok lainnya
seperti ubi kayu dan jagung pun masih banyak yang selalu memilih beras. Padahal
ubi kayu menjadi komoditas yang mengalamu peningkatan laju pertumbuhan
yang paling signifikan yaitu 33,73%. Seperti pada tabel berikut

Hasil studi Harya dalam Ariani (2003) menjelaskan bahwa belum optimalnya
diversifikasi pangan salah satunya yaitu karena terdapat faktor psikologis yang
sangat mempengaruhi. Faktor-faktor psikologis tersebut yaitu budaya makan nasi
yang sulit diubah, merasa belum makan jika belum makan nasi. Perasaan gengsi
karena beras menjadi indikator kesejahteraan masyarakat, dan rasa nasi yang
cocok di lidah masyarakat Indonesia.

Segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan


yang dimiliki oleh masyarakat itu (Herskovit, 2004). Budaya merupakan faktor
penentu yang paling dasar dari keinginan dan perilaku manusia umumnya
dipelajari.
Faktor budaya yang diduga mempengaruhi konsumsi pangan masyarakat
merupaan penyesuaian seseorang terhadap budaya-budaya baru yaitu
mengonsumsi pangan non-beras yang dicanangkan oleh pemerintah. Pola
konsumsi pangan sangat dipengarugi oleh adat istiadat setempat, termasuk
didalamnya pengatahuan mengenai pangan, sikap terhadap pangan dan kebiasaan
makan. Faktor budaya memberikan pengaruh paling luas dalam presepsi
konsumen.
Perilaku konsumsi pangan masyarakat dilandadu oleh kebiasaab makan (food
habit) yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga melalui proses
sosialisasi. Kebiasaan makan tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan ekologi
(ciri tanaman pangan, ternak, dan ikan yang tersedia dan dapat dibudidayakan
setempat), lingkungan budaya dan sistem ekonomi (Suhardjo, 2003).
KESIMPULAN

Faktor sosial dapat berpengaruh terhadap produksi pangan berkelanjutan


diantaranya seperti : gender, kesehatan, tradisi, sosial, dan budaya
mempengaruhi produksi pangan di masa yang akan dating.
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M dan Ashari. 2003. Arah, Kendala, dan Pentingnya Doversifikasi


Konsumsi Pangan Indonesia. Forum Agro Ekonomi. Vol 21, No. Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Padi Menurut Provinsi di Seluruh
Indonesia. www.bps.go.id
Hendayana, D. 2011. Melembagakan Kelembagaan Petani Pedesaan.
https://dhkangmas.wordpress.com. Diakses 2 Maret 2020.
Herskovits, Melville J. dan Frances S., 1958. Dahomean Narrative: A
Crosscultural Analysis.Northwestern University African Studies, No. 1.
Evanston,III.: Northwestern Univ. Press.
Indriani, Y. 2015. Gizi dan Pangan (Buku Ajar). Aura. Bandar Lampung.
Pandapotan, E.T. 2013. Pengaruh Variabel Pendidikan, Upah, Masa Kerja dan
Usia Terhadap Produktivitas Karyawan (Studi Kasus Pada PT. Gandum
Malang).
Purwaningsih, Y. e. (2008). Ketahanan Pangan : Situasi, Permasalahan, Kebijakan
dan Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal ekonomi Pembangunan. Balai
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Unversitas
Muhammadiyah Surakatra. Surakarta, Vol. 9 No. 1 Hal 1-27.
Ramadhani, dkk. 2012. Masalah dan Faktor Keberhasilan dalam Usaha Tani.
https://justkie.wordpress.com. Diakses 2 Maret 2020.
Saparyati, D.I. 2008. Kajian Peran Pendidikan Terhadap Pembangunan Pertanian
di Kabupaten Demak. Tesis. Program Pasca Sarjana Magister Teknik
Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro. Jawa Tengah.

Suhardjo. 2003. Berbagai cara pendidikan gizi. Jakarta. Bumi Aksara

Turindra, A. 2009. Pengertian Kelompok Tani. http://turindraatp.blogspot.co.id.


Diakses 2 Maret 2020.

Anda mungkin juga menyukai