Disusun Oleh:
Putri Nafisah Kirana 20170210008
Mita Dwi Novita Sari 20170210009
Khaerun Nabila 20170210020
Afifah Yasmin 20170210026
Alwi Pratama Arsyad T 20170210029
Nur Rahmi 20170210038
Dugo Prasojo 20170210058
A. Latar Belakang
B. Gender
2. Kesenjangan eksternal:
a) Masih kuatnya persepsi yang bias gender di kalangan masyarakat dimana
Kepala Rumah Tangga adalah laki-laki, sedangkan perempuan berperan
dalam urusan rumah tangga;
b) Motivasi perempuan untuk mengikuti peningkatan kapabilitas dalam
ketahanan pangan keluarga yang difasilitasi pemerintah masih rendah
karena perempuan lebih memfokuskan urusannya pada rumah tangga;
c) Adanya anggapan bahwa kepentingan dan kebutuhan perempuan (ibu
rumah tangga) cukup diwakilkan kepada Kepala Keluarga (laki-laki);
d) Adanya anggapan bahwa manfaat bagi Kepala Keluarga (laki-laki) juga
dinikmati oleh ibu rumah tangga (perempuan).
C. Tradisi
Pertanian di Indonesia yang diawali dari pola pertanian skala kecil yang
merupakan awal mula sejarah pertanian di Indonesia yang hanya berdasarkan
luasan kecil berupa ladang, sawah dan pekarangan yang cukup untuk kebutuhan
keluarga yang tersimpan dalam lumbung dan hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Meskipun dengan pola pertanian konvensional skala kecil,
namun hasil pertanian tersebut masih dianggap mampu memenuhi kebutuhan
keluarga. Hal tersebut karena kesadaran masyarakat akan kebutuhan hidup yang
bergantung pada hasil tani. Sehingga kebutuhan harian bahkan musiman akan
selalu terpenuhi dengan adanya pasokan (lumbung) dari hasil pertanian. Dengan
demikian kesadaran untuk selalu berhemat akan menjaga ketersediaan pangan
yang terjaga untuk keluarga bahkan untuk masyarakat desa.
Dalam hubungan dengan sistem produksi tanaman, faktor sosial yang dapat
dilakukan ialah seperti pendidikan petani, kelembagaan. Pada kehidupan
komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian
pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay dalam suatu
komunitas. Kelembagaan pertanian juga memiliki titik strategis (entry point)
dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya
yang ada di pedesaan perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan
profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompok tani). Kelembagaan petani
merupakan lembaga yang ditumbuh kembangkan dari, oleh dan untuk petani guna
memperkuat kerjasama dalam memperjuangankan kepentingan petani dalam
bentuk kelompoktani dan gabungan kelompok tani. Kelompok tani secara tidak
langsung dapat dipergunakan sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan
produktivitas usaha tani melalui pengelolaan usaha tani secara bersamaan.
Kelompok tani juga digunakan sebagai media belajar organisasi dan kerjasama
antar petani. Dengan adanya kelompok tani, para petani dapat secara bersama-
sama memecahkan permasalahan yang ada, misalnya pemenuhan sarana produksi
pertanian, teknis produksi maupun pemasaran hasil. Kelompok tani sebagai
wadah organisasi dan kerjasama antar anggota mempunyai peran yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat tani, sebab segala kegiatan dan
permasalahan dalam berusahatani dilaksanakan oleh kelompok secara bersamaan.
Melihat potensi tersebut, maka kelompok tani perlu dibina dan diberdayakan lebih
lanjut agar dapat berkembang secara optimal (Turindra, 2009). Faktor umur
sangat erat kaitannya dengan produktivitas kerja, jika seseorang masih berada
dalam umur produktif produktivitasnya cenderung tinggi dan mudah menerima
informasi. Semakin tinggi usia maka akan rendah produktivitas kerjanya.
Sebaliknya semakin rendah usia maka akan semakin tinggi produktivitas kerjanya
(Pandapotan, 2013).
E. Kultur
Mayoritas masyarakat Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan pokok,
jika belum memakan beras yang selanjutnya diolah menjadi nasi, banyak orang
yang merasa belum makan ataupun tidak kenyang. Beberapa daerah di Indonesia
yang jauh dari dataran rendah biasanya memiliki komoditas lain yang menjadi
makanan pokok, seperti ubi kayu, jagung, dll.
Jumlah penduduk yang kian bertambah disandingkan dengan permintaan yang
tidak sebanding dengan penawaran beras menjadi kendala utama. Banyak orang
telah mencoba untuk beralih dari beras dengan mengolah makanan pokok lainnya
seperti ubi kayu dan jagung pun masih banyak yang selalu memilih beras. Padahal
ubi kayu menjadi komoditas yang mengalamu peningkatan laju pertumbuhan
yang paling signifikan yaitu 33,73%. Seperti pada tabel berikut
Hasil studi Harya dalam Ariani (2003) menjelaskan bahwa belum optimalnya
diversifikasi pangan salah satunya yaitu karena terdapat faktor psikologis yang
sangat mempengaruhi. Faktor-faktor psikologis tersebut yaitu budaya makan nasi
yang sulit diubah, merasa belum makan jika belum makan nasi. Perasaan gengsi
karena beras menjadi indikator kesejahteraan masyarakat, dan rasa nasi yang
cocok di lidah masyarakat Indonesia.