Anda di halaman 1dari 4

Kata-kata "makhluk (bentuk) lain” (khalqan akhar) yang terkandung dalam ayat di atas mengindikasikan

betapa manusia sebagai makhluk individu memiliki ciri-ciri khas, yang berbeda satu sama lain. Sejak
zaman Nabi Adam, manusia pertama ciptaan Allah, hingga saat ini tidak ditemukan seorang yang
memiliki bentuk persis sama, meskipun masih dalam keturunan yang satu.

Jadi, setiap manusia, apakah ia berada dalam suatu kelompok ataukah seorang diri, ia disebut individu.
Individu menunjukkan kedudukan seseorang sebagai perseorangan atau persona. Sebagai orang
perorangan, individu memiliki sifat-sifat atau karakteristik yang menjadikannya berbeda dengan individu
lainnya. Perbedaan inilah yang disebut dengan perbedaan individual (individual differences). [4]

Dibawah ini akan dijelaskan beberapa perbedaan individual peserta didik:

1. Perbedaan fisik-motorik

Perbedaan individual dalam fisik tidak hanya terbatas pada aspek-aspek yang teramati oleh pancaindra,
seperti: bentuk atau tinggi badan, warna kulit, warna mata atau rambut, jenis kelamin, nada suara atau
bau keringat, melainkan juga mencakup aspek-aspek fisik yang tidak dapat diamati melalui pencaindra,
tetapi hanya dapat diketahui setelah diadakan pengukuran, seperti usia, kekuatan badan atau kecepatan
lari, golongan darah, pendengaran, penglihatan, dan sebagainya.

Aspek fisik lain dapat dilihat dari kecakapan motorik, yaitu kemampuan melakukan koordinasi kerja
sistem saraf motorik yang menimbulkan reaksi dalam bentuk gerakan-gerakan atau kegiatan secara
tepat, sesuai antara rangsangan dan responssnya. Dalam hal ini, akan ditemui ada anak yang cekatan
dan terampil, tetapi ada pula anak yang lamban dalam mereaksi sesuatu.

Perbedaan aspek fisik juga dapat dilihat dari kesehatan peserta didik, seperti kesehatan mata dan
telinga yang berkaitan langsung dengan penerimaan materi pelajaran di kelas. Dalam hal kesehatan
mata misalnya, akan ditemui adanya peserta didik yang mengalami gangguan penglihatan, seperti:
rabun jauh, rabun dekat, rabun malam, buta warna, dan sebagainya. Sedangkan dalam hal kesehatan
telinga, akan ditemui adanya peserta didik yang mengalami penyumbatan pada saluran liang telinga,
ketegangan pada gendang telinga, terganggunya tulang-tulang pendengaran, dan sebagainya.[5]

2. Perbedaan Intelegensi

Inteligensi adalah salah satu kemampuan mental, pikiran atau intelektual dan merupakan bagian dari
proses-proses kognitif pada tingkatan yang lebih tinggi. Secara umum inteligensi dapat dipahami sebagai
kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi yang baru secara cepat dan efektif, kemampuan untuk
menggunakan konsep yang abstrak secara efektif, dan kemampuan untuk memahami hubungan dan
mempelajarinya dengan cepat.

Dalam proses pendidikan di sekolah, inteligensi diyakini sebagai unsur penting yang sangat menentukan
keberhasilan belajar peserta didik. Namun inteligensi merupakan salah satu aspek perbedaan indi-vidual
yang perlu dicermati. Setiap peserta didik memiliki inteligensi yang berlainan. Ada anak yang memiliki
inteligensi tinggi, sedang dan rendah. Untuk mengetahui tinggi rendahnya inteligensi peserta didik, para
ahli telah mengembangkan instrumen yang dikenal dengan "tes inteligensi”, yang kemudian lebih
populer dengan istilah Intelligence Quotient, disingkat IQ. Berdasarkan hasil tes inteligensi ini, peserta
didik dapat diklasifikasikan sebagai:

a. Anak genius IQ di atas 140

b. Anak pintar 110-140

c. Anak normal 90-110

d. Anak kurang pintar 70-90

e. Anak debil 50-70

f. Anak dungu 30-50

g. Anak idiot IQ di bawah 30

Dengan adanya perbedaan individual dalam aspek inteligensi ini, maka guru di sekolah akan mendapati
anak dengan kecerdasan yang luar biasa, anak yang mampu memecahkan masalah dengan cepat,
mampu berpikir abstrak dan kreatif. Sebaliknya, guru juga akan menghadapi anak-anak yang kurang
cerdas, sangat lambat dan bahkan hampir tidak mampu mengatasi suatu masalah yang mudah
sekalipun.[6]

3. Perbedaan kecakapan bahasa

Bahasa merupakan salah satu kemampuan individu yang sangat penting dalam proses belajar di sekolah.
Kemampuan berbahasa adalah kemampuan seseorang untuk menyatakan buah pikirannya dalam
bentuk ungkapan kata dan kalimat yang bermakna, logis dan sistematis.

Kemampuan berbahasa anak berbeda-beda, ada anak yang dapat berbicara dengan lancar, singkat dan
jelas, tetapi ada pula anak yang gagap, berbicara berbelit-belit dan tidak jelas.

Perbedaan individual dalam perkembangan dan kecakapan bahasa anak ini telah menjadi wilayah
pengkajian dan penelitian yang menarik bagi sejumlah psikolog dan pendidik. Banyak penelitian
eksperimental telah dilakukan untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan dalam penguasaan bahasa anak. Dari sejumlah hasil penelitian tersebut diketahui bahwa
faktor nature dan nurture (pembawaan dan lingkungan) sangat mempengaruhi perkembangan bahasa
anak. Berhubung faktor-faktor nature dan nurture individu itu bervariasi, maka pengaruhnya terhadap
perkembangan bahasa juga bervariasi. Karena itu, tidak heran kalau antara individu yang satu dan
individu lainnya berbeda dalam kecakapan bahasanya. Perbedaan kecakapan berbahasa anak ini sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor kecerdasan, pembawaan, lingkungan, fisik, terutama
organ bicara, dan sebagainya.[7]

4. Perbedaan psikologis
Perbedaan individual peserta didik juga terlihat dari aspek psikologisnya. Ada anak yang mudah
tersenyum, ada anak yang gampang marah, ada yang beijiwa sosial, ada yang sangat egoistis, ada yang
cengeng, ada yang pemalas, ada yang rajin, ada yang pemurung, dan sebagainya.

Dalam proses pendidikan di sekolah, perbedaan aspek psikologis ini sering menjadi persoalan, terutama
aspek psikologis yang menyangkut masalah minat, motivasi dan perhatian peserta didik terhadap materi
pelajaran yang disajikan guru. Dalam penyajian suatu materi pelajaran guru sering menghadapi
kenyataan betapa tidak semua peserta didik yang mampu menyerapnya secara baik. Realitas ini
mungkin disebabkan oleh cara penyampaian guru yang kurang tepat atau menarik, dan mungkin pula
disebabkan oleh faktor psikologis peserta didik yang kurang memperhatikan. Secara fisik mungkin
terlihat bahwa perhatian peserta didik terarah pada pembicaraan guru. Namun secara psikologis,
pandangan mata atau kondisi tubuh mereka yang terlihat duduk dengan rapi dan tenang belum dapat
dipastikan bahwa mereka memperhatikan semua penjelasan guru. Bisa saja pandangan mata anak
hanya terarah pada gerak, sikap dan gaya mengajar guru, tetapi alam pikirannya terarah pada masalah
lain yang lebih menarik minat dan perhatiannya.

Persoalan psikologis memang sangat kompleks dan sangat sulit dipahami secara tepat, sebab
menyangkut apa yang ada di dalam jiwa dan perasaan peserta didik. Meskipun demikian, bukan berarti
seorang guru mengabaikan begitu saja, tanpa berusaha untuk memahaminya. Guru dituntut untuk
mampu memahami fenomena-fenomena psikologis peserta didik yang rumit tersebut. Salah satu cara
yang mungkin dilakukan dalam menyelami aspek psikologis peserta didik ini adalah dengan melakukan
pendekatan kepada peserta didik secara pribadi. Guru harus menjalin hubungan yang akrab dengan
peserta didik, sehingga mereka mau mengungkapkan isi hatinya secara terbuka. Dengan cara ini
memungkinkan guru dapat mengenal siapa sebenarnya peserta didik sebagai individu, apa keinginan-
keinginannya, kebutuhan-kebutuhan apa yang ingin dicapainya, masalah-masalah apa yang tengah
dihadapinya, dan sebagainya. Dengan mendekati dan mengenal peserta didik secara mendalam, guru
pada gilirannya dapat mencari cara-cara yang tepat untuk memberikan bimbingan dan membangkitkan
motivasi belajar mereka.[8]

C. Sikap Guru terhadap Perbedaan Indivudual Peserta Didik

Setelah memahami perbedaan individual peserta didik, seorang guru melalui pertimbangan -
pertimbangan psikologisnya diharapkan dapat :

1. Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat.

Dengan memahami perbedaan individual peserta didik diharapkan guru akan dapat lebih tepat dalam
menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan pembelajaran. Misalnya,
dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang taksonomi perilaku individu dan
mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan individu.

2. Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai.


Dengan memahami perbedaan individual peserta didik diharapkan guru dapat menentukan strategi atau
metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan
keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami
siswanya.

3. Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.

Tugas dan peran guru, di samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing
para siswanya. Dengan memahami perbedaan individual peserta didik, tentunya diharapkan guru dapat
memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses hubungan interpersonal yang
penuh kehangatan dan keakraban.

4. Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.

Memfasilitasi artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa, seperti
bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya memberikan dorongan
kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman
mengenai perbedaan individual peserta didik yang memadai, tampaknya guru akan mengalami kesulitan
untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator maupun motivator belajar siswanya.

5. Menciptakan iklim belajar yang kondusif.

Efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan memahami
perbedaan individual peserta didik memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang
kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.

6. Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.

Pemahaman guru terhadap perbedaan individual peserta didik memungkinkan untuk terwujudnya
interaksi dengan siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang menyenangkan di
hadapan siswanya.

7. Menilai hasil pembelajaran yang adil.

Pemahaman guru terhadap perbedaan individual peserta didik dapat mambantu guru dalam
mengembangkan penilaian pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian, pemenuhan
prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.[9]

Anda mungkin juga menyukai