Anda di halaman 1dari 16

0

KEBERADAAN LARVA Aedes spp. PADA DAERAH ENDEMIS


DEMAM BERDARAH DENGUE TERTINGGI
DAN TERENDAH DI KOTA BOGOR
TAHUN 2020

Disususn Oleh Kelompok I :

Muhammad Syakirin Selian, SKM


Andri Repelita, SKM, M.KKK
Dra. Melli Harmita, MM
Totep Hardiatna, SKM
Zuhelmy, SKM

PELATIHAN JABATAN FUNGSIONAL ENTOMOLOG JENJANG AHLI


KEMENTERIAN KESEHATAN REPOBLIK INDONESIA
BBPK CILOTO TAHUN 2020
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas selesainya Laporan Kegiatan Survei Vektor DBP Tahun 2020.
Laporan ini merupakan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Survei Vektor DBP di
di Kelurahan Bojongkerta (kasus DBD terendah) Kota Bogor Provinsi Jawa Barat..

Laporan Kegiatan Survei Vektor DBP Tahun 2020. memberikan gambaran


pengawasan dan pengendalian vektor penular penyakit DBD, Malaria, Pes dan Diare di
di Kelurahan Bojongkerta (kasus DBD terendah) Kota Bogor Provinsi Jawa Barat..

Laporan ini diharapkan menjadi bahan pembelajaran bagi semua pihak untuk.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk perbaikan
laporan.

Bogor, Oktober 2020

Penyusun
2
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR i
DAFTAR PUSTAKA ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.2.1 Tujuan Umum 2
1.2.1 Tujuan Khusus 2
1.3 Dasar Hukum 2
1.3 Sasaran 3
BAB 2 BAHAN DAN METODE 4
2.1 Lokasi Kegiatan 4
2.2 Tanggal Pelaksanaan 4
2.3 Pengukuran Kepadatan Larva Aedes spp 4
2.4 Analisis Data 4
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 6
3.1 Hasil Survei 6
3.2 Pembahasan 6
BAB 4 SIMPULAN DAN SARAN 8
3.1 Simpulan 8
3.2 Saran 8

ii
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang


menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di hampir seluruh
kota/kabupaten di Indonesia. Sejak ditemukan hingga saat ini jumlah kasus
yang dilaporkan meningkat dan penyebarannya semakin meluas mencapai
seluruh provinsi di Indonesia (Kemenkes RI. 2014a).
Provinsi Jawa Barat dengan jumlah kasus DBD sebesar 19.138 orang
dan 159 orang meninggal pada tahun 2014 tersebar di 27 kabupaten/kota
(Kemenkes RI. 2014b). Sebagai satu di antara kabupaten/kota di Jawa Barat,
Kota Bogor memiliki kasus DBD yang relatif tinggi. Pada tahun 2009 hingga
2015 ditemukan kasus DBD yaitu tahun 2009 terdapat 1 344 orang penderita, 9
orang meninggal, tahun 2010 terdapat 1 769 orang penderita, 5 orang
meninggal. Pada tahun 2011 terdapat 608 orang penderita, 1 orang meninggal,
tahun 2012 terdapat 1 011 orang penderita, 2 orang meninggal, tahun 2013
terdapat 729 orang penderita, 7 orang meninggal. Pada tahun 2014 terdapat 669
orang penderita, 8 orang meninggal dan tahun 2015 terdapat 1 107 penderita
dengan 8 orang meninggal. Kasus DBD tahun 2015 (Januari – Juli) yang
tertinggi berada di Kelurahan Baranangsiang 43 kasus dan terendah di
Kelurahan Bojongkerta 0 kasus (Dinkes Kota Bogor 2016).
Demam berdarah dengue terjadi karena didukung oleh beberapa
komponen yaitu vektor, virus, lingkungan dan manusia. Pemutusan rantai
penularan oleh vektor nyamuk dapat dilakukan dengan menghindari atau
mengurangi kontak terhadap nyamuk, membunuh larva nyamuk dan
menghilangkan tempat perindukan (breeding place) nyamuk. Suatu strategi
yang menyeluruh dari berbagai pihak diperlukan untuk menurunkan faktor
risiko penularan oleh vektor yaitu dengan meminimalkan habitat
perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor,
mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai
penularan.
1
2

1.2 Tujuan

1.1.1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui profil penyakit DBD dengan melakukan survei entomologi DBD di


Kelurahan Bojongkerta (kasus DBD terendah) Kota Bogor Provinsi Jawa Barat.

1.1.1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengukur tingkat kepadatan larva


2. Mengukur angka bebas jentik (ABJ)
3. Mengukur pupa index (PI)
4. Menentukan tindakan pengendalian yang akan dilakukan.

1.1.3 Dasar hukum

1. International Health Regulations tahun 2005.


2. Undang-Undang Republik Indonesia No.6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaaan Kesehatan.
3. Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
4. Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
5. Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1991, tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular.
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 61 Tahun 2013 tentang Kesehatan
Matra.
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa
(SKD KLB).
8. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2348 tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 356/Menkes/Per/IV/2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan
9. Kepmenkes No. 431 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengendalian
Resiko Kesehatan Lingkungan di Pelabuhan/Bandara/Pos Lintas Batas Dalam
Rangka Karantina Kesehatan.
3

10. Peraturan Menteri Kesehatan No. 50 Tahun 2017 Tentang Standar Baku
Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit Serta Pengendaliannya.

1.4 Sasaran
Sasaran kegiatan ini meliputi rumah penduduk di wilayah Kelurahan
Baranangsiang (kasus DBD tertinggi) di Kelurahan Bojongkerta (kasus DBD terendah)
Kota Bogor Provinsi Jawa Barat.
4

BAB 2
BAHAN DAN METODE

.1 Lokasi Kegiatan

Pelaksanaan kegiatan ini di lakukan pada Kelurahan Baranangsiang


(kasus DBD tertinggi) dan di Kelurahan Bojongkerta (kasus DBD terendah) di
Kota Bogor dengan mengambil sampel sebanyak 100 rumah pada masing-
masing kelurahan

.2 Tanggal Pelaksanaan

Kegiatan pengamatan dilakukan pada hari kamis tanggal 8 Oktober


2020

.3 Pengukuran Kepadatan Larva Aedes spp

Koleksi larva Ae. aegypti menggunakan metode single larva pada setiap
kontainer yang ditemukan larva, maka 1 larva diambil sebagai sampel
(Sheppard et al. 1969). Kontainer yang berisi air yang berpotensi menjadi
habitat Ae. aegypti diperiksa menggunakan senter. Kontainer dengan volume
air yang banyak (lebih dari 100 liter), apabila tidak terlihat adanya larva
nyamuk, diamati kurang lebih 5 menit (larva Ae. aegypti akan bergerak ke
permukaan untuk mengambil oksigen) untuk meyakinkan bahwa benar-benar
tidak terdapat larva nyamuk. Setiap larva nyamuk yang diperoleh dari setiap
kontainer dimasukan dalam botol yang telah diberi cairan alkohol 70 %,
kemudian diberi label (Kemenkes RI 2017).

.4 Analisis Data

Pengukuran kepadatan larva Ae. aegypti dilakukan dengan penghitungan indeks


larva yaitu House Index (HI)yaitu persentase bangunan yang ditemukan larva Ae.
aegypti. Breauteu Index (BI) adalah jumlah kontainer yang ditemukan larva Ae.
aegypti. Container Index (CI) yang menunjukkan persentase kontainer yang ditemukan
larva Ae. aegypti (Kemenkes RI 2017).

Jumlah bangunan positif larva


HI = x 100%
Jumlah bangunan yang diperiksa
4

Jumlah kontainer positif larva


CI = x 100%
Jumlah kontainer yang diperiksa

Jumlah kontainer positif larva


BI= x 100%
100 bangunan yang diperiksa
5

Jumlah total pupa


PI = x 100%
100 bangunan yang diperiksa

Jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik


ABJ= x 100%
100 bangunan yang diperiksa

Angka indeks larva Ae. aegypti kemudian dibandingkan dengan angka


Density Figure (DF) yang dinyatakan dengan skala 1-9 (Tabel 2.1). Kriteria
kepadatan vektor atau DF didapat dari gabungan nilai HI, BI, CI yang
dinyatakan dalam skala 1-9, yang dibagi dalam tiga kategori, yaitu DF = 1
(kepadatan rendah), DF = 2-5 (kepadatan sedang) dan DF = 6-9 (kepadatan
tinggi).

Tabel 2.1 Angka Density Figure (DF)


Density House Container Breauteu
Figure Index (HI) Index (CI) Index (BI)
1 1–3 1–2 1–4
2 4–7 3–5 5–9
3 8 – 17 6–9 10 – 19
4 18 – 28 10 – 14 20 – 34
5 29 – 37 15 – 20 35 – 49
6 38 – 49 21 – 27 50 – 74
7 50 – 59 28 – 31 75 – 99
8 60 – 76 32 – 40 100 – 199
9 77 + 41 + 200 +
Sumber : WHO (1972)
Keterangan: DF = 1 (Kepadatan rendah); DF = 2-5 (Kepadatan sedang); DF = 6-9 (Kepadatan tinggi)
6

BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN

.1 Hasil Survei

Berdasarkan perhitungan, nilai HI, CI dan BI pada Tabel 2, di


Baranangsiang sebesar (33%; 17.4%; 42) dan di Bojongkerta (42%; 23.2%;
54). Kepadatan vektor DBD di Baranangsiang sebesar 5 artinya berdasarkan
kepadatan vektornya menunjukkan wilayah kelurahan Baranangsiang
mempunyai risiko penularan DBD pada tingkat sedang, sedangkan DF
Bojongkerta adalah 6 yang berarti mempunyai risiko penularan DBD pada
tingkat tinggi. Di Bojongkerta tersedia habitat Aedes spp. lebih banyak
dibanding di Baranangsiang, dengan volume air lebih dari 20 liter sehingga air
tidak dibuang atau dikuras, hal itu berkaitan dengan kebiasaan masyarakat
untuk menyimpan air untuk menghindari sumber air kering atau tidak mengalir
sehingga mengakibatkan nyamuk pra dewasa berkembang dengan baik.
Berbeda dengan di Baranangsiang yang ketersediaan habitat Aedes spp.
pada kontainer dengan volume air kurang dari 1 liter atau cenderung pada
kontainer yang terabaikan, tidak disangka terdapat air untuk habitat larva Aedes
spp. dan sebagian besar kontainer air adalah sekali habis airnya sehingga
kepadatan vektornya lebih rendah dibandingkan dengan Bojongkerta.

Tabel 3.1 Kepadatan Vektor DBD berdasarkan perhitungan


HI, BI dan CI diBaranangsiang dan Bojongkerta
Tahun 2020.
HI CI BI DF Kepadatan PI ABJ
Baranangsiang 33 17,4 42 5 Sedang 45,3 87
Bojongkerta 42 23,2 54 6 Tinggi 38,2 88
Keterangan : HI : house indeks; CI : container indeks; BI : breteau indeks; DF : density figure : PI:
pupa index: ABJ: angka bebas jentik

.2 Pembahasan

Berdasarkan kepadatan vektornya, Kelurahan Baranangsiang


mempunyai persentase lebih kecil dibandingkan Kelurahan Bojongkerta, hal ini
sesuai dengan Soedarmo (1999) bahwa keadaan dengan populasi vektor DBD
yang tinggi dimungkinkan terjadi kasus DBD yang rendah.
6
7

Faktor yang mempengaruhi hal tersebut diantaranya kerentanan nyamuk


terhadap insektisida dan infeksi virus, ketidakberadaan virus, keragaman tipe
virus, umur nyamuk pendek, jarak terbang nyamuk yang pendek dan faktor
microclimate yang tidak mendukung keaktifan nyamuk. Hal ini senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Shinta & Sukowati (2013), indeks pupa tidak
berbanding lurus dengan kasus DBD, dapat dilihat dari hasil penelitian di lima
lokasi penelitian yang bervariasi, indeks pupa dengan urutan dari tertinggi
adalah Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan terendah
di Jakarta Pusat, sedangkan untuk jumlah kasus dengan urutan dari tertinggi
adalah Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan kasus
terendah Jakarta Selatan.
Kemenkes menetapkan bahwa untuk mencegah penularan DBD, maka
HI tidak boleh lebih dari 5%, jika > 10% maka wilayah tersebut
mengindikasikan wilayah yang berisiko tinggi terhadap kejadian DBD.
Semakin tinggi nilai HI, semakin tinggi pula risiko masyarakat di wilayah
tersebut untuk kontak dengan nyamuk pembawa virus dengue. Perhitungan HI
harus diiringi perhitungan parameter yang lain, karena jika berdiri sendiri
kurang kuat karena tidak memperhitungkan faktor habitat yang ada di dalam
rumah tersebut, walaupun parameter ini banyak digunakan (Sunaryo dan
Pramestuti 2014; Sambuaga 2011;Minhas dan Sekhon 2013).
Index pupa pada Kelurahan Baranangsiang (45,3%) dan di Kelurahan
Bojongkerta Wilayah (38,2%) termasuk dalam kategori sedang, walaupun
demikian kondisi ini masih dapat menyebabkan penularan DBD semakin
meluas apabila pengendalian tidak dilakukan. Peran serta masyarakat sangat
diperlukan untuk mengendalikan tingkat kepadatan pupa, karena proses
perubahan pupa menjadi dewasa membutuhkan waktu 2-3 hari untuk berubah
menjadi nyamuk dewasa.
Tingginya kepadatan populasi akan mempengaruhi distribusi
penyebaran penyakit DBD. Kehawatirkan dengan tingginya populasi nyamuk
Aedes spp di Kelurahan Baranangsiang dan di Kelurahan Bojongkerta akan
mempercepat penularan kasus DBD. Angka Bebas Jentik (ABJ) di kelurahan
Baranangsiang sebesar 87% dan Kelurahan Bojongkerta sebesar 88% yang
berarti masih dibawah standart Nasional yaitu 95%. Semakin rendah nilai
7

Angka Bebas Jenik (ABJ) maka distribusi penyebaran penyakit demam


berdarah juga tinggi.
8

BAB 4
SIMPULAN DAN SARAN

.1 Simpulan

Berdasarkan perhitungan HI, CI, BI dan DF di Baranangsiang (HI = 33%; CI =


17.4%; BI = 42; DF = 5) dan di Bojongkerta (HI = 42%; CI = 23.2%; BI = 54; DF =
6), maka dapat dikategorikan bahwa kepadatan larva Aedes spp. (vektor DBD) di
Baranangsiang termasuk sedang dan di Bojongkerta tinggi. Index pupa pada Kelurahan
Baranangsiang (45,3%) dan di Kelurahan Bojongkerta Wilayah (38,2%) termasuk
dalam kategori sedang. Angka Bebas Jentik (ABJ) di kelurahan Baranangsiang sebesar
87% dan Kelurahan Bojongkerta sebesar 88% yang berarti masih dibawah standart
Nasional

.2 Saran

Perlunya merubah perilaku masyarakat melalui edukasi secara terus


menerus dalam mengendalikan vektor DBD dan meniadakan larva di rumah
masing-masing. Sanksi sosial perlu diberikan kepada masyarakat yang tidak
melaksanakan pegendalian vektor. Kegiatan menguras kontainer perlu
diintensifkan di Baranangsiang sedangkan pemantauan terhadap kontainer yang
digunakan terhadap keberadaan larva perlu dilakukan secara rutin di
Bojongkerta.

Anda mungkin juga menyukai