Anda di halaman 1dari 25

NEGARA BERDASARKAN HUKUM

(RECHTSSTAATS) BUKAN NEGARA


KEKUASAAN (MACHTSSTAAT) / RULE
OF LAW AND NOT POWER STATE
Article (PDF Available) · November 2017 with4,301 Reads 
DOI: 10.25216/JHP.6.3.2017.421-446

 Zahermann Muabezi

Abstract
Cita negara hukum pertama kali dikemukakan oleh Plato dan kemudian pemikiran tersebut
dipertegas oleh Aristoteles. Plato memiliki konsep bahwa penyelenggaraan negara yang baik
didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik, hal ini disebut dengan istilah nomoi. Dalam
perkembangannya konsep cita negara hukum Plato dan Aristoteles oleh Rudolf von Gneist
dinamakan dengan rechtsstaat dimana sebelumnya oleh Albert Venn Dicey dinamakan
dengan rule of law. Pada prinsipnya rechtsstaat atau rule of law bertujuan untuk membatasi
penguasa (pemerintah dalam artian luas) dalam bersikap dan bertindak yang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu atas
rakyatnya. Doktrin rechtsstaat atau rule of law hanya bisa tumbuh di negara yang menganut
demokrasi. Tanpa negara hukum dan demokrasi yang hadir hanyalah paham totaliter, fasis,
absolut dan represif. Politik jadi panglima dimana hukum menjadi alat mempertahankan
kekuasasaan yang tidak sejalan dengan pemerintah. Wujud seperti inilah yang dinamakan
negara kekuasaan (machtsstaat). Tulisan ini mencoba menggunakan pisau analisa hukum
empiris (empirical analysis). Doktrin negara hukum dan demokrasi sama-sama merupakan
atribut negara modern dari sebuah sistem politik yang dibangun lebih dari dua abad yang lalu.
Transformasi transisi demokrasi memastikan bahwa kekuasaan otoriter menjadi demokrasi
berdasar supremasi hukum menyiratkan bahwa keduanya dapat dicapai secara bersamaan
dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang diberi peran masing-
masing dan kesempatan secara bersama sesuai kesepakatan yang telah disetujui di awal. The
vision of the rule of law was first forwarded by Plato and then confirmed by Aristotle. Plato’s
concept stated that a good state administration is based on a good (law) arrangement, this
term called nomoi. In further development Rudolf von Gneist name this term with rechtsstaat
where earlier Albert Venn Dicey named it the rule of law. In principle rechtsstaat or rule of
law aims to limit the rulers (government in a broad sense) attitudes and acts based on laws
and regulations that apply at a certain place and time on the people. The doctrine of
rechtsstaats or rule of law can only grow in a democratic country. Without the rule of law and
democracy there will be only totalitarian, fascist, absolute and repressive ideology. Politics
becomes the highest commander where the law become a means of maintaining the power
which is inconsistent with the government. This form is called the state of power
(machtsstaat). This article is trying to use empirical analysis. The doctrine of the state of law
and democracy are both the attributes of the modern state of a political system built more
than two centuries ago. The transformation of the democratic transition ensures that
authoritarian rule becomes democracy based on the rule of law implying that both can be
achieved together by involving all stakeholders given their respective roles and chance
simultaneously according to the agreement.

Penegakkan Hukum Indonesia


Berdasarkan Fakta, Bukan Rupiah
4 Mei 2015   09:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:24 1934 0 0

Negara Indonesia adalah Negara hukum, bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Segala sesuatu
didasarkan pada hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Setiap persoalan harus
diselesaikan secara hukum sesuai dengan peraturan hukumnya. Tidak ada yang boleh main
hakim sendiri. Bagaimana wajah hukum negara Indonesia saat ini? Apakah sudah memenuhi
dasar ideologi negara kita yaitu Pancasila, tentang sila kelima yang berbunyi Keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Hukum yang harus ditegakkan harus memenuhi prinsip keadilan.

Simbol hukum itu sendiri adalah Patung Dewi Themis dengan mata tertutup kain hitam
dengan tangan kiri membawa neraca timbangan dan tangan kanannnya yang membawa
pedang. Arti atau makna dari lambang tersebut yakni neraca timbangan ditangan kiri berarti
keadilan bagi seluruh rakyat dan kedudukan yang sama didalam hukum. Pedang ditangan
kanan menandakan kekuatan untuk menegakkan hukum serta patung mata Dewi Themis yang
ditutup bahwa didalam hukum dalam memutus perkara tidak boleh lirak-lirik atau pilah-pilih
harus berdasarkan hati nurani secara jernih dan adil.

Wajah hukum di Indonesia tidak terlepas dari para penegak hukum pula terutama hakim
dalam memutus perkara. Seorang hakim harus memiliki sifat Adil. Tidak boleh mempunyai
sifat keberpihakan. Hakim harus bersifat netral didalam hukum. Perlu dicatat bahwa
penegakkan keadilan untuk seluruh rakyat bukan untuk dirinya sendiri. Jangan juga salah
persepsi tentang neraca timbangan yang dibawa Dewi Themis itu bukan neraca yang
digunakan untuk mengukur nilai rupiah yang akan diterimanya dalam penegakkan hukum.
Tetapi neraca untuk menimbang keadilan seberapa besar kesalahan yang dilakukan dari
pelanggaran hukum.

Pedang ditangan kanan itu digunakan sebagai kekuatan hakim didalam pengadilan, didalam
memutus perkara dan menegakkan hukum bukan menjadi alat untuk kekuatan kalangan
pejabat tinggi yang terkena kasus hukum. Tetapi kini kekuatan pedang itu sudah diambil alih
oleh kalangan petinggi. Makna patung Dewi Themis yang ditutup apalah arti dari kain
penutup itu kalau memutus keadilan dengan hati. Artinya bukan hanya dengan hati nurani
sesuati fakta dan bukti-bukti. Tetapi hati karena siapa yang lebih menguntungkan bagi dirinya
dia yang akan dimenangkan dalam pegadilan.

Apakah penegakan hukum di Indonesia sudah tidak lagi mengangungkan prinsip keadilan?
Atau sekarang beralih prinsip menjadi pengagungan rupiah untuk penegakan hukum di
Indonesia. Materi bisa memenangkan seglannya. Tentu hal ini akan mencederai wajah hukum
di Indonesia. Mafia peradilan atau mafia suap yang merajalela.

Bagaimana negara Indonesia menjadi bangsa yang bersih, negara yang maju, kemakmuran
dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya kalau penegakkan hukum di Indonesia tidak
berjalan sesuai ideologi Pancasila. Kasus Terpidana Korupsi vs Kasus Terpidana yang
dilakukan oleh orang-orang kecil. Mengapa hakim lebih condong untuk menangani kasus
orang-orang kecil dari pada kasus korupsi.

Kasus Korupsi adalah kasus yang berat. Kasus yang sangat berpengaruh dalam kehidupan
Negara Indonesia dan mengambil hak-hak rakyat. Sehingga banyak rakyat diluar sana yang
hak kebahagiaannya dirampas oleh pelaku korupsi. Kemiskinan lah yang didapat dari kasus
korupsi. Rakyat menjadi sengsara dan menderita. Keuangan negarapun menjadi tidak stabil
bahkan utang negara terhadap negara lainpun semakin besar dan bertambah. Korupsi yang
merajalela. Kas Negara terampas dan lemah.

Kemewaahan dari kehidupan pelaku korupsi dan Penderitaan bagi rakyat kecil. Jerit tangis
kemiskinan. Kasus yang dilakukan oleh orang-orang kecil seperti seorang nenek yang
mencuri kakao, maling sandal saat dipengadilan dijatuhi hukuman yang sangat berat dan
tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukannya apakah hal itu pantas. Tentu tidak,
mengapa proses peradilan saat ini lebih terfokus pada masalah rakya kecil kenapa kasus
korupsi yang berbahaya itu tidak menjadi sorotan dalam pengadilan.

Mengapa hakim lebih giat dalam memutus perkara kecil dari pada menangani kasus korupsi.
Kasus Berat mendapatkan hukuman ringan dan kasus Ringan dijatuhi hukuman berat. Hukum
di Indonesia memang tajam kebawah dan tumpul keatas. Begitu tajamnya dalam menyakiti
rakyat kecil didalam pengadilan. Dimana hati nurani dari orang-orang yang memiliki
kewenangan tersebut.

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara dilakukan untuk kesejahteraan dan
kepentingan keluarganya sendiri. Sedangkan Kasus yang dilakukan rakyat kecil bukankah itu
dampak dari tindakan korupsi di Indonesia. Kasus Korupsi yang membuat rakyat Indonesia
miskin, mereka tidak bisa makan kebutuhan yang penuh dengan kekurangan. Maka dari itu
mereka mengambil jalan lain untuk melakukan tindakan hina itu seperti pencurian. Mungkin
dalam pikiran para pelaku tersebut, mau bagaiman lagi mereka sudah tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya.

Jika tidak ada korupsi, korupsi sudah diberantas dengan tuntas, uang negara tidak akan habis
dan uang tersebut akan dialokasikan disetiap daerah dan semua untuk kebahagiaan rakyat
serta Pemerataan kesejahteraan. Masalah kasus Korupsi yang benar-benar harus dituntaskan
dan dihukum dengan seadil-adilnya tentunya hakim harus aktif dalam menangani kasus
korupsi. Korupsi harus dimusnahkan sehingga tidak ada lagi rakyat miskin yang melakukan
masalah hukum seperti mencuri yang hina itu.

Apa latarbelakang para pelaku korupsi yang selalu menang di pengadilan dengan kata lain
tidak dihukm berat paling lama saja sekitar 5 tahun penajar. Padahal mereka adalah orang-
orang yang telah membobrokan keuangan negara. Negara Indonesia yang mengalami
kerugian begitu besar. Apakah karena faktor kekayaan. Isttilah Uang bisa membeli segalanya.
Kapan Korupsi akan hilang dinegeri ini kalu hukumnya saja hanya menyengsarakan rakyat
kecil. Kesadaran bagi para penegak hukum sendiri dan dasar moral yang baik untuk para
penegak hukum yang memiliki wewenang. Utamakanlah keadilan, utamakanlah kehidupan
Negara. Prioritaskan masalah hukum yang akan menghancurkan kehidupan negara.
Pemutusan perkara sesuai fakta dan kebenarannya. Lembaga yang seharusnya berperan
dalam perbaikan hidup warga negaranya kini tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Jika
hukuman yang diberikan bagi pelaku korupsi tersebut ringan apakah akan membuat para
pelaku sadarr akan perbuatannya, dan juga dalam menjalani masa hukumanya sebut saja
penjaranya dengan kelas penjara VIP sedangkan rakyat kecil dalam penjara yang begitu
menyengsarakan. Seharusnya siapa saja yang medapati kasus hukum ditempatkan pada
tempat yang sama.

Setiap warga negara itu memperoleh kedudukan yang sama dimuka hukum. Tegakanlah
Keadilan Di dalam hukum Indonesia. Tegakanlah dan Tegakanlah. Siapa algi yang akan
menjadi sandaran dan pengaduan serta kepercayaan jika hukumnya pun tidak berjalan
sebagaimana mestinya.

Potret Negara Hukum Kompas.com - 25/11/2016, 18:45 WIB Ilustrasi.(Shutterstock) oleh


Todung Mulya Lubis Kasus yang membelit Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat ini adalah
studi kasus yang menarik tentang negara hukum yang dalam bahasa asingnya disebut sebagai
rechstaat atau state based on rule of law. Ada perbedaan dalam kedua terminologi di atas,
tetapi tulisan ini berasumsi bahwa negara hukum adalah negara di mana supremasi hukum itu
menjadi dasar, berlaku untuk semua, tidak diskriminatif dan memberikan keadilan. Untuk itu,
berbagai peraturan perundangan diberlakukan bersamaan dengan yurisprudensi dan doktrin
hukum yang berlaku. Semua prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal juga
dijadikan rujukan di mana perlu. Pokoknya, dalam negara hukum berlaku adagium "hukum
adalah panglima". Dalam kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, konsep
negara hukum itu tidak sepenuhnya dimengerti oleh banyak kalangan, terutama yang
menentang Ahok. Secara sistematis Ahok sudah dinyatakan bersalah. Dan kalau kita
membaca media sosial, maka kita akan menemukan banyak sekali pernyataan yang sudah
mengambil hukum ke tangan mereka. Pokoknya Ahok sudah bersalah meski tanpa proses
peradilan yang menyatakan dia bersalah. Di sini asas praduga tidak bersalah tak lagi diakui
keberadaannya. Konsep due process of law sama sekali tak hadir. Laporan kepada pihak
kepolisian sudah dimasukkan bahwa Ahok dituduh melakukan penistaan agama. Pihak
kepolisian sesungguhnya sedang melakukan penyelidikan dengan memanggil banyak pihak
yang diklasifikasikan sebagai saksi fakta dan ahli. Namun, pihak kepolisian dianggap lamban
dan dicurigai melindungi terlapor Ahok. Lalu sebuah demonstrasi besar dengan massa
ratusan ribu orang terjadi beberapa waktu lalu. Di situ tuntutan kembali disuarakan dengan
lantang bahwa Ahok harus dinyatakan sebagai tersangka dan segera ditahan. Sepertinya
proses hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian hanyalah proforma karena status Ahok
sebagai tersangka sudah merupakan harga mati dan Ahok juga mesti ditahan. Ahok juga
harus dinyatakan tidak bisa mengikuti pilkada di Jakarta. Dengan segala hormat terhadap
suara-suara yang menolak Ahok dan menuduhnya melakukan penistaan agama, saya tetap
berpendapat bahwa proses hukum harus dilalui sesuai dengan praktik hukum acara pidana
yang berlaku. Ahok mempunyai hak untuk dianggap tidak bersalah berdasar asas praduga tak
bersalah. Dia berhak mendapatkan semua hak hukumnya untuk membela dirinya di hadapan
penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim. Dia juga berhak membela dirinya di hadapan
publik. Namun, Ahok seperti kehilangan semua haknya, padahal dia adalah juga warga
negara, subyek hukum, yang hak-haknya dijamin oleh peraturan perundangan, Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia termasuk
Deklarasi dan Kovenan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hormati proses
hukum Sekarang Ahok sudah dinyatakan sebagai tersangka berdasar gelar perkara yang
dilakukan oleh pihak kepolisian secara terbuka. Gelar perkara ini masih dalam tingkat
penyelidikan, sesuatu hal yang mungkin belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, karena
pihak kepolisian menghendaki keterbukaan dan akuntabilitas, gelar perkara ini diadakan
walaupun kesan yang timbul adalah bahwa gelar perkara ini dilakukan karena tekanan yang
begitu besar pada pihak kepolisian. Hanya saja, apakah gelar perkara pada tingkat
penyelidikan dengan menghadirkan semua saksi fakta, ahli, dan para pihak tak menggerus
independensi dan imparsialitas proses hukum itu sendiri? Siapa yang menjamin bahwa saksi
fakta dan ahli tak mengubah kesaksian dan keterangan ahlinya nanti ketika penyidikan
dimulai? Ketika pengadilan dimulai? Sukar untuk membantah bahwa para saksi fakta dan ahli
setelah mengikuti gelar perkara akan menimbang kembali kesaksian dan keterangan ahli
mereka karena hendak menyelamatkan diri mereka dari tekanan opini publik yang menyorot
semua proses penyidikan tersebut. Siapa yang berani menjamin bahwa para saksi fakta dan
ahli tidak akan diintervensi oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan untuk
menghukum atau membebaskan Ahok? Dengan kata lain, proses hukum kasus Ahok sangat
rentan terhadap intervensi yang pada gilirannya akan memperkecil ruang bagi penegakan
hukum dan penciptaan keadilan. Peradilan terhadap Ahok bisa-bisa menjadi peradilan opini
publik. Dalam negara hukum, proses peradilan merupakan proses yang bebas dan merdeka
dari semua bentuk campur tangan kekuasaan ataupun keuangan. Keberadaan independency of
judiciary adalah salah satu persyaratan negara hukum. Penanganan kasus Ahok memberikan
alasan buat kita semua khawatir bahwa harga mati Ahok sudah menista agama dan harus
dihukum penjara akan membuat majelis hakim mempunyai ruang yang sempit dan
kehilangan kebebasan dan kemerdekaannya. Apalagi, opini publik dan demonstrasi kalau
diadakan pastilah akan membuat lutut para hakim gemetar. Nalar bisa jadi akan menyerah
pada tekanan. Penulis tak mempersoalkan proses hukum terhadap Ahok karena proses hukum
ini sesuatu yang harus dihadapi oleh Ahok. Biarkan proses hukum itu berjalan sesuai asas-
asas hukum acara pidana yang berlaku. Namun, hormati due process of law, hormati hak
asasi manusia, dan jauhkan intervensi dari mana pun. Apa pun hasil proses hukum nantinya
semua pihak mesti menerima dengan lapang dada meski tak menerima substansi putusan
tersebut. Inilah esensi negara hukum. Todung Mulya Lubis Ketua Umum Ikatan Advokat
Indonesia; Partner Senior Lubis, Santosa and Maramis Law Firm --- Versi cetak artikel ini
terbit di harian Kompas edisi 25 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Potret Negara
Hukum".

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Potret Negara Hukum",
https://nasional.kompas.com/read/2016/11/25/18451721/potret.negara.hukum.

Pengertian NEGARA HUKUM


Posted by yogifajarpebrian13 on April 12, 2011

Pengertian negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahannya didasarkan atas hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan
pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk
menjalankan ketertiban hukum (Mustafa Kamal Pasha, dalam Dwi Winarno, 2006).

Dengan demikian dalam negara hukum, kekuasaan negara berdasar atas hukum, bukan
kekuasaan belaka serta pemerintahan negara berdasar pada konstitusi yang berpaham
konstitusionalisme, tanpa hal tersebut sulit disebut sebagai negara hukum. Supremasi hukum
harus mencakup tiga ide dasar hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Oleh
karena itu di negara hukum, hukum harus tidak boleh mengabaikan “rasa keadilan
masyarakat”.

Negara-negara komunis atau negara otoriter memiliki konstitusi tetapi menolak gagasan
tentang konstitusionalisme sehingga tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum dalam arti
sesungguhnya. Jimly Asshiddiqie (dalam Dwi Winarno, 2006) menyatakan bahwa negara
hukum adalah unik, sebab negara hendak dipahami sebagai suatu konsep hukum. Dikatakan
sebagai konsep yang unik karena tidak ada konsep lain. Dalam negara hukum nantinya akan
terdapat satu kesatuan sistem hukum yang berpuncak pada konstitusi atau undang-undang
dasar.

Negara tidak campur tangan secara banyak terhadap urusan dan kepentingan warga negara.
Namun seiring perkembangan zaman, negara hukum formil berkembang menjadi negara
hukum materiil yang berarti negara yang pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut
campur tangan dalam urusan warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan rakyat. Negara bersifat aktif dan mandiri dalam upaya membangun
kesejahteraan rakyat.

2. CIRI-CIRI NEGARA HUKUM

Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechtsstaat atau Rule of Law. Friedrich
Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Rechtsstaat
sebagai berikut.
1) Hak asasi manusia
2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa
dikenal sebagai Trias Politika
3) Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan
4) Peradilan administrasi dalam perselisihan

Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberi ciri-ciri Rule of Law
sebagai berikut.
1) Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang
hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
2) Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat
3) Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan

Ciri-ciri Rechtsstaat atau Rule of Law di atas masih dipengaruhi oleh konsep negara hukum
formil atau negara hukum dalam arti sempit. Dari pencirian di atas terlihat bahwa peranan
pemerintah hanya sedikit karena ada dalil bahwa “Pemerintah yang sedikit adalah pemerintah
yang baik”. Dengan munculnya konsep negara hukum materiil pada abad ke-20 maka
perumusan ciri-ciri negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Stahl dan Dicey di atas
kemudian ditinjau lagi sehingga dapat menggambarkan perluasan tugas pemerintahan yang
tidak boleh lagi bersifat pasif. Sebuah komisi para juris yang tergabung dalam International
Comunition of Jurits pada konferensi Bangkok tahun 1965 merumuskan ciri-ciri
pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law yang dinamis. Ciri-ciri tersebut adalah
1) Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selai daripada menjamin hak-hak
individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-
hak yang dijamin;
2) Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3) Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
4) Pemilihan umum yang bebas;
5) Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi;
6) Pendidikan civics (kewarganegaraan)

Disamping perumusan ciri-ciri negara hukum seperti di atas, ada pula berbagai pendapat
mengenai ciri-ciri negara hukum yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Montesquieu,
negara yang paling baik adalah negara hukum, sebab di dalam konstitusi di banyak negara
terkandung tiga inti pokok, yaitu :

1) Perlindungan HAM
2) Ditetapkan ketatanegaraan suatu negara; dan
3) Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ Negara
Prof. Sudargo Gautama mengemukakan 3(tiga) ciri atau unsur dari negara hukum, yakni
sebagai berikut.
1) Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak
dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual
mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
2) Asas legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang
harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
3) Pemisahan kekuasaan

Agar hak-hak asasi betul-betul terlindungi, diadakan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang
membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan badan yang mengadilin harus
terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan.
Frans Magnis Suseno (1997) mengemukakan adanya 5 (lima) ciri negara hukum sebagai
salah satu ciri hakiki negara demokrasi. Kelima ciri negara hukum tersebut adalah sebagai
berikut.
1) Fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai dengan ketetapan
sebuah undang-undang dasar.
2) Undang-undang dasar menjamin hak asasi manusia yang paling penting. Karena tanpa
jaminan tersebut, hukum akan menjadi sarana penindasan. Jaminan hak asasi manusia
memastikan bahwa pemerintah tidak dapat menyalahgunakan hukum untuk tindakan yang
tidak adil atau tercela
3) Badan-badan negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya taat pada
dasar hukum yang berlaku.
4) Terhadap tindakan badan negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan
pengadilan dilaksanakan oleh badan negara.
5) Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.
Mustafa Kamal Pasha (2003) menyatakan adanya tiga ciri khas negara hukum, yaitu
1) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia

Di dalam ciri ini terkandung ketentuan bahwa di dalam suatu negara hukum dijamin adanya
perlindungan hak asasi manusia berdasarkan ketentuan hukum. Jaminan itu umumnya
dituangkan dalam konstitusi negara bukan pada peraturan perundang-undangan di bawah
konstitusi negara. Undang-undang dasar negara berisi ketentuan-ketentuan tentang hak asasi
manusia. Inilah salah satu gagasan konstitusionalisme
2) Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan tidak memihak.

Dalam ciri ini terkandung ketentuan bahwa pengadilan sebagai lembaga peradilan dan badan
kehakiman harus benar-benar independen dalam membuat putusan hukum, tidak dipengaruhi
oleh kekuasaan lain terutama kekuasaan eksekutif. Dengan wewenang sebagai lembaga yang
mandiri terbebas dari kekuasaan lain, diharapkan negara dapat menegakkan kebenaran dan
keadilan.
3) Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya

Bahwa segala tindakan penyelenggara negara maupun warga negara dibenarkan oleh kaidah
hukum yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

3. INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM

Dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum tertuang pada Pasal 1 ayat 3
UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Dimasukkannya ketentuan ini ke dalam bagian pasal UUD 1945 menunjukkan semakin
kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara Indonesia adalah dan harus
merupakan negara hukum.

Sebelumnya, landasan negara hukum Indonesia ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum
UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara, yaitu sebagai berikut.
1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat). Negara Indonesia
berdasar atas Hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2) Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak
bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Berdasarkan perumusan di atas, negara Indonesia memakai sistem Rechsstaat yang


kemungkinan dipengaruhi oleh konsep hukum Belanda yang termasuk dalam wilayah Eropa
Kontinental.

Konsepsi negara hukum Indonesia dapat dimasukkan negara hukum materiil, yang dapat
dilihat pada Pembukaan UUD 1945 Alenia IV. Dasar lain yang dapat dijadikan landasan
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yakni pada Bab XIV tentang Perekonomian
Nagara dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 dan 34 UUD 1945, yang menegaskan bahwa
negara turut aktif dan bertanggung jawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.
Negara Hukum Indonesia menurut UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Norma hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai hukum dasar nasional;
2. Sistem yang digunakan adalah Sistem Konstitusi;
3. Kedaulatan rakyat atau Prinsip Demokrasi;
4. Prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 (1) UUD 1945);
5. Adanya organ pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR);
6. Sistem pemerintahannya adalah Presidensiil;
7. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif);
8. Hukum bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial; dan
9. Adanya jaminan akan hak asasi dan kewajiban dasar manusia (Pasal 28 A-J UUD 1945).

4. HUBUNGAN NEGARA HUKUM DENGAN DEMOKRASI

Hubungan antara negara hukum dengan demokrasi dapat dinyatakan bahwa negara demokrasi
pada dasarnya adalah negara hukum. Namun, negara hukum belum tentu negara demokrasi.
Negara hukum hanyalah satu ciri dari negara demokrasi. Franz Magnis Suseno (dalam Dwi
Winarno, 2006) menyatakan adanya 5 gugus ciri hakiki dari negara demokrasi. Kelima ciri
tersebut adalah :

1) negara hukum;

2) pemerintahan di bawah kontrol nyata masyarakat;

3) pemilihan umum yang bebas;

4) prinsip mayoritas; dan

5) adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.

Berdasarkan sejarah, tumbuhnya negara hukum, baik formal maupun materiil bermula dari
gagasan demokrasi konstitusional, yaitu negara demokrasi yang berdasar atas konstitusi.
Gagasan demokrasi konstitusional abad ke-19 menghasilkan negara hukum klasik (formil)
dan gagasan demokrasi konstitusional abad ke-20 menghasilkan Rule of Law yang dinamis
(negara hukum materiil)

Negara Hukum (Konsep dasar dan


Implementasinya di Indonesia )
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Negara Hukum

Aristoteles, merumuskan negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa
susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warganegara yang baik. Peraturan yang
sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan
antar warga negaranya. maka menurutnya yang memerintah Negara bukanlah manusia
melainkan “pikiran yang adil”. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.

Penjelasan UUD 1945 mengatakan, antara lain, “Negara Indonesia berdasar atas hukum
(Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Jadi jelas bahwa cita-cita
Negara hukum (rule of  law) yang tekandung dalam UUD1945 bukanlah sekedar Negara
yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didambakan bukalah hukum yang
ditetapkan semata-mata atas dasar kekeuasaan, yang dapat menuju atau mencerminkan
kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum yang demikian bukanlah hukum yang adil (just law),
yang didasarkan pada keadilan bagi rakyat.

B.        Konsep Dasar Negara Hukum Indonesia

Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi


rechtmatigheid.

1. unsur-unsur rechtsstaat :

a.      adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).

b.      adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin

perlindungan  HAM,

c.       pemerintahan berdasarkan peraturan,

d.      adanya peradilan administrasi; dan

Dari uraian unsur-unsur rechtsstaat maka dapat dikaitkan dengan konsep perlindungan
hukum, sebab konsep rechtsstaat tersebut tidak lepas dari gagasan untuk memberi pengakuan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian rechtsstaat memiliki inti
upaya memberikan perlindungan pada hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan
dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar yang sekarang lebih populer dengan HAM,
yang konsekuensi logisnya harus diadakan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam
negara. Sebab dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara, pelanggaran
dapat dicegah atau paling tidak dapat diminimalkan.

Di samping itu, konsep rechtsstaat menginginkan adanya perlindungan bagi hak asasi
manusia melalui pelembagaan peradilan yang independen. Pada konsep rechtsstaat terdapat
lembaga peradilan administrasi yang merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri.

Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara hukum atau rechtstaat, tetapi mengenal atau
menganut apa yang disebut dengan “ The Rule Of The Law” atau pemerintahan oleh hukum
atau government of judiciary.

Menurut A.V.Dicey, Negara hukum harus mempunyai 3 unsur pokok :


1      Supremacy Of Law

Dalam suatu Negara hukum, maka kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, kekuasaan
harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan, bila hukum
tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata lain hukum
dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus menjadi “tujuan” untuk
melindungi kepentingan rakyat.

2      Equality Before The Law

Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum adalah sama
(sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan
rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-
undang. Bila tidak ada persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan
merasa kebal hukum. Pada prinsipnya Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi
backing yang salah, melainkan undang-undang merupakan backine terhadap yang benar.

3      Human Rights

Human rights, maliputi 3 hal pokok, yaitu :

a.       The rights to personal freedom ( kemerdekaan pribadi), yaitu hak untuk melakukan
sesuatu yang dianggan baik badi dirinya, tanpa merugikan orang lain.

b.      The rights to freedom of discussion ( kemerdekaan berdiskusi), yaitu hak untuk
mengemukakan pendapat dan mengkritik, dengan ketentuan yang bersangkutan juga harus
bersedia mendengarkan orang lain dan bersedia menerima kritikan orang lain.

c.       The rights to public meeting ( kemerdekaan mengadakan rapat), kebebasan ini harus
dibatasi jangan sampai menimbulkan kekacauan atau memprovokasi.

Persamaan Negara hukum Eropa Kontinental dengan Negara hukum Anglo saxon adalah
keduanya mengakui adanya “Supremasi Hukum”. Perbedaannya adalah pada Negara Anglo
Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri sehingga siapa saja yang
melakukan pelanggaran akan diadili pada peradilan yang sama. Sedangkan nagara hukum
Eropa Kontinental terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri.

C.        Indonesia sebagai Negara Hukum

Negara Hukum Indonesia  diilhami oleh ide dasar rechtsstaat dan rule of law. Langkah ini
dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa negara hukum Republik Indonesia pada dasarnya
adalah negara hukum, artinya bahwa dalam konsep negara hukum Pancasila pada hakikatnya
juga memiliki elemen yang terkandung dalam konsep rechtsstaat maupun dalam konsep rule
of law.

Yamin menjelaskan pengertian Negara hukum dalam penjelasan UUD 1945, yaitu dalam
Negara dan masyarakat Indonesia, yang berkuasa bukannya manusia lagi seperti berlaku
dalam Negara-negara Indonesia lama atau dalam Negara Asing yang menjalankan kekuasaan
penjajahan sebelum hari proklamasi, melainkan warga Indonesia dalam suasana kemerdekaan
yang dikuasai semata-mata oleh peraturan Negara berupa peraturan perundang-undangan
yang dibuatnya sendiri

Indonesia berdasarkan UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya adalah negara hukum


artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Negara
hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi

Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari negara hukum
diantaranya adalah :

1.         Supremasi hukum

2.         Persamaan dalam hukum

3.         Asas legalitas

4.         Pembatasan kekuasaan

5.         Organ eksekutif yang independent

6.         Peradilan bebas dan tidak memihak

7.         Peradilan tata usaha negara

8.         Peradilan tata negara

9.         Perlindungan hak asasi manusia

10.       Bersifat demokratis

11.       Sarana untuk mewujudkan tujuan negara

12.       Transparansi dan kontrol sosial.

Sedangkan menurut Prof. DR. Sudargo Gautama, SH. mengemukakan 3 ciri-ciri atau unsur-
unsur dari negara hukum, yakni:

a.         Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan

maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh
hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap
penguasa.

b.         Azas Legalitas

Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang
harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
 

c.         Pemisahan Kekuasaan

Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan kekuasaan yaitu
badan yang membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan mengadili harus
terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan.

Namun apabila dikaji secara mendalam bahwa pendapat yang menyatakan orientasi konsepsi
Negara Hukum Indonesia hanya pada tradisi hukum Eropa Continental ternyata tidak
sepenuhnya benar, sebab apabila disimak Pembukaan UUD 1945 alinea I (satu) yang
menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan
dan perikeadilan” menunjukkan keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia
menghadapi masalah kemerdekaan melawan penjajahan. Dengan pernyataan itu bukan saja
bangsa Indonesia bertekad untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di barisan yang paling
depan dalam menentang dan menghapuskan penjajahan di atas dunia.

Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai  dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya harus ditentang dan dihapuskan agar
semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan hak atas kemerdekaan sebagai hak asasinya. Di
samping itu dalam Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, terdapat pasal-pasal yang memuat
tentang hak asasi manusia antara lain: Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31. Begitu pula dalam UUD
1945 setelah perubahan pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia di samping Pasal
27, 28, 29, 30 dan 31 juga dimuat secara khusus tentang hak asasi manusia dalam Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H,
28I dan Pasal 28J. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konsep negara hukum Indonesia juga
masuk di dalamnya konsepsi negara hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan rule of law.

Dari penjelasan dua konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep negara hukum
Indonesia tidak dapat begitu saja dikatakan mengadopsi konsep rechtsstaat maupun konsep
the rule of law, karena latar belakang yang menopang kedua konsep tersebut berbeda dengan
latar belakang negara Republik Indonesia, walaupun kita sadar bahwa kehadiran istilah
negara hukum berkat pengaruh konsep rechtsstaat maupun pengaruh konsep the rule of law.

Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal pula istilah The rule of law yang diartikan
sama dengan negara hukum.

Dari berbagai macam pendapat, nampak bahwa di Indonesia baik the rule of law  maupun
rechtsstaat diterjemahkan dengan negara hukum. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang
wajar, sebab sejak tahun 1945 The rule of law merupakan suatu topik diskusi internasional,
sejalan dengan gerakan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan demikian,
sulitlah untuk saat ini, dalam perkembangan konsep the rule of law dan dalam perkembangan
konsep rechtsstaat untuk mencoba menarik perbedaan yang hakiki antara kedua konsep
tersebut, lebih-lebih lagi dengan mengingat bahwa dalam rangka perlindungan terhadap hak-
hak dasar yang selalu dikaitkan dengan konsep the rule of law, Inggris bersama rekan-
rekannya dari Eropa daratan ikut bersama-sama menandatangani dan melaksanakan The
European Convention of Human Rights.
Dengan demikian, lebih tepat apabila dikatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia yang
terdapat dalam UUD 1945 merupakan campuran antara konsep negara hukum tradisi Eropa
Continental yang terkenal dengan rechtsstaat dengan tradisi hukum Anglo Saxon yang
terkenal dengan the rule of law. Hal ini sesuai dengan fungsi negara dalam menciptakan
hukum yakni mentransformasikan nilai-nilai dan kesadaran hukum yang hidup di tengah-
tengah masyarakatnya. Mekanisme ini merupakan penciptaan hukum yang demokratis dan
tentu saja tidak mungkin bagi negara untuk menciptakan hukum yang bertentangan dengan
kesadaran hukum rakyatnya. Oleh karena itu kesadaran hukum rakyat itulah yang diangkat,
yang direfleksikan dan ditransformasikan ke dalam bentuk kaidah-kaidah hukum nasional
yang baru.

Apabila dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, tidak secara eksplisit
terdapat pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum, lain halnya dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS). Dalam KRIS dinyatakan secara tegas dalam kalimat
terakhir dari bagian Mukadimah dan juga dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa Indonesia adalah
negara hukum.

D.        Implementasi Negara Hukum di Indonesia

Berbicara tentang  negara hukum yang disebut supremasi hukum  tentu  saja tidak akan  lepas
dari  konsepsi dasar yang dipakai  sebagai landasan  untuk menciptakan sebuah negara
nasional yang pada tataran kenegaraan dan  hukum tertinggi disebut konstitusi. Ini
merupakan dasar yang bersifat  universal yang berlaku pada tiap-tiap negara.

Dalam tataran koridor konstitusional, maka persoalan mengenai supremasi hukum  terwujud
didalam sebuah  masyarakat  nasional  yang disebut negara hukum konstitusional, yaitu 
suatu  negara dimana setiap tindakan dari penyelenggara negara: pemerintah dan  segenap
alat perlengkapan  negara di pusat dan didaerah  terhadap rakyatnya  harus berdasarkan  atas
hukum-hukum yang berlaku yang ditentukan oleh rakyat / wakilnya di dalam  badan 
perwakilan rakyat. Sesuai  prinsip  kedaulatan rakyat  yang  ada, di dalam  negara demokrasi 
hukum dibuat untuk  melindungi  hak-hak  azasi  manusia  warga negara,  melindungi mereka
dari tindakan diluar ketentuan hukum dan untuk mewujudkan tertib sosial dan  kepastian
hukum  serta keadilan sehingga proses politik berjalan secara damai sesuai koridor 
hukum/konstitusional.

UUD NRI 1945 sebenarnya telah mempunyai ukuran-ukuran dasar yang bisa dipakai untuk
mewujudkan negara hukum dimana supremasi hukum akan diwujudkan. Kalau dilihat dengan
seksama  UUD NRI 1945 mejelaskan bahwa :

“Indonesia adalah negara berdasar atas negara hukum, tidak berdasar atas

kekuasaan belaka”

Ini sebenarnya Grundnorm yang telah diberikan oleh Founding father yang membangun
negara ini. Bagaimana kita akan menyusun negara hukum, bagaimana negara hukum  itu
akan diarahkan, dalam arti untuk apa kita wujudkan  negara hukum ini, sekaligus dituntut
untuk menegakkan hukum sebagai salah satu piranti  yang bisa dipergunakan secara tepat di
dalam  mewujudkan keinginan atau cita-cita bangsa. Formula UUD 1945 tersebut
mengandung  pengertian dasar bahwa di dalam negara yang dibangun  oleh rakyat Indonesia
ini sebenarnya diakui adanya dua faktor yang terkait dalam mewujudkan  negara hukum,
yaitu satu factor hukum dan yang kedua factor kekuasaan. Artinya hukum  tidak  bisa
ditegakkan inkonkreto dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tanpa
adanya kekuasaan dan dimanesfestasikan  di dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian dua
factor hukum dan kekuasaan, tidak bisa dilepaskan satu sama lain, bagaikan lokomotif dan 
relnya serta gerbong  yang ditarik lokomotif. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan  bahkan 
lumpuh tanpa adanya dukungan kekuasaan.  sebaliknya kekuasaan sama  sekali tidak boleh 
meninggalkan hukum, oleh karena apabila kekuasaan dibangun dan  tanpa mengindahkan
hukum, yang terjadi adalah satu negara yang otoriter. Fungsi kekuasaan  pada  hakekatnya
adalah memberikan dinamika terhadap kehidupan hukum dan  kenegaraan  sesuai norma-
norma dasar atau  grundnorm yang dituangkan dalam UUD NRI 1945 dan kemudian
dielaborasi  lebih  lanjut  secara  betul  dalam hirarki perundang-undangan yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Zoelva, Hamdan.2011.Pemakzulan Presiden di Indonesia.Sinar Grafika:Jakarta

Soedjati, Djiwantono, J.1955.Setengah Abad Negara Pancasila.Centre for Strategic


and                   International Studies(CSIS):Jakarta

Budiarjo, Miriam.2008.Dasar-dasar Ilmu Politik.Grame

Negara tanpa Hukum.


9 Maret 2012   07:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:19 1723 0 1

hidup sebagai manusia jelas kita menginginkan kehidupan yang aman, tentram dan damai.
bohong jika ada orang yang tidak menginginkan itu semua, karena dengan itu kita dapat
merasakan kesejahteraan hidup. sebagai makhluk sosial manusia tidak akan bisa hidup tanpa
ada orang lain disampingnya untuk menjalani berbagai macam jalan kehidupan yang tidak
semuanya berakhir dengan baik.

dari perkumpulan orang-orang terbentuklah sebuah negara yang lebih jelasnya negara adalah
persekutuan yang terjadi dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup sebaik-baiknya.
untuk menjalani kehidupan bernegara yang baik dibutuhkan suatu aturan yang dapat
memberikan keadilan bagi masyarakatnya.

hukum, ya hukum inilah yang dibutuhkan oleh suatu negara karena hukum adalah pelindung
hak kodrat manusia kebebasan individu dan keutamaan rasio. hukum merupakan tatanan yang
baik bahkan bisa dikatakan terbaik untuk menangani fenomena yang penuh situasi ketidak
adilan. jika suatu negara ingin merasakan kesejahteraan jalankan sistem hukumnya dengan
baik.

hal terpenting adalah bagaimana jika suatu negara itu tidak lagi memiliki hukum? senyum
sinis seorang mahasiswa hukum yang lagi menuliskan opini ini ketika melihat carut marutnya
hukum di negara ini (indonesia), ironi nya di negara ini hukum yang tadinya dibuat untuk
mendapatkan suatu keadilan malah membuat keadilan itu hilang dimata masyarakat.
memanag adil bukanlah berarti rata atau setara namaun apakah keadilan itu dapat dijajakan
seperti ikan asin yang banyak terdapat dipasar-pasar dandapat dibeli oleh siapa saja asalkan
sesuai dengan bentuk dan porsinya , jika ia membawa uang yang sedikit maka ia juga bakalan
dapat ikan asin yang jelek.

atau dinegara kita ini tidak ada lagi hukum alias negara tanpa hukum?

Bagaimana Jadinya Jika Suatu Masyarakat


tanpa Hukum?
Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu berinteraksi dengan sesamanya. Dari hasil
hubungan-hubungan dan interaksi tersebut, maka terbentuklah suatu kelompok sosial, yaitu
masyarakat.

Apabila dalam suatu masyarakat sudah tercipta suatu nilai tertentu yang sesuai dengan
keinginan dan tujuan masyarakat, maka dengan sendirinya akan terbentuk suatu norma, yaitu
kumpulan dari berbagai nilai yang akan mengatur kehidupan masyarakat secara otomatis.
Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap individu akan berusaha untuk bisa bersosialisasi
dengan dibuat untuk mengatur individu agar sesuai dengan harapan masyarakat.

Jadi, hukum itu tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena hukum itu membutuhkan
masyarakat dan masyarakat dibutuhkan hukum. Apabila hukum tanpa masyarakat, maka
untuk apa hukum itu dibuat.

Begitu pentingnya hukum, jadi apabila masyarakat tanpa hukum, apa jadinya suatu
masyarakat itu? Maka setiap individu akan bertindak sesuai dengan keinginannya tanpa
peduli dengan orang lain.

Hukum berawal dari persoalan-persoalan masyarakat sosial dalam masyarakat dan bermula
dari persoalan politik dan ekonomi yang kemudian juga merambah ke dunia pendidikan.
Selama ini, penegak hukum atau aturan-aturan formal bertujuan untuk mencapai kepastian
hukum, bukan keadilan hukum.
Antara keadilan dan kepastian hukum tidak dapat disatukan, karena keduanya memiliki basis
yang berbeda. Perbedaan itu dimulai dari kepentingan setiap individu atau kelompok dalam
menghadapi suatu permasalahan hukum.

Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin
menggambarkan kehidupan manusia di luar masyarakat. Maka, manusia, masyarakat, dan
hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan.

Untuk mencapai ketertiban masyarakat, kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat
menjadi teratur. Akan tetapi, akan mempertegas lembaga-lembaga hukum. Hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law)
yang tentunya sesuai dan merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat tersebut.

Manusia dan hukum adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum,
terdapat istilah yang terkenal “Ubi Socitas Ibu Ius” yang artinya di mana ada masyarakat di
situ ada hukum. Maksudnya, bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur
sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan hukum sebagai suatu perekat
dalam masyarakat.

Ketika manusia sudah ada hubungan dengan hukum, maka hal yang harus dilakukan manusia
untuk terbebas dari jerat hukum adalah memperbaiki nilai dan moral karena ketika nilai dan
moral sudah bagus maka dorongan untuk melakukan kejahatan secara perlahan akan hilang.

Dengan tidak adanya hukum di dalam lingkungan masyarakat, ini akan membuat terjadinya
kekacauan di dalam masyarakat dikarenakan tidak adanya pedoman dan petunjuk bagaimana
berperilaku masyarakat. Tidak adanya petunjuk yang benar atau yang salah, dan masyarakat
tidak akan tahu apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan.

Dengan tidak adanya hukum keadilan juga tidak akan terbentuk, karena tidak ada pengadilan.
Tanpa hukum pula, pembangunan akan sulit dicapai, karena hukum mempunyai sifat
mengikat dan memaksa sehingga bisa memaksa warga Negara melakukan kewajiban-
kewajiban baik terhadap masyarakat maupun terhadap Negara.

Jika hukum tidak ada, maka kehidupan sosial akan menemui kekacauan dan menimbulkan
konflik-konflik yang akan merugikan banyak orang. Hukum juga akan membatasi hak dan
perilaku anggota masyarakat sehingga masing-masing tidak bisa berbuat sewenang-wenang.

Pada hakikatnya, hukum itu tumbuh dan digunakan akibat dari pada peristiwa yang timbul di
dalam lingkungan masyarakatyang pada saat itu masih terdapat keraguan dan kebimbangan
dalam pemecahan masalahnya, sehingga hukum itu masuk dan menyatu dengan kehidupan
setiap manusia.

Setiap peristiwa yang timbul di dalam lingkungan sosial itu sering kali menjadi suatu
problem dalam kehidupan mereka, sehingga terjadi suatu kekacauan yang dapat merusak
sistem sosial tersebut.

Oleh karena itu, hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu tidak efektif
dalam memberikan dan menjamin hak dan kewajiban masyarakat sehingga diperlukan adanya
hukum secara tertulis yang menjamin suatu kepastian hukum yang mengikat dan memberikan
sanksi yang tegas bagi mereka yang melanggar atau melawan hukum.

Bagaimanapun, peran masyarakat sebagai warga Negara juga tak kalah penting terhadap
hukum di Indonesia. Sebagai warga Negara, kita tidak dibenarkan ketika mengetahui bahwa
hukum di negeri ini masih sangat prihatin, namun kita hanya diam saja menyaksikan hukum
tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.

7 Wilayah Tanpa Hukum di Dunia yang


Bikin Penduduknya Hidup Seenak Jidat
Tetalogi 151w | Trending

Peraturan dibuat untuk ditaati dan agar kehidupan bisa diatur dengan lebih baik. Tanpa
peraturan dan hukum, hampir bisa dipastikan akan banyak kekacauan yang terjadi. Meski
begitu, masih banyak juga orang yang tidak suka dengan peraturan dan terus-terusan
melanggarnya.

Baca Juga :5 Kriminal Malaysia ini Tak Kalah Bengis Dari Preman Paling Sadis
Indonesia

Hidup dengan kebebasan penuh dan tanpa hukum memang terlihat menyenangkan bagi
sebagian orang. Jika kamu tertarik untuk hidup dengan kebebasan penuh di masa sekarang
ini, berikut ini beberapa daerah yang bisa kamu kunjungi. Tapi, tanggung sendiri resikonya.

1. Wilayah Pakistan yang Tanpa Pemerintahan

Di daerah perbatasan Afghanistan dan Pakistan, ada satu wilayah yang tidak memiliki
pemerintah. Wilayah ini lebih dikenal sebagai Area Suku yang Diakui Federal. Meski secara
yuridiksi masuk dalam wilayah pemerintah federal Pakistan, tapi wilayah ini termasuk semi
otonomi. Artinya, penduduk di kota ini lebih terikat oleh kesukuan mereka daripada hukum
resmi negara Pakistan.
Militan Pakistan [Image Source]Pada dasarnya, hukum yang berlaku di sana ya yang dibuat oleh
kepala suku atau para komandan perang. Mahkamah Agung Pakistan juga menolak berurusan
dengan wilayah tersebut yang artinya kota itu memang daerah yang terlalu berbahaya. Bahkan saat
ini wilayah ini sedang bergejolak oleh kegiatan militan yang tidak dihentikan oleh pemerintah
Pakistan.

2. Daerah Gurun Sahara yang Tidak Diakui

Jika kamu lebih menyukai area terbuka, daerah Sahara Barat mungkin akan cocok untukmu.
Wilayah ini dikenal sebagai daerah dengan populasi terjarang di dunia dengan kepadatan 2
orang per kilometer persegi. Wilayah ini dulunya masuk sebagai koloni Spanyol sampai akhir
abad ke-20.
Pemukiman di Sahara [Image Source]Maroko dan Mauritania kemudian berperang dengan suku asli
Sahara untuk mendapatkan hak atas wilayah tersebut. Mauritania kemudian menyerah dan Maroko
mengklaim daerah tersebut sebagai wilayahnya sementara suku Sahara hanya mendapatkan gurun
yang tandus. Meski Maroko mengakui daerah tersebut sebagai wilayahnya, PBB tidak mengakui
klaim mereka.

Saat ini, sepertinya tidak ada yang tahu hukum apa yang diterapkan di sini atau bagaimana
membuat hukum yang dipatuhi. Jadi, kalau ada kejahatan yang terjadi, penduduk lokal juga
tidak tahu harus melapor ke mana dan tidak ada hukuman yang jelas.

3. Lautan Lepas Tanpa Kepemilikan

Jika kamu lebih suka dengan kehidupan di tengah lautan bagikan penjelajah samudera, maka
wilayah perairan internasional cocok untukmu. Wilayah perairan negara manapun hanya
mencapai 22 kilometer dari garis pantai. Kamu belum benar-benar bebas sampai melewati
zona tambahan seluas 22 kilometer lagi.
Warna biru tua adalah daerah perairan internasional [Image Source]Meski sudah melewati batas
tersebut, jika kamu terlibat dalam kegiatan apapun yang bersifat menjarah atau menjadi perompak,
maka negara manapun punya kemampuan untuk menyerang atau menghukum. Tapi lautan adalah
wilayah teramat sangat luas. Jadi asalkan tidak terlalu menarik perhatian kamu tak akan terdeteksi.
Memang ada hukum atau peraturan di wilayah lautan, tapi menegakkannya adalah hal yang sangat
sulit bagi pemerintah dunia. Karena itulah laut masih menjadi salah satu tempat yang benar-benar
bebas hukum di dunia.

4. Somalia yang Terpecah Belah

Januari 1991, pemerintahan pusat Somalia runtuh akibat perang saudara berdarah yang masih
berlangsung hingga saat ini. 20 tahun kemudian, Somalia menjadi negara anarki yang penuh
dengan peperangan antar kelompok demi bisa menguasai pecahan negara tersebut.
Penduduk Somalia [Image Source]Usaha untuk menata kembali negara sudah dilakukan beberapa
kali, tapi masih belum ada yang menunjukkan hasil. Sementara itu, wilayah-wilayah Somalia masih
terpecah belah yang dikuasai oleh kelompok separatis dan bajak laut juga masih menjadi masalah
besar di negara tersebut. Pada dasarnya, tidak ada hukum atau kepolisian yang mengatur keamanan
Somalia.

5. Kepulauan Balleny di Kutub Selatan

Tahun 1923, pemerintah Inggris memutuskan untuk memberikan New Zealand sebagian
lahannya di wilayah Kutub Selatan yang tertutup es. Meski cukup luas hingga ke pulau
Balleny, hingga saat ini New Zealand masih tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan
wilayah tersebut.
Kepulauan Balleny [Image Source]Sejauh ini, masih belum ada usaha untuk membangun koloni di
pulau tersebut. Meski ada peraturan yang menyatakan bahwa kejahatan yang terjadi di wilayah
tersebut bisa diancam oleh hukum, tapi belum ada orang yang benar-benar mau melakukan
perjalanan Pulau Balleny untuk menegakkan hukumnya.

6. Kota Tempat Berkumpulnya Para Hipster

Di Amerika juga terdapat beberapa daerah yang terlepas dari mata hukum. Slab City adalah
sebuah kota di daerah kering gurun Sonoran, California. Secara resmi daerah ini masih masuk
negara bagian California, tapi wilayahnya cukup kecil dan terpencil sehingga hampir tidak
tersentuh pemerintah.
Slab City [Image Source]Kota ini sekarang hanya terdiri dari sisa-sisa barak militer tua yang
dirobohkan. Kebanyakan penduduknya tinggal di mobil RV, kemah, dan tenda. Meski membeli
kebutuhannya dari kota terdekat, penduduk suka menganggap diri mereka berbeda karena
menjauhi hidup mewah ala dunia modern demi mendapatkan hidup yang bebas. Orang-orang yang
datang ke sini umumnya para hipster yang tertarik pada isolasi yang ditawarkannya.

7. Pulau Pitcairn di  Samudera Pasifik

Terakhir adalah pulau Pitcairn di Selatan Samudera Pasifik. Dengan populasi yang hanya 48
orang pada Juli 2014 lalu, pulau ini adalah wilayah yuridiksi dengan populasi terkecil di
dunia. Wilayahnya juga hanya seluas 47 kilometer persegi.
Pulau Pitcairn [Image Source]Pulau Pitcairn dan daerah terisolasi lain di sekitarnya diklaim sebagai
wilayah Kerajaan Inggris. Meski penduduknya patuh pada ratu di Inggris, mereka tetap diizinkan
membuat parlemen lokal untuk mengurus pemerintahan di sana.

Baca Juga :10 Peraturan Aneh Bin Ajaib Yang Hanya Ada di Amerika Serikat

Jika masih ingin menikmati kehidupan yang gampang dan serba modern, ya kita harus mau
menaati peraturan yang ada. Kenyataannya, 7 tempat tanpa hukum yang sudah disebutkan
tadi kalau tidak sedang berkonflik ya tidak memiliki fasilitas. Mau mencoba tinggal di tempat
yang seperti itu?

Anda mungkin juga menyukai