Anda di halaman 1dari 35

 

LAPORAN TUTORIAL SISTEM ONKOLOGI


“MODUL BENJOLAN PADA LEHER ” 

TUTOR : dr. INEZ TIENEKE HASUBA

Kelompok 8 :
Annisa Tri Yustika Bachrun K1A1 14 008
 Nurul Anugrah Wulandari K1A1 14 163
Astrid Nabila K1A1 15 008
Ira Rukmini K1A1 15 017
Milisia Chintya Maria Tulenan K1A1 15 026
 Nining Milasari K1A1 15 031
Andi Tenri Wale K1A1 15 054
M. Farchan Rezika WR K1A1 15 076

 Nadhrah Razak K1A1 15 092


Rifa’atul Mahmudah 
Mahmudah  K1A1 15 110
Wa Ode Hediyati Maharani K1A1 15 121
Ali Laksana Surya K1A1 15 131

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI

2017

 
 

MODUL 1: BENJOLAN PADA LEHER

Skenario 1 :
Seorang laki-laki 40 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan benjolan pada leher
 bagian lateral, yang dirasakannya sejak 4 bulan yang lalu. Benjolan ini mula-mula kecil, yang
kemudian membesar dengan cepat. Benjolan teraba keras tetapi tidak nyeri. Penderita
mengeluh sakit kepala.

Kata kunci :
1.  Laki-laki 40 tahun
2.  Keluhan benjolan pada leher bagian lateral sejak 4 bulan lalu
3.  Benjolan mula-mula kecil dan membesar dengan cepat
4.  Benjolan teraba keras tapi tidak nyeri
5.  Ada keluhan sakit kepala

Pertanyaan :
1.  Jelaskan anatomi leher dan kelenjar limfa leher !
2.  Jelaskan etiologi dan faktor resiko terjadinya benjolan pada leher !
3.  Jelaskan penyakit dengan gejala benjolan pada leher!
4.  Jelaskan patogenesis benjolan pada leher!
5.  Jelaskan hubungan benjolan pada leher dengan sakit kepala 1
6.  Jelaskan langkah-langkah diagnosis !
7.  Jelaskan DD !

 
 

Jawaban pertanyaan
1.  Anatomi leher dan kelenjar limfa leher !
Collum (leher) merupakan bagian dari tubuh manusia yang terletak diantara thorax dan

caput (kepala), dengan batas-batasnya di sebelah cranial adalah basis mandibulae dan suatu
garis yang ditarik dari angulus mandibulae menuju ke processus mastoideus, linea cuchea
suprema sampai ke protiberantia occipitalis externa. Batas caudal dari ventral ke dorsal
dibentuk oleh incisura jugularis sterni, clavicula, acromion dan suatu garis lurus yang
menghubungkan kedua acromia.

 Nodus lymphoidei di daerah kepala dan leher tersusun dalam sebuah kelompok leher
yang terbentang dari bawah dagu sampai ke belakang kepala dan sebuah kelompok terminal
verticalis profunda yang tertanarn di dalam sarung carotis di daerah leher.

Kelompok regional nodus lymphoidei tersusun sebagai berikut:

   Nodus lymphoidei occipitales: terletak di atas os occipital pada belakang kepala.


Menampung limfe dari bagian belakang kulit kepala.
   Nodus lymphoidei retroauriculares (mastoidei): terletak di belakang telinga di atas
 processus mastoideus. Menampung limfe dari kulit kepala di atas telinga, auricula dan

meatus acusticus extemus.

 
 

   Nodus lymphoidei parotidei: terletak pada atau di dalam glandula parotidea.


Menampung limfe dari kulit kepala di atas glandula parotidea, kelopak mata, glandula
 parotidea, auricula dan meatus acusticus externus.
   Nodus lymphoidei buccinatorius (faciales): satu atau dua nodus pada pipi di atas
musculus buccinator. Menampung limfe yang akhimya bermuara ke nodus lymphoidei

submandibulares.
   Nodus lymphoidei submandibulares: terletak pada permukaan superfisial glandula
salivaria submandibularis, tepat dipinggir bawah mandibulae. Menampung limfe dari
kulit kepala bagian depan, hidung, pipi, bibir atas dan bawah (kecuali bagian tengah),
sinus frontalis, maxillaris, dan ethmodalis; gigi atas dan bawah (kecuali incisivus
 bawah); dua pertiga bagian anterior lidah (kecuali ujung lidah); dasar mulut dan
vestibulum; dan gusi.
   Nodus lymphoidei
lymphoidei submentales: terletak di dalam trigonum
trigonum submentale tepat di
di bawah
dagu. Menampung limfe dari ujung lidah, dasar mulut bagian anterior, gigi incisivus,

 bagian tengah bibir bawah, dan kulit di atas dagu.


   Nodus lymphoidei cervicales anteriores: terletak sepanjang vena jugularis anterior
 pada sisi depan leher. Menampung limfe dari kulit dan jaringan superfisial leher bagian
depan
   Nodus lymphoidei
l ymphoidei cervicales superficiales: terletak sepanjang vena jugularis externa
 pada sisi lateral leher. Menampung limfe dari kulit
kulit di atas angulus mandibulae, kulit di
atas bagian bawah glandula parotidea, dan lobus auricula.
   Nodus lynphoidei retropharyngeales: terletak di belakang pharynx dan di depan
columna vertebralis. Menampung limfe dari nasopharynx, tuba auditiva, dan columna

vertebralis.
   Nodus lymphoidei laryngeales: terletak di depan laryrx. Menampung limfe dari larynx.
   Nodus lymphoidei tracheales (paratracheales): terletak sepanjang lateral trachea.
Menampung limfe dari struktur yang berdekatan termasuk glandula thyroidea.

2.  Etiologi dan faktor resiko terjadinya benjolan pada leher !


3.  Penyakit dengan gejala benjolan pada leher!
a.  Gondok endemik
Gondok endemik adakah pembesaran kelenjar tiroid yang diakibatkan oleh
 berbagai macam penyebab terjadi disuatu daerah dengan prevalensi tertentu , biasanya
bias anya

 
 

dikaitkan dengan lingkungan yang mengakami kekurangan yodium baik air minum atau
tanah, jenis mineral dalam nutrisi, atau zat goitrogenik dalam makanan.

 b.  Karsinoma tiroid


Sebagian besar kegansan tiroid tidak memberikan gejala yang berat, kecuali

keganasan jenis anaplastik yang sangat cepat membesar bahkan dalam hitugan minggu.
Sebagian kecil pasien, khususnya pasien dengan nodul tiroid yang besar, mengeluh
adanya gejala penekanan pada esofagus dan trachea. Biasanya nodul tiroid tidak disertai
nyeri, kecuali timbul perdarahan kedalam nodul atau bila kelainannya tiroiditis
akut/subakut. Keluhan lain pada keganasan adalah suara serak.

c.  Limfoma Non Hodgkin (LNH)


Limfoma non Hodgkin adalah kelompok keganasan primer limfosit yang
 berasal dari limfosit B,
B, limfosit T, dan kadang (amat jarang) berasal dari sel NK (Natural

Killer) yang berada dalam sistem limfe. Pada LNH sebuah sel limfosit berpoliferasi
secara tak terkendali yang mngakibatkan terbentuknya tumor. Perubahan sel limfosit
normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel
dari sekelompok sel limfosit tua yang telah berada dalam proses transformasi menjadi
imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen).

d.  Penyakit Hodgkin


Keganasan hodgkin termasuk dalam kegansan limforetikuler yaitu limfoma
malignum, yang terbagi dalam limfoma malignum hodgkin dan limfoma malignum non

hodgkin. Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis, dimana pada limfoma
li mfoma
hodgkin di temukan sel Reed-Sternberg.
Analisis PCR menunjukan bahwa sel Reed-Sternberg berasal dari folikel sel B
yang mengalami gangguan struktur pada imunoglobulin, sel ini juga mengandung suatu
faktor transkripsi inti sel (NFkB), kedua hal tersebut menyebakan ganggua apoptosis.
Gejala Klinis : Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak nyeri,
demam, hepatosplenomegali, neuropati, edema ekstremitas sindrom vena cava, kompresi
medula spinal, disfungsi hollow viscera.

e.  Karsinoma Nasofaring

 
 

Karsinoma nasofaring adalah tumor gans yang tumbuh di nasofaring. Fossa


rosenmuller adalah tempat tersering untuk tumbuhnya tumor ganas tersebut. Gejala dan
tanda : pembesaran kelenjar getah ben
bening,
ing, obstruksi nasi, epistaksis, tinnitus, tuli
unilateral, penglihatan ganda, sakit kepala.

f.  Karsinoma laring


Etiologi karsinoma laring belum diketahui
diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh para
ahli bahwa perokok dan peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang resiko
tinggi terhadap karsinoma laring. Gejala : suara serak, sesak napas, batuk, BB menurun,
 pembesaran kelenjar limfe jugularis prof. sup

g.  Papiloma laring


Tumor ini dapat digolongkan dalam 2 jenis
o   Papiloma laring juvenile, ditemukan pada anak, biasanya berbentuk multipel dan

mengalami regresi pada waktu dewasa


o  Pada orang dewasa biasanya berbentuk soliter, tidak akan mengalami regresi dan
merupakan prekanker
Gejala: Disfonia, batuk, sesak.
Mikroskpis : seperti buah murbei, warna putih kelabu, rapuh, tidak mudah berdarah

h.  Limfadenopaty infeksi


Limfadenopaty infeksi merupakan infeksi sekunder yang banyak terjadi pada
anak-anak seperti pembesaran nodus jugulo-digasric selama atau setelah tonsilitis. Pada

 penyakit ini dapat ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfe dan mungkin dapat
disertai nyeri. Infeksi yang dapat menyebabkan pembesaran KGB pada kasus ini adalah
   TB
   Toxoplasmosis
   Glandular fever
   Brucellosis
   Cat scratch disease
   HIV

i.  Tonsilitis

 
 

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsila palatina yang merupakan bagian dari
cincin waldayer. Cincin waldayer terdiri dari kelenjar limfe yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu : tonsil faring, tonsila palatina, tonsil lingual, tonsil tuba eustachius.
Tonsilitis dapat terjadi di semua umur. Pada tonsilitis akut didapatkan tonsil tampak
membesar, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk fokal, lakuna atau tertutup

membran semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.

 j.  Faringitis

Merupakan peradanganpada dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus


(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain. Pada faringitis dapat
ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfe akut pada anterior leher dengan
konsistensi kenyal dan nyeri pada pembengkakan.

k.  Parapharyngeal abses

Penyakit ini merupakan infeksi kronik pada ruang parapharyngeal. Hal ini
sering disebabkan oleh infeksi primer di tonsil. Parapharyngeal abses sering terjadi pada
anak-anak dan dewasa. Gejala dan tanda meliputi phyrexia, pembengkakan leher pada
m. sternomastoid, dan pasien tampak sehat.

 
 

4.  Jelaskan patogenesis benjolan pada leher!

Berbagai faktor dari lingkungan seperti bahan kimia, radiasi dan virus dapat
menyebabkan kerusakan DNA pada sel-sel yang normal. Dalam keadaan yang normal,
setiap kerusakan DNA akan diperbaiki oleg gen repair. Namun, dalam hal ini gen repair
gagal memperbaiki DNA sehingga kerusakan DNA menetap. Kegagalan perbaikan ini
disebabkan oleh mutasi yang juga menyerang gen-gen perbaikan dan gen yang
mempengeruhi apoptosis. Kerusakan gen berlanjut menjadi mutasi sel somatik. Mutasi ini

menyebabkan aktivasi onkog


onkogen
en yang akan meningkatkan
meningkatkan pertumbuhan, inaktivasi gen
supresor tumor, dan mengganti gen yang mengatur apoptosis. Akibat dari aktivasi onkogen
dan inaktivasi supresor tumor, sel mengalami proliferasi yang tidak terkendali dan
 penurunan apoptosis karena kerusakan gen yang mengaturnya. Akibat terjadi ekspansi
klonal yang ditunjang angiogenesis dan pertahanan terhadap imunitas, pertambahan mutasi
(progesi) dan akhirnya heterogeneitas dari sel-sek yang akhirnya membentuk neoplasma
ganas yang lama kelamaan akan invasi dan metastasis.

5.  Hubungan benjolan pada leher dengan sakit kepala

Sefalgia menempati 57,2-68,6%, kekhasannya adalah nyeri kontinu diregio


temporoparietal atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf

 
 

kranial atau os basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iritasi pembuluh darah
yang menyebabkan sefalgia reflektif.

6.  Langkah-langkah diagnosis


a.  Anamnesis :

 . identitas : nama, jenis kelamin,usia,agama,pekerjaan,suku,agama,


  keluhan utama : yang membuat pasien datang berobat


  riwayat penyakit sekarang :
  yang dimulai dari masa akhr sehat sesuai kronologis urutan waktu

  tanyakan lokasi,pola awitan, sifat dan gejala yang menyertai, frekuensi, faktor

yang memberatkan, dan meringankan


  riwayat pengobatan dan kontak dengan orang yang menderita

  riwayat penyakit dahulu


  tanyakan penyakit yang pernah diderita dan pengobatan serta gejala sisa yang ada

  ada riwayat operasi atau kecelakaan


  alergi

  dapat produk darah

  riwayat pemakain kontrasepsi pada pasien perempuan

  riwayat skrining penyakit keganasan

  riwayat kebiasaan ekonomi dan budaya


  aktivitas sebelum sakit,dan hobi

  pola makan dan konsumsi makanan

  kebiasaan merokok,teh,kopi,alkohol,jamu,nark
merokok,teh,kopi,alkohol,jamu,narkoba
oba

  riwayat perjalanan keluar kota


  pola tidur

  hubungan sosial

  kondisi tempat tinggal dan lingkungan


li ngkungan
  kesulitan yang dihadapi baik keuangan atau pekerjaan

  riwayat keluarga
  kondisi kesehatan anggota keluarga bila masih hidup atau umur saat meninggal

dan sebabnya
  riwayat penyakit yang pernah diderita dam keluarga

  riwayat penyakit herediter

 
 

  anamnesis sistem
  deskripsi keluhan atau masalah dari kepala atau anggota gerak,saraf dan otot,

masalah kejiwaan dan emosional


  rerata berat badan dan ada riwayat penaikan atau penurunan berat badan

  problem khusus pasien usia lanjut

Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus,otalgia, hidung
tersumbat, lendir bercampur darah. Pada stadium lanjut dapat ditemukan benjolan
 pada leher, terjadi gangguan saraf, diplopa, dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV,
V, VI).
 b.   pemeriksaan fisis
Langkah diagnostik yang paling penting adalah pemeriksaan fisik kepala dan
leher. Visualisasi dan palpasi adalah komponen yang paling penting dari pemeriksaan
fisik. Hal ini membantu menentukan lokasi massa sesuai dengan daerah drainase
limfatik, ukuran lesi dan hubungannya
hubungannya dengan struktur sekitarnya (terfiksasi atau

tidak terfiksasi), konsistensi massa, dan berdenyutan atau bruit. Dokter tidak boleh
terfokus pada massa leher dan meng
mengabaikan
abaikan untuk melakukan evaluasi menyeluruh
 pemeriksaan kepala dan leher. Saluran aerodigestif atas harus diperiksa secara
menyeluruh, baik dengan kaca cermin ataupun endoskopi.Massa leher berdenyut,
 bruit atau thrill, ultrasonografi dapat dilakukan untuk membedakan masalah vaskular
degeneratif (misalnya aneurisma) dari kondisi neoplastik (misalnya, glomus dan
tumor karotis). Ultrasonografi juga dapat
dapat membantu untuk membedakan
membedakan massa yang
solid dan kistik, atau kista brankialis bawaan dan kista tiroglosus dari kelenjar getah
 bening yang solid, tumor
tumor neurogenik, dan ektopik

Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.


  Pemeriksaan nasofaring:
  Rinoskopi posterior

   Nasofaringoskop ( fiber / rigid )

  Laringoskopi
  Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging) digunakan

untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker nasofaring


nasofari ng

 
 

c.   pemeriksaan penunjang


  Radiologi

  .CT Scan : Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi


sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial, dan sagital,
tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian kontras dengan injector 1-

2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT berguna untuk melihat tumor primer dan
 penyebaran ke jaringan sekitarnya serta Penyebaran kelenjar getah bening
regional.
  USG abdomen : Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila
dapat keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT
Scan Abdomen dengan kontras.
  Foto Thoraks : Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai
adanya kelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan Thoraks dengan kontras.
  Bone Scan: Untuk melihat metastasis tulang.

Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut diatas untuk menentukan TNM

  Patologi anatomi

  Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring BUKAN


dari Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH) atau biopsi insisional/eksisional
kelenjar getah bening leher.
  Dilakukan dengan tang biopsi lewat hidung atau mulut dengan
  tuntunan rinoskopi
rinoskopi posterior atau tuntunan nasofaringoskopi
nasofaringoskopi rigid/fiber.

7.  Diferensial diagnosis


A.  Karsinoma Nasofaring
1)  Definisi
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada daerah
nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Karsinoma ini terbanyak
merupakan keganasan tipe sel skuamosa.
2)  Epidemiologi
Kanker nasofaring dapat terjadi pada segala usia, ta
tapi
pi umumnya menyerang usia
30-60 tahun, menduduki 75-90%. Proporsi pria dan wanita adalah 3:1.

3)  Etiologi

 
 

Terjadinya kanker nasofaring mungkin multi factor, proses karsinogenesisnya


mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya
kanker nasofaring adalah kerentanan genetic, virus EB, faktor lingkungan.
4)  FaktorRisiko
Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa faktor yang tampaknya

meningkatkan resiko terkena karsinoma nasofaring, termasuk :


  JenisKelamin.Karsinomanasofaringlebihseringterjadipadapriadaripadawanita.

  Ras.Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang-orang di Asia danAfrika

Utara. Di Amerika Serikat, imigran Asia memiliki risiko lebih tinggi dari jenis
kanker, dibandingkan orang Asia kelahiran Amerika.
  Umur. Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering

didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun.


  Makanan yang diawetkan. Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap saat memasak

makanan, seperti ikan dan sayuran diawetkan, dapat masuk kerongga hidung,

meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Paparan bahan kimia ini pada usia
dini, lebih dapat meningkatkan risiko.
  Virus Epstein-Barr. Virus ini biasanya menghasilkan tanda-tanda dan gejala

ringan, seperti pilek. Kadang-kadang dapat menyebabkan infeksi mononucleosis.


Virus Epstein-Barr juga terkait dengan beberapa kanker langka, termasuk
karsinoma nasofaring.
  Sejarah keluarga. Memiliki anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring

meningkatkan risiko penyakit.


5)  Patofisiologi

Rongga nasofaring diselaput selapis mukosa epitel tipis, terutama berupa epitel
skuamosa, epitel torak bersilia berlapis semu dan epitel
e pitel transisional. Di dalam lamina
 propria mukosa sering terdapat sebukan limfosit, di submukosa terdapat kelenjar
serosa dan musinosa. Kanker nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel
yang melapisi nasofaring.
  Pertumbuhan dan ekspansi

Lokasi predileksi kanker nasofaring adalah dinding lateral nasofaring


(terutama di resesus faringeus)
far ingeus) dan dinding supero posterior Tingkat keganasan
kanker nasofaring tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung menginfiltrasi

 berekspansi ke struktur yang berbatasan: keatas dapat langsung merusak basis


kranial, juga dapat melalui foramen sfenotik,
sf enotik, foramen ovale, foramen spinosum

 
 

kanaliskarotis internal atau sinus sfenoid dan selulaetmoidal posterior dll.


Lubang saluran atau retakan alamiah menginfiltrasi intrakranial, mengenai saraf
kranial; keanterior menyerang rongga nasal, sinus maksilaris selula etmoidalis
anterior, kemudian kedalam orbita, juga dapat melalui intrakranium, fisura
orbitalis superior atau kanalis pterigoideus resesus pterigopalatina aluke orbita;

ke lateral tumor dapat menginfiltrasi celah parafaring, fosa infratemporal dan


kelompok otot kunyah dll.: ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak
 prevertebra servikal,
s ervikal, vertebra
vert ebra servikal;
se rvikal; ke inferior mengenai orofaring bahkan
laring ofaring

  Metastasis

Lokasi metastasis kelenjar limfe tersering


te rsering ditemukan pada kelenjar limfe
 profunda leher atas bawah otot digastric, yang di trigonum servikal
 posterior.Lokasi metastasis jauh tersering adalah ketulang, lalukeparu, hati,
dansering kali terjadi metastasis di banyak organ sekaligus.
6)  Manifestasi Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala
dileher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung.
Ganggguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa
tinitus, rasa tidak nyaman ditelinga sampai rasa nyeri ditelinga (otalgia). Dan
terkadang ditemukan nyeri didaerah temporal.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
 beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala
lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak
ke III, IV, VI, dan dapat pula V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang
membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan
gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan yang
 berarti. Proses karsinoma
karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak
otak ke IIX,
X, X, XI dan XII
 jika penjalaran melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan
sindrom Jackson. Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.
7)  Diagnosis

 
 

Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien KNF datang dengan gejala pada
nasofaring, gejala telinga, gejala pada mata, saraf dan leher. Gejala tersebut
mencakup hidung tersumbat, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, sefalgia, diplopia,
 benjolan pada leher.

Pasien dengan epistaksis, hidung tersumba menetap, tuli unilateral,


limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga
nasofaringnya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik.
Pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan: Pemeriksaan kelenjar limfe leher,
 pemeriksaan saraf kranial, pemeriksaan serologi, pemeriksaan CT-Scan, MRI dan
PET (positronn emission tomography), untuk melihat metastasis jauh dapat
dilakukan pemeriksaan foto toraks, bone scan, USG Abdomen.
Pada pemeriksaan serologi meliputi pemeriksaan antibodi Imunoglobulin A
terhadap EBV, EA (early antigen), Viral Capsid Antigen (VCA) dapat diambil dari

darah tepi dan atau brushing nasofaring.


Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung
dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan
melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai
 bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang
 berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang
dihidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga

 palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih
 jelas.Untuk penentuan stadium dapat dipakai sistem TNM menurut UICC
UICC (2002).
8)  Histopatologi
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma pada
nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak
 berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi. Limfoepitelioma, sel
transisional, sel spindle, sel clear, anaplastik dan lain-lain dimasukkan dalam

kelompok tidak berdiferensiasi.


9)  Penatalaksanaan

 
 

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada


 penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan ttambahan
ambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan

kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan). Berbagai macam
kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan cis-
 platinum sebagai inti. Pemberian ajuvan kemoterapi selain cis-platinum
ci s-platinum dapat juga
 bleomycin dan 5-fluorouracil. Kemoterapi yang banyak digunakan saat ini adalah
 platinum based (CCPD) yang diberikan 30-40 mg/m, diikuti 2 setengah jam
kemudian oleh radiasi.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di
leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
 penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang

dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta tidak ditemukan


adanya metastasis jauh. Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif)
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.
B.  Limfoma Malignum
1.  Defenisi

Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan
 jaringan limfoid. Berdasarkan tipe histologiknya, limfoma dapat dibagi menjadi
menjadi dua
kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin.

Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan primer


pr imer
kelenjar getah bening, yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan terkadang
sel NK. Saat ini terdapat 36 entitas penyakit yang dikategorikan sebagai LNH dalam
klasifikasi WHO. LNH merupakan keadaan klinis yang
ya ng kompleks dan bervariasi
dalam hal patobiologi maupun perjalanan penyakit. Insidennya berkisar 63.190
kasus pada tahun 2007 di AS dan merupakan penyebab kematian utama pada kanker
 pada pria usia 20-39 tahun. Di Indonesia, LNH bersama-sama dengan limfoma
Hodgkin dan leukemia menduduki urutan peringkat keganasan ke-6.

Limfoma Hodgkin sendiri merupakan limfoma dengan karakteristik histologi

utama berupa sel datia tumor berinti tunggal, inti banyak atau berinti sepasang
simetris (secara terpisah disebut dengan sel Hodgkin atau sel Reed-Sternberg) yang

 
 

tersebar sporadic, dengan latar belakang berbagai jenis sel radang reaktif non
neoplastic, termasuk limfosit, sel plasma, granulosit eosinofilik dan unsur selular
lain dan matriks fibrosis. Menurut klasifikasi WHO, limfoma Hodgkin dapat dibagi
menjadi: HL jenis predominan limfosit nodular dan HL klasik, yang terakhir lebih
lanjut dibagi menjadi: jenis nodular sclerosis, jenis klasik sarat limfosit, jenis sel

campuran dan jenis deplesi limfosit.

2.  Etiologi
Terdapat kaitan jelas antara HL dan infeksi virus EB (Ebstein Barr). Pada
kelompok terinfeksi HIV, insiden HL agak meningkat dibandingkan masyarakat
umum, selain itu menifestasi klinis HL yang terkait HIV sangat kompleks, sering
kali terjadi pada stadium lanjut penyakit, mengenai regio yang jarang ditemukan,
seperti sumsum tulang, kulit, meningen, dll.
Infeksi virus dan regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya NHL,
 bahkan kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. Virus RNA, HTLV-1
 berkaitan dengan leukimia sel T dewasa; virus imunodefisiensi hummanus (HIV)
menyebabkan AIDS, defek imunitas yang diakibatkan berkaitan dengan timbulnya
limfoma sel B keganasan tinggi; virus hepatitis C (HCV) berkaitan dengan
timbulnya limfoma sel B indolen. Gen dari virus DNA, virus Ebstein Barr (EBV)
telah ditemukan terdapat di dalam genom sel limfoma Burkitt Afrika; infeksi kronis
Helicobacter pylori berkaitan jelas dengan timbulnya limfoma lambung, terapi
eliminasi H. Pylori dapat menghasilkan remisi pada 1/3 lebih kasus limfoma
lambung. Defek imunitas dan regulasi-menurun imunitas berkaitan dengan timbulan
 NHL, termasuk AIDS, reseptor cangkok organ, sindrom defek imunitas kronis
(agamaglobinemia, sindrom Wiskott-Aldrich), penyakit autoimun (sindrom
( sindrom Sjogren,
 penyakit rematoid, lupus eritematosus, tiroiditis Hashimoto) dll. Obat seperti
fenitoin dan radiasi dapat menimbulkan setiap fase
f ase penyakit limfoproliferatif hingga
limfoma.
3.  Manifestasi Klinis
Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada umumnya non-spesifik,
non-spesifik,
diantaranya:
  Penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan
  Demam 38oC >1 minggu tanpa sebab yang
yang jelas
  Keringat malam banyak

 
 

  Cepat lelah
  Penurunan nafsu makan
  Pembesaran kelenjar getah bening yang terlibat
  Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak nyeri di leher, ketiak atau
 pangkal paha (terutama bila berukuran di atas 2 cm); atau sesak napas akibat

 pembesaran kelenjar getah bening mediastinum maupun splenomegali.

Tiga gejala pertama harus diwaspadai karena terkait dengan prognosis yang
kurang baik, begitu pula bila terdapatnya Bulky Disease (KGB
( KGB berukuran > 6-10 cm
atau mediastinum >33% rongga toraks). Menurut Lymphoma International
Prognostic Index, temuan klinis yang mempengaruhi prognosis penderita LNH
adalah usia >60 tahun, keterlibatan kedua sisi diafragma atau organ ekstra nodal
(Ann Arbor III/IV) dan multifokalitas (>4 lokasi).

Pada umumnya karakteristik klinis Limfoma Hodgkin (HL) dan Limfoma Non

Hodgkin (NHL) memiliki perbedaan berikut :

  HL kebanyakan memiliki keluhan pertama berupa Limfadenopati superficial,


khususnya Limfadenopati leher, sedangkan N
NHL
HL sekitar 40% timbul pertama
dijaringan limfatik ekstranodi, termasuk lingkar weldeyer faring dan intra
abdomen, dengan manifestasi pembesaran tonsil, massa faring, massa abdomen,
nyeri abdomen, dll. Sebagian pasien HL jenis nodular sclerosis dapat juga tampil
ta mpil
dengan manifestasi utama massa mediastinum. Sebagian kecil HL datang dengan
demam tak jelas sebabnya. Bila kelenjar limfe superfisial tak membesar, kelainan
terbatas di rongga abdomen atau retroperitoneal sering kali adalah jenis deplesi
limfosit
  HL sering tampil pertama berupa pembesaran satu kelompok kelenjar limfe, dan
dapat dalam jangka waktu sangat panjang tetap stabil atau
ata u kadang membesar dan
kadang mengecil, lalu melalui jalur tertentu secara gradual ekspansi ke jaringan
limfatik didekatnya . Sedangkan NHL perkembangannya tidak beraturan, tidak
 jarang pasien sejak awal tampil dengan limfadenopati generalisasi.
  Limfadenopati pada HL, sering kali lebih lunak, lebih mobil, antara kulit didasar
dan beberapa massa kelenjar limfe tidak saling melekat, sedangkan NHL
khususnya yang berderajat keganasan tinggi sering kali menginvasi jaringan
lunak sekitar kelenjar limfe bahkan kulit, membentuk satu massa relatif keras

 
 

terfiksasi, bila mengenai kulit permukaan tampak merah, udem, nyeri, pada
stadium lanjut dapat berulserasi.
   Pada HL sering terjadi demam, keringat dingin, ruam kulit, pruritus, eosinofilia,
dll.; reaksi hipersensitif kulit tertunda postif, juga sering ditemukan reaksi
terhadap berbagai antigen

  Secara umum HL berkembang relatif lambat, perjalanan penyakit lebih panjang,


reaksi terapi lebih baik. Sedangkan kasus NHL (selain jenis keganasan rendah)
sering kali progresi lebih cepat, perjalanan penyakit lebih pendek, reaksi terapi
tidak seragam, walaupun terjadi remisi tapi mudah kambuh, prognosis lebih
 buruk.

4.  Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a.  Anamnesis
  Umum:

  Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) atau organ


  Malaise umum
  Berat badan menurun 10% dalam waktu 3 bulan
  Demam tinggi 38˚C selama 1 minggu tanpa sebab
  Keringat malam
  Keluhan anemia (lemas, pusing, jantung berdebar)
  Penggunaan obat-obatan tertentu
  Khusus:

  Penyakit autoimun (SLE, Sjorgen, Rheuma)


  Kelainan Darah
  Penyakit Infeksi (Toxoplasma, Mononukleosis, Tuberkulosis, Lues, dsb)
 b.  Pemeriksaan Fisik
  Pembesaran KGB

  Kelainan/pembesaran organ
c.  Pemeriksaan Diagnostik
  Biopsi:

  Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif,

superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar superfisial/perifer yang

 
 

 paling representatif, maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau


intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa:
Rutin:
Histopatologi: sesuai kriteria REAL-WHO
Khusus:

Imunohistokimia
  Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup
hanya dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi,
maka kombinasi core biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain
(IHK, Flowcytometri dan lain-lain) mungkin mencukupi untuk diagnosis
  Tidak diperlukan penentuan stadium dengan laparotomi
  Laboratorium:

  Rutin
Hematologi:

1)  Darah Perifer Lengkap (DPL) : Hb, Ht, leukosit, trombosit, LED,
hitung jenis
2)  Gambaran Darah Tepi (GDT) : morfologi sel darah
Analisis urin : urin lengkap
Kimia klinik:
1)  SGOT, SGPT, Bilirubin (total/direk/indirek), LDH, protein total,
albumin-globulin
2)  Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kreatinin
3)  Gula Darah Sewaktu

4)  Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P


5)  HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg)
  Khusus
1)  Gamma GT
2)  Serum Protein Elektroforesis (SPE)
3)  Imunoelektroforesa (IEP)
4)  Tes Coomb
5)  B2 mikroglobulin
  Aspirasi Sumsum Tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina

illiaca dengan hasil spesimen 1-2 cm

 
 

  Radiologi Untuk pemeriksaan rutin/standard dilakukan pemeriksaan CT

Scan thorak/abdomen. Bila hal ini tidak memungkinkan, evaluasi sekurang-


kurangnya dapat dilakukan dengan : Toraks foto PA dan Lateral dan USG
seluruh abdomen.
  Konsultasi THT bila Cincin Waldeyer terkena dilakukan laringoskopi.

  Cairan tubuh lain (Cairan pleura, cairan asites, cairan liquor serebrospinal)
Jika dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin,
disamping pemeriksaan rutin lainnya.
  Imunofenotyping minimal dilakukan pemeriksaan imunohitstokimia (IHK)

untuk CD 20 dan akan lebih ideal bila ditambahkan dengan pemeriksaan


CD45, CD3 dan CD56 dengan format pelaporan sesuai dengan kriteria WHO
(kuantitatif).
  Konsultasi jantung. Menggunakan echogardiogram untuk melihat fungsi

 jantung

5.  Klasifikasi Stadium

Klasifikasi stadium Penetapan stadium penyakit harus dilakukan sebelum


 pengobatan dan setiap lokasi jangkitan harus didata dengan cermat baik jumlah dan
ukurannya serta digambar secara skematis. Hal ini penting dalam menilai hasil
 pengobatan. Disepakati menggunakan system staging menurut Ann-Arborr.

 
 

Keterangan :

A : Tanpa
Tanpa gejala konstitusional
konstitusional
B : Dengan gejala konstitusional

E : Keterlibatan ekstranodal

6.  Klasifikasi Histologik Limfoma Non-Hodgkin


Penggolongan histologic Limfoma Non Hodgkin merupakan masalah yang
rumit. Perkembangan terkhir klasifikasi yang banyak digunakan dan diterima oleh
 pusat-pusat kesehatan adalah berdasarkan Formulasi praktis IWF dan REAL/WHO.

B Cell Neoplasm

  Precursor B-cell neoplasm: Precursor B-Acute Lymphoblastic


Leukemia/lymphoblastic lymphoma
  Peripheral B-cell neoplasms
a)  B-cell chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma
 b)  B-cell prolymphocytic leukemia
c)  Lymphoplasmacytic lymphoma
d)  Mantle cell lymphoma
e)  Follicular lymphoma
f)  Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT type

 
 

g)   Nodal marginal zone B-cell lymphoma H.Splenic


H.Splenic marginal zone lymphoma
h)  Hairy cell leukemia
i)  Plasmacytoma/ plasma cell myeloma
 j)  Diffuse large B-cell lymphoma
k)  Burkitt’s lymphoma 
lymphoma 

T Cell and putative NK Cell Neoplasm

   Precursor T-cell neoplasms: Precursor T Acute Lymphoblastic


Leukaemia/Lymphoblastic Lymphoma
   Peripheral T Cell and NK Cell Neoplasm
a)  T Cell chronic lymphocytic leukemia/prolymphocytic leukemia
 b)  T-cell granular lymphocytic leukaemia
c)  Mycosis fungoides / Sézary syndrome
d)  Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise characterized

e)  Hepatosplenic gamma/delta lymphoma


f)  Subcutaneous panniculitis-like T-cell lymphoma
g)  Angioimmunoblastic T-cell lymphoma
h)  Extranodal NK/T cell lymphoma, nasal type
i)  Enteropathy-type intestinal T-cell lymphoma
 j)  Adult T-cell leukaemia/lymphoma
k)  Anaplastic large-cell lymphoma primary systemic type
l)  Anaplastic large-cell lymphoma primary cutaneus type
m)  Aggressive NK cell leukaemia

7.  Status Penampilan (Performance Status Scale)

 
 

Skala status penampilan yang biasa digunakan adalah kriteria karnofsky


kar nofsky

8.  Rencana Terapi Limfoma Non-Hodgkin

Pilihan terapi bergantung pada beberapa hal, antara lain: tipe limfoma (jenis
histologi), stadium, sifat tumor (indolen/progresif), usia, dan keadaan umum pasien.

a.  Limphoma Non Hodgkin Indolen (Folikular)


 LNH INDOLEN STADIUM I DAN II

Radioterapi memperpanjang disease free survival pada beberapa pasien.


Standar pilihan terapi:
1.  Iradiasi
2.  Kemoterapi + radiasi
3.  Extended (regional) iradiasi
4.  Kemoterapi (terutama pada stadium ≥2 menurut kriteria GELF) 
GELF)  

5.  Kombinasi kemoterapi dan imunoterapi


 LNH INDOLEN STADIUM II, III, IV

Standar pilihan terapi


1.  Tanpa terapi
2.  Rituximab dapat diberikan sebagai kombinasi terapi lini pertama yaitu R-
CVP. Pada kondisi dimana Rituximab tidak dapat diberikan maka
kemoterapi kombinasi merupakan pilihan pertama misalnya: COPP, CHOP
dan FND.
3.  Purine nucleoside analogs (Fludarabin) pada LNH primer
4.  Alkylating agent oral (dengan/tanpa steroid), bila kemoterapi kombinasi
tidak dapat diberikan/ditoleransi ( (cyclofosfamid, chlorambucil)
5.  Rituximab maintenance dapat dipertimbangkan

 
 

6.  Kemoterapi intensif ± Total Body irradiation (TBI) diikuti dengan stem cell
resque dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu
7.  Raditerapi paliatif, diberikan pada tumor yang besar (bulky) untuk
mengurangi nyeri/obstruksi.
 LNH INDOLEN RELAPS

Standar pilihan terapi


1.  Radiasi paliatif
2.  Kemoterapi
3.  Transplantasi sumsum tulang
 b.  LNH AGRESIF (DIFFUSE LARGE B CELL LYMPHOMA)
 LNH STTADIUM I DAN II

Pada kondisi tumor non bulky (diameter tumor< 10 cm) dengan kriteria:
 pasien muda risiko rendah atau rendahmenengah (aaIPI score
s core ≤1) dan risiko
tinggi atau menengahtinggi (aaIPI ≥2), bila fasilitas memungkinkan,

kemoterapi kombinasi R-CHOP 6-8 siklus merupakan protokol standar saat ini
serta dapat dipertimbangkan pemberian radioterapi (untuk konsolidasi).
 LNH STADIUM I-II (BULKY), III DAN IV

1.  Bila memungkinkan, pemberian kemoterpi RCHOP 6-8 siklus ± radioterapi


konsolidasi, dipertimbangkan pada stadium I dan II
2.  Uji klinik pada stadium II dan IV
 LNH REFRAKTER/RELAP
REFRAKTER/RELAPS
S
1.  Pasien LNH refrakter yang gagal mencapai remisi, dapat diberikan terapi
salvage dengan radioterapi jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi

 pilihan bila memungkinakan adalah kemoterapi salvage diikuti dengan


transplantasi sumsum tulang
2.  Kemoterapi salvage seperti R-DHAP maupun R-ICE
3.  High dose chemotherapy plus radioterapi diikuti dengan transplantasi
sumsum tulang
9.  Rencana Terapi Limfoma Hodgkin
a)  Limfoma Hodgkin stadium I-II
 Kasus LPHD stadium IA tanpa factor prgnostik buruk (usia ≥50 tahun,

massa sanagt besar), laju endap darah meninggi, simtom B danlokasi

kelenjar limfe terkena ≥4 area), dapat dipertimbangkan hanya diradioterapi

 
 

dengan medan lebih kecil, atau pasca kemoterapi dengan formula 3-4 kur
diberikan radioterapi area terkena.
 Stadium IIA (LPHD), stadium IA atau IIA (NSHL, MCHL atau LRCHL)

tanpa factor prognostic buruk, jika lesi terletak supradiafragma, dapat


dipertimbangkan pasca kemoterapi dengan formula ABVD 3-4 kur diberikan

radioterapi area terkena, atau radioterapi dengan medan lebih luas; bila lesi
terletak intradiafragma, bila lesi stadium IA di abdomen atas, dapat
dipertimbangkan hanya diradioterapibatau pasca kemoterapi dengan formula
ABVD 3-4 kur diberikan radioterapi area terkena; sedangkan stadium IA di
abdomen bawah atau stadium IIA makan dianjurkan pasca tkemoterapi
dengan formula ABVD 3-4 kur diberikan radioterapi area terkena.
 Kasus stadium I-II dengan factor prognostic buruk semuanya dianjurkan

 pasca kemoterapi dengan formula ABVD 3-4 kur diberikan radioterapi area
terkena

 b)  Limfoma Hodgkin stadium III-IV


HL stadium lanjut terutama diterapi dengan kemoterapi kombinasi 6-8
kur, terhadap lokasi massa sangat besar pasca remisi total dengan kemoterapi
dapat diberikan radioterapi lokal. Formula perpaduan MOPP/ABV yang berasal
dari MOPP dan ABVD mungkin hasilnya lebih baik dari formula semula,
formula BEACOPP dianggap sebagai formula yang lebih memiliki harapan
dalam meningkatkan efek terapi terhadap HL stadium lanjut
c)  Limfoma Hodgkin Rekuren atau Refrakter
 Bila pada terapi pertama dengan formula standar kemoterapi tak terjadi

remisi total, disebut juga sebagai HL refrakter. Prognosis pasien demikian


sangat buruk, dapat terus diterapi dengan formula yang tidak memiliki
resistensi obat silang dan/atau lokasi lesi residif diberikan radioterapi
terhadap area terkena. Bila tersedia sarananya, ditambahkan kemoterapi
keras didukung sel stem hemopoetik autolog, mungkin dapat meningkatkan
efektivitas
 Bila terjadi rekuren dalam waktu 1 tahun setelah remisi total pasca

kemoterapi, harus dikemoterapi dengan formula yang tidak memiliki


resistensi obat silang, misalnya pada awal dikemoterapi dengan MOPP, pasca

rekurensi dapat diberikan formula ABVD, sebaliknya pun berlaku.

 
 

 Bila rekuren dalam waktu tidak sampai 1 tahun pasca terapi, khususnya pada

kasus yang masih sensitive dengan kemoterapi ulang, dapat dipikirkan


kemoterapi dosis besar dengan dukungan cangkok sel stem hemopoietik
autolog, dapat meningkatkan efektivitas terapi.
 Bila rekuren terjadi setelah
setela h satu tahun pasca kemoterapi, dapat menggunakan

formula kemoterapi semula atau dengan formula lain yang tak memiliki
resistensi obat silang, masih terdapat harapan besarterjdi remisi kedua dan
survival jangka panjang
 Bila rekuren terjadi pada HL yang diterapi hanya dengan radioterapi, dapat

dikemoterapi dengan formula standar MOPP atau ABVD, sekitar 50-80%


 pasien dpat diharapkan mengalami remisi dan survival jangka panjang
panjang
10.  Formula Kemoterapi standar Limfoma Hodgkin
a.  Formula ABVD

ADR 25 mg/m2  iv, d1, d15


BLM 10 mg/m2  iv, d1, d15
VLB 6 mg/m2  iv, d1, d15
DTIC 350 mg/m2  iv, d1-5
Ulangi setiap 28 hari. Selanjutnya DTIC diganti dengan 375mg/m2,d1, d15

 b.  Formula MOPP

HN2 6 mg/m2  iv, d1, d8

VCR 1,4 mg/m2  iv, d1, d8


PCZ 100 mg/m2  po, d1-14
Pred. 40 mg/m2  po, d1-14

Pred. hanya dipakai pada kur pertama dank e-4. C-MOPP adalah memakai CTX
menggantikan HN2, dosisnya 650 mg/m2, d1, d8

c.  Formula MOPP/ABV bersilang


HN2 6 mg/m2  iv, d1
VCR 1,4 mg/m2  iv, d1 (dosis max. 2mg)

 
 

PCZ 100 mg/m2  Po, d1-7


Pred. 40 mg/m2  Po, d1-14
ADR 35 mg/m2  iv, d8
BLM 10 mg/m2  iv, d8 (harus didahului hidro-kortison 100 mg iv)
VLB 6 mg/m2  iv, d8

Diulangi tiap 28 hari

d.  Formula BEACOPP

CTX 650 mg/m2  (dosis dapat dinaikkan s/d 1250 mg/m2) iv, dl
VP-16 100 mg/m2  (dosis dapat dinaikkan s/d 200 mg/m2) dl-3
PCZ 100 mg/m2  Po, d1-7
Pred. 40 mg/m2  Po, d1-14
ADR 25 mg/m2  (dosis dapat dinaikkan s/d 35 mg/m2) iv, dl
BLM 10 U/m2  iv, d8, harus didahului hidrokortison 100 mg iv
VCR 1,4 mg/m2  iv, d8 (maksimal 2 mg)
Diulangi setiap 3 minggu

11.  Komplikasi

Ada dua jenis komplikasi yang dapat terjadi pada penderita limfoma maligna,
yaitu komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi karena

 penggunaan kemoterapi. Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dapat


 berupa pansitopenia, perdarahan, infeksi, kelainan pada jantung, kelainan pada
 paru-paru, sindrom vena cava superior, kompresi pada spinal cord, kelainan
neurologis, obstruksi hingga perdarahan pada traktus gastrointestinal, nyeri, dan
leukositosis jika penyakit sudah memasuki tahap leukemia.
l eukemia. Sedangkan komplikasi
akibat penggunaan kemoterapi dapat berupa pansitopenia, mual dan muntah,
infeksi, kelelahan, neuropati, dehidrasi setelah diare atau muntah, toksisitas jantung
akibat penggunaan doksorubisin, kanker sekunder, dan sindrom lisis
lisi s tumor  

12.  Prognosis

 
 

The International Prognostic Score, prognosis limfoma hodgkin ditentukan


oleh beberapa faktor di bawah ini, antara lain:

   Serum albumin < 4 g/dL

   Hemoglobin < 10.5 g/dL

   Jenis kelamin laki-laki

   Stadium IV

   Usia 45 tahun ke atas

   Jumlah sel darah putih > 15,000/mm3 

   Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih

Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai
90%, sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan
hidupnya hanya 59%.

Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi

 prognosisnya antara lain:

   usia (>60 tahun)


   Ann Arbor stage (III-IV)
   hemoglobin (<12 g/dL)
    jumlah area limfonodi yang terkena (>4) and
   serum LDH (meningkat)
yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko
rendah (memiliki 0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas),
dan resiko buruk (memiliki 3 atau lebih faktor di atas)

C.  Karsinoma Tiroid


1.  Definisi
Karsinoma tiroid berinsiden relative rendah
r endah dan memiliki banyak tipe patologik.
Tumor dengan tipe patologik berbeda memiliki manifestasi klinis, metode terapi,
 prognosis dll. yang berbeda signifikan. Adenokarsinoma papilar tiroi merupakan

 
 

karsinoma tiroid yang tersering ditemukan, atau menempati 60% lebih,


le bih, terapi utama
secara operasi, prognosis cukup baik.
2.  Epidemiologi
Insiden kanker tiroid bervariasi menurut kawasan dan kawasan yang berbeda.
Di Eslandia dan Hawai, insiden kanker tiroid yang sangat tinggi. Di China relative

rendah, dengan ini belum terdapat data statistic di China.


Karsinoma tiroid merupakan penyakit keganasan terbanyak pada system
endokrin. Insidensnya meningkat seiring dengan usia dan mendatar setelah usia 50
tahun. Kejadian pada perempuan dua kali lebih banyak disbanding laki-laki.
3.  Etiologi
Etiologi yang saat ini dianggap dapat menyebabkan karsinoma tiroid adalah
kenaikan sekresi hormone TSH, radiasi ion pada leher (terutama pada anak-anak),
dan faktor genetik (riwayat karsinoma tiroid pada keluarga).
4.  Faktor risiko

Faktor risiko adalah usia, pembesaran nodul lebih dari 4 cm, massa leher baru
atau membesar, paralisis pita suara atau serak, adanya nodul yang terfiksasi, ekstensi
ekstra-tiroid, dan defisiensi iodium
5.  Pemeriksaan klinis Histopatologis
a.  Karsinoma papiler sering bermanifestasi sebagai lesi soliter atau multifokal
didalam tiroid. Pada sebagian kasus tumor ini dapat berbatas tegas dan bahkan
 bersimpai. Tumor ini juga dapat menginfiltrasi parenkim se
sekitar
kitar dengan batas
yang tidak jelas. Inti sel karsinoma papilermengandung kromatin yang tersebar
sangat halus, memberikan penampakan jernih secara optikal, sehingga disebut

inti ground glass. Selain itu invaginasi sitoplasma dapat dapat memberikan
gambaran inklusi intranuklear pada potongan melintang. Papil neop
neoplastik
lastik biasa
ditemukan memiliki tangkai fibrovaskuler yang padat. Struktur kalsifikasi
konsentris disebut jisism psammoma sering terdapat dalam papil.
 b.  Karsinoma folikuler
Pada pemeriksaan mikroskoik sebagian besar karsinoma folikuler terdiri atas
sel yang relatife uniform yang membentuk folikel kecil, menyerupai tiroid
normal. Karsinoma folikuler dapat invasi luas, menginviltrasi arenkim tiroid
dan jaringan lunak ekstratiroidal.

c.  Karsinoma anaplastik


Karsinoma anaplastik (karsinoma tak berdiferensiasi)

 
 

 bermanpifestasi spebagai massa besar yang secara khas tumbuh melewati


simpai tiroid ke struktur leher sekitarnya. Pada pemeriksaan mikroskopik
neoplasma ini terdiri atas sel yang angat anaplastik, yang daat menunjukpkan
salah satu dari beberapa pola histologis berikut :
  Sel datia yang pleomorfik dan besar

  Sel spindel dengan gambaran sarkomatosa


  Lesi campuran sel spindel dan sel datia


d.  Karsinoma meduler
Karsinoma meduller dapat timbul sebagai suatu nodul soliter atau dapat
 bermanifestasi sebagai lesi multipel yang melibatkan kedua lobus tiroid. Lesi
yang besar sering mengendung daerah nekrosis dan perdarahan dan dapat
meluas melewati simpai. Ada pemeriksaan mikroskopik, karsinoma meduler
terdiri atas sel berbentuk poligonal hingga spindel yang dapat membentuk
sarang trabekula dan bahkan folikel. Deposit amiloid yang berasal dari molekul

kalsitonis yang berubah, terdapat distroma sekitarnya merupakan gambaran


khas.1

6.  Manifestasi klinis


a.  Tumor atau nodul tiroid : gejala yang sering ditemukan, sejak dini dapat
diketahui adanya nodul keras dalam kelenjar tiroid , bergerak naik turun sesuai
gerakan menelan.
 b.  Gejala infiltrasi dan desakan lokal : ketika tumor membesar sampai batas
tertentu, sering mendesak trakea hingga posisinya berubah, disertai gangguan

 beranfas yang
yang bervariasi intensitasnya. Ketika tumor mneginviltrasi trakea dapat
dapat
timbul dipsnea atau hemoptoe, bila tumor mendesak esofagus dapat timbul
disfagia, bila tumor menginfiltrasi nervus laringeus rekuren dapat timbul suara
serak.
c.  Pembesaran kelenjar limfe leher : ketika tumor mengalami metastasis kelenjar
limfe, sering teraba pembesaran kelenjar limfe leher profunda superior, media,
inferior.2 

7.  Diagnosis

 
 

Langkah mendasar adalah melakukan penilaian terhadap tumor tiroid dengan


anamnesis dan pemeriksaan fisik.
a.  Anamnesis
Anamnesis harus menitikberatkan pada usia pasien , jenis kelamin, ada tidaknya
riwayat paparan radiasi didaerah kepala dan leher, ukuran dan laju pertumbuhan

tumor di leher, ada tidaknya gejala desakan atau inviltrasi lokal, ada
tidaknyamanifestasi sindrom karsinoid, ada tidaknya riwayat keluarga dengan
gangguan tiroid.
 b.  Pemeriksaan fisik harus menitikberatkan perhatian pada jumlah, ukuran,
 bentuk, konsistensi, mobilitas, permukaan licin
li cin atau tidak, ada tidaknya n
nyeri
yeri
tekan, aakah bergerak naik turun sesuai gerakan menelan, kelenjar limfe
membesar atau tidak,gerakan pita suara. Bila terdapat kondisiberikut ini maka
harus mewaspadai atau memikirkan kemungkinan kanker tiroid :
  Pria dan anak, kemungkinan kanker besar, 50% nodul tiroid pada masa

kanak adala kanker


  Bertambah besar mendadak dalam waktu singkat
  Timbulnya gejala desakan, seerti suara serak atau dipsnepa
  Konsistensi tumor keras, permukaan kasar dan tidak rata
  Mobilitas tumor terbatas atau terfiksasi, tidak turun naik saat menelan
  Pembesaran kelenjar limfe leher, aspirasi kelenjar limfe mengeluarkan
cairan berwarna hijau rumput.2 
c.  Pemeriksaan pnunjang
  Pemeriksaan serologi : terutama pemeriksaan fungsi tiroid, dan kadar
kalsitonis serum. Sebagian besar pasien kanker tiroid memiliki fungsi tiroid
normal. Bila kadar kalsitonin meningkat dapat didiagnosis karsinoma tiroid
medular
  USG : merupakan cara yang cukup sensitiif untuk memeriksa ukuran dan
 jumlah tumor tiroid, sifatnya padat atau kistik, ada tidaknya
tidaknya kalsifikasi.
  Pemeriksaan radioisotop : sebagian besar karsinoma tiroid berdiferensiasi
dapat mengambil iodium, tampak sebagai nodul hangat. Jika terjadi
 perubahan kistik sebagian atau seluruhnya tampak sebagai nodul
nodul sejuk.
  Pemariksaan sinar X : foto anteroposterior trakea dapat menunjukkan
menunjukkan
kalsifikasi pada tumor tiroid, kondisi desakan, pergeseran posisi dan

 
 

 penyempitan trakea, serta bayangan jarinagan lunak paravertebral, juga


dapat menunjukkan kondisi batas inferior tumor berekstensi ke posterior
sternum dan mediastinum.
  Pemeriksaan CT scan : dapat menunjukkan lokasi, jumlah tumor, ada
tidaknya kalsifikasi, kondisi struktur internalnya dan keteraturan batasnya.

  Pemeriksaan MRI : dapat menampilkan potongan koronal, sagital
transversal, dengan lapisan multiple, sangat baik dalam diagnosis lokalisasi
karsinoma tiroid dan hubungannya dengan organ, vaskuler, jaringan
sekitarnya.
  Pemeriksaan PET : dalam diagnosis lesi tiroid jinak atau ganas memiliki
akurasi relatif tinggi, tapi ini bukan cara diagnosis pasti, biayanya relatif
sangat tinggi.
  Pemeriksaan sitologi aspirasi jarum halus : FNAC merupakan cara
diagnosis sifat yang tersering dipakai praoperasi untuk nodul tiroid,
kelebihannya adalah aman, praktis, murah dan akurasinya relatif tinggi. 2 

8.  Penatalaksanaan
a.  Terapi operatif
Penanganan terhadap kanker primer :
  Labektomi unilateral plus ismektomi : bila tumor terbatas pada satu sisi
tiroid
  Tiroidektomi total : bila lesi tiroid mengenai kedua lobus, atau kanker tiroid
sudah memiliki metastasis jauh, memerlukan terapi dengan isotop pasca
operasi, tetapi harus dilakukan tiroidektomi terlebih dahulu.
  Reseksi diperluas lobus residual unilateral : terhadap tumor tiroid dengan
sifat tidak jelas dialakukan eksisi lokal tumor , pasca operasi secara
 patologik ganas, dialakukan lagi operasi mengangkat
mengangkat lobus residual.

Penanganan terhada kelenjar limfe regional

Metastasis kelenjar limfe reginal karsinoma tiroid meliputi kelenjar limfe regio
leher dan mediastinum superior. Pada kasus dengan metastasis kelenjar limfe
negatif, umumnya dianjurkan untuk pembersihan secara selektif kelenjar limfe

 
 

leher. Sedangkan ada kasus metastasis kelenjar limfe yang positif, harus dilakukan
operasi pembersihan kelenjar limfe kuratif.2

 b.  Terapi non operatif


  Radioterapi
  Radioterapi eksternal : karsinoma tiroid berdiferensiasi tidak eka terhadap

radi terapi rutin, selain itu organ sekitarnya seperti kartilago thyroidea,
trakea, medulla spinal dan laiinnya, kurang tahan terhada radiasi, sehingga
 pada umumnya tidak dianjurkan rad
radioterapi
ioterapi adjuvan rutin p
pasca
asca operasi atau
radioterapi eksternal murni. Indikasi radioterapi umumnya dianggap
mencakup karsinoma tak berdiferensiasi, karsinoma tiroid berdiferensiasi,
karsinoma tiroid berdiferensiasi pasca operasi, lesi yang tidak mengambil I
131, metastasis otak dan lain lain.
  Radioterai internal : radiasi iodium 131 berefek destruktif terhada jaringan

tiroid, sedangkan sebagian besar karsinoma tiroid berdiferensiasi bersifat


mengambil iodium 131. Maka secara klinis iodium 131 dipakai untuk terapi
karsinoma tiroid yang berdiferensiasi.
  Terapi hormonal
Pasca operasi karsinoma tiroid berdiferensiasi pasien diberikan tiroksin.
Tiroksin dapat menghambat sekresi TSH sehingga mengurangi rekurensi dan
metastasis karsinoma tiroid berdiferensiasi.
  Kemoterapi
Terhadav pasien karsinoma tiroid berdiferensiasi, belum ada kemoterai yang
efektif, maka secara klinis kemoterapi hanya dipakai secara selektif untuk
 pasien stadium lanjut yang tidak dapat dioperasi atau pasien dengan metastasis
metasta sis
 jauh, atau dipakai bersama metode terapi lainnya. Karsinoma tidak
 berdifdiferensiasi lebih peka terhadap kemoterapi, secara klinis umumnya
dipakai kemoterapi kombinasi. 

9.  Prognosis
Prognosis karsinoma tiroid bervariasi besar. Ada yang tumbuh lambat, sangat
sedikit membawa kematian. Ada yang tumbuh cepat, angka kematian tinggi. Faktor

 
 

yang berpengaruh menonjol terhadap prognosis karsinoma tiroid terutama


mencakup jenis atologik, stadium dan metastasis jauh. Pada karsinoma tiroid
 berdiferensiasi memiliki
memil iki survival 5 tahun 68,75% dan 16,81%. Survival karsinoma
kars inoma
tiroid stadium I 98,98%,
98,98%, satdium II 88,
88,92%,
92%, stadium III 79,50%
79,50% dan satdium IV
41,51%. Selain itu, jenis kelamin, ukuran lesi stadium juga berengaruh pada

 prognosis karsinoma tiroid. 

DAFTAR PUSTAKA

 
 

1.  Kumar, Abbas, Aster. 2015. Buku


2015. Buku Ajar Patologi Robbins
Robbins.. Elsevier Saunders
2.  Desen, W. 2013. Buku
2013. Buku Ajar Onkologi Klinis. Ed.2. Jakarta: badan penerbit FK UI
3.  Siti setiati, dkk. 2015. Ilmu
2015. Ilmu Penyakit dalam Edisi
Edisi 6. Jakarta
6. Jakarta : Interna Publishing
4.  Snell, Richard S. 2011. Anatomi
2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Klinis.
Klinis. Jakarta : EGC

5.  Iskandar, Nurbaiti, dkk. 2012. Buku


2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok,
 Kepala dan Leher, Ed . Jakarta: Badanpenerbit FK UI.  

6.  Rinaldi, Ikhwan, dkk.  Pedoman Penatalaksanaan Limfoma Non-Hodgkin


Non-Hodgkin.. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 

7.  Vinjamaram, S. 2010.  Lymphoma, Non-Hodgkin


Non-Hodgkin.. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/203399-overview. [06 September 2017]. 

8.  Dessain, S.K. 2009.  Hodgkin Disease


Disease.. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/201886-overview. [06 September 2017]. 

9.   panduan sistematis untuk diagnosis anamenesi, pemfis komprehensif . Siti


setiati.2013.jakarta : FK UI 

Anda mungkin juga menyukai