Anda di halaman 1dari 9

Kepada Puisi

Melulu Puisi. Kudedikasikan untuk puisi-puisi yang bertebaran di langit jiwaku

Senin, 02 September 2013

Sapardi Djoko Damono: PERAHU KERTAS

Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Perahu Kertas

Penulis : Sapardi Djoko Damono

Cetakan : I, 1983

Penerbit : PN. Balai Pustaka, Jakarta

Tebal : 50 halaman (42 puisi)

Beberapa pilihan puisi Sapardi Djoko Damono dalam Perahu Kertas

Pertapa

Jangan mengganggu: aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah

gua, atau sebutir telur, atau sepatah kata — ah, apa pula

bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar,

sudah merupakan benih, sudah mencapai makna — masih


beranikah kau menyapaku, Saudara?

Yang Fana adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:

memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa.

“Tapi,

yang fana adalah waktu, bukan?”

tanyamu. Kita abadi.

Tuan

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,

saya sedang ke luar.

Telinga

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.

Gila:
ia digoda masuk ke telinganya sendiri

agar bisa mendengar apa pun

secara terperinci — setiap kata, setiap huruf,

bahkan letupan dan desis

yang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.

Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-

baiknya apa pun yang dibisikkannya

kepada diri sendiri.

Tajam Hujanmu

tajam hujanmu

ini sudah terlanjur mencintaimu: payung terbuka yang ber-

goyang-goyang di tangan kananku, air yang menetes dari ping

gir-pinggir payung itu, aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,

arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang meng-

ganjal di tenggorokan

deras dinginmu

sembilu hujanmu

Di Tangan Anak-anak
Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad

yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung

yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;

di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.

“Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.”

Akulah Si Telaga

akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;

berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan

bunga-bunga padma;

berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja – perahumu

biar aku yang menjaganya

Sihir Hujan

Hujan mengenal baik pohon, jalan,

dan selokan – swaranya bisa dibeda-bedakan;

kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu

dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu.


Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh

di pohon, jalan, dan selokan –

menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh

waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan

Seruling

Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, me-

nutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan

putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdu-

nya ….

Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa me-

nganga.

Perahu Kertas

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau

layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu

bergoyang menuju lautan.

“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki

tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar

warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-


kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-

mu itu.

Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,

“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar

dan kini terdampar di sebuah bukit.”

Cara Membunuh Burung

bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk

bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita

belum dilahirkan itu?

soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau

setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting

pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)

soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering

ingin sendirian

soalnya ia baka

Gonggong Anjing

untuk Rizki

gonggong anjing itu mula-mula lengket di lumpur lalu merayapi

pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah me-


nyusup lewat celah-celah genting bergema dalam kamar demi

kamar tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki

“siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?” tanya sunyi

Peristiwa Pagi Tadi

kepada GM

Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor

tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.

Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang

sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, mem-

bentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.

Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang

terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu

diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah

jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai

di rumah sakit.

Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa

itu.

Di Atas Batu

ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah


kali

ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana

ke mari

ia pandang sekeliling: matahari yang hilang - timbul di sela

goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali,

beberapa ekor capung –

ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini

Tentang Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Lulus fakultas Sastra UGM tahun 1964. Semasa
mahasiswa telah pula sibuk dengan kegiatan seni: mengasuh acara sastra RRI Yogyakarta,
menyelenggarakan diskusi dan lomba kesenian, menerjemahkan, main dan menyutradarai sandiwara,
dll. Aktivitasnya kemudian menjadi tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi, hingga guru besar.
(Tertulis di biodata al. begini: DukaMu Abadi pertama kali diterbitkan tahun 1969 oleh pelukis Jeihan.
Dua buku Sapardi yang lain yang sudah terbit adalah Mata Pisau dan Akuarium, keduanya terbit tahun
1974). Saat ini, kumpulan puisi beliau tentu telah bertambah.

Catatan Lain

Di dalam kata Pengantar Perahu Kertas, penerbit mengutip Sapardi Djoko Damono dalam sebuah
ceramah tentang Puisi Indonesia Mutakhir (Jakarta, 6 November 1969). Ia mengatakan: “Kata-kata
adalah segala-galanya dalam puisi. Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan
pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata-kata dalam bahasa sehari-hari dan prosa umumnya,
tetapi sekaligus sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair,
namun yang utama adalah sebagai objek yang mendukung imaji. Hal inilah yang membedakannya dari
kata-kata dalam puisi.”

Barangkali kutipan yang sengaja diangkat penerbit bisa menjadi semacam kredo bagi SDD dalam
membikin puisi.

M. Nahdiansyah Abdi di 19.53

Berbagi
3 komentar:

Ganda kurniawan24 Maret 2017 08.05

Terbaik

Balas

Unknown30 Desember 2018 23.52

tak ada kata lagi selain"terbaik untukmu"

Balas

Anonim28 September 2020 17.52

yang fana adalah waktu, halaman berapa ya?

Balas

Beranda

Lihat versi web

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai