Anda di halaman 1dari 2

Kisah Sidik Tempuh 12 Kilometer Naik Turun

Gunung ke Sekolah
Demi memperoleh pendidikan layak, Sidik yang berasal dari pedalaman Meratus telah rela berjalan kaki
turun-naik gunung ke sekolah. Jarak sekitar 12 kilometer lebih tak menghalanginya, hingga tamat
sekolah dasar, dan kini menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Saat ini kita boleh senang, pendidikan masyarakat yang tinggal di Pegunungan Meratus, khususnya
Wilayah Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) ‘sedikit’ sudah lebih baik. Namun
dalam satu sampai dua dekade lalu, anak-anak Meratus yang ingin menuntut ilmu mesti menempuh
perjalanan berat.

Sidik salah seorang contohnya. Pria yang kini merupakan PNS di Kantor Kecamatan Loksado itu,
bercerita beratnya rintangan yang ia lalui untuk memperoleh pendidikan dasar yang layak, sebelum
melanjutkan ke sekolah menengah.

Sidik kecil tinggal di kampung adat Balai Sungai Bayuan (kini seluruh warga adat di sana berpindah
sekitar satu kilometer atau jarak sebiji gunung, menjadi Balai Uling-Uling, Desa Kamawakan). Dia sekolah
di pendidikan dasar yang kala itu bernama Budi Karya. Kini sekolah itu menjadi SDN Loklahung.

Jarak ke sekolah itu memakan waktu 3 jam ditempuh dengan jalan kaki naik turun gunung. Satu jam
orang di Meratus berjalan kaki sama dengan sekitar 4 kilometer. Sehingga total jarak tempuh Sidik kecil
berjalan sekitar 12 kilometer. Itu ia jalani setiap hari selama 6 tahun.

Jalan setapak yang dilewati tiap hari hanya hutan belantara. Bahkan adapula hutan dengan rumput
ilalalang setinggi dada. “Saking tagahnya halalang, jalan kada ta iling (Saking tebalnya ilalang, jalan tidak
terlihat),” ujar pria yang kini berusa 49 tahun itu.

Perjalanan menuju sekolah ia mulai mulai dari kampung adat Balai Sungai Bayuan, lalu melewati Sungai
Bumbuyanin, dan Mandin (air terjun) Buluh. Kemudian menemui Sungai Pasangkaran, naik sampai
muaranya langsung ke Gunung Miyuyuh. Melewati kampung Manakili, dan sampai ke Loklahung.
Berangkat tiap hari sekitar pukul 4.30 Wita pagi, dan sampai sekolah dengan lelah yang sudah tak
dihiraukan lagi sekitar pukul 8 lewat.

Dia ingat jelas, seragam sekolahnya hanya kaos oblong dengan celana pendek. “Sampai sekolah badan
basah semua, berkeringat seperti mandi saja,” kenang pria yang kini bernama lengkap Sidik Susanto itu.

Bagi Sidik bersama teman-temannya kala itu sepatu adalah hal luar biasa. Sehingga semua siswa hanya
bersandal. Itupun sudah terasa mewah. Namun bagi Sidik kecil, sandal tidak ia gunakan dalam
perjalanan menuju sekolah. Sandal hanya akan ia gunakan jika sudah sampai di sekolah. Dia lebih
memilih menginjak semak-semak berduri dan batuan tajam di perjalanan.

“Sandal bahari diingkuti haja, sayang kalu pagat. Parak sampai sakulahan hanyar dipakai (sandal dulu
dipegang saja, karena khawatir kalau talinya putus. Saat hampir sampai di sekolah baru dipakai),”
ungkapnya.

Guru-guru pun, diceritakan Sidik, juga hanya memakai sandal ke sekolah kala itu. Para guru terdiri dari 1
kepala sekolah dan 3 pengajar. Mereka semua tinggal di Loksado. “Dulu tidak ada jembatan di
Loklahung, sehingga mereka (para guru) harus menyeberang sungai dengan menyingsingkan celana,”

Anda mungkin juga menyukai