Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Analogi Hukum, 1 (1) (2019), 93-98

Jurnal Analogi Hukum


Journal Homepage: https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/analogihukum

Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana


yang Mengalami Cuci Otak
I Wayan Dedi Supriadi*, Simon Nahak dan I Nyoman Gede Sugiartha

Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali-Indonesia

*dedi.supriadi@gmail.com
How To Cite:
Sari, I. P., Suryawan. I, G, S., & Sujana. I, N. (2019). Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana
yang Mengalami Cuci Otak . Jurnal Analogi Hukum. 1 (1). 93-98. Doi: http://dx.doi.org/10.22225/.1.1.1459.93-
98
Abstract-Brainwashing in the world of law is not a new concept. In psychology, the term has been used from
time to time in a prisoner of war and religious studies. In the field of criminal law, the accused individuals
have been tried though not successfully use brainwashing as criminal defence. This article discusses about
how criminal liability against a perpetrator of a criminal offence which has undergone brainwashing before
committing the crime and how the criminal sanctions against perpetrators. The aims of research is the first, to
know and understand the criminal liability against the perpetrators of the crime are undergoing brainwashing
and both to know and understand the criminal sanctions against the perpetrators of criminal acts are undergo
brainwashing. This research uses the normative method. The author outlines by explaining how the process of
brainwashing going on, particularly in the recruitment of members of terrorism and NII, and then associate
the process with the theory of errors, to be able to determine if there is an error in the perpetrator criminal
who suffered brain washing, so that based on the principle of geen straf schuld, the offender without may be
subject to criminal responsibility. The author also outlines how criminal justice in Indonesia and the United
States, addressing the question of brainwashing that emerged in the trial. The result of the discussion was the
perpetrator of a criminal offence who had previously undergone brainwashing has error in doing so, so that it
may be subject to liability criminal.

Keywords: Criminal responsibility; faults; brainwashing

Abstrak-Cuci otak dalam dunia hukum bukanlah suatu konsep yang baru. Di bidang psikologi, istilah telah
digunakan dari waktu ke waktu dalam studi tawanan perang dan keagamaan. Di bidang hukum, terdakwa
pidana individu telah mencoba meskipun tidak berhasil menggunakan cuci otak sebagai pembelaan pidana.
Artikel ini membahas mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap seorang pelaku tindak pidana
yang telah mengalami cuci otak sebelum melakukan tindak pidana dan bagaimana sanksi pidananya terhadap
pelaku. Tujuan dari penelitian ini ini adalah pertama, untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban
pidana pidana terhadap pelaku tindak pidana yang mengalami cuci otak dan dan kedua untuk mengetahui dan
memahami sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana yang mengalami cuci otak. Penelitian ini
mempergunakan metode normatif. Penulis menjabarkan dengan menjelaskan bagaimana proses cuci otak
terjadi, khususnya pada perekrutan anggota terorisme dan NII, lalu mengaitkan proses tersebut dengan teori
kesalahan, untuk dapat menentukan apakah terdapat kesalahan dalam pelaku tindak pidana yang mengalami
cuci otak, sehingga berdasarkan asas geen straf zonder schuld, pelaku tersebut dapat dimintai pertanggung
jawaban pidana. Penulis juga menjabarkan bagaimana peradilan pidana di Indonesia dan Amerika Serikat
menyikapi soal cuci otak yang muncul dalam persidangan. Hasil dari pembahasan adalah pelaku tindak pidana
yang sebelumnya mengalami cuci otak memiliki kesalahan dalam melakukan hal tersebut, sehingga dapat
dimintai pertanggung jawaban pidana.

Kata Kunci: pertanggungjawaban pidana; kesalahan; cuci otak


psikologi sering disebut dengan reformasi
1. Pendahuluan pikiran (thought reform) yang termasuk dalam
kategori pengaruh social, dimana yang nantinya
Studi mengenai cuci otak di dalam ilmu dapat mengubah, keyakinan, sikap, dan perilaku
Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2019. CC-BY-SA 4.0 License
93
Penguasaan Tanah Warisan yang dikuasai tanpa Persetujuan Ahli Waris Lain

seseorang. Cuci otak ialah suatu proses upaya Berbicara mengenai “kesengajaan” dalam suatu
pengubahan atau rekayasa pembentukan ulang tindak pidana, tidak bisa dipisahkan dari adanya
tata cara berpikir orang lain tanpa persetujuan “kesadaran” dari pelaku dalam melakukan
orang tersebut dengan menanamkan suatu nilai tindakan tersebut.
atau ide baru, baik sementaraataupun permanen,
yang dilakukan dengan cara-cara tertentu, Membahas mengenai kesadaran, Hans
seperti menggunakan tekanan secara terus Berger, seorang psikiater berkebangsaan
menerus dan bersifat memaksa (forcible). Jerman-Austria pada tahun 1908 menemukan
Memaksa dalam hal ini dapat secara fisik, gelomban otak manusia yang dapat menunjukan
berupa tekanan, penyiksaan, obat-obatan, dan tingkat kesadaran seseorang yang terbagi atas
dapat secara psikis, seperti contohnya hipnotis Gelombang Beta (12 Hz-16Hz), yaitu
sehingga tercipta pandangan hidup baru gelombang otak yang terjadi ketika melakukan
(Gunawan, 2011). aktivitas sehari-hari dalam keadan sadar penuh,
Gelombang Alpha (8Hz-12Hz), yaitu
Peraturan pemerintah pengganti UU No. 1 gelombang otak yang terjadi ketika seseorang
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak dalam keadan dihipnotis, atau dalam keadaan
Pidana Terorisme junto UU No. 15 Tahun 2003 dibawah alam sadar, Gelombang Theta (4Hz-
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah 8Hz), yaitu gelombang otak yang terjadi ketika
Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 Tentang orang sedang tidur, atau dalam keadaan tidak
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sadar, Gelombang Delta (0,5Hz-4Hz), yaitu
menjadi Undang-Undang, khususnya dalam gelombang otak ketika seseorang tertidur lelap
Bab III, yaitu bab tentang “Tindak Pidana atau dalam keadaan tidak sadar, dan
Terorisme” mayoritas pasal dalam bab tersebut Gelombang Gamma (16Hz- 40Hz), yaitu
menyertakan unsur “dengan sengaja”. Begitu Gelombang otak yang terjadi pada saat orang
juga dalam pasal-pasal tindak pidana dari sedang dalam aktivitas fisik dan mental tinggi,
perbuatan yang sering dilakukan korban cuci atau dalam kesadaran penuh (Gunawan, 2011).
otak Negara Islam Indonesia (NII), yaitu pasal
362 KUHP (pencurian) pasal 378 KUHP Sigmund Freud, dalam ilmu psikologi telah
(Penipuan), terdapat unsur “kesengajan” di membahas mengenai kesadaran dengan
dalam rumusan pasalnya. Apabila anggota mengeluarkan Psychoanalysis Theory “Levels
kelompok Terorisme dan NII yang sudah of Mentsl Life” menyatakan bahwa ada 2 (dua)
mengalami cuci otak tersebut kemudian level Freud Mental Life,yaitu sadar dan tidak
melakukan tindak pidana, sedangkan pikiran sadar. Tidak sadar terbagi lagi atas dua level
dari anggota-anggota kelompok tersebut sudah yang berbeda, yaitu unconscious proper dan
diubah dan direkayasa menjadi pemikiran yang preconscious, dimana preconscious dapat
baru, tanpa persetujuan orang tersebut, dengan diartikan bawah sadar, sehingga bawah sadar
suatu sifat paksaan, baik fisik maupun psikis, termasuk ke dalam tidak sadar (Feist & Feist,
apakah ada kesengajaan dalam diri mereka dan 2006).
menyadari sepenuhnya apa yang mereka Mengacu pada teori tentang kesengajaan,
lakukan ketika melakukan tindak pidana. maka dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat
Memorie Van Toelichting (M.v.T) dikatakan memiliki kesengajaan melakukan
menjelaskan bahwa “opzettelijk plegen van een tindak pidana, termasuk tindak pidana terorisme
misdrijf” atau kesengajaan melakukan dan tindak pidana pencurian dan penipuan yang
kejahatan sebagai “het teweegbrengen van dilakukan oleh anggota NII, haruslah memiliki
verboden handelin willens en wetten”atau suatu kesadaran atas perbuatan yang
sebagai melakukan tindakan secara dikehendaki dilakukannya. Namun permasalahan yang
dan diketahui (disadari). Menteri kehakiman muncul adalah kegiatan cuci otakdilakukan
belanda, dalam memorie van Antwoord pada gelombang otak alpha, dimana gelomabng
(M.v.A) atau dalam memori jawaban, ini adalah suatu fase dari keadaaan pikiran
menyatatakan bahwa opzet adalah “de sadar masuk ke pikiran tidak sadar (bawah
(bewuste) richting van ded wil op een epaald sadar), sedangkan dalam konteks teori
misdrijfi” atau opzet itu adalah tujuan (yang kesengajaan, hanya dikenal sadar
disadari) dari kehendak untuk melakukan suatu (conscious),akhirnya bisa jadi terdapat
kejahatan tertentu (Lamintang, 2003). Dari kesengajan, atau tidak sadar (unconscious),
definisi-definisi tentang kesengajaan di atas, yang berdampak pada hilangnya sifat
maka dapat dilihat kesadaran pelaku dalam kesengajaan. Sebenarnya, apakah pemahaman
melakukan suatu tindak pidana adalah bagian secara psikolog ini juga berlaku dalam
dari pembuktian ada atau tidaknya kesengajaan pemahaman hukum pidana, atau apakah ahli-
dalam perbuatan pelaku tindak pidana. ahli hukum pidana menerima pemahaman
psikolog ini. Untuk melihat ada atau tidaknya
Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2019. CC-BY-SA 4.0 License
94
Penguasaan Tanah Warisan yang dikuasai tanpa Persetujuan Ahli Waris Lain

kesengajaan, khususnya unsur wettens, masih universitas an tempat lainnya yang


belum jelas posisinya, apakah masuk ke dalam menyediakan bahan hukum yang dibutuhkan.
sadar atau tidak sadar, sehingga diperlukan Selain itu penulis juga mencari bahan hukum
pengetahuan dan pemahan berdasarkan hukum dengan mengakses website yang berkaitan dan
pidana mengenai hal ini lebih mendalam. menyediakan informasi yang sesuai dengan
permasalahan penelitian. Teknik analisi bahan
Menariknya adalah apakah pada pelaku hukum berupa analisis deskriptif yang bertujuan
kejahatan terorisme dan pelaku tindak pidana untuk membahas permasalahan sebagaimana
yang adalah anggota NII dapat bertanggung sebelumnya telah diuraikan.
jawab pidana, apakah terdapat dasar
pengahapusan pidana sebagaimana telah diatur
pada pasal 48 KUHP, seperti yang berlaku pada 3. Hasil Dan Pembahasan
kejahatan yang mengalami hipnotis, dan apakah
sifat memaksa dalam cuci otak ini tidak
termasuk bentuk “overmacht”sehingga dalam Pertanggungjawaban Pidana Terhadap
diri pelaku tindak pidana tersebut terdapat dasar Pelaku Tindak Pidana Yang Mengalami Cuci
penghapusan pidana dan tidak dapat dimintai Otak
pertanggungjawaban pidana. Ketentuan dalam KUHP tidak ada
Dengan ketiadaan norma hukum yang menyebutkan tentang arti kemampuan
mengatur tentang pencucian otak di Indonesia, bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid).
peneliti ingin menggali lebih banyak tentang Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44
pertangungjawaban pidana terhadap pelaku Ayat (1) KUHP yang mengatur tentang hal
tindak pidana yang mengalami cuci otak yang tidak dapat dipertanggungjawabkannya
terbatas pada pertanggungjawaban pidana seseorang atas tindakannya
terhadap pelaku tindak pidana yang mengalami (ontoerekeningsvatbaarheid) (Moeljatno,
cuci otak dan sanksi pidana terhadap pelaku 2009). Untuk memenuhi unusur pasal tersebut,
tindak pidana yang mengalami cuci otak. seseorang harus memenuhi apa yang dimaksud
dengan keadaan kurang sempurna akalnya
(gebrekkige ontwikkleing), atau keadaan
2. Metode terganggu karena penyakit pada kemampuan
akal sehatnya (ziekelijke storing zijner
Penulisan karya ilmiah jurnal hukum ini verstandelijke vermorgens). Orang-orang yang
memakai metode jenis penelitian hukum masuk ke dalam keadaan kurang sempurna
normatif (normative legal research). Penelitian akalanya adalah idiot, imbicil, buta, tuli, dan
hukum normatif merupakan suatu proses untuk bisu dari lahir, akan tetapi karena cacatnya
menemukan suatu aturan hukum, prinsip- mulai sejak lahir, sehingga pikirannya tetap
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum sebagai kanak-kanak (Soesilo, 1996).
untuk menjawab permasalahan hukum yang
dihadapi dengan tujuan menghasilkan Menentukan ada tidaknya kemampuan
argumentasi, teori dan konsep baru sebagai bertanggungjwab, hakim harus menerima hasil
preskripsi dalam menyelesaikan masalah dari pemeriksaan psikiater tentang bagaimana
tersebut (Marzuki, 2005). Bahan hukum yang kondisi kejiwaan pelaku tindak pidana. Untuk
digunakan adalah bahan hukum primer, bahan kemudaian ditentukan kesalahannya, dari hasil
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. pemeriksaan hakim dapat menentukan sejauh
Bahan hukum primer, seperti: UU No. 8 mana kondisi kejiwaan pelaku mempengaruhi
Tentang KUHP; KUHAP, Bahan hukum perbuatannya. Karena pikiran orang yang
sekunder, yakni bahan yang memberikan mengalamicuci otak bukanlah berupa catat dari
penjelasan mengenai bahan hukum primer, lahir, melainkan karena cuci otak yang
seperti: buku hukum, jurnal hukum (asas-asa diterimanya, dan cuci otak bukanlah cacat yang
hukum), pandangan para ahli hukum (doktrin), dibawah dari lahir maka orang yang cuci otak
hasil penelitian hukum. Bahan hukum tersier, tidak terdapat kondisi keadaan kurang
seperti: Kamus Hukum, KBBI. Pengumpulan sempurna akalnya.
bahan hukum dalam penelitian dilakukan
dengan cara mengumpulkan berbagai bahan Sedangkan orang-orang yang masuk dalam
hukum yang berupa dokumen-dokumen, buku- keadaan terganggu karena penyakit pada
buku tulisan ahli atau jurnal hukum, putusan kemampuan akal sehatnya menurut (Soesilo,
pengadilan umum, beserta peraturan perundang 1996) adalah orang yang memiliki penyakit
-undangan yang berkaitan dengan topik jiwa. Klasifikasi mengenai gangguan jiwa
permasalahan yang penulis teliti, dengan cara didasarkan kepada Pedoman Penggolongan
mengunjungi toko buku, perpustakaan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III),

Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2019. CC-BY-SA 4.0 License


95
Penguasaan Tanah Warisan yang dikuasai tanpa Persetujuan Ahli Waris Lain

1993. Namun PPDGJ III menggunakan istilah tekanan sudah ada sebelum tindak pidana
gangguan jiwa atau gangguan mental bukan dilakukan (Utrecht, 2000). Untuk membuka
penyakit jiwa. Tidak dikenalnya istilah penyakit alam sadar dan memasukan keyakinan baru
jiwa dalam PPDGJ III ini menghasilkan suatu dalam proses cuci otak adanya penyiksaan
kebingungan apabila dikaitkan dengan Pasal 44 secara fisik dan mental sehingga atas keyakinan
Ayat (1) KUHP karena seperti yang sudah yang dipaksakankorban pencucian otak tersebut
dijelaskan bahwa keadaan terganggu karena terpaksa melakukan tindak pidana. Berdsarkan
penyakit pada kemampuan akal sehatnya hal tersebut seharusnya dapat dinyatakan bahwa
dialami oleh orang yang mempunyai penyakit terdapat overmacht, namun sebelum
jiwa. Dapat disimpulkan bahwa pada diri menyatakan terlebih dahulu harus
korban pencucian otakbukanlah orang yang mempertimbangkan beberapa kondisi seberapa
mengalami sakit jiwa. besar pengaruh cuci otak terhadap pembentukan
keyakinan. Orang yang mengalami cuci otak
Paraahli hukum berpendapat bahwa sebenarnya selalu mempunyai kesempatan
kemampuan bertanggungjawab ialah untuk menolak dan meninggalkan tempat area
kemampuan untuk menyadari perbuatan cuci otaksehingga orang yang melakukan cuci
melawan hukum, memilki tujuan pasti dan otak tidak dapat memasukan keyakinannya.
kehendak bebas dalam melakuakan Tetapi, mereka memilih untuk berada pada
perbuatan.Seseorang mempunyai kebebasan kondisi tersebut, mungkin karena faktor
dalam melakukan perbuatan berarti memiliki perasaan tidak enak dengan orang yang
tujuan pasti yang hendak dicapai dari melakukan cuci otak yang dikenalnya, atau rasa
perbutannya. Orang yang mengalami cuci otak penasaran tinggi dimilikinya terhadap
memenuhi syarat “memiliki kehendak bebas keyakinan baru. Artinya orang yang mengalami
(free will) karena memiliki kehendak bebas dan cuci otak sendiri yang menentukan untuk
kesadaran dalam melakukan setiap berada dalam situasi cuci otak dan dengan
perbuatannya. Penulis mendasarkan pendapat kebebasan kehendaknya menempatkan diri pada
ini pada adegium paham legisme “nemo jus kondisi tersebut untuk menerima keyakinan/
ignorare censetur” (tiap orang dianggap nilai baru kemudian menjadi keyakinanya.
mengetahui undang-undang). Pasal 44 Ayat (1) Sehingga berdasarkan keadaan tersebut dalam
KUHP tidak dapat diterapkan pada korban diri orang yang mengalami cuci otak tidak ada
pencucian otak, artinya ia memiliki kemapuan alasan penghapusan kesalahan/ dasar pemaaf
bertanggung jawab dalam dirinya ketika sebagaiman diatur dalam Pasal 48 KUHP
melakukan tindak pidana. (overmacht). Berdasarkan asas geen straf
Setelah mebuktikan bahwa orang yang zonder schuld, dengan dipenuhinya unsur
mengalami cuci otak memiliki kemampuan kesalahan orang yang mengalami cuci otak
bertanggungjawab selanjutnya apakah di dalam dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
dirinya terdapat kesengajaan atau kealpaan atau
tidak. Menurut Memorie V an Toelecting, Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak
kesengajaan melalukan suatu kejahatan sebagai Pidana Yang Mengalami Cuci Otak
melakukan tindakan yang terlarang secara
dikehendaki dan diketahui atau tujuan yang Di Indonesia cuci otak sering dikaitkan
disadari dari kehendak untuk melakukan suatu dengan perekrutan anggota terorisme dan NII.
kejahatan tertentu (Lamintang, 2003). Dalam Proses perekrutan anggota terorisme dimulai
melakukan tindak pidana orang yang terhadap orang yang penuh kebimbangan,
mengalami cuci otak melakukan perbuatannya disorientasi, dan memiliki pemikiran kosong.
dengan kehendak dan atas perbuatan itu Selanjutnya oleh terorisme diberikan ajaran
memiliki tujuan yang pasti, artinyaorang yang agama yang radikal (indoktrinasi) dan terakhir,
mengalami cuci otak mengetahui dan mengisolasinya dari lingkungan dunia luar
menghendaki akibat perbuatanya. Dipenuhinya untuk dijadikan pelaku bom bunuh diri
unsur tersebut, maka dapat disimpulkan dalam (Sarwono, 2012). Proses perekrutan anggota
diri orang yang mengalami cuci otak saat NII dimulai dengan pertemanan yang diarahkan
melakukan tindak pidana terdapat kesengajaan kepada hubungan yang sangat akrab kemudian
(dolus). dibawa dan dikumpulkan pada suatu tempat,
kemudian dilakukan pelumpuhan pikiran
Keadaan terpaksa (overmacht)ialah dengan diberikan pertanyaan tentang nilai
diadakannya suatu delik bukanlah pembuat agama yang selama ini dipegang dan
(dader) yang memilih tapi orang lain dan membenturkan dengan memaksakan keyakinan
pilihan itu dipaksa dengan memberi tekanan baru dari perekrut secara berulang-
pada pembuat. Tekanan/ paksaan tidak mesti ulang.Selanjutnya tahap Indokrtinasi dan
ada pada saat tindak pidana dilakukan, bisa jadi
Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2019. CC-BY-SA 4.0 License
96
Penguasaan Tanah Warisan yang dikuasai tanpa Persetujuan Ahli Waris Lain

terakhir tahap penjagaan keyakinan ajaran NII Para juri pun menilai bahwa hearst
tanpa diberikan akses komiunikasi keluar berpartisipasi dengan kehendak bebas dalam
(Pratama, 2011). Berdasarkan teori-teori dan melakukan tindak pidana dan tidak
penjabaran tersebut, penulis menyimpulkan mempercayai teori paksaan (coercion) yang
bahwa dalam perekrutan anggota terorisme dikemukan penasihat hukum Patricia. Hasil dari
tidak ada proses cuci otak, sedangkan persidangan juri menyatakan putusan bersalah
perekrutan anggota NII terdapat cuci otak. dan Patricia Hearst dijatuhi hukuman penjara
selama 7 tahun (Emory, 2010).
Di Indonesia ada salah satu kasus yang
memasukan unsur cuci otak dalam persidangan, Kasus The D.C Sniper Case, Lee Boyd
yaitu perkara terorisme atas nama terdakwa Malvo (15 tahun) dari Jamaica, pada tahun
Sya’ban dan perkara terorisme atas nama 2001 seorang veteran perang Angkatan Darat,
terdakwa Abrory Als. Abrory M. Ali Als. Muhammadmembawanya ke Amerika Serikat.
Maskadov Als. Abrory Al Ayyuby. Untuk Malvo dilatih penembakan jitu menggunakan
Perkara Sya’ban, Imam Gulton (Hakim ketua AK47, Senapan 270,Senapan 306dan
majelis) menyatakan tidak melihat kondisi Muhammad mengisolasi Malvo dengan mengisi
Sya’ban yang mengalami indoktrinasi oleh pikirannnya tentang visi perang antar ras,
Abrory. Beliau hanya memperhatikan pemahaman tentang islam yang salah, latihan
bahwanSya’ban melakukan tindak pidana keras dan diet yang ketat. Sekitar satu bulan
dengan pilihannya sendiri, mempunyai niat dan Muhammad dan Malvo melaju ke wilayah
kesadaran atas keyakinan yang diyakini bahwa Washington D.C dan ditembak tiga belas orang
polisi yang dibunuh adalah musuh sehingga oleh Malvo, dan sepuluh orang mati.
patut dibunuh. Sehingga hakim berpendapat
terhadap diri Sya’ban dapat dimintakan Penasihat hukum Malvo dipersidangan
pertanggungjawaban pidana karena terdapat menyatakan bahwa Muhammad telah mencuci
kesalahan. otak Malvo dengan mengisolasi, memaksa
menonton video kekerasan, melatih
Kasus Patricia Hearst dana The D.C Sniper menggunakan senjata apai, mengajarkan
Case merupakan perkara pidana di peradilan pemahaman islam radikal, menganggap kulit
Amerika Serikat yang memasukan unsur cuci hitam salah, mengontrol diet dan tidurnya. Ahli
otak. Patricia Heart (19 tahun), di apartemennya dari penasihat hukum menyatakan Malvo telah
California diculik pada tengah malamoleh menjadi perpanjangan dari ego Muhammad
sekelompok radikal bernama SLA (Symbionese yang mengakibatkan kehilangan identias, rasa
Liberation Army), dengan hanya berpakaian moralitasnya sehingga perasaan mengenai salah
dalam dipaksa dimasukan kebagasi mobil, atau benar telah kabur yang mengakibatkan
kemudian diikat, dikurung disebuah kamar depresi. Secara khusus Jaksa dipersidangan
mandi dengan mata tetutup dan oleh meyatakan bahwa Malvo sadar dan
penculiknya dijadikan objek kekerasan dan bertanggungjawab secara penuh atas
kekejaman (diperkosa, dipukuli) selama 57 hari. perbuatannya seperti sadar memilih untuk
Heart membantu SLA dalam beberapa tindak bersama Muhammad. Juri kembali menolak
pidana selama 2 bulan salah satunya pencurian teori tentang cuci otak yang dikemukakan oleh
Hibernia Bank San Fransisco, kemudian penasiha hukum. Juri tidak mempercayai Malvo
ditangkap tanggal 18 September 1975. Patricia diindoktrinasi oleh Muhammad dan tidak
Hearst didakwa telah melakukan penculikan, dipercayai Malvo tidak dapat membedakan baik
pencurian, pembunuhan dan penyerangan dan buruk. Sebagai hasilnya, juri memutuskan
dengan senjata mematikan. Penasihat hukum bahwa Malvo bersalah atas pembunuhan dan
menyatakan bahawa Patricia telah dicuci dijatuhi pidana penjara seumur hidup oleh
otaknya dengan mengajukan pembelaan bahwa hakim (Emory, 2010).
Patricia dalam melakukan kejahatan karena
dipaksa dengan ancaman. Penasihat hukum
menghadirkan ahli psikologi, William Sargant 4. Simpulan
yang sudah mewawancari Patricia sebelum
Pertanggungjawaban pidana terhadap
persidangan dan saat persidangan menjelaskan
pelaku tindak pidana yang mengalamicuci otak
bahwa Patricia mengalami kekejaman fisik dan
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
mental yang membuatnya melakukan tindak dengan dilihat berdasarkan dipenuhinya 3 (tiga)
pidana.
syarat adanya kesalahan dari pelaku, yaitu:
Jaksa (pihak pemerintah) dipersidangan pelaku memiliki kemampuan bertanggungjawab
menghadirkan 2 orang psikiater, dan (toerekeningsvatbaarheid), adanya kesengajaan
menyatakan bahwa Patricia dengan sadar dan pada diri pelaku dalam melakukan
penuh tanggungjawab melakukan perbuatannya. perbuatannya, dan pelaku tidak memiliki alasan
Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2019. CC-BY-SA 4.0 License
97
Penguasaan Tanah Warisan yang dikuasai tanpa Persetujuan Ahli Waris Lain

penghapusan kesalahan pidana (dasar pemaaf) https://books.google.co.id/books/about/


sebagaimana diatur dalam pasal 48 KUHP. Terorisme_di_Indonesia.html?id=-
BnYECkUc2oC&redir_esc=y
Sanksi Pidana terhadap pelaku tindak
pidana yang mengalami cuci otak tetap dapat Soesilo, R. (1996). Kitab Undang-Undang
dipertanggungjawabkan sesuai dengan Hukum Pidana (KUHP) Serta
ketentuan tindak pidana yang dilakukan oleh Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
yang bersangkutan sepanjang tidak dipenuhinya Demi Pasal. Bogor: Politeia.
syarat-syarat unsur pemaaf (Pasal 48 KUHP),
menjalankan perintah karenaundang-undang Utrecht, E. (2000). Hukum Pidana. Surabaya:
(Pasal 50 KUHP), atau karena sakit Pustaka Tinta Mas. Retrieved from
jiwanyasebagaimanadiatur dalamketentuan https://onesearch.id/Record/
pidana tentang hapusnya pertanggungjawaban IOS3341.siprus-
pidana terhadap pelaku (Pasal 44 Ayat (1) 00000000000000033762
KUHP). Sebagai pembanding dinegara
Amerika Serikat, dalam peradilan pembelaan
mengenai cuci otak tidak pernah diterima oleh
para juri. Pada kasus Patricia Hearst dan “The
D.C Sniper Case” juri tidak mempercayai dan
tidak menerima teori tentang cuci otak dan
menyatakan para pelaku memiliki kebebasan
berkehendak dan sadar melakukan tindak
pidana, sehingga harus dijatuhi pemidanaan.

Daftar Pustaka
Emory, R. (2010). Losing Your Head in the
Washer – Why theBrainwashing
Defense Can Be a Complete Defensein
Criminal Cases. Pace Law Review, 30
(4), 1–23. Retrieved from https://
core.ac.uk/download/pdf/46713072.pdf
Feist, J., & Feist, G. J. (2006). Theories of
Personality. Boston: McGraw - Hill.
Retrieved from https://
books.google.co.id/books/about/
Theories_of_Personality.html?
id=ZePcSAAACAAJ&redir_esc=y
Gunawan, D. (2011). Lawan Bahaya Cuci Otak
dan Pengendalian Pikiran. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo.
Lamintang. (2003). Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Marzuki, P. M. (2005). Penelitian Hukum.
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Moeljatno. (2009). Asas-Asas Hukum Pidana.
Jakarta: Rineka Cipta.
Pratama, G. (2011). Cuci Otak NII; Pengakuan
Mantan Juru Doktrin NII. Jakarta:
Tinta Publisher.
Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di Indonesia
Dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta:
Pustaka Alvabet. Retrieved from
Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2019. CC-BY-SA 4.0 License
98

Anda mungkin juga menyukai