Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Mengalami Cuci Otak
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Mengalami Cuci Otak
*dedi.supriadi@gmail.com
How To Cite:
Sari, I. P., Suryawan. I, G, S., & Sujana. I, N. (2019). Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana
yang Mengalami Cuci Otak . Jurnal Analogi Hukum. 1 (1). 93-98. Doi: http://dx.doi.org/10.22225/.1.1.1459.93-
98
Abstract-Brainwashing in the world of law is not a new concept. In psychology, the term has been used from
time to time in a prisoner of war and religious studies. In the field of criminal law, the accused individuals
have been tried though not successfully use brainwashing as criminal defence. This article discusses about
how criminal liability against a perpetrator of a criminal offence which has undergone brainwashing before
committing the crime and how the criminal sanctions against perpetrators. The aims of research is the first, to
know and understand the criminal liability against the perpetrators of the crime are undergoing brainwashing
and both to know and understand the criminal sanctions against the perpetrators of criminal acts are undergo
brainwashing. This research uses the normative method. The author outlines by explaining how the process of
brainwashing going on, particularly in the recruitment of members of terrorism and NII, and then associate
the process with the theory of errors, to be able to determine if there is an error in the perpetrator criminal
who suffered brain washing, so that based on the principle of geen straf schuld, the offender without may be
subject to criminal responsibility. The author also outlines how criminal justice in Indonesia and the United
States, addressing the question of brainwashing that emerged in the trial. The result of the discussion was the
perpetrator of a criminal offence who had previously undergone brainwashing has error in doing so, so that it
may be subject to liability criminal.
Abstrak-Cuci otak dalam dunia hukum bukanlah suatu konsep yang baru. Di bidang psikologi, istilah telah
digunakan dari waktu ke waktu dalam studi tawanan perang dan keagamaan. Di bidang hukum, terdakwa
pidana individu telah mencoba meskipun tidak berhasil menggunakan cuci otak sebagai pembelaan pidana.
Artikel ini membahas mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap seorang pelaku tindak pidana
yang telah mengalami cuci otak sebelum melakukan tindak pidana dan bagaimana sanksi pidananya terhadap
pelaku. Tujuan dari penelitian ini ini adalah pertama, untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban
pidana pidana terhadap pelaku tindak pidana yang mengalami cuci otak dan dan kedua untuk mengetahui dan
memahami sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana yang mengalami cuci otak. Penelitian ini
mempergunakan metode normatif. Penulis menjabarkan dengan menjelaskan bagaimana proses cuci otak
terjadi, khususnya pada perekrutan anggota terorisme dan NII, lalu mengaitkan proses tersebut dengan teori
kesalahan, untuk dapat menentukan apakah terdapat kesalahan dalam pelaku tindak pidana yang mengalami
cuci otak, sehingga berdasarkan asas geen straf zonder schuld, pelaku tersebut dapat dimintai pertanggung
jawaban pidana. Penulis juga menjabarkan bagaimana peradilan pidana di Indonesia dan Amerika Serikat
menyikapi soal cuci otak yang muncul dalam persidangan. Hasil dari pembahasan adalah pelaku tindak pidana
yang sebelumnya mengalami cuci otak memiliki kesalahan dalam melakukan hal tersebut, sehingga dapat
dimintai pertanggung jawaban pidana.
seseorang. Cuci otak ialah suatu proses upaya Berbicara mengenai “kesengajaan” dalam suatu
pengubahan atau rekayasa pembentukan ulang tindak pidana, tidak bisa dipisahkan dari adanya
tata cara berpikir orang lain tanpa persetujuan “kesadaran” dari pelaku dalam melakukan
orang tersebut dengan menanamkan suatu nilai tindakan tersebut.
atau ide baru, baik sementaraataupun permanen,
yang dilakukan dengan cara-cara tertentu, Membahas mengenai kesadaran, Hans
seperti menggunakan tekanan secara terus Berger, seorang psikiater berkebangsaan
menerus dan bersifat memaksa (forcible). Jerman-Austria pada tahun 1908 menemukan
Memaksa dalam hal ini dapat secara fisik, gelomban otak manusia yang dapat menunjukan
berupa tekanan, penyiksaan, obat-obatan, dan tingkat kesadaran seseorang yang terbagi atas
dapat secara psikis, seperti contohnya hipnotis Gelombang Beta (12 Hz-16Hz), yaitu
sehingga tercipta pandangan hidup baru gelombang otak yang terjadi ketika melakukan
(Gunawan, 2011). aktivitas sehari-hari dalam keadan sadar penuh,
Gelombang Alpha (8Hz-12Hz), yaitu
Peraturan pemerintah pengganti UU No. 1 gelombang otak yang terjadi ketika seseorang
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak dalam keadan dihipnotis, atau dalam keadaan
Pidana Terorisme junto UU No. 15 Tahun 2003 dibawah alam sadar, Gelombang Theta (4Hz-
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah 8Hz), yaitu gelombang otak yang terjadi ketika
Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 Tentang orang sedang tidur, atau dalam keadaan tidak
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sadar, Gelombang Delta (0,5Hz-4Hz), yaitu
menjadi Undang-Undang, khususnya dalam gelombang otak ketika seseorang tertidur lelap
Bab III, yaitu bab tentang “Tindak Pidana atau dalam keadaan tidak sadar, dan
Terorisme” mayoritas pasal dalam bab tersebut Gelombang Gamma (16Hz- 40Hz), yaitu
menyertakan unsur “dengan sengaja”. Begitu Gelombang otak yang terjadi pada saat orang
juga dalam pasal-pasal tindak pidana dari sedang dalam aktivitas fisik dan mental tinggi,
perbuatan yang sering dilakukan korban cuci atau dalam kesadaran penuh (Gunawan, 2011).
otak Negara Islam Indonesia (NII), yaitu pasal
362 KUHP (pencurian) pasal 378 KUHP Sigmund Freud, dalam ilmu psikologi telah
(Penipuan), terdapat unsur “kesengajan” di membahas mengenai kesadaran dengan
dalam rumusan pasalnya. Apabila anggota mengeluarkan Psychoanalysis Theory “Levels
kelompok Terorisme dan NII yang sudah of Mentsl Life” menyatakan bahwa ada 2 (dua)
mengalami cuci otak tersebut kemudian level Freud Mental Life,yaitu sadar dan tidak
melakukan tindak pidana, sedangkan pikiran sadar. Tidak sadar terbagi lagi atas dua level
dari anggota-anggota kelompok tersebut sudah yang berbeda, yaitu unconscious proper dan
diubah dan direkayasa menjadi pemikiran yang preconscious, dimana preconscious dapat
baru, tanpa persetujuan orang tersebut, dengan diartikan bawah sadar, sehingga bawah sadar
suatu sifat paksaan, baik fisik maupun psikis, termasuk ke dalam tidak sadar (Feist & Feist,
apakah ada kesengajaan dalam diri mereka dan 2006).
menyadari sepenuhnya apa yang mereka Mengacu pada teori tentang kesengajaan,
lakukan ketika melakukan tindak pidana. maka dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat
Memorie Van Toelichting (M.v.T) dikatakan memiliki kesengajaan melakukan
menjelaskan bahwa “opzettelijk plegen van een tindak pidana, termasuk tindak pidana terorisme
misdrijf” atau kesengajaan melakukan dan tindak pidana pencurian dan penipuan yang
kejahatan sebagai “het teweegbrengen van dilakukan oleh anggota NII, haruslah memiliki
verboden handelin willens en wetten”atau suatu kesadaran atas perbuatan yang
sebagai melakukan tindakan secara dikehendaki dilakukannya. Namun permasalahan yang
dan diketahui (disadari). Menteri kehakiman muncul adalah kegiatan cuci otakdilakukan
belanda, dalam memorie van Antwoord pada gelombang otak alpha, dimana gelomabng
(M.v.A) atau dalam memori jawaban, ini adalah suatu fase dari keadaaan pikiran
menyatatakan bahwa opzet adalah “de sadar masuk ke pikiran tidak sadar (bawah
(bewuste) richting van ded wil op een epaald sadar), sedangkan dalam konteks teori
misdrijfi” atau opzet itu adalah tujuan (yang kesengajaan, hanya dikenal sadar
disadari) dari kehendak untuk melakukan suatu (conscious),akhirnya bisa jadi terdapat
kejahatan tertentu (Lamintang, 2003). Dari kesengajan, atau tidak sadar (unconscious),
definisi-definisi tentang kesengajaan di atas, yang berdampak pada hilangnya sifat
maka dapat dilihat kesadaran pelaku dalam kesengajaan. Sebenarnya, apakah pemahaman
melakukan suatu tindak pidana adalah bagian secara psikolog ini juga berlaku dalam
dari pembuktian ada atau tidaknya kesengajaan pemahaman hukum pidana, atau apakah ahli-
dalam perbuatan pelaku tindak pidana. ahli hukum pidana menerima pemahaman
psikolog ini. Untuk melihat ada atau tidaknya
Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2019. CC-BY-SA 4.0 License
94
Penguasaan Tanah Warisan yang dikuasai tanpa Persetujuan Ahli Waris Lain
1993. Namun PPDGJ III menggunakan istilah tekanan sudah ada sebelum tindak pidana
gangguan jiwa atau gangguan mental bukan dilakukan (Utrecht, 2000). Untuk membuka
penyakit jiwa. Tidak dikenalnya istilah penyakit alam sadar dan memasukan keyakinan baru
jiwa dalam PPDGJ III ini menghasilkan suatu dalam proses cuci otak adanya penyiksaan
kebingungan apabila dikaitkan dengan Pasal 44 secara fisik dan mental sehingga atas keyakinan
Ayat (1) KUHP karena seperti yang sudah yang dipaksakankorban pencucian otak tersebut
dijelaskan bahwa keadaan terganggu karena terpaksa melakukan tindak pidana. Berdsarkan
penyakit pada kemampuan akal sehatnya hal tersebut seharusnya dapat dinyatakan bahwa
dialami oleh orang yang mempunyai penyakit terdapat overmacht, namun sebelum
jiwa. Dapat disimpulkan bahwa pada diri menyatakan terlebih dahulu harus
korban pencucian otakbukanlah orang yang mempertimbangkan beberapa kondisi seberapa
mengalami sakit jiwa. besar pengaruh cuci otak terhadap pembentukan
keyakinan. Orang yang mengalami cuci otak
Paraahli hukum berpendapat bahwa sebenarnya selalu mempunyai kesempatan
kemampuan bertanggungjawab ialah untuk menolak dan meninggalkan tempat area
kemampuan untuk menyadari perbuatan cuci otaksehingga orang yang melakukan cuci
melawan hukum, memilki tujuan pasti dan otak tidak dapat memasukan keyakinannya.
kehendak bebas dalam melakuakan Tetapi, mereka memilih untuk berada pada
perbuatan.Seseorang mempunyai kebebasan kondisi tersebut, mungkin karena faktor
dalam melakukan perbuatan berarti memiliki perasaan tidak enak dengan orang yang
tujuan pasti yang hendak dicapai dari melakukan cuci otak yang dikenalnya, atau rasa
perbutannya. Orang yang mengalami cuci otak penasaran tinggi dimilikinya terhadap
memenuhi syarat “memiliki kehendak bebas keyakinan baru. Artinya orang yang mengalami
(free will) karena memiliki kehendak bebas dan cuci otak sendiri yang menentukan untuk
kesadaran dalam melakukan setiap berada dalam situasi cuci otak dan dengan
perbuatannya. Penulis mendasarkan pendapat kebebasan kehendaknya menempatkan diri pada
ini pada adegium paham legisme “nemo jus kondisi tersebut untuk menerima keyakinan/
ignorare censetur” (tiap orang dianggap nilai baru kemudian menjadi keyakinanya.
mengetahui undang-undang). Pasal 44 Ayat (1) Sehingga berdasarkan keadaan tersebut dalam
KUHP tidak dapat diterapkan pada korban diri orang yang mengalami cuci otak tidak ada
pencucian otak, artinya ia memiliki kemapuan alasan penghapusan kesalahan/ dasar pemaaf
bertanggung jawab dalam dirinya ketika sebagaiman diatur dalam Pasal 48 KUHP
melakukan tindak pidana. (overmacht). Berdasarkan asas geen straf
Setelah mebuktikan bahwa orang yang zonder schuld, dengan dipenuhinya unsur
mengalami cuci otak memiliki kemampuan kesalahan orang yang mengalami cuci otak
bertanggungjawab selanjutnya apakah di dalam dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
dirinya terdapat kesengajaan atau kealpaan atau
tidak. Menurut Memorie V an Toelecting, Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak
kesengajaan melalukan suatu kejahatan sebagai Pidana Yang Mengalami Cuci Otak
melakukan tindakan yang terlarang secara
dikehendaki dan diketahui atau tujuan yang Di Indonesia cuci otak sering dikaitkan
disadari dari kehendak untuk melakukan suatu dengan perekrutan anggota terorisme dan NII.
kejahatan tertentu (Lamintang, 2003). Dalam Proses perekrutan anggota terorisme dimulai
melakukan tindak pidana orang yang terhadap orang yang penuh kebimbangan,
mengalami cuci otak melakukan perbuatannya disorientasi, dan memiliki pemikiran kosong.
dengan kehendak dan atas perbuatan itu Selanjutnya oleh terorisme diberikan ajaran
memiliki tujuan yang pasti, artinyaorang yang agama yang radikal (indoktrinasi) dan terakhir,
mengalami cuci otak mengetahui dan mengisolasinya dari lingkungan dunia luar
menghendaki akibat perbuatanya. Dipenuhinya untuk dijadikan pelaku bom bunuh diri
unsur tersebut, maka dapat disimpulkan dalam (Sarwono, 2012). Proses perekrutan anggota
diri orang yang mengalami cuci otak saat NII dimulai dengan pertemanan yang diarahkan
melakukan tindak pidana terdapat kesengajaan kepada hubungan yang sangat akrab kemudian
(dolus). dibawa dan dikumpulkan pada suatu tempat,
kemudian dilakukan pelumpuhan pikiran
Keadaan terpaksa (overmacht)ialah dengan diberikan pertanyaan tentang nilai
diadakannya suatu delik bukanlah pembuat agama yang selama ini dipegang dan
(dader) yang memilih tapi orang lain dan membenturkan dengan memaksakan keyakinan
pilihan itu dipaksa dengan memberi tekanan baru dari perekrut secara berulang-
pada pembuat. Tekanan/ paksaan tidak mesti ulang.Selanjutnya tahap Indokrtinasi dan
ada pada saat tindak pidana dilakukan, bisa jadi
Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2019. CC-BY-SA 4.0 License
96
Penguasaan Tanah Warisan yang dikuasai tanpa Persetujuan Ahli Waris Lain
terakhir tahap penjagaan keyakinan ajaran NII Para juri pun menilai bahwa hearst
tanpa diberikan akses komiunikasi keluar berpartisipasi dengan kehendak bebas dalam
(Pratama, 2011). Berdasarkan teori-teori dan melakukan tindak pidana dan tidak
penjabaran tersebut, penulis menyimpulkan mempercayai teori paksaan (coercion) yang
bahwa dalam perekrutan anggota terorisme dikemukan penasihat hukum Patricia. Hasil dari
tidak ada proses cuci otak, sedangkan persidangan juri menyatakan putusan bersalah
perekrutan anggota NII terdapat cuci otak. dan Patricia Hearst dijatuhi hukuman penjara
selama 7 tahun (Emory, 2010).
Di Indonesia ada salah satu kasus yang
memasukan unsur cuci otak dalam persidangan, Kasus The D.C Sniper Case, Lee Boyd
yaitu perkara terorisme atas nama terdakwa Malvo (15 tahun) dari Jamaica, pada tahun
Sya’ban dan perkara terorisme atas nama 2001 seorang veteran perang Angkatan Darat,
terdakwa Abrory Als. Abrory M. Ali Als. Muhammadmembawanya ke Amerika Serikat.
Maskadov Als. Abrory Al Ayyuby. Untuk Malvo dilatih penembakan jitu menggunakan
Perkara Sya’ban, Imam Gulton (Hakim ketua AK47, Senapan 270,Senapan 306dan
majelis) menyatakan tidak melihat kondisi Muhammad mengisolasi Malvo dengan mengisi
Sya’ban yang mengalami indoktrinasi oleh pikirannnya tentang visi perang antar ras,
Abrory. Beliau hanya memperhatikan pemahaman tentang islam yang salah, latihan
bahwanSya’ban melakukan tindak pidana keras dan diet yang ketat. Sekitar satu bulan
dengan pilihannya sendiri, mempunyai niat dan Muhammad dan Malvo melaju ke wilayah
kesadaran atas keyakinan yang diyakini bahwa Washington D.C dan ditembak tiga belas orang
polisi yang dibunuh adalah musuh sehingga oleh Malvo, dan sepuluh orang mati.
patut dibunuh. Sehingga hakim berpendapat
terhadap diri Sya’ban dapat dimintakan Penasihat hukum Malvo dipersidangan
pertanggungjawaban pidana karena terdapat menyatakan bahwa Muhammad telah mencuci
kesalahan. otak Malvo dengan mengisolasi, memaksa
menonton video kekerasan, melatih
Kasus Patricia Hearst dana The D.C Sniper menggunakan senjata apai, mengajarkan
Case merupakan perkara pidana di peradilan pemahaman islam radikal, menganggap kulit
Amerika Serikat yang memasukan unsur cuci hitam salah, mengontrol diet dan tidurnya. Ahli
otak. Patricia Heart (19 tahun), di apartemennya dari penasihat hukum menyatakan Malvo telah
California diculik pada tengah malamoleh menjadi perpanjangan dari ego Muhammad
sekelompok radikal bernama SLA (Symbionese yang mengakibatkan kehilangan identias, rasa
Liberation Army), dengan hanya berpakaian moralitasnya sehingga perasaan mengenai salah
dalam dipaksa dimasukan kebagasi mobil, atau benar telah kabur yang mengakibatkan
kemudian diikat, dikurung disebuah kamar depresi. Secara khusus Jaksa dipersidangan
mandi dengan mata tetutup dan oleh meyatakan bahwa Malvo sadar dan
penculiknya dijadikan objek kekerasan dan bertanggungjawab secara penuh atas
kekejaman (diperkosa, dipukuli) selama 57 hari. perbuatannya seperti sadar memilih untuk
Heart membantu SLA dalam beberapa tindak bersama Muhammad. Juri kembali menolak
pidana selama 2 bulan salah satunya pencurian teori tentang cuci otak yang dikemukakan oleh
Hibernia Bank San Fransisco, kemudian penasiha hukum. Juri tidak mempercayai Malvo
ditangkap tanggal 18 September 1975. Patricia diindoktrinasi oleh Muhammad dan tidak
Hearst didakwa telah melakukan penculikan, dipercayai Malvo tidak dapat membedakan baik
pencurian, pembunuhan dan penyerangan dan buruk. Sebagai hasilnya, juri memutuskan
dengan senjata mematikan. Penasihat hukum bahwa Malvo bersalah atas pembunuhan dan
menyatakan bahawa Patricia telah dicuci dijatuhi pidana penjara seumur hidup oleh
otaknya dengan mengajukan pembelaan bahwa hakim (Emory, 2010).
Patricia dalam melakukan kejahatan karena
dipaksa dengan ancaman. Penasihat hukum
menghadirkan ahli psikologi, William Sargant 4. Simpulan
yang sudah mewawancari Patricia sebelum
Pertanggungjawaban pidana terhadap
persidangan dan saat persidangan menjelaskan
pelaku tindak pidana yang mengalamicuci otak
bahwa Patricia mengalami kekejaman fisik dan
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
mental yang membuatnya melakukan tindak dengan dilihat berdasarkan dipenuhinya 3 (tiga)
pidana.
syarat adanya kesalahan dari pelaku, yaitu:
Jaksa (pihak pemerintah) dipersidangan pelaku memiliki kemampuan bertanggungjawab
menghadirkan 2 orang psikiater, dan (toerekeningsvatbaarheid), adanya kesengajaan
menyatakan bahwa Patricia dengan sadar dan pada diri pelaku dalam melakukan
penuh tanggungjawab melakukan perbuatannya. perbuatannya, dan pelaku tidak memiliki alasan
Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2019. CC-BY-SA 4.0 License
97
Penguasaan Tanah Warisan yang dikuasai tanpa Persetujuan Ahli Waris Lain
Daftar Pustaka
Emory, R. (2010). Losing Your Head in the
Washer – Why theBrainwashing
Defense Can Be a Complete Defensein
Criminal Cases. Pace Law Review, 30
(4), 1–23. Retrieved from https://
core.ac.uk/download/pdf/46713072.pdf
Feist, J., & Feist, G. J. (2006). Theories of
Personality. Boston: McGraw - Hill.
Retrieved from https://
books.google.co.id/books/about/
Theories_of_Personality.html?
id=ZePcSAAACAAJ&redir_esc=y
Gunawan, D. (2011). Lawan Bahaya Cuci Otak
dan Pengendalian Pikiran. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo.
Lamintang. (2003). Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Marzuki, P. M. (2005). Penelitian Hukum.
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Moeljatno. (2009). Asas-Asas Hukum Pidana.
Jakarta: Rineka Cipta.
Pratama, G. (2011). Cuci Otak NII; Pengakuan
Mantan Juru Doktrin NII. Jakarta:
Tinta Publisher.
Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di Indonesia
Dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta:
Pustaka Alvabet. Retrieved from
Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2019. CC-BY-SA 4.0 License
98