Puji dan syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis bisa menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “Jenis Kelamin dan
Gender”. Makalah ini disusun sedemikian rupa sebagai tugas yang kelompok yang diberikan
oleh dosen pembimbing.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisa makalah ini. Harapan penulis sebagai
penyusun makalah ini adalah semoga makalah ini dapat diterima dengan baik oleh dosen
pembimbing dan bermanfaat untuk semua pembaca.
Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik yang membangun dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...1
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………...1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………2
2.1. Perbedaan Jenis Kelamin dan Gender……………………………………2
2.2. Gender dan Sosialisasi…………………………………………………...3
2.3. Gender dan Stratifikasi…………………………………………………...5
2.4. Gender dan Kekuasaan…………………………………………………...7
2.5. Perbedaan gender dan lahirnya ketidakadilan……………………………8
2.6. Perspektif……………………………………………………………….10
BAB III PENUTUP…………………………………………………………….14
3.1. Kesimpulan……………………………………………………………..14
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..……….15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Salah satu isu penting yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah
persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis
social, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan social dan
juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan social.
Bahkan beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan baik di media massa maupun
buku-buku, atau kegiatan-kegiatanseperti seminar, diskusi, dan sebagainya banyak membahas
tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi tersebut terjadi hampir di semua tingkatan dan
sektor, mulai dari tingkat internasional, negara, keagamaan, social (kemasyarakatan), budaya,
ekonomi, sampai pada tingkat rumah tangga.
Gender memasuki dua dasawarsa terakhir telah menjadi bahasa yang memasuki setiap
analisis sosial menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial
serta menjadi topik penting dalam setiap perbincangan mengenai pembangunan. Namun apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan gender dan mengapa dikaitkan dengan usaha
emansipasi kaum perempuan? Untuk itu diperlukan penjelasan mengenai konsep gender.
Pemahaman dan pembeda antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam
melakukan analisa untuk memahami persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum
perempuan. Hal ini karena ada kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan
ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PERBEDAAN JENIS KELAMIN DAN GENDER
Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh Aan
Oakley (1972), dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai alat analisis
yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum.
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Konsep seks atau jenis kelamin mengacu
pada perbedaan biologis pada perempuan dan laki-laki; pada perbedaan antara tubuh laki-laki
dan perempuan. Dengan demikian manakala kita berbicara tentang perbedaan jenis kelamin
maka kita akan membahas perbedaan biologis yang umumnya dijumpai antara kaum laki-laki
dan perempuan, seperti perbedaan pada bentuk, tinggi serta berat badan, pada struktur organ
reproduksi dan fungsinya, pada suara, dan sebagainya.
Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah konsep hubungan
sosial yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi
dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat
perbedaan biologis dan kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan
peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Mead mengemukakan bahwa dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat Barat dikenal
perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan. Dalam klasifikasi tersebut perempuan
umumnya dikaitkan dengan cirri kepribadian tertentu seperti watak keibuan, tidak agresif,
berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, memanjakan, peduli terhadap
keperluan orang lain dan mempunyai seksualitas feminism. Laki-laki, dipihak lain dikaitkan
dengan cirri kepribadian keras, agresif, menguasai dan seksualitas kuat.
Namun dalam penelitiannya selama beberapa tahun di kalangan suku Arapesh yang
tinggal dipegunungan, suku Mundugumor yang tinggal di tepi sungai, dan suku Tschambuli
yang tinggal di tepi danau, Mead menemukan bahwa klasifikasi tersebut tidak berlaku bagi
ketiga kelompok etnik tersebut. Menurut Mead, kepribadian kaum perempuan maupun kaum
laki-laki di kalangan suku Arapesh cenderung kearah sifat tolong menolong, tidak agresif dan
penuh perhatian terhadap kepentingan orang lain; disana tidak dijumpai seksualitas kuat
maupun dorongan kuat kearah kekuasaan. Pada suku Mundugumor, dipihak lain, baik laki-
laki maupun perempuan diharapkan bersifat agresif, perkasa dan keras disertai seksualitas
kuat sedangkan kepribadian yang mengarah ke sifat keibuan dan watak melindungi hampir
tidak Nampak. Sedangkan pada suku etnik Tschambuli, menurut temuan Mead dijumpai
keadaan yang bertentangan dengan masyarakat Barat, karena disana kaum perempuan justru
bersifat menguasai sedangkan kaum laki-laki berkepribadian emosional dan kurang
bertanggung jawab. Dari temuannya dilapangan mengenai tidak adanya hubungan antara
kepribadian dengan jenis kelamin ini Mead menyimpulkan bahwa kepribadian laki-laki dan
perempuan tidak tergantung pada faktor jenis kelamin melainkan dibentuk oleh faktor
kebudayaan. Perbedaan kepribadian antar masyarakat maupun individu menurut Mead
merupakan hasil proses sosialisasi, terutama pola asuhan dini yang dituntun oleh kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan.
Gender bersifat dinamis, dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama,
dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat
berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, dan sosial budaya, atau
karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal atau tidak
berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
2.2. GENDER DAN SOSIALISASI
Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), gender tidak bersifat biologis
melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan
dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu menurutnya gender dapat berubah. Sebagaimana
halnya dalam sosialisasi pada umumnya, maka dalam sosialisasi gender agen penting yang
berperan pun terdiri atas keluarga, kelompok bermain, dan media massa.
1. Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi gender pun
berawal dari keluarga. Melalui proses pembelajaran gender (gender learning),
seseorang mempelajari peran gender (gender role) yang oleh masyarakat dianggap
sesuai dengan jenis kelaminnya.
Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-laki sudah dimulai semenjak
seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir bayi perempuan sering sudah diberi busana yang
jenis dan warnanya berbeda dengan jenis dan warna busana yang dikenakan oleh bayi
laki-laki. Perlakuan yang diterima pun sering cenderung berbeda. Korner
mengemukakan, misalnya dalam berbagai masyarakat Barat bayi perempuan cenderung
diangkat dan ditimang-timang dengan lebih hati-hati dan lebih cepat ditolong dikala
menangis daripada bayi laki-laki. Dalam berkomunikasi lisan dengan seorang bayi bayi
perempuan diperlakukan berbeda. Bayi laki-laki misalnya diberi julukan maskulin
seperti tampan dan gagah, sedangkan bayi perempuan diberi julukan feminine seperti
cantik atau manis.
Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender
adalah mainan yaitu dengan memberikan mainan berbeda untuk setiap jenis kelamin.
Meskipun sewaktu masih bayi seorang anak diberi mainan berupa boneka, namun
boneka yang diberikan kepada bayi laki-laki cenderung berbeda dengan boneka yang
diberikan kepada bayi perempuan. Dengan semakin meningkatnya usia anak, jenis
mainan yang diberikan pun semakin mengarah ke peranan gender. Anak perempuan
diberi mainan yang berbentuk peralatan rumah tangga seperti perlengkapan memasak,
sedangkan anak laki-laki diberi mainan yang berbentuk kendaraan bermotor, alat berat,
alat pertukangan atau senjata.
2. Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk
perilaku dan sikap kanak-kanak. Dibidang sosialisasi gender pun, kelompok bermain
menjalankan peran cukup besar.
Dikala berada dalam kelompok bermain laki-laki cenderung memainkan jenis
permainanan yang lebih menekankan pada segi persaingan, kekuatan fisik dan
keberanian sedangkan dalam kelompok bermain perempuan, anak perempuan
cenderung memainkan permainan yang lebih menekankan pada segi kerja sama.
Setelah anak-anak berusia remaja dan mulai belajar berbagai tehnik untuk menghadapi
lawan jenis mereka. Remaja laki-laki belajar dari teman-temannya bahwa laki-laki
harus senantiasa berani dan agresif terhadap perempuanserta mampu menerapkan
berbagai cara untuk dapat “merebut” dan “menaklukkan” mereka. Anak perempuan
dipihak lain dididik oleh sesamanya bahwa perempuan cenderung pasif, bertahan
mampu mempertahankan kehormatannya seraya mempertahankan haknya untuk
memilih siapa diantara para pria yang mendekatinya pantas mendapat perhatiannya.
Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain pun menerapkan kontrol sosial bagi
anggota yang tidak menaati peraturannya. Seorang anak laki-laki memilih untuk
bermain dengan mainan anak perempuan dan berkumpul dengan mereka, misalnya
cenderung dicap”sissy” atau “banci” dan menghadapi resiko dikucilkan. Hal serupa
dihadapi anak perempuan yang berorientasi pada permainan anak laki-laki dan bermain
dengan mereka yang dapat dicap sebagai “tomboy”.
3. Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya, yaitu kurikulum
formal. Dalam mata pelajaran prakarya misalnya ada sekolah yangmemisahkan sisiwa
dengan sisiwi agar masing-masing dapat diberi pelajaran berbeda.
Pembelajaran gender disekolah dapat pula berlangsung melalui buku teks yang
digunakan. Misalnya buku teks ilmu pengetahuan alam yang cenderung mengabaikan
kontribusi ilmuwan perempuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta
kesenian.
4. Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana halnya dengan buku cerita nutuk kanak-kanak dan remaja serta buku
pelajaran di sekolah, maka madia massa pun sangat berperan dalam sosialisasi gender,
baik melaui pemberitaannya, kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yang
dipasang didalamnya. Media massa baik berupa media cetak maupun media elektronik
sering memuat iklan yang menunjang stereotip gender (gender-stereotyped
advertising). Iklan yang mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga
misalnya cenderung menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga
maupun sebagai ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang
merupakan symbol status dan kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung menampilkan
model laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di ranah publik
berjumlah banyak, namun iklan demikian sering menekankan pekerjaan yang
cenderung diperankan oleh perempuan dan menempati posisi rendah dalam organisasi,
seperti misalnya peran sebagai resepsionis, pramugari, sekretaris atau kasirn dan bukan
pada jabatan berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur atau kapten
penerbangan.
Gerakan sosial kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan gender telah
membawa dampak pada dunia periklanan. Berbagai iklan dimedia massa kini sudah
mulai menampilkan kepekaan dengan jalan menghindari stereotip gender dan
menonjolkan persamaan peran gender. Meskipun demikian, gerakan tersebut hingga
kini masih belum mampu menanggulangi praktik pembuatan iklan yang mengandung
stereotip gender.
2.6. PERSPEKTIF
Ada pendapat berbeda-beda dalam merespon ketidakadilan gender yang terjadi dalam
masyarakat, karena perbedaan pandangan, perspektif atau paradigma yang dianutnya. Dalam
studi tentang gender, terdapat dua toeri besar dalam ilmu sosial yang melahirkan aliran
feminism, yakni aliran fungsionalisme dan aliran konflik.
1. Paradigma Fungsionalisme dan Feminisme
Aliran fungsionalisme dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons.
Penganut aliran ini berpendapat bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas
bagian dan saling berkaitan dan masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai
keseimbangan dan keharmonisan, sehingga dapat menjelaskan posisi kaum perempuan.
Menurut teori struktural fungsional konsep gender dibentuk menurut pembagian peran
dan fungsi masing-masing laki-laki dan perempuan agar tercipta keharmonisan antara
laki-laki dan perempuan.
Pengaruh fungsionalisme dapat ditemui dalam pemikiran feminisme liberal.
Sebelum menjelaskan tentang feminisme liberal, apa sebenarnya yang disebut dengan
feminisme ? Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan
pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada,
seperti institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan
untuk mengingkari kodrat. Karena adanya prasangka tersebut, maka feminisme tidak
mendapat tempat pada kaum perempuan, bahkan ditolak oleh masyarakat. Sedangkan
menurut kaum feminisme, feminisme seperti halnya aliran pemikiran dan gerakan yang
lain, bukan merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang berdiri sendiri, akan tetapi
meliputi berbagai ideologi, paradigma, serta teori yang dipakainya. Meskipun gerakan
feminisme berasal dari analisis dan ideologi yang berbeda tetapi mempunyai kesamaan
tujuan, yaitu kepedulian memperjuangkan nasib perempuan.
Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan dan kesamaan berasal dari
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam memperjuangkan
persoalan masyarakat, menurut kerangka kerja feminisme liberal tertuju pada
“kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk didalamnya
kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini
penting, sehingga tidak perlu pembedaan kesempatan. Oleh karena itu, ketika
ditanyakan mengapa kaum perempuan dalm keadaan terbelakang atau tertinggal?
Menurut feminisme liberal hal itu disebabkan oleh kesalahan “mereka sendiri”. Artinya
jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan,
tetapi ternyata kaum perempuan tersebut kalah bersaing, maka kaum perempuan sendiri
yang perlu disalahkan. Aliran ini kemudian mengusulkan bahwa untuk memecahkan
masalah kaum perempuan cara yang harus dilakukan adalah menyiapkan kaum
perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas.
2. Paradigma Konflik dan Feminisme
Teori konflik lahir sebagai reaksi terhadap teori struktural fungsional. Teori ini
percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang
merupakan sentral dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan laki-laki dan
perempuan.
Bagi penganut aliran konflik, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai
alat untuk menguasai kekuasaan, tidak terkecuali hubungan laki-laki dan perempuan.
Atas dasar asumsi itu, maka perubahan akan terjadi melalui konflik, yang berakibat
akan mengubah posisi dan hubungan. Aliran feminisme yang dikategorikan dalam
teori konflik, adalah:
Kelompok pertama, aliran feminisme radikal. Aliran ini justru muncul sebagai
kultur sexismatau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pornografi.
Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan
personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis, sehingga dalam melakukan
analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh patriarkinya.
Dengan demikian “kaum laki-laki” secara biologis maupun politis adalah bagian dari
permasalahan. Menurut penganut aliran feminisme radikal, patriarki adalah sumber
ideologi penindasan dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior.
Akan tetapi aliran feminisme Marxis, menganggap bahwa analisis yang dilakukan
feminis radikal disebut sebagai ahistoris, karena menganggap patriarki sebagai hal yang
universal dan merupakan akar dari segala penindasan.
Kelompok penganut teori konflik yang kedua adalah feminisme marxis. Kelompok
ini menolak keyakinan kaum feminisme radikal. Bagi mereka penindasan perempuan
adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Karl Mark sendiri tidak
banyak menjelaskan dalam teorinya tentang posisi kaum perempuan dalam perubahan
sosial. Menurut Mark, hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara
proletar dan borjuis, serta tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status
perempuannya.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan oleh berbagai cara dan alasan
karena menguntungkan. Pertama, eksploitasi pulang kerumah, yakni suatu proses yang
dilakukan untuk membuat laki-laki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih
produktif. Kedua, kaum perempuan dianggapa bermanfaat bagi sistem kapitalisme
reproduksi buruh murah. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap
menguntungkan sistem kapitalisme karena umumnya upah buruh perempuan sering kali
rendah daripada upah buruh laki-laki.
Aliran ini tidak menganggap patriarki sebagai permasalahan, akan tetapi justru
sistem kapitlisme yang menjadi penyebabnya.
Aliran konflik yang ketiga adalah feminisme sosialis. Feminisme sosialis mulai
dikenal tahun 1970-an. Mitchel dalam bukunya woman estate telah meletakkan dasar-
dasar feminisme sosialis. Menurutnya politik penindasan sebagai suatu konsekuensi
baik penindasan kelas maupun penindasan patriarkis.
Penganut aliran ini menerima dan menggunakan prinsip dasar marxisme dan
memperluasnya dengan bidang yang selama ini diabaikan oleh teori marxis. Menurut
banyak kalangan terutama pengikut gerakan perempuan aliran ini dianggap lebih
memiliki harapan, karena analisis yang ditawarkan lebih dapat diterapkan. Bagi
feminisme sosialis, penindasan perempuan terjadi dikelas manapun, bahkan revolusi
sosialis juga tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Asumsi yang digunakan
oleh feminis sosialis adalah bahwa hidup dalam masyarakat yang kapitalis bukan satu-
satunya penyebab keterbelakangan perempuan. Feminis sosialis menolak visi marxis
yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya
feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu analisis
patriarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas.
Lebih lanjut, teori kapitalis patriarki, yang pertama kali diungkapkan oleh Zillah
Eisenstein memulai teorinya dengan tesis perempuan sebagai suatu kelas yang
diterapkan, dengan menguraikan apa yang disebut oleh Marx sebagai keterasingan,
untuk melihat nasib kaum perempuan. Dalam analisanya Eisenstein melihat bahwa
patriarki sudah muncul sejak sebelum kapitalisme dan tetap ada pada era
pascakapitalisme.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Konsep seks atau jenis kelamin mengacu
pada perbedaan biologis pada perempuan dan laki-laki; pada perbedaan antara tubuh laki-laki
dan perempuan. Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah
konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan.
Mead mengemukakan bahwa dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat Barat dikenal
perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan. Dalam klasifikasi tersebut perempuan
umumnya dikaitkan dengan cirri kepribadian tertentu seperti watak keibuan, tidak agresif,
berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, memanjakan, peduli terhadap
keperluan orang lain dan mempunyai seksualitas feminism. Laki-laki, dipihak lain dikaitkan
dengan cirri kepribadian keras, agresif, menguasai dan seksualitas kuat.
Gender bersifat dinamis, dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama,
dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat
berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, dan sosial budaya, atau
karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal atau tidak
berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
J.Dwi Narwoko dan Bagong suyanto. 2004. Sosiologi: teks pengantar dan terapan edisi ke-3.
Jakarta: Kencana