Oleh :
Kelompok D
Anggota Kelompok:
Vira Shintya Syafma, S.Kep 2041312030
Miftahul Rahmi, S.Kep 2041312019
Azizah Yulia Ulfa, S.Kep 2041312005
Rettania Lorenza Hamrizal, S.Kep 2041312003
Elisya Sofyani, S.Kep 2041312009
Noveri Yansyah, S.Kep 2041312011
Poppy Tia Andria, S.Kep 2041312033
Kintan Resqitha Ekaputri S.Kep 2041312018
Annisa Fatma, S.Kep 2041312035
A. Latar Belakang
Apendiks disebut juga umbai cacing organ berbentuk tabung, panjangnya kira-
kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar dibagian distal (Sjamsuhidajat, 2004, h. 639).
Appendisitis atau radang apendiks merupakan kasus infeksi intraabdominal
yang sering dijumpai di negara-negara maju, sedangkan pada negara berkembang
jumlahnya lebih sedikit, hal ini mungkin terkait dengan diet serat yang kurang pada
masyarakat modern (perkotaan) bila dibandingkan dengan masyarakat desa yang
cukup banyak mengkonsumsi serat. Appendisitis dapat menyerang orang dalam
berbagai umur, umumnya menyerang orang dengan usia dibawah 40 tahun,
khususnya 8 sampai 14 tahun, dan sangat jarang terjadi pada usia dibawah dua tahun.
Apabila peradangan pada appediks tidak segera mendapatkan pengobatan atau
tindakan maka usus buntu akan pecah, dan usus yang pecah dapat menyebabkan
masuknya kuman kedalam usus, menyebabkan peritonitis yang bisa berakibat fatal
serta dapat terbentuknya abses di usus (Mansjoer, 2000, h. 307).
Hasil survey Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2008
Angka kejadian appendiksitis di sebagian besar wilayah indonesia hingga saat ini
masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang menderita penyakit apendiksitis
berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang.
Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia, apendisitis akut
merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk
dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendiksitis di Indonesia
menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainya (Depkes
2008). Jawa Tengah tahun 2009 menurut dinas kesehatan jawa tengah, jumlah kasus
appendiksitis dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177 diantaranya menyababkan
kematian. Jumlah penderita appendiksitis tertinggi ada di Kota Semarang, yakni 970
orang. Hal ini mungkin terkait dengan diet serat yang kurang pada masyarakat
modern (Taufik, 2011).
Bila apendiksitis dibiarkan maka akan menyebabkan komplikiasi yang sangat
serius seperti perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau
abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi adalah anak
kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri (Smeltzer,
2001, h. 1099). Pembedahan diindikasikan jika terdiagnosa apendisitis lakukan
apendiktomi secepat mungkin untuk mengurangi resiko perforasi ( Diane C, 2000, h.
46).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah penyebab dari appendicitis?
C. Tujuan Penulisan
1. Melakukan pengkajian dengan mengumpulkan semua data baik melalui
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan
untuk menilai keadaan pasien secara menyeluruh pada pasien dengan post
operasi apendisitis.
2. Mampu menganalisa masalah-masalah yang muncul pada pasien dengan
post operasi apendisitis.
3. Mampu merumuskan diagnosa dan memprioritaskan masalah pada pasien
dengan post operasi apendisitis.
4. Mampu membuat perencanaan tindakan asuhan keperawatan pada pasien
dengan post operasi apendisitis
5. Mampu melaksanakan rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan post
operasi apendisitis.
6. Mampu mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada
pasien dengan post operasi apendisitis.
7. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit
kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada usia
tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada
bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan
sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik Apendisitis
ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang
sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%,
preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti
terlihat pada gambar dibawah ini.
Appendiks pada saluran pencernaan
2. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah
Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah
penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit
sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.
B. Definisi
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94
inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan
dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak
efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan
terhadap infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002).
D. Klasifikasi
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada
dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi
dari apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat :
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik
antara 1-5 persen.
4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang
di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi
menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut
pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk
aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn
lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi
yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan
apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa.
Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel
dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut
kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila
terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah
apendiktomi.
6. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks,Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan
kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis
ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan
hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen
apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa
rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus,
dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel
tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan
residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen
patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan
operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan.
E. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah
terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007).
F. Manifestasi Klinik
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan
3. Nyeri tekan lepas dijumpai.
4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin
tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
G. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak
kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan
40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan
orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih
pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi,
sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis
komplikasi diantaranya :
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon
dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar
ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit,
tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif
pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak
sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan
leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum.
Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan
hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi,
dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah,
nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-
scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari
appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat
akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan
92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
3. Analisa urin ertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis,
tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi
usus halus atau batu ureter kanan.
I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi
yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah
infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka
abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi
diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi
disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
1. Pre-operasi
2.Intra-operasi
3.Post-operasi
a. Observasi TTV.
b. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung
dapat dicegah.
c. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
d. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien
dipuasakan.
e. Bila tindakan operasilebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan
sampai fungsi usus kembali normal.
f. Berikan minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan
makanan lunak.
g. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2×30 menit.
h. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
i. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
j. Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif yang
ditandai dengan :
k. Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
l. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat
tanda-tanda peritonitis
m. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat
pergeseran ke kiri.
a. Pengkajian
1. Keluhan utama
a. Sirkulasi : Takikardia.
b. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
c. Aktivitas/istirahat : Malaise.
d. Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
e. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus.
f. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
g. Demam lebih dari 380C.
h. Data psikologis klien nampak gelisah.
i. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
j. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri
pada daerah prolitotomi.
k. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pre operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi)
2) Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.
3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4) Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
b. Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).
2) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).
3) Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
4) Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi.
PRE OPERASI
N DIAGNOSA
NOC NIC
O KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Kaji tingkat nyeri, lokasi dan
dengan agen injuri diharapkan nyeri klien berkurang dengan karasteristik nyeri.
biologi (distensi jaringan kriteria hasil :
intestinal oleh inflamasi) - Klien mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri, mampu - Jelaskan pada pasien tentang
menggunakan tehnik nonfarmakologi penyebab nyeri
untuk mengurangi nyeri, mencari
bantuan) - Ajarkan tehnik untuk
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang pernafasan diafragmatik lambat
dengan menggunakan manajemen / napas dalam
nyeri
- Tanda vital dalam rentang normal : - Berikan aktivitas hiburan
TD (systole 110-130mmHg, diastole (ngobrol dengan anggota
70-90mmHg), HR(60-100x/menit), keluarga)
RR (16-24x/menit), suhu (36,5- - Observasi tanda-tanda vital
37,50C)
- Klien tampak rileks mampu - Kolaborasi dengan tim medis
tidur/istirahat dalam pemberian analgetik
2. Perubahan pola eliminasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Pastikan kebiasaan
(konstipasi) berhubungan diharapkan konstipasi klien teratasi defekasi klien dan gaya hidup
dengan penurunan dengan kriteria hasil: sebelumnya.
peritaltik. - BAB 1-2 kali/hari - Auskultasi bising usus
- Feses lunak
- Bising usus 5-30 kali/menit
- Tinjau ulang pola diet dan
jumlah / tipe masukan cairan.
- Berikan makanan tinggi serat.
POST OPERASI
N DIAGNOSA
NOC NIC
O KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Kaji skala nyeri lokasi,
dengan agen injuri fisik diharapkan nyeri berkurang dengan karakteristik dan laporkan
(luka insisi post operasi kriteria hasil : perubahan nyeri dengan tepat.
appenditomi). - Melaporkan nyeri berkurang - Monitor tanda-tanda vital
- Klien tampak rileks
- Dapat tidur dengan tepat - Pertahankan istirahat dengan
- Tanda-tanda vital dalam batas posisi semi powler.
normal : TD (systole 110-130mmHg, - Dorong ambulasi dini.
diastole 70-90mmHg), HR(60- - Berikan aktivitas hiburan.
100x/menit), RR (16-24x/menit), suhu - Kolaborasi tim dokter dalam
(36,5-37,50C) pemberian analgetika.
2. Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Kaji adanya tanda-tanda infeksi
berhubungan dengan diharapkan infeksi dapat diatasi dengan pada area insisi
tindakan invasif (insisi kriteria hasil : - Monitor tanda-tanda vital.
post pembedahan). - Klien bebas dari tanda-tanda infeksi Perhatikan demam, menggigil,
- Menunjukkan kemampuan untuk berkeringat, perubahan mental
mencegah timbulnya infeksi - Lakukan teknik isolasi untuk
- Nilai leukosit (4,5-11ribu/ul) infeksi enterik, termasuk cuci
tangan efektif.
- Pertahankan teknik aseptik
ketat pada perawatan luka
insisi / terbuka, bersihkan
dengan betadine.
- Awasi / batasi pengunjung dan
siap kebutuhan.
- Kolaborasi tim medis dalam
pemberian antibiotik
3. Defisit self care Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Mandikan pasien setiap hari
berhubungan dengan diharapkan kebersihan klien dapat sampai klien mampu
nyeri. dipertahankan dengan kriteria hasil : melaksanakan sendiri serta cuci
- klien bebas dari bau badan rambut dan potong kuku klien.
- klien tampak bersih - Ganti pakaian yang kotor
- ADLs klien dapat mandiri atau dengan yang bersih.
dengan bantuan - Berikan Hynege Edukasipada
klien dan keluarganya tentang
pentingnya kebersihan diri.
- Berikan pujian pada klien
tentang kebersihannya.
- Bimbing keluarga klien
memandikan / menyeka pasien
- Bersihkan dan atur posisi serta
tempat tidur klien.
4. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Kaji ulang pembatasan
tentang kondisi prognosis diharapkan pengetahuan bertambah aktivitas pascaoperasi
dan kebutuhan dengan kriteria hasil :
pengobatan b.d kurang - menyatakan pemahaman proses - Anjuran menggunakan
informasi. penyakit dan pengobatan laksatif/pelembek feses ringan
- berpartisipasi dalam program bila perlu dan hindari enema
pengobatan - Diskusikan perawatan insisi,
termasuk mengamati balutan,
pembatasan mandi, dan
kembali ke dokter untuk
mengangkat jahitan/pengikat
- Identifikasi gejala yang
memerlukan evaluasi medic,
contoh peningkatan nyeri
edema/eritema luka, adanya
drainase, demam
BAB III
Kasus
Pasien datang ke IGD RS dengan keluhan nyeri perut kanan bawah dan muntah
sebanyak 4 kali sejak 2 hari yll. Pemeriksaan TTV TD : 100/80 mmHg S/N : 36
0C/86x/menit RR : 20x/menit. Pasien post op appendectomy 1 hari yll. Saat
dilakukan pengkajian pasien mengeluh nyeri pada bagian luka operasi, pasien
mengatakan nyeri seperti terbakar dan tertusuk-tusuk dibagian bagian perut, skala
nyeri 7
WOC Apendisitis
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN Ny. G DENGAN GANGGUAN
SISTEM PENCERNAAN
A. PENGKAJIAN
No. RM : 084284
Tanggal masuk RS : 30 September 2020
Tanggal Pengkajian : 2 Oktober 2020
1. Biodata
a. Identitas Klien
Nama : Ny. G
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Sumber Biaya : BPJS
Ruangan : Melati
b. Penanggung Jawab
Nama : Tn. D
Umur : 35 tahun
Pekerjaan : PNS
Hubungan dengan klien : Suami klien
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kuadran kanan
bawah dan muntah sebanyak 4 kali sejak 2 hari yang lalu.
Keterangan :
= Perempuan
= Laki-Laki
= Pasien
= Meninggal
= Menikah
makan pasien yang tidak sehat dan pasien merasa menyesal karena tidak
mengkonsumsi alkohol. Saat pasien hanya sakit flu dan demam biasa, pasien
Keluarga pasien mengatakan pasien menyukai makanan pedas dan mie instan
pasien biasanya memakan bubur. Pasien juga minum air putih sebanyak 6-8
c. Pola Eliminasi
Saat dilakukan pengkajian pasien menggunakan kateter sejak satu hari yang lalu dan
tidak terdapat tanda- tanda infeksi (tidak ada perdarahan, tidak ada lesi dan tidak ada
kemerahan)
d. Pola
Aktivitas 0 1 2 3 4
Makan/Minum V
Mandi V
Berpakaian/berdandan V
Toileting V
Mobilisasi di Tempat Tidur V
Berpindah V
Berjalan V
Menaiki Tangga V
Keterangan :
0 = Mandiri
1 = Di bantu orang lain
2 = Dengan alat bantu
3 = Di bantu orang lain dan alat
4 = Tergantung total
Kekatan otot: 4444
e. Pola istirahat/tidur
Tidur pasien ± 4 jam/hari pada malam hari, pasien mengeluh sulit tidur karena
nyeri pada bekas luka operasi pasien
f. Pola kognitif-persepsi
Status mental : kompos mentis
Bicara : normal
Pasien mengeluh nyeri pada bagian luka operasi, pasien mengatakan nyeri
seperti terbakar dan tertusuk-tusuk dibagian bagian abdomen kuadran
kanan bawah, skala nyeri 7 dan bertambah nyeri saat bergerak.
g. Pola Peran Hubungan
Pekerjaan pasien merupakan seorang ibu rumah tangga
baik dan keluarga juga sering menjenguk dan merawat pasien di rumah
sakit
h. Pola seksualitasi/reproduksi
Tanggal menstruasi terakhir pasien(TMA): 2 minggu yang lalu
Sejak sakit pasien tidak melakukan hubungan seksual dengan suaminya
Tidak ada permasalahan pada sistem reproduksi pasien
i. Pola Koping-Toleransi Stres
Masalah finansial: BPJS
Hal yang dilakukan ketika ada masalah: pasien mendiskusikannya dengan
suami dan keluarganya
Penggunaan obat untuk menghilangkan stress: tidak ada
Keadaan emosi dalam sehari-hari: tidak ada masalah
j. Pola keyakinan-nilai
Pasien beragama islam
Pasien mengatakan sering melaksanakan sholat 5 waktu, namun setelah
dilakukannya operasi, pasien sholat diatas tempat tidur
Permintaan kunjungan rohani: tidak ada
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium,
Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Klien tampak lemah, tidak bergairah, tampak meringis, nyeri pada lokasi
post-op appendectomy dan beraktivitas di tempat tidur.
PEMERIKSAAN FISIK
Gambaran
Toraks
Ekstremitas Atas
- Inspeksi: bentuk kedua tangan simetris dan
tidak terdapat edema, pada tangan kiri pasien
terpasang infus
- Reflek bisep dan trisep normal
Bawah
- Inspeksi: bentuk kedua kaki simetris, tidak
terdapat edema
- Reflek patella normal
Terapi
1) Infuse RL 20 tpm
Analisa Data
PEMBAHASAN KASUS
A. Pengkajian
Pasien datang ke IGD RS dengan keluhan nyeri perut kanan bawah dan muntah
sebanyak 4 kali sejak 2 hari yll. Pasien post op appendectomy 1 hari yll. Saat
dilakukan pengkajian pasien mengeluh nyeri pada bagian luka operasi, pasien
mengatakan nyeri seperti terbakar dan tertusuk-tusuk dibagian bagian perut, skala
nyeri 7.
Pembahasan:
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan
abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan
nanah).
1. Diagnosa Keperawatan
2. Implementasi