Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA DAN HUMANIORA

Nama : Kholisotul Bariroh

NPM : 2191000430054

Prodi/Kelas : Pendidikan Sejarah dan Sosiologi/2019B

Indonesia Dalam Krisis Kepatuhan Hukum

Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan diwujudkan dalam bentuk
prilaku sebagai cermin kepatuhan hukum di dalam masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat
suatu tradisi prilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang
atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum dalam hidup
berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita
dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main
dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko
hidup bersama.

Namun kalau dilihat secara materiil, yang di dalam hukum pembuktian pidana selalu berpegang
pada kebenaran yang senyatanya terjadi yang dalam hal ini disebut dengan kebenaran materiil, ternyata
sungguh sulit membangun budaya hukum materiil di negeri ini, hal ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini,
karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk prilaku yang nyata,
sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara rasional sebenarnya sadar akan perlunya
kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku.

Pakar Sosiologi Hukum Prof.DR. Satjipto Raharjo, dalam bukunya “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di
Indonesia, Penerbit Kompas, 2003”, secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak
bersalah, sekalipun putusan judex factie ( PN dan PT) telah menyatakan yang bersangkutan bersalah,
merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di negeri ini”. Pandangan kritis pakar sosiologi
hukum itu patut menjadi renungan kita bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang sangat dalam
mengenai perlunya kita mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa tertanam budaya hukum
mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan.

Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya,
belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah
merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya
kepatuhan hukum itu ?.
Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan bentuk “kesetiaan”
masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam
bentuk prilaku yang senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan
dirasakan oleh sesama anggota masyarakat.

Perlu Penulis tegaskan lagi, bahwa kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah
kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main (rule of the game)
sebagai konsekuensi hidup bersama, dimana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku yang
senyatanya patuh pada hukum ( antara das sein dengan das sollen dalam fakta adalah sama) .

Secara a contra-rio jika di dalam masyarakat banyak kita dapatkan bahwa masyarakat tidak patuh
pada hukum hal ini dikarenakan individu dan masyarakat dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana
antara tuntutan kesetiaan yang satu bertentangan dengan tuntutan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat
tersebut dihadapkan pada pilihan setia terhadap hukum atau setia terhadap “kepentingan pribadinya”,
setia dan patuh pada atasan yang memerintahkan berperang dan membunuh atau setia kepada hati
nuraninya yang mengatakan bahwa membunuh itu tidak baik, atau yang lebih umum seperti yang sering
terjadi masyarakat tidak patuh pada aturan lalu-lintas, perbuatan korupsi, perbuatan anarkisme dan main
hakim sendiri (eigen rechting) karena mereka lebih mendahulukan setia kepada kepentingan pribadinya
atau kelompoknya, dll.

Apalagi masyarakat sekarang ini menjadi lebih berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan
pribadi karena hukum dalam penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana
penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik,
penegakan hukum dirasakan diskriminatif . Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan
pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.

Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada
hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut
masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat
dirasakan jika kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontiniu menegakkan hukum tanpa diskriminatif,
siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum tidak boleh memihak kepada siapapun dan
dengan alasan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum
dan keadilan hukum.

Namun jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh rekayasa politis, tidak dapat
dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika
masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan atau hukum rimba atau kekerasan fisik
(eigen rechting). Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia telah mengalami krisis kepatuhan hukum
karena hukum telah kehilangan substansi tujuannya, dan buadaya prilaku masyarakat telah memandang
hukum ditegakkan secara diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang
berduit, dan berkuasa. Quo Vadis Penegakan Hukum Indonesia…?? (sept-2011)
Tanggapan Artikel :

Perkembangan hukum di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Apalagi masyarakat saat ini
menjadi lebih berani dan tidak patuh terhadap hukum yang berlaku. Banyak masyarakat yang sadar akan
hukum, tetapi merekan enggan untuk mematuhinya. Disamping itu hukum yang berlaku di Indonesia
tidak tegas, lebih bersifat tumpul ke atas dan tajam ke bawah, sehingga oleh masyarakat disepelakan.
Untuk menguatkan kembali hukum di Indonesia, pemerintah dan masyarakat harus bersatu, tidak ada
deskriminatif hukum dan hukum diberlakukan dengan seadil-adilnya.
Membentuk Kesadaran Sosial Generasi Z, Hidupkan Dolanan Tradisional

Jakarta - Perkembangan dalam bidang teknologi informasi atau yang sekarang disebut dengan era
digital telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia mulai dari sosial,
ekonomi, budaya, bahkan dalam dunia pendidikan sekalipun.

Kemajuan di dunia yang serba digital yang ditandai dengan semakin canggihnya berbagai
perangkat mobile seperti gadget, tablet, smartphone dengan berbagai fitur canggih di dalamnya serta
penggunaan jaringan internet yang semakin luas telah memberikan banyak kelebihan contohnya dalam
upaya peningkatan efisiensi, kemudahan akses dan transfer informasi serta berbagai keuntungan lainnya.

Namun seringkali, pemanfaatan teknologi yang tidak pada tempatnya justru bisa memberikan
dampak buruk yang tidak terduga, yang berujung pada kasus-kasus cyberbullying seperti kekerasan dan
penipuan. Tidak hanya itu, hal yang juga tidak kalah penting adalah pergeseran pola hidup yang lebih
bersifat individualis dan apatis.

Tidak bisa dipungkiri, fenomena booming teknologi berdampak pada melesatnya penggunaan
smartphone yang mencapai 7.22 miliar unit. Jumlah ini hampir setara dengan populasi penduduk dunia
yang mencapai 7.2 miliar. Di Indonesia sendiri, bahkan sudah muncul generasi gadget dan smartphone
yang sayangnya justru didominasi oleh anak-anak di bawah umur yang lebih dikenal sebagai generasi Z.

Gadget atau smartphone yang di era tahun 1900-an sampai 2000-an masih dianggap sebagai
barang tersier yang prestisius di masyarakat, telah bergeser menjadi kebutuhan dasar tidak hanya untuk
orang dewasa namun juga anak-anak.

Pola sosialisasi anak-anak pun mulai berubah, lebih bersifat soliter dan kurang mengerti dengan
nilai-nilai sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Sebenarnya, jika dipandang dari kacamata
pendidikan, anak-anak belum membutuhkan smartphone dalam proses perkembangan mereka.

Artinya, smartphone tidak menjadi sebuah kebutuhan urgen untuk membuat anak menjadi lebih
pintar. Justru sebaliknya, banyak nilai-nilai dalam tataran sosial yang perlahan-lahan mulai pudar padahal
nilai-nilai tersebut yang dibutuhkan bagi kematangan hidup anak di masa depan.

Sayangnya kondisi ini tidak dipahami sepenuhnya oleh orangtua, secara sengaja atau tidak telah
muncul pemahaman atau stereotip yang salah untuk memperkenalkan gadget sejak dini sebagai media
untuk mendidik dan mengasuh anak.

Padahal menurut psikolog Tika Bisono, terlalu sering bermain gadget akan berpengaruh pada
sikap anak yang cenderung lebih menyukai kesendirian daripada harus bersosialisasi dengan teman-teman
di lingkungannya. Jika hal ini tidak diperhatikan dengan baik, lama kelamaan kesadaran anak tentang
lingkungan sosial akan menurun.

Kesadaran sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal
ini tidak saja menyangkut aktivitas sosialisasi dan kepercayaan diri anak untuk bertatap muka, namun
juga mengarah pada sikap-sikap yang menunjukkan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitarnya
seperti sikap saling menghormati, toleransi, dan sebagainya.
Sikap-sikap seperti ini tidak bisa diperoleh dengan bantuan aplikasi yang ada di smartphone.
Sebaliknya berbagai aplikasi yang ada seperti games justru mendidik anak untuk lebih bersikap agresif
dan individualis. Inilah yang perlu disadari dan diperhatikan oleh orangtua maupun lingkungan keluarga.

Setiap anak pada dasarnya akan mengalami fase yang disebut dengan golden age yangmana masa
ini sangat menentukan apakah di masa depan anak bisa menjadi pribadi yang tangguh atau tidak.

Mungkin memang terkesan sepele, tapi pentingnya masa ini tidak disadari betul oleh banyak
orangtua. Jangan sampai ada slogan 'asal anak senang', masa depan mereka dipertaruhkan.

Dalam usia emas anak yang berlangsung pada umur 1-5 tahun, mereka lebih menyukai permainan
untuk merangsang sistem motorik sehingga tidak ada salahnya memperkenalkan nilai-nilai dan etika
sosial dengan menggunakan permainan tradisional seperti dalam petak umpet, congklak, gobak sodor dan
engklek dengan menggunakan aplikasi dan internet yang terdapat dalam smartphone.

Permainan tradisional ini mengandung nilai-nilai luhur dalam kebudayaan yang bisa kita petik
sebagai alternatif pendidikan bagi anak. Singkatnya, memadukan perkembangan teknologi dengan nilai
nilai budaya sebagai basis pendidikan anak merupa kan pilihan yang bijak bagi orangtua.

Tanpa harus menjadi orang yang tertinggal zaman, anak akan memperoleh kesenangan dengan
gadget, namun tetap mendapatkan pesan-pesan sosial dan edukasi yang penting dalam kehidupan nyata.

Tanggapan :

Teknologi pada zaman sekarang berkembang sangat pesat dan membawa perubahan dalam
berbagai aspek kehidupan manusia. Mulai dari sosial, ekonomi, budaya bahkan dalam pendidikan
sekalipaun. Perkembangan teknologi juga menyebabkan kesadaran sosial masyarakat menjadi berkurang.
Padahal kesadaran sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat.Oleh
karena itu penulis menghimbau agar kita memanfaatkan teknologi sebaik mungkin dengan
mempertimbangkan dampak sosial yang terjadi.
Krisis Budaya di Indonesia

Budaya masyarakat Indonesia dewasa ini telah mengalami krisis jika dibandingkan dengan
budaya masyarakat Indonesia jaman dulu. Masyarakat Indonesia saat ini cenderung tidak mencintai
budaya dalam negeri sendiri, lebih senang menggunakan produk-produk impor sebagai gaya hidup sehari-
hari, dan parahnya lagi sistem birokrasi yang dibumbui oleh budaya korupsi. Hal ini terlihat dari semakin
maraknya produk impor yang masuk di Indonesia, sedangkan produk-produk lokal di pusat perbelanjaan
semakin sedikit. Begitu pun dengan sistem pemerintahan yang ada sekarang, korupsi seperti sudah
menjadi “pelengkap” dalam birokrasi pemerintahan. Dengan adanya distorsi budaya seperti ini, kelak
bangsa Indonesia tidak akan pernah maju, bahkan mungkin mengalami kemunduran. Ini telah terbukti,
bandingkan Indonesia dengan Malaysia sekitar tahun 1990an, Indonesia jauh lebih maju daripada
Malaysia. Sedangkan sekarang apa yang terjadi? Malaysia lebih maju dibandingkan bangsa tercinta kita
ini, Indonesia.

Akibat meningkatnya penggunaan radio dan televisi, maka musik-musik pop yang paling
mutakhir dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, rakyat di pedesaan maupun di
gunung-gunung, sudah tidak asing lagi dengan radio. Telah menjadi hal yang biasa bila anak-anak desa
terpencil dapat mendendangkan lagu-lagu pop dari artis-artis di seluruh penjuru dunia, apalagy skarang
didukung dengan mudahnya jaringan internet di lingkungan masyarakat.

Di bidang busana, Levi’s telah menjadi kegemaran anak-anak muda maupun dewasa, pria
maupun wanita, di kota maupun di desa. Sementara itu kaum elite dan kelas menengah, agar kelihatan
modern, lebih menyukai busana Barat. Bila kita perhatikan film-film Indonesia, yang berkebaya atau
bersarung, hampir selalu berperan sebagai orang yang rendah derajatnya, yang bodoh, yang dari kampung
atau udik, dan yang kolot.

Di pihak lain wajah-wajah Indo banyak diincar untuk dijadikan bintang-bintang iklan dan film.
Pesatnya kemajuan benda-benda siar: film, televisi, majalah, surat kabar, kalender, dan sebagainya yang
bersifat peraga ikut melambungkan remaja kita yang bertampang Indo. Terdapat indikasi banyak
digunakannya nama-nama atau istilah asing untuk gedung-gedung atau merk dagang. Masyarakat dari
kelas menengah ke atas, supaya kelihatan modern atau pandai, banyak menggunakan istilah asing dalam
pembicaraan, ceramah atau pidato. Juga adanya rasa bangga atau kagum akan segala sesuatu yang buatan
(product) luar negeri, misalnya pakaian, sepatu, parfum, bahkan pendidikan luar negeri. Kentucky Fried
Chicken dianggap lebih bersih, bergizi, modern dari pada ayam goreng Ny Suharti. Ini semua belum tentu
benar, karena pendidikan luar negeri juga tergantung di universitas mana dan ayam goreng dengan cara
tradisional yang biasanya menggunakan ayam kampung jauh lebih sehat. Masyarakat menganggap bahwa
apa saja yang diasosiasikan dengan luar negeri selalu memperoleh kepercayaan yang lebih besar.
Sekolah-sekolah dan universitas-universitas di Indonesia berlomba-lomba menunjukkan ke publik bahwa
mereka bekerja sama dengan lembaga pendidikan di luar negeri agar menarik calon siswa dan mahasiswa
serta orang tua mereka. Sebagian anggota masyarakat, bahkan beberapa pemimpin negara berkembang,
berpendapat bahwa mereka dapat mengusahakan kemajuan/modernisasi dengan cara Barat, sekaligus
mempertahankan kebudayaan asli mereka.
Betapa banyaknya nilai-nilai budaya bangsa kita yang runtuh selama ini. Sekarang sudah banyak
diantara kita yang berpikir, beranggapan serta menentukan tujuan hidup dengan kerangka baru. Kerangk-
akerangka baru dan tujuan hidup kita timbul antara lain sebagai akibat masuknya modal asing,
industrialisasi, dan sebagainya. Sekarang marilah kita perhatikan tempat-tempat rekreasi mewah dan
pusat-pusat hiburan. Walaupun di tengah krisis ekonomi, lantai dansa di kelab-kelab malam, di hotelhotel
internasional maupun di diskotik-diskotik penuh sesak, sekalipun untuk menikmati hiburan itu harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sementara itu, iklan-iklan minuman bir dan rokok yang ber-merk
asing yang setiap hari ditayangkan di televisi, menggambarkan pola-pola gaya hidup dunia Barat yang
merasuki remaja-remaja kita. Orang tidak malu, bahkan bangga dapat atau mampu membeli karcis untuk
menyaksikan pertunjukan telanjang. Contoh-contoh di atas menunjukkan, di tengah krisis ekonomi bukan
saja terjadi pergeseran nilai-nilai di Indonesia, tetapi juga begitu eratnya dengan konsumerisme.

Faktor-faktor penyebab terjadinya krisis budaya di Indonesia:

a) Globalisasi dan modernisasi yang sangat pesat masuk ke dalam lingkungan kehidupan
mayarakat.
b) Masuknya budaya asing ke indonesia.
c) Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat.
d) Munculnya kebiasaan konsumerisme dan materialisme.
e) Diberlakukannya pasar bebas di indonesia.
f) Persaingan dalam segala bidang, misalnya perdagangan dan pendidikan.
g) Kurangnya kesadaran masyarakat akan nilai-nilai pancasila sebagai wujud budaya
Indonesia, dsb.

Cara yang dapat kita upayakan untuk mencegah makin besarnya krisis budaya ini adalah sbb:

a) Memasukkan pendidikan kebudayaan daerah dan nasional ke dalam kurikulum


pendidikan.
b) Menyaring hal yg baik dan yang buruk dari berbagai budaya asing yang masuk ke
indonesia.
c) Memanfaatkan kemajuan IPTEK dengan sangat bijak.
d) Meningkatkan kualitas produk dalam negeri.
e) Membatasi impor dan meningkatkan ekspor dengan meningkatkan daya saing produk.
f) Menciptakan pemerintahan yang demokratis dan jujur.
g) Menjunjung nilai-nilai luhur pancasila.

Tanggapan :

Dengan adanya globalisasi di era ini, banyak masyarakat yang berperilaku kebarat-baratan. Hal
itu disebabkan oleh masuknya budaya asing ke Indonesia, dan kemajuan IPTEK yang semakin tajam.
Sehingga menyebabkan masyarakat lupa akan budayanya. Untuk mengatasi hal tersebut kita harus bisa
menyaring budaya asing yang masuk, tanpa melupakan budaya kita sendiri. Dalam hal ini, pemerintah
dan masyarakat harus bersatu bersama, agar budaya global dapat beriringan dengan budaya Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai