Anda di halaman 1dari 13

Universalitas Hak Asasi Manusia,

Dua Kovenan, Situasi Pemenuhannya di Indonesia, dan Sikap Hormat Terhadap Kemanusiaan

Tujuan:
Memberikan pemahaman tentang pengertian hak azasi manusia (HAM) dan hubungannya dengan
martabat manusia dan kontroversi di seputar permasalahan HAM melalui ceramah dan menggugah
kesadaran mahasiswa untuk ikut mewujudkan HAM dalam kehidupan sehari-hari melalui aktivitas
diskusi kelompok.

Pokok Bahasan:
1. Pengertian HAM
2. Sejarah Munculnya HAM
3. Kontroversi tentang HAM

Langkah Kerja:
Pengajar menjelaskan secara singkat maksud dan tujuan topic ini serta
menggali pengetahuan mahasiswa tentang kebutuhan manusia dan hak-hak yang harus dimiliki oleh
seorang manusia demi memenuhi kebutuhannya tersebut. Selanjutnya, mahasiswa memilih salah satu
dari 30 butir DUHAM dan menemukan contoh pelaksanaan (pemenuhan atau pelanggaran) di
Indonesia lewat kasus nyata berdasarkan pengalaman atau pengamatan. Kemudian, mahasiswa
bekerja dalam kelompok untuk menemukan masing-masing satu kasus yang menjadi bagian kovenan
SIPOL dan EKOSOB. Terakhir, pengajar meminta mahasiswa untuk berdiskusi dan menyajikan hasilnya.

Waktu: 150 menit

Alat : LCD, Film

Bacaan I:
Universalitas Hak Azasi Manusia
dan Sikap Hormat Terhadap Kemanusiaan

Pengantar
Hidup secara bermartabat dan bebas dari rasa takut adalah kebutuhan dasar
umat manusia. Ia mencakup ketersediaan makanan, air, kesehatan, dan kesamaan di
mata hukum. Semua manusia di dunia mempunyai hak untuk hidup secara terhormat
dan bermartabat tanpa memandang status hukum, sosial, atau politiknya. Hak- hak
manusia bukanlah hadiah, bukan pula hak istimewa. Dengan demikian, kebutuhan dan
nilai- nilai dasar umat manusia itu merupakan dasar dari gagasan universal hak azasi
manusia.

Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)


Apakah hak itu? Secara leksikal, menurut KUBI (hlm. 339), hak berarti kekuasaan
yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, karena telah ditentukan oleh
aturan/ undang- undang. Secara filosofis, hak azasi manusia atau hak dasar manusia
adalah hak yang dimiliki manusia karena ia manusia. Hak azasi manusia bukan karena
pemberian masyarakat atau negara, melainkan melekat dalam diri manusia (Magnis-
Suseno, 1994:122). Hak azasi manusia adalah jika dan hanya jika menjadi manusia
merupakan alasan dan kondisi yang memadai bagi seorang manusia untuk memiliki
hak. Hak adalah milik setiap manusia, terlepas dari ras, agama, kebangsaan maupun
kebudayaan. Sebuah hak yang dimiliki oleh manusia (HAM) bersifat moral dan legal; ia
juga tidak dapat hilang atau tetap ada, meskipun dilanggar. Bagi tujuan- tujuan hak
azasi manusia, dapat dikatakan bahwa hak adalah jika dan hanya jika masyarakat
memiliki kewajiban melindungi kesenangan yang ada dalam suatu hak dan memperbaiki
kekerasan yang ditimbulkan dalam pemenuhannya. (Cheria. et al., 2004: 10).

Tinjauan Historis
Perbincangan tentang HAM di Era Modern telah dimulai sejak tahun 1679 dengan
lahirnya Habeas Corpus di Inggris. Akta ini berisi penjaminan tentang hak kebebasan
dan keselamatan individual melawan penangkapan dan hukuman yang pada waktu itu
sering terjadi tanpa proses hukum yang adil. Jaminan terhadap kebebasan dan
keselamatan manusia tersebut di atas tidak dapat dilepaskan dari pemikiran John
Locke, J.J. Rousseau, dan Immanuel Kant pada abad ke-17 yang merumuskan tentang
hak-hak alamiah (natural rights), yang meliputi: hak hidup, hak memperoleh kebebasan,
dan hak milik. Dalam negara moderen hak-hak itu kini berkembang menjadi apa yang
disebut sebagai hak-hak azasi (Sudiarja, 1998: 34).
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776) merupakan penegasan pertama
tentang hak untuk hidup dan tentang kenyataan bahwa kekuasaan harus didasarkan
atas persetujuan pihak yang dikuasai. Deklarasi itu menyebutkan bahwa, ”Seluruh umat
manusia ditakdirkan dalam keadaan yang sama.” Tiga belas tahun kemudian, Revolusi
Perancis (1789) menghasilkan suatu pernyataan yang dituangkan dalam Deklarasi
Perancis tentang hak- hak manusia dan warga negara yang kemudian menjadi
pedoman bagi deklarasi- deklarasi lainnya. Di dalam deklarasi tersebut dibedakan
antara hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, yang dibawanya ke dalam
masyarakat, dan hak-hak yang diperoleh manusia sebagai warga masyarakat dan warga
negara. Sebagai warga negara, setiap orang berhak untuk ikut dalam pembuatan
undang-undang (Magnis- Suseno, 1994: 124).
Deklarasi itu mencakup pedoman bagi kedaulatan nasional, sistem pemerintahan
yang representatif, pengutamaan pada ekspresi bebas kehendak masyarakat, pembagian
kekuasaan, kesamaan di hadapan hukum, keadilan, akuntabilitas pajak, penunjukkan
resmi, azas praduga tak bersalah, hak untuk menolak penindasan, hak kepemilikan dan
keamanan, kebebasan berpikir, berpendapat, dan lainnya. (Cheria, et al. 2004:128).
Peristiwa penting lain sehubungan dengan kelahiran awal hak azasi manusia
adalah disusunnya Pernyataan Umum Hak-hak Azasi Manusia oleh Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. Pernyataan PBB itu
adalah pernyataan universal yang pertama dan secara kualitatif dan kuantitatif
mengacu pada manusia, yaitu bahwa perlakuan kepada manusia dijadikan tolok ukur
keberadaban sebuah negara.
Bangsa-bangsa yang menandatangani pernyataan tersebut pada prinsipnya
bersedia untuk merelatifkan kepentingan egois nasional mereka masing-masing demi
sebuah nilai yang lebih tinggi dan universal, yaitu martabat manusia. Prinsip martabat
manusia serta kesamaan hak yang termuat dalam pernyataan PBB tersebut merupakan
sebuah kemajuan mendasar bagi umat manusia (Magnis-Suseno, 1995:224). Meskipun
demikian, deklarasi PBB tersebut belum memiliki kekuatan mengikat, karena baru
sebatas himbauan saja. Dengan demikian deklarasi tersebut memang harus
ditindaklanjuti dalam peraturan yang bersifat mengikat, yaitu dalam bentuk kovenan
(perjanjian internasional yang memiliki kekuatan hukum).
Dengan meluasnya konsep dan konteks globalisasi, isu hak azasi manusia
menghangat di hampir semua belahan dunia. Hampir semua kebudayaan di dunia
sebenarnya mengenal hak azasi manusia sekali pun tidak secara eksplisit dirumuskan
seperti oleh negara-negara Barat. Materinya berbentuk cerita-cerita, legenda, atau
metafora yang seringkali tidak memisahkan antara fakta dari tafsiran dan pada
umumnya tidak tertulis.1 Tidak mengherankan apabila negara-negara Baratlah yang
merumuskan Hak Azasi Manusia sebagai nilai-nilai universal dan dapat diterima oleh
negara-negara yang tergabung dalam orde dunia pasca- Perang Dunia, yaitu
Perserikatan Bangsa-Bangsa.2 Adanya pengakuan HAM oleh negara-negara dan
komunitas agama-agama dapat diandaikan bahwa HAM akan dijamin dan dihormati di
berbagai wilayah dan kebudayaan di dunia ini. Akan tetapi pada kenyataannya,
pelanggaran HAM masih ditemukan misalnya penyiksaan, hukuman mati, perdagangan
manusia, pekerja di bawah umur, diskriminasi gender dan ras, perlakuan tidak
manusiawi terhadap pengungsi, pembersihan etnis, intoleransi terhadap minoritas
agama, dan berbagai bentuk kekejaman lainnya.
Daftar konvensi HAM menjadi saksi perkembangan kesadaran umat manusia.
Sesuatu dapat dikatakan menyandang status HAM jika melalui proses pengakuan sosial
yang lama dan sangat ditentukan oleh pengalaman-pengalaman masyarakat yang
bersangkutan. Dengan kata lain, kesadaran akan hak-hak azasi dalam sejarah selalu
berkembang dari waktu ke waktu. Akan tetapi, patut disadari oleh masyarakat negara-
negara di dunia bahwa masalah hak azasi manusia beserta perlindungan terhadapnya
1
Budihardjo, Miriam (2010). Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm.211
2
Dalam riwayatnya, pengakuan atas Hak Azasi Manusia yang berkembang pesat di Barat mendapat respon yang
lebih lambat dari lembaga- lembaga agama. Pada mulanya Gereja Katolik bersikap skeptis atas ide-ide Hak Azasi
manusia karena Revolusi Perancis yang tidak menyetujui pengaruh agama dalam negara. Gereja Katolik baru
memberikan pengakuan atas Hak Azasi manusia setelah memasuki abad XX lewat Pacem in terries (1963) dan
dokumen Konsili Vatikan II, Dignitatis humanae (1965). Gereja-gereja Protestan yang juga merespon lebih lambat
Hak-hak Azasi Manusia. Terbukti baru pada tahun 1970an World Council of Churches memberikan pengakuannya.
Sementara itu Komunitas Islam juga mengakui lewat serangkaian deklarasi, misalnya Deklarasi Universal Hak-hak
Azasi Manusia Islam yang disahkan oleh Islamic Council of Europe (1980) dan Deklarasi Hak-hak Azasi Manusia
dalam Islam (1990) yang disahkan para menteri luar negeri Organization of Islamic Conference di Kairo. Titik
penting dari pengakuan lembaga-lembaga agama besar itu menegaskan bahwa nilai-nilai universal dari Hak Azazi
manusia dapat ditemukan, bahkan diakui bahwa ia berasal dari ajaran agama-agama itu (Hardiman, F. Budi, 2011:
11-12).
merupakan bagian penting dari demokrasi, dan kemajuan pelaksanaannya juga menjadi
indikator praktik baik tanggung jawab negara kepada warga negaranya.

Universalitas Versus Relativitas HAM


Salah satu persoalan di seputar HAM adalah hal-hal yang nampaknya
kontradiktif karena beberapa isu yang sering menjadikan HAM sebagai pendukung
demokrasi yang sedikit banyak menghalangi keleluasaan para penguasa di negara-
negara yang berada dalam transisi demokrasi. Pertama, HAM berlaku universal, bagi
siapa saja, dan tanpa pengecualian. Di pihak lain HAM adalah produk sejarah dan
kebudayaan masyarakat tertentu. Kedua, pertanyaan penting yang terkait pemaknaan
HAM di berbagai negara yang memiliki budaya dan riwayat historis yang berbeda-beda
adalah tentang bagaimana menentukan bahwa sebuah situasi disebut sebagai
pelanggaran HAM atau bukan. Sejak paham HAM diperjuangkan, para penguasa negara
tidak menyukai kehadiran HAM sebagai kenyataan etis yang harus dihadapi. Kenyataan
itu membuat penguasa negara dapat saja menganggap sepi kehadiran HAM dan
mungkin melanggarnya. Telah diketahui bersama bahwa pelanggaran HAM terjadi bila
penguasa negara beserta perangkatnya melanggar hak-hak warga negaranya.
Kontroversi antara HAM bersifat universal atau bersifat relatif tidak dapat
dilepaskan dari pengalaman kelompok manusia dari waktu ke waktu. Seperti telah
disebutkan di atas, kendati telah dirumuskan menjadi Deklarasi Universal Hak Azasi
Manusia pada tahun 1948, namun terjadi polemik yang cukup panjang tentang karakter
universal HAM. Pada satu sisi, HAM dipandang sebagai aspirasi solidaritas sosial
masyarakat dunia atas diskriminasi, marjinalisasi, dan represi namun kerap dianggap
sebagai produk Barat yang tidak sesuai dengan kebudayaan bukan Barat. Polemik yang
berasal dari agama Islam, negara-negara Asia, bahkan dari masyarakat Barat sendiri
terpusat pada sejarah pemikiran seperti antara hak dan kewajiban, kelompok dan
individu, liberal, dan komunitarian.
Budi Hardiman, ahli filsafat Indonesia membagi polemik HAM dalam lima topik.
Pertama, wacana filsafat Barat yang terjadi antara pendukung liberalisme dan
republikanisme yang dikaitkan dengan demokrasi. Dalam pemikiran Liberalisme, hak-hak
individu menjadi dasar demokrasi, sehingga dasar-dasar HAM lebih berpusat pada
individu. Sementara para penganjur republikanisme, misalnya Hannah Arendt,
memandang bahwa hak-hak keanggotaan dalam komunitas lebih mendasar dari pada
hak-hak azasi individu. Dengan demikian, HAM lebih merupakan persetujuan komunitas
politis. Di luar tataran wacana, perbedaan itu menjadi isu benturan antara Islam dan
Barat, Liberalisme Barat, dan Komunitarian Asia, juga antara hak-hak azasi manusia
dan kewajiban-kewajiban azasi manusia.
Kedua, kesepakatan asal-usul historis yang menyatakan bahwa HAM berasal dari
tradisi Kristiani Barat ataukah dari masa Pencerahan Barat yang justru kritis terhadap
agama.3 Jadi, ada pertentangan apakah HAM merupakan tafsir tradisi Kristiani ataukah
merupakan buah kebebasan dari semangat sekuler yang memisahkan antara agama
dan negara pada masa Pencerahan Barat, sehingga membentuk corak negara
3
Ibid., hlm 13-14
demokrasi modern. Ketiga, subjek dari hak azasi manusia itu, apakah hak-hak individu
atau kelompok dalam masyarakat modern yang berkembang semakin kompleks.
Pelaksanaan HAM saat ini tidak hanya menyangkut antara negara dan Individu, namun
juga antara negara dengan kelompok minoritas, atau kelompok mayoritas dengan
kelompok mayoritas.
Keempat, berkenaan dengan sosialisasi HAM dalam konteks negara bukan Barat,
khususnya di Asia yang berkarakter komunal. Kebebasan individu yang dijunjung tinggi
dalam masyarakat liberal Barat cenderung dibatasi demi integritas tatanan nilai dan
tradisi komunitas, sehingga sulit diserap oleh kebudayaan lain karena dianggap tidak
cocok dengan kebudayaan yang pada dasarnya kolektivistik. Upaya para elit Asia dan
Islam untuk menyusun dan mencanangkan hak-hak azasi versi mereka merupakan
bagian dari polemik ini. Oleh karena itu, ada upaya untuk mengatasi polemik tentang
HAM dengan “kewajiban- kewajiban azasi manusia” yang berorientasi pada nilai
budaya non-Barat dan non-liberal dengan mengutamakan kelompok di atas individu. 4
Satu ilustrasi yang menggambarkan polemik ini dicontohkan dari pelaksanaan
pendidikan HAM untuk para penegak hukum di India Utara yang menunjukkan
ketidakselarasan antara pendidikan paradigm HAM dengan kenyataan di lapangan.
Penegak hukum melakukan kompromi dengan tidak mengindahkan HAM karena terkait
dengan tugas dan kepentingan sebagai penegak hukum yang meyakini pendekatan
kekerasan, karena mereka percaya bahwa kadang-kadang kekerasan diperlukan atau
karena perintah institusinya.5 Para aktivis lembaga swadaya masyarakat dan
cendekiawan Asia menyepakati nilai universalitas HAM serta karakter tidak terpisahkan
antara hak politik dan hak ekonomi yang dituangkan dalam Bangkok NGO Declaration
on Human Rights and Plan of Action 1993, namun tidak menjadi bagian dari
pernyataan para wakil pemerintahannya. Para aktivis NGO dari negara-negara non-Asia
juga menegaskan bahwa “Argumen Nilai-nilai Asia” tidak boleh diabaikan menjadi
relativisme budaya, melainkan terbuka untuk menemukan pembenaran HAM dari tradisi
lokal.6 Untuk mengatasi polemik itu, maka apa yang harus dilakukan adalah kembali
kepada gagasan yang mendorong praktik pelaksanaan HAM, “melindungi manusia dari
pengalaman negatif dalam kehidupan modern,” yaitu bebas dari kesewenangan negara,
pasar, kelompok sosial, atau pun teknologi. Menurut Hardiman (2011:18) bagaimana
pun juga tuntutan universal dalam HAM tidak boleh direlatifkan di hadapan polemik
mana pun dengan agama maupun kebudayaan.

Penutup
HAM bukan produk suatu bangsa tertentu meskipun dirintis perumusannya oleh
para pemikir Barat. Melalui telaah sejarah perjuangan untuk menegakkan HAM, dapat
diketahui universalitas HAM sebagai kenyataan etis dalam relevansinya dengan masalah

4
Ibid., hlm. 16-17
5
Phillpis, Brian dan Gready,Paul (2013). “Introduction – Why a Special Issue on Human Rights Education (HRE) and
Training?” Journal of Human Rights Practice Vol. 5 Number 2, 2013 p. 218
6
Manurung, Hendra (2017). Journal of International Relations. Volume 1 No.1, January- June 2017. Department
Faculty of Social and Political Sciences., Christian University of Indonesia, p. 67
sosial-politik. Dengan demikian, apa yang nampaknya kontradiktif itu dapat dipecahkan
kalau kita melihat pada proses kelahiran HAM dan eksistensinya dalam suatu negara.
HAM bukan sekadar produk pemikiran seseorang dan berasal dari paham- paham di
luar negeri, melainkan masalah sikap hormat terhadap harkat kemanusiaan.

Daftar Pustaka:

Benedanto, Pax (ed.). (2000). Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Jakarta: LSPP.

Budihardjo, Miriam (2010). Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Cheria, Anita. et al. (2004). A Human Rights Approach to Development: Resource Book .
India: Books for Change.

Hardiman, F. Budi (2011). Hak-hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama dan
Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Magnis-Suseno, Frans. (1994). Etika Politik. Jakarta: Gramedia.

__________________. (1995). Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Gramedia

Manurung, Hendra (2017). Journal of International Relations. Volume 1 No.1, January-


June 2017,Department Faculty of Social and Political SciencesChristian
University of Indonesia, pp.54-74

Lubis, T. Mulya. (1993). “Perdebatan Hak Asasi Manusia Akhir-akhir Ini: Beberapa
Catatan Kritis”, dalam Analisis CSIS, no. 5, September-Oktober 1993. Jakarta.

Phillpis, Brian dan Gready,Paul (2013). “Introduction – Why a Special Issue on Human
Rights Education (HRE) and Training?”Journal of Human Rights Practice. Vol. 5
Number 2, 2013, pp.215-219.

Sudiarja, A. (1998). “Hak Asasi dan Kekuasaan Negara: antara Tuntutan dan
Keniscayaan Peradaban”, dalam Jurnal Teologi Universitas Sanata Dharma , No.
11, Yogyakarta.
Bacaan II:
Dua Kovenan Hak Azasi Manusia
dan Situasi Pemenuhannya di Indonesia

Pengantar
Adalah John Locke (1632 – 1704) yang pertama kali mengemukakan adanya hak
pribadi dan hak warga dari suatu negara, hak yang menurutnya bersifat melekat dan
alami (natural rights) (Boli Sabon, 1992:58). Menurut Locke, hak yang tergolong hak
alami adalah hak untuk hidup; hak akan kebebasan atau kemerdekaan; hak milik atau
hak untuk memiliki sesuatu, dan hak untuk mengusahakan kebahagiaan (Haryanto, et
al., 2000:8). Gagasan Locke tentang penghargaan atas milik pribadi serta pemikiran
bahwa penguasa harus memerintah dengan persetujuan rakyat merupakan pijakan bagi
sejarah perjuangan hak asasi manusia selanjutnya.
Hak azasi pada masa itu masih terbatas pada bidang politik seperti kebebasan,
kesamaan, dan hak menyatakan pendapat. 7 Baru pada abad ke-20 dan awal abad ke-
21 terjadi perubahan pemikiran akibat depresi besar ( the Great Depression) sekitar
tahun 1929-1934 yang berawal di Amerika Serikat dan menjalar ke seluruh dunia dan
menberikan dampak pengangguran dan kemiskinan. Di Jerman depresi melahirkan
Nazisme dan menyebabkan gelombang imigrasi yang cukup besar ke Amerika Serikat.
Dalam situasi yang demikian, Presiden Amerika Serikat, Franklin Roosevelt merumuskan
Empat kebebasan (the Four Fredooms), yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan
pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan
dari ketakutan (freedom from fear, dan kebebasan dari kemiskinan freedom from
want). Hak untuk bebas dari kemiskinan merupakan gagasan yang memandang bahwa
hak politik saja tidak cukup untuk menciptakan kebahagiaan. Memberikan suara dalam
pemilihan umum sekali dalam 4 (empat) atau 5 (lima) tahun tidak ada artinya bagi
orang miskin jika tidak disertai kemandirian ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokok
(sandang-pangan-papan).8 Oleh karena itu, Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia
(1948) menjadi pernyataaan yang menjamin hak politik dan hak ekonomi dimaksud
sebagai pedoman sekaligus standar minimum yang dicita- citakan oleh seluruh umat di
dunia. Sekali pun tidak bersifat mengikat secara hukum namun deklarasi itu menjadi
komitmen moral yang menjadi acuan di banyak negara dalam undang-undang dasar,
undang-undang, serta putusan hakim

Kovenan Hak Sipil dan Politik


Perlindungan atas hak-hak hidup manusia secara umum termuat dalam Deklarasi
Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang ditetapkan pada 10 Desember 1948.
DUHAM terbagi atas empat kelompok utama, yaitu hak-hak pribadi, hak untuk
berhubungan dengan dunia luar, hak-hak sipil dan politik, dan hak ekonomi, sosial, dan
budaya. Hak-hak sipil dan politik terkait dengan pemberian andil bagi pembentukan
lembaga pemerintah dan pengikutsertaan warga negara terhadap proses pengambilan
keputusan. Hak berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat, memilih dan dipilih adalah
hak-hak yang termasuk dalam katagori itu (Basir, 2003:20).
Pada tahun 1952 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa memutuskan untuk
menyusun dua kovenan (perjanjian) dalam DUHAM secara terpisah, yaitu Kovenan Hak
Sipil dan Politik (pasal 1 – 21 DUHAM), yang mencakup juga dua kelompok hak yang
lain, yaitu hak pribadi dan hak berhubungan dengan dunia luar, dan Kovenan Ekonomi,
Sosial, dan Budaya (pasal 22 – 28) (Haryanto, 2000:11). Meskipun disusun terpisah,

7
Budihardjo, Miriam (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm.
215.
8
Ibid., hlm. 216-219
kedua jenis kovenan itu bersifat saling melengkapi, saling berhubungan, dan tak
terpisahkan.
Kovenan Hak Sipil dan Politik akhirnya ditetapkan pada 16 Desember 1966 atau
18 tahun sejak pertama kali digagas. Meskipun telah ditetapkan, berbagai ketentuan
dalam kovenan itu tidak dapat langsung diberlakukan. Perjanjian internasional itu baru
dapat dikatakan berlaku jika sudah diratifikasi oleh sekurang- kurangnya 35 negara,
sehingga baik Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya
baru dikatakan berlaku pada tahun 1976 setelah memenuhi persyaratan tersebut.
Jumlah negara yang telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik pada tahun 1999
mencapai 144 negara dan 142 negara bagi Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Tingginya jumlah negara yang telah meratifikasi kedua kovenan tersebut menunjukkan
kuatnya universalitas yang terkandung di dalamnya.
Hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak negatif ( negative rights). Hal itu
terkait dengan peran negara yang harus bersikap pasif dalam pemenuhannya atau
tidak mencampuri warga negara dalam memenuhi hak-hak itu. Oleh karenanya, hak sipil
dan politik dirumuskan dalam ungkapan ‘ freedom from’. Sebaliknya, hak ekonomi,
sosial, dan budaya dikatakan sebagai hak positif ( positive rights) karena negara harus
terlibat aktif dalam pemenuhan hak tersebut. Hak ekonomi, sosial, dan budaya
dirumuskan dalam ungkapan ‘rights to’. Pembedaan keduanya dapat dibaca pada tabel
berikut. (Kasim, 2001: xv)

HAK-HAK SIPIL DAN HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL,


POLITIK BUDAYA
Dicapai segera Dicapai secara bertahap
Negara bersifat pasif Negara bersifat aktif
Tidak bergantung pada Bergantung pada sumber
sumber daya daya
Non-ideologis Ideologis

Tabel 1. Perbedaan antara Hak Ekonomi,


Sosial, Budaya dan Hak Sipil dan Politik

Meskipun ada pembedaan antara kedua kelompok hak seperti tercantum dalam
tabel di atas, pemenuhannya tidak dapat dipisahkan secara tegas berdasarkan
konsensus yang dicapai dalam Konferensi HAM Sedunia II di Vienna (Nusantara, 2004:
33). Adapun hak yang dilindungi Kovenan Sipil dan Politik adalah sebagai berikut.
(Haryanto, 2000: 17).
Hak yang diatur dalam perjanjian seperti yang tercantum dalam daftar di bawah
ini berlaku baik bagi individu, kelompok masyarakat, maupun bangsa. Hak-hak sipil dan
politik berkaitan erat dalam pemenuhannya. Keduanya tidak mungkin dipisahkan, karena
tanpa adanya penghormatan terhadap hak-hak sipil mustahil orang dapat menjalankan
hak-hak politiknya.
Terbentuknya sebuah kovenan mengimplikasikan adanya sebuah lembaga
pengawas yang dalam hal ini adalah Komite Hak Asasi Manusia ( Human Rights
Commitee) yang diatur secara khusus dalam bagian tersendiri di dalam Kovenan, yaitu
pasal 28 – 45. Komite itu terdiri atas 18 negara dari semua negara yang ikut
meratifikasi Kovenan.

Tabel 2. Daftar Hak yang


No. Pasal Uraian
Dilindungi
1 6 Hak atas kehidupan
oleh Kovenan Sipil dan
2 7 Bebas dari siksaan dan perlakuan tidak manuiawi
Politik
3 8 Bebas dari perbudakan dan kerja paksa
4 9 Hak atas kebebasan dan keamanan
5 10 Hak orang tahanan atas perlakuan manusiawi
6 11 Bebas dari penahanan atas hutang
Tugas komite itu
7 12 Bebas berpindah dan memilih tempat tinggal meliputi tiga hal, yaitu,
8 13 Kebebasan bagi warga negara asing pertama,
9 14 Hak atas pengadilan yang jujur mengkaji laporan dari
10 15 negara
Perlindungan dari kesewenangan hukum kriminal yang telah
11 16 meratifikasi
Hak atas pengakuan yang sama di hadapan hukum kovenan
12 17 Hak atas kebebasan pribadi (privasi) itu; kedua, menengahi,
13 18 menerima,
Bebas untuk berpikir, berkeyakinan, dan beragama dan
14 19 Bebas untuk berpendapat dan berekspresi mempertimbangkan
15 20 Larangan propaganda perang dan diskriminasikeluhan negara
16 21 Hak untuk berkumpul anggota peserta
17 22 Hak untuk berserikat terhadap anggota lain
18 23 Hak untuk menkah dan berkeluarga yang dinilai melanggar
19 24 Hak anak
berbagai ketentuan
dalam Kovenan; ketiga, menengahi, menerima, dan mempertimbangkan keluhan para
warga suatu negara yang dilanggar haknya.

Pemenuhan Hak Azasi Manusia di Indonesia


Hak Azasi Manusia dalam sejarahnya mengalami pergumulan dalam hal
pemenuhannya baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Indonesia,
pemenuhan HAM warga negara selalu berada dalam situasi diperjuangkan terus-
menerus hingga hari ini.
Di Indonesia perdebatan tentang HAM diawali dalam Sidang Panitia Penyelidikan
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tahun 1945. Dalam sidang tersebut
diperdebatkan perlu tidaknya jaminan HAM dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar
1945 (Lubis, 1993:434). Pihak Soekarno dan Soepomo menolak dimasukkannya jaminan
HAM di dalam UUD 1945, karena mereka beranggapan bahwa negara yang akan
dibentuk adalah negara kekeluargaan. Sebagai suatu keluarga, maka kepala negara
seperti layaknya kepala keluarga akan selalu menjaga, melindungi dan mensejahterakan
anggota-anggotanya. Disamping itu menurut mereka, konsep HAM berasal dari barat
yang mengutamakan kebebasan individu, sehingga akan membahayakan persatuan
negara.
Di pihak lain, kubu Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin bersikeras bahwa
jaminan HAM harus dimuat dalam UUD 1945. Hal ini mengingat pengalaman dari
negara-negara di dunia, bahwa terdapat kecenderungan dari penguasa negara untuk
menyalahgunakan kekuasaan dan menindas rakyatnya. Akhirnya perdebatan itu
berhasil diatasi dengan kompromi, bahwa di dalam UUD 1945 terdapat jaminan HAM,
namun pelaksanaannya tetap dalam kontrol negara (seperti pasal 28 UUD 1945
sebelum diamandemen).

Pada awalnya, pandangan pemerintah Indonesia tentang HAM menunjukkan


ketidakjelasan, seperti yang pernah dinyatakan oleh Soeharto bahwa
“... hak-hak asasi manusia harus berjalan seiring dengan kewajiban dan
tanggung-jawab asasi. Hak-hak asasi semata-mata tanpa kewajiban-kewajiban
asasi akan mendatangkan kekacauan, sebaliknya kewajiban-kewajiban tanpa
hak-hak asasi akan menimbulkan kebekuan…” (Mulya Lubis, 1993: 437)

Soeharto bahkan mengulangi pandangannya tentang HAM dalam pidatonya di


depan Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 24 September 1992. Antara-lain
dikatakannya bahwa
“… merupakan keyakinan kami yang teguh bahwa tujuan hak-hak asasi
manusia adalah perwujudan sepenuhnya potensi manusia, dan potensi
manusia ini tidak terbatas pada potensi politik. Hak mendasar untuk
pembangunan ekonomi dan sosial misalnya, tidak dapat dipisahkan dan
tidak dapat diperlakukan secara terpisah dari segi-segi hak-hak asasi
manusia yang lain. Dan hak-hak demikian ini berlaku baik untuk bangsa
maupun untuk perorangan. Begitu juga setiap bangsa mempunyai hak untuk
menentukan sistem politik dan ekonominya sendiri dan melestarikan
identitas budayanya sebagaimana dibentuk oleh pengalaman sejarahnya
yang khusus”.

Dalam beberapa tahun ini, perkembangan yang terjadi di Indonesia menunjukkan


kemajuan. Ide HAM yang semula dianggap sebagai budaya dari Barat dan tidak cocok
dengan masyarakat Indonesia, akhirnya perlahan-lahan dapat diterima. Salah satunya
dapat dilihat dari munculnya berbagai macam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Di
samping itu pemerintah juga mau menerima kehadiran Komisi Nasional HAM pada akhir
tahun 1993 (Pax Benedanto (ed.), 2000:31). Adapun dasar hukum penegakan HAM di
Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (BAB XA, Pasal 28 A s/d J,
Perubahan ke-2 Undang-Undang Dasar republik Indonesia 1945);
2. TAP MPR Republik Indonesia Nomor : II/MPR/1993 tentang GBHN;
3. TAP MPR Republik Indonesia Nomor : XVII/MPR1998 tentang Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana
Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (RANHAM) yang telah diperbaharui dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2003 tentang Rencana
Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (RANHAM);
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 181 tahun 1998 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan;
7. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 126 tahun 1998 tentang
menghentikan penggunaan istilah Pribumi dan Non-Pribumi dalam semua
perumusan dan penyelenggaraan, perencanaan program atau pun pelaksanaan
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan;
8. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tanggal 10 Desember 1945;
9. Deklarasi dan Program Aksi Wina tahun 1993.

Pada akhir masa pemerintahan Orde Baru hingga terbentuknya pemerintahan


Reformasi era Habibie, Gus Dur, sampai Megawati, bentuk kekerasan terhadap warga
cukup tinggi dan menjadi lebih terbuka seiring dengan keterbukaan pers. Penembakan
dan penyiksaan terhadap para pengunjuk rasa; penggusuran terhadap warga miskin;
pemerkosaan dan penganiayaan terhadap warga keturunan Cina dalam Kerusuhan Mei
1998, pembunuhan dan penyiksaan terhadap pembantu rumah tangga, juga terhadap
perempuan dan anak dalam rumah tangga; belum lagi peristiwa kekerasan yang dialami
oleh para tenaga kerja Indonesia di luar negeri menunjukkan bahwa pemenuhan hak
sipil dan politik oleh pemerintah Indonesia masih membutuhkan komitmen yang kuat
dari para aparatnya.
Pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kekerasan
langsung terhadap warga cenderung menurun. Akan tetapi, bentuk kekerasan tidak
langsung justru muncul. Korupsi yang semakin meluas dan merajalela menyebabkan
rakyat kecil semakin miskin. Hal itu menyebabkan akses mereka kepada pendidikan,
kesehatan, pekerjaan, dan pemukiman yang memadai menjadi semakin kecil. Di samping
itu, banyak kebijakan yang dihasilkan dalam era SBY cenderung merupakan
pelanggaran terhadap hak azasi manusia, seperti kebijakan di bidang Pendidikan, Perda
di beberapa daerah, atau undang- undang antipornografi/ antipornoaksi. Jadi, dalam
pemerintahan SBY pelanggaran HAM lebih banyak pada pelanggaran hak ekonomi,
sosial, dan budaya, meskipun pemenuhan hak- hak sipil dan politik warga masih belum
tertangani secara baik.9
Masa Pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014 ditandai dengan
kemajuan dalam pembangunan infrastruktur, meningkatkan efisiensi dalam pembiayaan
negara, mengembalikan kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan
mendorong keterbukaan politik. Akan tetapi, dalam hal pelaksanaan HAM belum dapat
dikatakan menggembirakan. Selama tahun pertamanya, pemerintahan Presiden Joko
9
Sumber diperoleh dari beberapa artikel dari KOMPAS, April- Juli 2012
Widodo mengisyaratkan akan lebih aktif membela hak-hak minoritas agama yang
terdiskriminasikan, yang menjadi korban baik oleh militan Islam, dan undang-undang
yang diskriminatif, namun hanya sedikit membuat perubahan kebijakan konkret. 10 Jadi,
belum ditanganinya kasus pelanggaran hak-hak kelompok minoritas agama dan
penghayat serta kekerasan yang dialami penegak hukum dalam pemberantasan korupsi
maupun diselesaikannya pelanggaran HAM di masa lalu menandakan belum banyak
kemajuan dibuat oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam penangan
pelanggaran HAM.

Penutup
Komnas HAM yang dibentuk oleh pemerintah dan bertugas memantau dan
menyelidiki pelanggaran hak-hak sipil dan politik warga negara Indonesia belum banyak
pengaruhnya. Meskipun telah banyak menemukan kasus pelanggaran, terutama oleh
militer dan polisi, Komnas HAM tidak memiliki kewenangan untuk mendesakkan
rekomendasinya untuk dipatuhi pemerintah. Oleh karena itu, masih banyak kasus tidak
dapat ditangani secara tuntas. Dibutuhkan peran rakyat yang lebih besar untuk
penyelenggaraan kekuasaan yang lebih adil. Dengan demikian, partisipasi masyarakat
dalam mengawasi pemenuhan hak azasi manusia mencakup kontrol terhadap
perencanaan, proses pelaksanaan suatu kegiatan, hasil, dan evaluasinya perlu
ditingkatkan. Partisipasi masyarakat dalam arti tersebut menuntut suasana demokratis
dan penguatan masyarakat sipil.

Daftar Pustaka:

Baswir, Revrisond. (2003). Pembangunan Tanpa Perasaan. Jakarta: ELSAM.

Boli Sabon, Max. (1992). Ilmu Negara. Jakarta: Gramedia.

Budihardjo, Miriam (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta; PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Haryanto, Ignatius, et al. (2000). Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik , Jakarta:
LSPP.

“Jokowi Skips Human Rights Day Event Amid Criticism”, Jakarta Post., December 11,
2018. 

Kasim, Ifdhal dan Arus, Johanes de Masenus (Eds.). (2001). Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya. Jakarta: ELSAM.

10
“Jokowi skips Human Rights Day event amid criticism”, Jakarta Post December 11, 2018 
Manurung, Hendra (2017). Journal of International Relations. Volume 1 No.1, January-
June 2017. Faculty of Social and Political Sciences Department, Christian
University of Indonesia, pp.54-74

Nusantara, Abdul Hakim Garuda. (1996). “Kekerasan Negara sebagai Ancaman Terhadap
Hak-hak Sipil dan Politik Rakyat”, dalam Kolom, Edisi 26/01 – 24/08 1996.

__________________. (2004). “Partai Politik dan Hak Asasi Manusia”, dalam Kompas, 24
Maret 2004. hlm. 33.

Anda mungkin juga menyukai