Dua Kovenan, Situasi Pemenuhannya di Indonesia, dan Sikap Hormat Terhadap Kemanusiaan
Tujuan:
Memberikan pemahaman tentang pengertian hak azasi manusia (HAM) dan hubungannya dengan
martabat manusia dan kontroversi di seputar permasalahan HAM melalui ceramah dan menggugah
kesadaran mahasiswa untuk ikut mewujudkan HAM dalam kehidupan sehari-hari melalui aktivitas
diskusi kelompok.
Pokok Bahasan:
1. Pengertian HAM
2. Sejarah Munculnya HAM
3. Kontroversi tentang HAM
Langkah Kerja:
Pengajar menjelaskan secara singkat maksud dan tujuan topic ini serta
menggali pengetahuan mahasiswa tentang kebutuhan manusia dan hak-hak yang harus dimiliki oleh
seorang manusia demi memenuhi kebutuhannya tersebut. Selanjutnya, mahasiswa memilih salah satu
dari 30 butir DUHAM dan menemukan contoh pelaksanaan (pemenuhan atau pelanggaran) di
Indonesia lewat kasus nyata berdasarkan pengalaman atau pengamatan. Kemudian, mahasiswa
bekerja dalam kelompok untuk menemukan masing-masing satu kasus yang menjadi bagian kovenan
SIPOL dan EKOSOB. Terakhir, pengajar meminta mahasiswa untuk berdiskusi dan menyajikan hasilnya.
Bacaan I:
Universalitas Hak Azasi Manusia
dan Sikap Hormat Terhadap Kemanusiaan
Pengantar
Hidup secara bermartabat dan bebas dari rasa takut adalah kebutuhan dasar
umat manusia. Ia mencakup ketersediaan makanan, air, kesehatan, dan kesamaan di
mata hukum. Semua manusia di dunia mempunyai hak untuk hidup secara terhormat
dan bermartabat tanpa memandang status hukum, sosial, atau politiknya. Hak- hak
manusia bukanlah hadiah, bukan pula hak istimewa. Dengan demikian, kebutuhan dan
nilai- nilai dasar umat manusia itu merupakan dasar dari gagasan universal hak azasi
manusia.
Tinjauan Historis
Perbincangan tentang HAM di Era Modern telah dimulai sejak tahun 1679 dengan
lahirnya Habeas Corpus di Inggris. Akta ini berisi penjaminan tentang hak kebebasan
dan keselamatan individual melawan penangkapan dan hukuman yang pada waktu itu
sering terjadi tanpa proses hukum yang adil. Jaminan terhadap kebebasan dan
keselamatan manusia tersebut di atas tidak dapat dilepaskan dari pemikiran John
Locke, J.J. Rousseau, dan Immanuel Kant pada abad ke-17 yang merumuskan tentang
hak-hak alamiah (natural rights), yang meliputi: hak hidup, hak memperoleh kebebasan,
dan hak milik. Dalam negara moderen hak-hak itu kini berkembang menjadi apa yang
disebut sebagai hak-hak azasi (Sudiarja, 1998: 34).
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776) merupakan penegasan pertama
tentang hak untuk hidup dan tentang kenyataan bahwa kekuasaan harus didasarkan
atas persetujuan pihak yang dikuasai. Deklarasi itu menyebutkan bahwa, ”Seluruh umat
manusia ditakdirkan dalam keadaan yang sama.” Tiga belas tahun kemudian, Revolusi
Perancis (1789) menghasilkan suatu pernyataan yang dituangkan dalam Deklarasi
Perancis tentang hak- hak manusia dan warga negara yang kemudian menjadi
pedoman bagi deklarasi- deklarasi lainnya. Di dalam deklarasi tersebut dibedakan
antara hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, yang dibawanya ke dalam
masyarakat, dan hak-hak yang diperoleh manusia sebagai warga masyarakat dan warga
negara. Sebagai warga negara, setiap orang berhak untuk ikut dalam pembuatan
undang-undang (Magnis- Suseno, 1994: 124).
Deklarasi itu mencakup pedoman bagi kedaulatan nasional, sistem pemerintahan
yang representatif, pengutamaan pada ekspresi bebas kehendak masyarakat, pembagian
kekuasaan, kesamaan di hadapan hukum, keadilan, akuntabilitas pajak, penunjukkan
resmi, azas praduga tak bersalah, hak untuk menolak penindasan, hak kepemilikan dan
keamanan, kebebasan berpikir, berpendapat, dan lainnya. (Cheria, et al. 2004:128).
Peristiwa penting lain sehubungan dengan kelahiran awal hak azasi manusia
adalah disusunnya Pernyataan Umum Hak-hak Azasi Manusia oleh Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. Pernyataan PBB itu
adalah pernyataan universal yang pertama dan secara kualitatif dan kuantitatif
mengacu pada manusia, yaitu bahwa perlakuan kepada manusia dijadikan tolok ukur
keberadaban sebuah negara.
Bangsa-bangsa yang menandatangani pernyataan tersebut pada prinsipnya
bersedia untuk merelatifkan kepentingan egois nasional mereka masing-masing demi
sebuah nilai yang lebih tinggi dan universal, yaitu martabat manusia. Prinsip martabat
manusia serta kesamaan hak yang termuat dalam pernyataan PBB tersebut merupakan
sebuah kemajuan mendasar bagi umat manusia (Magnis-Suseno, 1995:224). Meskipun
demikian, deklarasi PBB tersebut belum memiliki kekuatan mengikat, karena baru
sebatas himbauan saja. Dengan demikian deklarasi tersebut memang harus
ditindaklanjuti dalam peraturan yang bersifat mengikat, yaitu dalam bentuk kovenan
(perjanjian internasional yang memiliki kekuatan hukum).
Dengan meluasnya konsep dan konteks globalisasi, isu hak azasi manusia
menghangat di hampir semua belahan dunia. Hampir semua kebudayaan di dunia
sebenarnya mengenal hak azasi manusia sekali pun tidak secara eksplisit dirumuskan
seperti oleh negara-negara Barat. Materinya berbentuk cerita-cerita, legenda, atau
metafora yang seringkali tidak memisahkan antara fakta dari tafsiran dan pada
umumnya tidak tertulis.1 Tidak mengherankan apabila negara-negara Baratlah yang
merumuskan Hak Azasi Manusia sebagai nilai-nilai universal dan dapat diterima oleh
negara-negara yang tergabung dalam orde dunia pasca- Perang Dunia, yaitu
Perserikatan Bangsa-Bangsa.2 Adanya pengakuan HAM oleh negara-negara dan
komunitas agama-agama dapat diandaikan bahwa HAM akan dijamin dan dihormati di
berbagai wilayah dan kebudayaan di dunia ini. Akan tetapi pada kenyataannya,
pelanggaran HAM masih ditemukan misalnya penyiksaan, hukuman mati, perdagangan
manusia, pekerja di bawah umur, diskriminasi gender dan ras, perlakuan tidak
manusiawi terhadap pengungsi, pembersihan etnis, intoleransi terhadap minoritas
agama, dan berbagai bentuk kekejaman lainnya.
Daftar konvensi HAM menjadi saksi perkembangan kesadaran umat manusia.
Sesuatu dapat dikatakan menyandang status HAM jika melalui proses pengakuan sosial
yang lama dan sangat ditentukan oleh pengalaman-pengalaman masyarakat yang
bersangkutan. Dengan kata lain, kesadaran akan hak-hak azasi dalam sejarah selalu
berkembang dari waktu ke waktu. Akan tetapi, patut disadari oleh masyarakat negara-
negara di dunia bahwa masalah hak azasi manusia beserta perlindungan terhadapnya
1
Budihardjo, Miriam (2010). Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm.211
2
Dalam riwayatnya, pengakuan atas Hak Azasi Manusia yang berkembang pesat di Barat mendapat respon yang
lebih lambat dari lembaga- lembaga agama. Pada mulanya Gereja Katolik bersikap skeptis atas ide-ide Hak Azasi
manusia karena Revolusi Perancis yang tidak menyetujui pengaruh agama dalam negara. Gereja Katolik baru
memberikan pengakuan atas Hak Azasi manusia setelah memasuki abad XX lewat Pacem in terries (1963) dan
dokumen Konsili Vatikan II, Dignitatis humanae (1965). Gereja-gereja Protestan yang juga merespon lebih lambat
Hak-hak Azasi Manusia. Terbukti baru pada tahun 1970an World Council of Churches memberikan pengakuannya.
Sementara itu Komunitas Islam juga mengakui lewat serangkaian deklarasi, misalnya Deklarasi Universal Hak-hak
Azasi Manusia Islam yang disahkan oleh Islamic Council of Europe (1980) dan Deklarasi Hak-hak Azasi Manusia
dalam Islam (1990) yang disahkan para menteri luar negeri Organization of Islamic Conference di Kairo. Titik
penting dari pengakuan lembaga-lembaga agama besar itu menegaskan bahwa nilai-nilai universal dari Hak Azazi
manusia dapat ditemukan, bahkan diakui bahwa ia berasal dari ajaran agama-agama itu (Hardiman, F. Budi, 2011:
11-12).
merupakan bagian penting dari demokrasi, dan kemajuan pelaksanaannya juga menjadi
indikator praktik baik tanggung jawab negara kepada warga negaranya.
Penutup
HAM bukan produk suatu bangsa tertentu meskipun dirintis perumusannya oleh
para pemikir Barat. Melalui telaah sejarah perjuangan untuk menegakkan HAM, dapat
diketahui universalitas HAM sebagai kenyataan etis dalam relevansinya dengan masalah
4
Ibid., hlm. 16-17
5
Phillpis, Brian dan Gready,Paul (2013). “Introduction – Why a Special Issue on Human Rights Education (HRE) and
Training?” Journal of Human Rights Practice Vol. 5 Number 2, 2013 p. 218
6
Manurung, Hendra (2017). Journal of International Relations. Volume 1 No.1, January- June 2017. Department
Faculty of Social and Political Sciences., Christian University of Indonesia, p. 67
sosial-politik. Dengan demikian, apa yang nampaknya kontradiktif itu dapat dipecahkan
kalau kita melihat pada proses kelahiran HAM dan eksistensinya dalam suatu negara.
HAM bukan sekadar produk pemikiran seseorang dan berasal dari paham- paham di
luar negeri, melainkan masalah sikap hormat terhadap harkat kemanusiaan.
Daftar Pustaka:
Benedanto, Pax (ed.). (2000). Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Jakarta: LSPP.
Budihardjo, Miriam (2010). Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Cheria, Anita. et al. (2004). A Human Rights Approach to Development: Resource Book .
India: Books for Change.
Hardiman, F. Budi (2011). Hak-hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama dan
Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lubis, T. Mulya. (1993). “Perdebatan Hak Asasi Manusia Akhir-akhir Ini: Beberapa
Catatan Kritis”, dalam Analisis CSIS, no. 5, September-Oktober 1993. Jakarta.
Phillpis, Brian dan Gready,Paul (2013). “Introduction – Why a Special Issue on Human
Rights Education (HRE) and Training?”Journal of Human Rights Practice. Vol. 5
Number 2, 2013, pp.215-219.
Sudiarja, A. (1998). “Hak Asasi dan Kekuasaan Negara: antara Tuntutan dan
Keniscayaan Peradaban”, dalam Jurnal Teologi Universitas Sanata Dharma , No.
11, Yogyakarta.
Bacaan II:
Dua Kovenan Hak Azasi Manusia
dan Situasi Pemenuhannya di Indonesia
Pengantar
Adalah John Locke (1632 – 1704) yang pertama kali mengemukakan adanya hak
pribadi dan hak warga dari suatu negara, hak yang menurutnya bersifat melekat dan
alami (natural rights) (Boli Sabon, 1992:58). Menurut Locke, hak yang tergolong hak
alami adalah hak untuk hidup; hak akan kebebasan atau kemerdekaan; hak milik atau
hak untuk memiliki sesuatu, dan hak untuk mengusahakan kebahagiaan (Haryanto, et
al., 2000:8). Gagasan Locke tentang penghargaan atas milik pribadi serta pemikiran
bahwa penguasa harus memerintah dengan persetujuan rakyat merupakan pijakan bagi
sejarah perjuangan hak asasi manusia selanjutnya.
Hak azasi pada masa itu masih terbatas pada bidang politik seperti kebebasan,
kesamaan, dan hak menyatakan pendapat. 7 Baru pada abad ke-20 dan awal abad ke-
21 terjadi perubahan pemikiran akibat depresi besar ( the Great Depression) sekitar
tahun 1929-1934 yang berawal di Amerika Serikat dan menjalar ke seluruh dunia dan
menberikan dampak pengangguran dan kemiskinan. Di Jerman depresi melahirkan
Nazisme dan menyebabkan gelombang imigrasi yang cukup besar ke Amerika Serikat.
Dalam situasi yang demikian, Presiden Amerika Serikat, Franklin Roosevelt merumuskan
Empat kebebasan (the Four Fredooms), yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan
pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan
dari ketakutan (freedom from fear, dan kebebasan dari kemiskinan freedom from
want). Hak untuk bebas dari kemiskinan merupakan gagasan yang memandang bahwa
hak politik saja tidak cukup untuk menciptakan kebahagiaan. Memberikan suara dalam
pemilihan umum sekali dalam 4 (empat) atau 5 (lima) tahun tidak ada artinya bagi
orang miskin jika tidak disertai kemandirian ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokok
(sandang-pangan-papan).8 Oleh karena itu, Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia
(1948) menjadi pernyataaan yang menjamin hak politik dan hak ekonomi dimaksud
sebagai pedoman sekaligus standar minimum yang dicita- citakan oleh seluruh umat di
dunia. Sekali pun tidak bersifat mengikat secara hukum namun deklarasi itu menjadi
komitmen moral yang menjadi acuan di banyak negara dalam undang-undang dasar,
undang-undang, serta putusan hakim
7
Budihardjo, Miriam (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm.
215.
8
Ibid., hlm. 216-219
kedua jenis kovenan itu bersifat saling melengkapi, saling berhubungan, dan tak
terpisahkan.
Kovenan Hak Sipil dan Politik akhirnya ditetapkan pada 16 Desember 1966 atau
18 tahun sejak pertama kali digagas. Meskipun telah ditetapkan, berbagai ketentuan
dalam kovenan itu tidak dapat langsung diberlakukan. Perjanjian internasional itu baru
dapat dikatakan berlaku jika sudah diratifikasi oleh sekurang- kurangnya 35 negara,
sehingga baik Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya
baru dikatakan berlaku pada tahun 1976 setelah memenuhi persyaratan tersebut.
Jumlah negara yang telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik pada tahun 1999
mencapai 144 negara dan 142 negara bagi Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Tingginya jumlah negara yang telah meratifikasi kedua kovenan tersebut menunjukkan
kuatnya universalitas yang terkandung di dalamnya.
Hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak negatif ( negative rights). Hal itu
terkait dengan peran negara yang harus bersikap pasif dalam pemenuhannya atau
tidak mencampuri warga negara dalam memenuhi hak-hak itu. Oleh karenanya, hak sipil
dan politik dirumuskan dalam ungkapan ‘ freedom from’. Sebaliknya, hak ekonomi,
sosial, dan budaya dikatakan sebagai hak positif ( positive rights) karena negara harus
terlibat aktif dalam pemenuhan hak tersebut. Hak ekonomi, sosial, dan budaya
dirumuskan dalam ungkapan ‘rights to’. Pembedaan keduanya dapat dibaca pada tabel
berikut. (Kasim, 2001: xv)
Meskipun ada pembedaan antara kedua kelompok hak seperti tercantum dalam
tabel di atas, pemenuhannya tidak dapat dipisahkan secara tegas berdasarkan
konsensus yang dicapai dalam Konferensi HAM Sedunia II di Vienna (Nusantara, 2004:
33). Adapun hak yang dilindungi Kovenan Sipil dan Politik adalah sebagai berikut.
(Haryanto, 2000: 17).
Hak yang diatur dalam perjanjian seperti yang tercantum dalam daftar di bawah
ini berlaku baik bagi individu, kelompok masyarakat, maupun bangsa. Hak-hak sipil dan
politik berkaitan erat dalam pemenuhannya. Keduanya tidak mungkin dipisahkan, karena
tanpa adanya penghormatan terhadap hak-hak sipil mustahil orang dapat menjalankan
hak-hak politiknya.
Terbentuknya sebuah kovenan mengimplikasikan adanya sebuah lembaga
pengawas yang dalam hal ini adalah Komite Hak Asasi Manusia ( Human Rights
Commitee) yang diatur secara khusus dalam bagian tersendiri di dalam Kovenan, yaitu
pasal 28 – 45. Komite itu terdiri atas 18 negara dari semua negara yang ikut
meratifikasi Kovenan.
Penutup
Komnas HAM yang dibentuk oleh pemerintah dan bertugas memantau dan
menyelidiki pelanggaran hak-hak sipil dan politik warga negara Indonesia belum banyak
pengaruhnya. Meskipun telah banyak menemukan kasus pelanggaran, terutama oleh
militer dan polisi, Komnas HAM tidak memiliki kewenangan untuk mendesakkan
rekomendasinya untuk dipatuhi pemerintah. Oleh karena itu, masih banyak kasus tidak
dapat ditangani secara tuntas. Dibutuhkan peran rakyat yang lebih besar untuk
penyelenggaraan kekuasaan yang lebih adil. Dengan demikian, partisipasi masyarakat
dalam mengawasi pemenuhan hak azasi manusia mencakup kontrol terhadap
perencanaan, proses pelaksanaan suatu kegiatan, hasil, dan evaluasinya perlu
ditingkatkan. Partisipasi masyarakat dalam arti tersebut menuntut suasana demokratis
dan penguatan masyarakat sipil.
Daftar Pustaka:
Budihardjo, Miriam (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta; PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Haryanto, Ignatius, et al. (2000). Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik , Jakarta:
LSPP.
“Jokowi Skips Human Rights Day Event Amid Criticism”, Jakarta Post., December 11,
2018.
Kasim, Ifdhal dan Arus, Johanes de Masenus (Eds.). (2001). Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya. Jakarta: ELSAM.
10
“Jokowi skips Human Rights Day event amid criticism”, Jakarta Post December 11, 2018
Manurung, Hendra (2017). Journal of International Relations. Volume 1 No.1, January-
June 2017. Faculty of Social and Political Sciences Department, Christian
University of Indonesia, pp.54-74
Nusantara, Abdul Hakim Garuda. (1996). “Kekerasan Negara sebagai Ancaman Terhadap
Hak-hak Sipil dan Politik Rakyat”, dalam Kolom, Edisi 26/01 – 24/08 1996.
__________________. (2004). “Partai Politik dan Hak Asasi Manusia”, dalam Kompas, 24
Maret 2004. hlm. 33.