Anda di halaman 1dari 62

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat

limpahan rahmat dan hidayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan

baik. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda rasulullah

Muhammad SAW, selaku manusia pilihan Allah yang paling layak kita jadikan

tauladan untuk kehidupan dunia dan akhirat kelak. Proposal skripsi yang dapat

diselesaikan peneliti yaitu berjudul " Pengaruh Kewajiban Kepemilikan Npwp

Dan Penagihan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan

Pajak Pratama Di Lhokseumawe".

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

terdapat kekurangan dan kelemahan karena keterbatasan pengetahuan dan

kemampuan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran dari

pihak manapun untuk kesempurnaan proposal skripsi ini. Penulis mengucapkan

rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah diberikan,

baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyelesaian tugas akhir ini

hingga selesai.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

para pembaca untuk kesempurnaan berbagai kekurangan dalam penulisan skripsi

ini, Penulis berharap, semoga skripsi ini bisa berguna untuk para pembaca dan

pihak-pihak lain yang memerlukannya.

`Lhokseumawe, April 2020


Penulis,

Kamaruddin
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai negara yang berkembang, sebenarnya Indonesia memiliki

berbagai macam potensi untuk menjadi negara yang lebih maju. Akan tetapi pada

kenyataannya Indonesia tidak bisa memanfaatkan berbagai potensi itu. Salah

satunya adalah Indonesia mengalami masalah di sektor ekonomi, untuk mengatasi

masalah tersebut maka pajak diharapkan bisa menjadi solusi yang efektif. Hal ini

dikarenakan pajak merupakan potensi penerimaan terbesar dalam negeri. Karena

pajak merupakan penerimaan langsung yang bisa diolah guna untuk pembiayaan

berbagai macam keperluan negara (Linstyaningtyas, 2012). Maka dari itu,

penerimaan pajak di harapkan dapat dimaksimalkan.

Untuk lebih memaksimalkan penerimaan pajak, pemerintah telah

mengambil langkah-langkah kebijakan agar dapat memancing kesadaran

masyarakat untuk mau membayar pajak. Pada tahun 2008 pemerintah melalui

Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan kebijakan berupa sunset policy.

Dalam sunset policy, pemerintah secara tidak langsung mewajibkan masyarakat

sebagai wajib pajak untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) (Fitriyani

dan Wiwik, 2009:89).

Semua wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan

objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor


Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai wajib pajak dan sekaligus untuk

mendapatkan NPWP.

Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada setiap wajib pajak

disertai dengan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Pengisian kewajiban

perpajakan harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan yang berlaku, sehingga pelaksanaan atas kewajiban perpajakan oleh

setiap wajib pajak dapat mengamankan penerimaan pajak. Semakin banyak yang

diisi kewajiban perpajakan oleh wajib pajak secara benar dan tepat, penerimaan

pajak meningkat (Setiawan, 2007:59).

Selain mewajibkan masyarakat sebagai wajib pajak untuk memiliki Nomor

Pokok Wajib Pajak (NPWP), ada juga kebijakan yang dilakukan dalam usaha

untuk mengoptimalkan penerimaan pajak yaitu dengan melakukan penagihan

pajak secara lebih aktif kepada setiap wajib pajak yang menunggak pembayaran

pajaknya, (Ginting, 2006:12). Penagihan pajak dilakukan karena masih banyaknya

wajib pajak terdaftar yang tidak melunasi hutang pajaknya sehingga diperlukan

tindakan penagihan yang mempunyai kekuatan hukum yang bersifat mengikat dan

memaksa. Maka dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah

mengeluarkan Undang Undang no 19 tahun 2000 tentang Penagihan pajak dengan

Surat Paksa.

Mengacu pada uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai pengaruh kewajiban kepemilikan NPWP, dan penagihan

pajak terhadap penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di wilayah
Jakarta Selatan. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian dengan

judul “Pengaruh Kewajiban Kepemilikan NPWP, Penagihan Pajak terhadap

Penerimaan Pajak (Pada Kantor Pelayanan Pajak di Wilayah Jakarta Selatan).

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana gambaran kewajiban kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP) dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak?

2. Bagaimana pengaruh kewajiban kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP) dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian

ini adalah :

1. Untuk mengetahui gambaran kewajiban kepemilikan Nomor Pokok Wajib

Pajak (NPWP) dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak.

2. Untuk mengetahui pengaruh kewajiban kepemilikan Nomor Pokok Wajib

Pajak (NPWP) dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak.

D. Kegunaan Penelitian

Penulisan Penelitian ini diharapkan akan memberikan kegunaan kepada

berbagai pihak yang membutuhkan yaitu :


D.1 Bagi Peneliti

Adapun manfaat atau kegunaan bagi peneliti adalah :

A. Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliyah metodologi

penelitian.

B. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan mengenai kewajiban kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP) dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak.

D.2 Bagi Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Untuk memberikan evaluasi dan masukan yang dapat berguna mengenai

begaimana pengaruh kewajiban kepemilikan NPWP dan penagihan pajak terhadap

penerimaan pajak yang telah dilakukan.

D.3 Bagi Pembaca dan Pihak Lain

Diharapkan dapat menambah wawasan mengenai aspek-aspek perpajakan

dan menjadi bahan referensi bagi peneliti lain yang berkeinginan melakukan

pengamatan secara mendalam, khususnya pada kajian atau permasalahan yang

serupa.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam pembahasan penelitian ini penulis menyusun

sistematika penulisan. Sistematika penulisan ini akan menggambarkan keselarasan


isi penulisan metodologi penelitian ini. Adapun sistematika penulisan metodologi

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bab satu adalah bab yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian serta sistematika

penulisan. Uraian teoritis, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran,

anggapan dasar dan hipotesis merupakan inti dari tinjauan pustaka yang

terdapat pada bab dua.

2. Metodologi penelitian yang meliputi desain penelitian, objek penelitian,

ruang lingkup penelitian, definisi operasional variabel, populasi dan

sampel, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, alat

pengumpulan data, dan teknik analisa data diuraikan pada bab tiga. Pada

bab empat penulis menguraikan gambaran umum perusahaan yang diteliti.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pengertian Pajak

Ditinjau dari jumlah pendapatan yang diterima oleh negara, penerimaan

pajak merupakan penerimaan yang dominan dari seluruh penerimaan negara.

Banyak para ahli memberikan bahasan tentang pajak, tetapi pada intinya

mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Berikut ini adalah beberapa pengertian

mengenai pajak oleh para ahli.

Menurut Waluyo (2009:2) pajak adalah iuran masyarakat kepada negara

(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut

peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi

kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan

pemerintahan.

Berdasarkan Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 pajak adalah kontribusi wajib

pada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebasar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa pajak

merupakan peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negarauntuk


membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public

saving yang merupakan sumber utama membiayai ublic investment.

2. Fungsi Pajak

Menurut Mardiasmo (2009:1), fungsi pajak adalah sebagai berikut:

2.1 Fungsi Penerimaan (Budgetary)

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai

pengeluaran-pengeluarannya.

2.2 Fungsi Mengatur (Regulatory)

Menurut Madiasmo (2009:7), asas pemungutan pajak adalah sebagai

berikut:

2.2.1 Asas Domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak

yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam

maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.

2.2.2 Asas Sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dai

wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.

2.2.2 Asas kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.


2.2.4 Cara Pemungutan Pajak

Menurut Resmi (2009:9) cara pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

a)     Stelsel Pajak

Dalam stelsel pajak ada 3 cara pemungutan pajak dilakukan:

1)     Stelsel Nyata (riil stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata,

sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak yakni

setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel

ini adalah pajak yang dikenakan realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat

dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui)

2)     Stelsel Anggapan (fictive stelsel)

Pengenaan pajak berdasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh

undang-undang, sebagai contoh penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan

tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah ditetapkan besarnya pajak

yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang

dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.

b)          Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2009:7) ada beberapa

sistem pemungutan pajak, yaitu:


1)     Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi

wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang

terutang oleh wajib pajak.

Ciri-cirinya:

a)     Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus.

b)     Wajib pajak bersifat pasif.

c)     Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

2)     Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak

yang terutang.

Ciri-cirinya:

a)     Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak

itu sendiri.

b)     Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri

pajak yang terutang.

3)     With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang

bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak

ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.


2.         Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Menurut Mardiasmo (2009:23) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah

nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi

perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib

pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Menurut Resmi (2009:26), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah suatu

sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal

diri atau identitas wajib pajak.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah sarana dalam administrasi perpajakan

yang diberikan kepada wajib pajak yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri

atau identitas wajib pajak.

Semua wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan

objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan

sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal

Pajak untuk dicatat sebagai wajib pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor

Pokok Wajib Pajak (NPWP). Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek

pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau yang diwajibkan untuk

pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak

Penghasilan 1984 dan perubahannya (Diana dan Setiawati, 2009:4).

a.         Tata Cara Pendaftaran NPWP


Wajib pajak mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak

dan/atau Formulir Permohonan Pengukuhan PKP secara lengkap dan jelas serta

ditanda tangani oleh wajib pajak atau kuasanya dan menyerahkannya kepada

petugas pendaftaran wajib pajak. Jika permohonan ditandatangani oleh orang lain,

harus memiliki surat kuasa khusus.

Selain mengisi Formulir Pendaftaran, wajib pajak harus menyertakan data

pendukung yang perlu, diantaranya sebagai berikut (Tansuria,2010:3):

1)     Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan/tidak menjalankan

usaha atau pekerjaan bebas:

Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang

asing.

2)      Untuk Wajib Pajak Badan

a)     Akte pendirian dan perubahan atau surat keterangan penunjukkan dari kantor

pusat bagi Bentuk Usaha Tetap.

b)     NPWP Pimpinan atau Penanggung Jawab Badan.

c)      Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia atau paspor bagi orang

asing sebagai penanggung jawab.

3)        Untuk Bendahara sebagai Pemungut atau Pemotong:

a)     Surat penunjukkan sebagai Bendahara

b)     Kartu Tanda Penduduk Bendahara


4)        Untuk Join Operation sebagai Wajib Pajak Pemungut atau Pemotong:

a)      Perjanjian kerjasama/Akte Pendirian sebagai Join Operation.

b)     Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang

asing sebagai penanggung jawab.

c)      NPWP Pimpinan/Penanggung Jawab Joint Operation.

Bagi pemohon yang berstatus cabang, Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha

tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta harus memiliki NPWP Kantor

Pusat/domisili suami.

b.         Fungsi NPWP

Menurut Mardiasmo (2009:22), fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak yaitu:

1.     Sarana dalam administrasi perpajakan.

2.     Tanda pengenal diri atau Identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan

kewajiban perpajakannya

3.     Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.

4.     Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi

perpajakan.

c.         Format NPWP

NPWP terdiri dari 15 digit yaitu 9 digit pertama merupakan kode wajib pajak

yang mengindikasikan apakah wajib pajak yang dimaksud adalah orang pribadi
atau badan atau pemungut bendaharawan, dan 6 digit berikutnya merupakan kode

administrasi perpajakan. Contoh NPWP 08.516.767.0-823.000, dapat dijabarkan

sebagai berikutnya (Tansuria,2010:1)

08 : identitas wajib pajak orang pribadi

516.767 : nomor urut/nomor registrasi

0 : cek digit (sebagai alat pengaman agar tidak terjadi pemalsuan dan

kesalahan NPWP)

82 : kode KPP (KPP Pratama Bitung)

000 : kode pusat/suami atau cabang/istri

d.         Penghapusan NPWP dan persyaratannya

Penghapusan nomor pokok wajib pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak

apabila memenuhi syarat sebagai berikut (Tansuria 2010:8):

1.     Wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/ atau obejektif,

misalnya wajib pajak orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan

warisan.

2.     Wajib pajak badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran karena

penghentian atau penggabungan usaha.

3.     Wanita yang sebelumnya telah memiliki NPW dan menikah tanpa membuat

perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.


4.     Wajib pajak bentuk badan usaha tetap yang menghentikan usahanya di

Indonesia.

5.     Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah

selesai dibagi.

6.     Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus NPWP dari

wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

e.         Sanksi Tidak Mendaftarkan Diri

Sanksi bagi seseorang yang diwajibkan memiliki NPWP namun tidak

mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP menurut pasal 39 ayat 1 Undang-

undang nomor 28 tahun 2007, adalah sebagai berikut:

1)     Setiap orang yang dengan sengaja:

a.    Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau

tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

b.    Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak

atau  usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

c.    Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan

d.    Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak

benar atau tidak lengkap


e.    Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

29

f.     Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang

sebenarnya

g.    Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak

memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain

h.    Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar

pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data

dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara

program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat

(11)

i.      Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat

menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling

sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan

paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang

dibayar

2)     Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali

menjjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak

pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak

selesainya menjadi pidana penjara yang dijatuhkan.


3)     Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana

menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,

dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi

pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6

(enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali

jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang

dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan

dan/ atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

3.         Penagihan Pajak

Menurut Rahayu (2010:197) pengertian dalam pasal 1 butir 9 Undang-

undang no.19 Tahun 2000 penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar

penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan

menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus

memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,

melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

a.     Pengelompokkan Penagihan Pajak

Menurut Suandy (2008:173), penagihan pajak dapat dikelompokkan

menjadi (2) dua, yaitu penagihan pasif dan penagihan aktif:

1.    Penagihan Pajak Pasif


Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan

Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), surat keputusan pembetulan yang

menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, surat keputusan keberatan yang

menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30

(tiga puluh) hari belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan diikuti

dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan surat

teguran.

2.    Penagihan Pajak Aktif

Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif,

dimana dalam upaya penagihan ini fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya

mengirim surat tagihan ata surat ketetapan pajak tetap, akan diikuti dengan

tindakan sita, dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.

3.     Tahapan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

a. Penagihan pajak dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan surat

teguran oleh pejabat.

b. Jika wajib pajak mengajukan keberatan atas SKPKB, SKPKBT, jangka

waktu pwlunasan pajak untuk jumlah pajak yang belum dibayar pada saat

pengajuan keberatan sebesar pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan

akhir hasil pemeriksaan tertangguh selama satu bulan sejak tanggal

penerbitan surat keputusan keberatan.


c. Jika wajib pajak mengajukan banding atas surat keputusan keberatan,

sehubungan dengan SKPKB, atau SKPKBT, jangka waktu pelunasan

pajak tertangguh selama satu bulan sejak tanggal penerbitan putusan

banding.

d. Surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak yang telah

disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

e. Penerbitan surat teguran.

f. Penyampaian surat teguran dapat dilakukan:

1. Secara langsung.

2. Melalui pos.

3. Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti

penagihan surat

g. Jika jumlah utang pajak tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah

lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal disampaikan surat teguran,

surat paksa diterbitkan oleh pejabat dan diberitahukan secara langsung

oleh juru sita pajak kepada penanggung pajak.

h. Surat paksa juga dapat diterbitkan dalam hal:

1) Telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus terhadap

penanggung pajak, atau

2) Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan

pembayaran pajak.
i. Juru sita pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa

menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran dalam kondisi:

1)    Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau

berniat untuk itu

2)    Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang

dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau

pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia.

3)    Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan

usaha, memekarkan usaha, memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau

yang dikuasainya, atau melakukan perbuatan bentuk lainnya.

4)    Badan usaha akan dibubarkan oleh negara atau terjaadi penyitaan atas barang

penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

j)      Surat paksa diberitahukan oleh juru sita pajak dengan pernyataan dan

penyerahan salinan surat kepada penanggung pajak.

k)    Surat paksa akan diberitahukan kepada orang pribadi atau badan.

l)     Jika penanggung pajak atau pihak yang dimaksud menolak untuk menerima

surat paksa, juru sita pajak meninggalkan surat paksa tersebut dan mencatatnya

dalam berita acara bahwa penanggung pajak tidak mau menerima surat paksa dan

surat paksa dianggap telah diberitahukan.


m)  Jika pemberitahuan surat paksa tidak dapat dilaksanakan, surat paksa

disampaikan melalui pemerintah daerah setempat.

n)   Jika tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukan wajib pajak atau

penanggung pajak tidak diketahui, penyampaian surat paksa dilaksanakan dengan

menempelkan salinan surat paksa pada papan pengumuman kantor pejabat yang

menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa atuu dengan cara lain.

o)    Jika pelaksanaan surat paksa harus dilakukan diluar wilayah kerja pejabat,

pejabat yang menerbitkan surat paksa tersebut meminta bantuan kepada pejabat

yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan surat paksa.

p)    Jika setelah lewat 2x24 jam sejak surat paksa diberitahukan kepada

penanggung pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan utang pajak tidak

dilunasi oleh penanggung pajak, pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan

penyitaan.

q)    Berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan, juru sita pajak

melaksanakan penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak.

r)     Jika penanggung tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak

setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan,

pejabat melakukan pengumuman lelang.

s)    Pengumuman lelang dilakukan satu kali, sedangkan untuk barang tidak

bergerak dilakukan 2 (dua) kali.


t)     Jika penanggung pajak tidak melunasi utang ajak dan biaya penagihan pajak

setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak pengumuman lelang, pejabat

melakukan penjualan barang sitaan penanggung pajak melalui kantor lelang

negara.

4.     Hak Wajib Pajak/Penanggung Pajak

Wajib pajak/penanggung pajak berhak dalam penagihan pajak, sebagai berikut

(Sumarsan, 2010:70):

a)    Meminta juru sita pajak memperlihatkan kartu tanda pengenal juru sita pajak.

b)    Menerima salinan surat paksa dan salinan berita acara penyitaan.

c)    Menentukan urutan barang yang akan dilelang.

d)    Meminta kesempatan terakhir untuk melunasi utang pajaknya, termasuk biaya

penyitaan, iklan dan biaya pembatalan lelang, serta melaporkan pelunasan tersebut

kepada kepala KPP yang bersangkutan sebelum pelaksanaan lelang.

e)    Membatalkan lelang jika penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya

penagihan pajak sebelum pelaksanaan lelang.

5.     Kewajiban Wajib Pajak/Penanggung Pajak

a)    Membantu juru sita pajak dalam melaksanakan tugasnya, dengan cara:

1)    Memperbolehkan juru sita pajak memasuki ruangan, tempat usaha/tempat

tinggal wajib pajak/penanggung pajak.


2)    Memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan.

b)    Barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan, atau

disewakan.

4)        Penerimaan Pajak

Penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri Pemerintah, dan

hibah. Penerimaan dalam negeri Pemerintah terdiri atas penerimaan perpajakan

dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Dumairy,1997).

Dewasa ini pajak merupakan tumpuan pemerintah dalam menjalankan

roda pemerintahan, penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan negara

terbesar saat ini yaitu mencapai 80% dari penerimaan negara. Direktorat Jenderal

Pajak sebagai bagian dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia mempunyai

tanggung jawab untuk menarik pajak dari masyarakat. Belakangan ini masyarakat

lebih kritis dan berani dalam menyuarakan keinginannya akan pelayanan yang

baik, khususnya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Seiring dengan

bertambahnya beban yang harus ditanggung masyarakat, bertambah pula

tuntutan  masyarakat akan tersedia pelayanan publik yang berkualitas tinggi.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu institusi pemerintah di

bawah Kementerian Keuangan yang mengemban tugas untuk mengamankan

penerimaan pajak negara dituntut untuk selalu dapat memenuhi pencapaian target

penerimaan pajak yang senantiasa meningkat dari tahun ke tahun di tengah

tantangan perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial maupun ekonomi di

masyarakat.
Berdasarkan kewenangan dalam pemungutannya, pajak dapat digolongkan

menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Dari kedua jenis pajak tersebut, yang akan

diuraikan berikut ini hanyalah jenis-jenis pajak pusat karena hanya pajak pusat

yang merupakan penerimaan pemerintah pusat yang menjadi bagian dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Jenis pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal

Pajak (DJP) sesudah reformasi perpajakan 1983 adalah sebagai berikut :

a. Pajak Penghasilan (PPh)

Menurut Mansury (2002), PPh sesuai undang-undang tentang pajak

penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau

diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar

Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan

wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Supramono dan Damayanti (2005) menambahkan bahwa pajak

penghasilan adalah pungutan resmi oleh pemerintah yang ditujukan kepada

masyarakat yang berpenghasilan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran

pemerintah.

b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

          (PPN dan PPnBM)

 Menurut Supramono dan Damayanti (2005) Pajak Pertambahan Nilai adalah

pajak yang dikenakan terhadap setiap pertambahan nilai dari suatu produk atau
jasa yang dihasilkan oleh pengusaha kena pajak. Sedangkan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan terhadap barang-barang yang

tergolong mewah.

c.               Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan menurut Supramono dan Damayanti (2005)

adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan tubuh bumi serta bangunan yang

terletak di atas bumi tersebut. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12

tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau

bangunan. Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang

ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam

atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau bangunan.

d.               Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 tahun 2000 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak

yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Supramono dan

Damayanti (2005) berpendapat bahwa BPHTB adalah penyerahan sebagian dari

nilai ekonomis dari perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Peran penerimaan pajak sangat penting bagi kemandirian pembangunan,

karena pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara dari dalam negeri

yang paling utama selain dari minyak dan gas bumi untuk mendanai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika dilihat dari sisi ekonomi,

penerimaan dari sektor pajak merupakan penerimaan negara yang potensial,

karena melalui pajak pemerintah dapat membiayai sarana dan prasarana publik

diseluruh sektor kehidupan, seperti sarana transportasi, air, listrik, pendidikan,

kesehatam, keamanan, komunikasi, sosial dan berbagai fasilitas lainnya yang

ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.

e.            Bea Materai

Dalam The Indonesian Tax in Brief  disebutkan bahwa Bea Materai adalah

pajak atas dokumen yang dipakai masyarakat dalam lalu lintas hukum. Yang

dimaksud dengan dokumen disini adalah kertas yang berisikan tulisan yang

mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi

seorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Surat perjanjian, surat kuasa,

surat pernyataan dan akte adalah sebagian contoh dari dokumen yang dikenakan

bea materai.

f.             Bea Masuk

Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan, yang

dimaksud bea masuk adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang

yang dikenakan terhadap barang-barang yang diimpor. Dengan adanya pungutan

tersebut, maka bea masuk selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara

juga sebagai pengatur arus impor, baik untuk barang konsumsi maupun barang

yang diperlukan industri dalam negeri. Dengan demikian, penerimaan bea masuk
tidak semata-mata ditujukan sebagai penerimaan untuk mengisi kas negara, tetapi

juga berfungsi sebagai alat pengaturan (regulator).

g.            Cukai

Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, yang

dimaksud cukai adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang yang

dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau

karakteristik perlu untuk dibatasi, diawasi produksinya dan peredarannya, karena

akan berpengaruh langsung terhadap kesehatan dan ketertiban sosial. Dengan

demikian, peranan cukai tidak saja berorientasi pada penerimaan negara,

melainkan mempertimbangkan pula aspek pembatasan produksi dan

konsumsi.  Oleh karena itu, dasar pertimbangan besarnya penerimaan cukai

tergantung dari jumlah barang yang kena cukai, tarif cukai dan harga dasar barang

kena cukai.

h.            Pajak Ekspor

Yang dimaksud dengan pungutan ekspor adalah pungutan negara yang

dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang akan diekspor. Pengaturan tarif

pajak ekspor ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan

memperhatikan harga patokan ekspor dan jumlah wajib pajak valuta asing.

Kebijakan yang ditempuh dalam pungutan pajak ekspor ini bertujuan untuk

mengendalikan harga pasar di dalam negeri. Khusus penerimaan perpajakan di

sektor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), terhitung 1

Januari 2011 seluruh penerimaan dialihkan ke pemerintah daerah setempat,


sedangkan di sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sejak 1 Januari 2012

sebagian daerah, telah mengalihkan penerimaan di sektor tersebut kepada

Pemerintah Daerah.

Peranan penerimaan perpajakan sebagai salah satu sumber penting dalam

pembiayaan negara akan terus ditingkatkan dengan melakukan berbagai evaluasi

dan kebijakan penyempurnaan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan sistem

perpajakan dapat lebih efektif dan efesien sejalan dengan perkembangan

globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Dengan

demikian, diharapkan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan,

kesederhanaan dan keadilan dapat tercapai sehingga tidak hanya berdampak

terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan

kondisi ekonomi makro.

5)        Pengaruh Kewajiban Kepemilikan NPWP dan Penagihan Pajak terhadap

Penerimaan pajak

Menurut Mardiasmo (2009:23) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah

nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi

perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib

pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Menurut Rahayu (2010:197) pengertian dalam pasal 1 butir 9 Undang-undang

no.19 Tahun 2000 penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung

pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau

memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus


memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,

melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

Peningkatan penerimaan pajak memegang peranan strategis karena akan

meningkatkan kemandirian pembiayaan pemerintah. Berbagai kebijakan

pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak terus

digulirkan. Salah satu langkah yang dilakukan dalam meningkatkan penerimaan

pajak yaitu dengan diberlakukannya kewajiban kepemilikan NPWP bagi wajib

pajak. Semua wajib pajak yang telah  memenuhi persyaratan subjektif dan objektif

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan

sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal

Pajak untuk dicatat sebagai wajib pajak dan sekaligus untuk mendapatkan NPWP.

Kerjasama fiskus dan wajib pajak diperlukan pula dalam meningkatkan

penerimaan pajak dimasa depan (Gisijanto, 2008).

Penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak

melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau

memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus

memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksankaan penyitaan,

melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Sehingga

penagihan pajak berpengaruh pada penerimaan pajak.


B.        Penelitian Terdahulu

Penulis merujuk pada beberapa penelitian terdahulu dalam melakukan

penelitian, yaitu:

Tabel 1

Penelitian Terdahulu

Nama Judul, Instansi, Tahun Variabel Hasil Penelitian

Peneliti Penelitian Penelitian

Deddy Arif Analisis Hubungan Variabel bebas: H0 ditolak,

Setiawan antara Ekstensifikasi Wajib Pajak dan artinya jumlah

Wajib Pajak dan Surat Surat Setoran wajib pajak

Setoran Pajak dengan Pajak berpengaruh

Penerimaan Pajak, terhadap

Skripsi, KPP Jakarta Variabel Terikat : penerimaan pajak

Palmerah, 2007 Penerimaan Pajak H0 ditolak,

artinya jumlah

surat setoran

pajak memiliki

pengaruh

terhadap

penerimaan pajak

Sumber : Berbagai karya ilmiah


C.        Kerangka Pemikiran

Menurut Sugiyono (2008:88), kerangka pemikiran adalah model

konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktr yang telah

diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka pemikiran bertujuan untuk

memberikan gambaran secara ringkas tentang isi dari penelitian, sehingga

penelitian dapat terarah sesuai dengan maksud dan tujuan yang diharapkan.

Kewajiban Kepemilikan NPWP (X1)

1.    Fungsi NPWP

2.    Pendaftaran NPWP

3.    Format NPWP

4.    Penghapusan NPWP

-Sanksi

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat terlihat dalam Gambar 1 berikut:

X1 X2 Y

Mardiasmo (2009) Suandy (2008) Gisijanto dan Syahab (2008)

Tansuria (2010)
Waluyo (2009)

Setyawan (2007:50)
                       

Penerimaan Pajak (Y)

1.    Pajak Pusat
Penagihan Pajak (X2)

1.    Pengelompokan 

penagihan pajak

2.    Tahapan penagihan pajak


Vegirawati (2011:67)
Dilandaskan
 

Gambar 1

Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dapat dinyatakan bahwa variabel

independen (X1) dan (X2) mempengaruhi variabel dependen (Y). Dalam hal ini,

variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kewajiban

Kepemilikan NPWP dan Penagihan Pajak, sedangkan variabel dependennya

Penerimaan Pajak. Pada variabel independen (X1), uji yang  dilakukan adalah Uji

Normalitas dan untuk variabel independen (X2) uji yang digunakan adalah Uji

Multikolonieritas, sedangkan pada variabel dependen (Y) uji yang digunakan

adalah Uji Heteroskedastisitas.

D.        Anggapan Dasar dan Hipotesis

1.         Anggapan Dasar

Anggapan dasar menurut Surakhmad dan Arikunto (2006:58), adalah sebuah titik

pemikiran yang kebenarannya diterima oleh penyelidik dan dapat dijadikan

landasan berpikir selanjutnya dalam penulisan penelitian ini. Anggapan dasar

dalam penelitian ini adalah: “Kewajiban Kepemilikan NPWP dan Penagihan

Pajak berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak”

2.         Hipotesis

Menurut Sugiyono (2010:64) Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap

rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan

dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang

diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-

fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi, hipotesis juga dapat
dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum

jawaban yang empiris. Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1.         H0 = 0, artinya kewajiban kepemilikan NPWP dan penagihan pajak tidak

berpengaruh terhadap penerimaan pajak  baik secara parsial maupun simultan di

KPP Pratama di wilayah Jakarta Selatan.

2.         H0 ≠ 0, artinya kewajiban kepemilikan NPWP dan penagihan pajak

berpengaruh terhadap penerimaan pajak  baik secara parsial maupun simultan di

KPP Pratama di wilayah Jakarta Selatan.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam suatu penelitian sangat

mempengaruhi hasil penelitian itu sendiri. Metodologi merupakan data utama

yang digunakan untuk mencapai tujuan. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik

diperlukan juga metode yang sesuai untuk mendapatkan data yang objektif.

Metodologi penelitian memberikan gambaran yang jelas terhadap fenomena-

fenomena menerangkan hubungan, mengkaji hipotesis serta makna implikasi dari

masalah yang dibahas.

A.        Desain Penelitian
Desain Penelitian menurut Wiley (2006:152), adalah cara yang sistematis

dan objektif dengan maksud untuk memperoleh data atau mengumpulkan

keterangan untuk diteliti dan dianalisis sampai pada solusi setelah

mengidentifikasi variabel suatu situasi masalah dan pengembangan kerangka

teoritis. Desain penelitian yang digunakan dalam penulisan proposal skripsi ini

adalah penelitian kepustakaan (library research) dan field research. Dalam

penelitian kepustakaan, penulis mengumpulkan data, informasi dan teori dengan

cara mempelajari dan membaca literatur-literatur yang ada

hubungannya  dengan   permasalahan   yang  menjadi objek penelitian.

Dalam field research, penulis mengumpulkan data melalui kuesioner dan

wawancara yang ada hubungannya dengan permasalahan yang menjadi objek

penelitian.

B.        Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengambil objek penelitian pada Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) di wilayah Jakarta Selatan, dan yang menjadi objek dalam

penelitian ini adalah petugas pajak (fiskus) yang berada di KPP Pratama di

wilayah Jakarta Selatan.

C.        Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data yang

berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti untuk mengetahui pengaruh

variabel independen, yaitu pengaruh kewajiban kepemilikan NPWP dan


penagihan pajak terhadap variabel dependen, yaitu penerimaan pajak. Penelitian

ini dilakukan pada KPP Pratama Kebayoran Baru Dua, KPP Pratama Kebayoran

Baru Tiga dan KPP Pratama Tebet.

D.        Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel adalah untuk mengukur konsep abstrak

seperti hal-hal yang biasanya jatuh ke dalam wilayah subjektif perasaan dan sikap.

Tujuannya agar peneliti dapat mencapai suatu alat ukur yang sesuai dengan

hakekat variabel yang sudah didefinisikan konsepnya maka peneliti harus

memasukkan proses atau operasionalnya alat ukur yang digunakan untuk

kualifikasi gejala atau variabel yang ditelitinya (Sekaran, 2006:14).

Definisi operasional variabel untuk masing-masing variabel dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 2

Definisi Operasional Variabel

Variabel Dimensi Indikator Skala


Kewajiban Fungsi NPWP 1.    Saran dalam Skala

kepemilikan NPWP administrasi perpajakan. Interval

(X1) Pajak sebagai 2.    Tanda pengenal diri

sumber dana atau identitas wajib

merupakan nomor bagi pemerintah pajak dalam

yang diberikan untuk melaksanakan hak dan

kepada wajib pajak membiayai kewajiban


sebagai sarana dalam pengeluaran- 3.    Dicantumkan dalam

administrasi pengeluarannya. setiap dokumen

perpajakan yang perpajakan.

dipergunakan sebagai 4.    Menjaga ketertiban

tanda pengenal diri dalam pembayaran pajak

atau identitas wajib dan pengawasan

pajak. administrasi perpajakan

Pendaftaran

NPWP

1.    Menyerahkan

mengisi formulir permohonan

Formulir pendaftaran dan formulir

Permohonan permohonan

Pendaftaran pengukuhan PKP

Wajib Pajak

dan/atau

Formulir

Permohonan

Pengukuhan

PKP secara

lengkap dan

jelas serta

ditanda tangani
oleh wajib pajak

atau kuasanya

dan

menyerahkannya

kepada petugas

pendaftaran

wajib pajak.

1.    Penggunaan NPWP

Format NPWP dapat memudahkan

petugas dalam

menentukan Wajib Pajak

yang akan diperiksa

1.    Wajib pajak sudah

tidak memenuhi

persyaratan subjektif dan

Penghapusan objektif.

NPWP 2.    Wajib pajak badan

dalam rangka likuidasi

atau pembubaran karena

penghentian atau

penggabungan usaha

3.    Wajib pajak bentuk


Badan Usaha Tetap yang

menghentikan usahanya

di Indonesia

1.    Sengaja tidak

mendaftarkan diri atau

menyalahgunakan

Sanksi
Penagihan Pajak (X2) Pengelompokan 1.    Penagihan pajak Skala

penagihan pajak pasif Interval

merupakan 2.    Penagihan pajak

serangkaian tindakan aktif

agar penanggung

pajak melunasi utang Tahap 1.    Surat teguran

pajak dan biaya penagihan pajak dilayangkan oleh wajib

penagihan pajak pajak sampai tanggal

dengan menegur atau jatuh tempo

memperingatkan. 2.    Surat teguran tidak


perlu diterbitkan bila

wajib pajak menyetujui

pembayaran secara

angsuran

3.    Penerbitan surat

paksa diterbitkan apabila

penanggung pajak tidak

memenuhi ketentuan

4.    Pemberitahuan surat

paksa diterbitkan apabila

penanggung pajak tidak

memenuhi ketentuan

sebagaimana tercantum

dalam keputusan

persetujuan angsuran

atau penundaan

pembayaran pajak

5.    Penagihan seketika

dan sekaligus penagihan

pajak tanpa menunggu

tanggal jatuh tempo

pembayaran terhadap

seluruh utang pajak dan


semua jenis pajak, masa

pajak dan tahun pajak

6.    Penyitaan barang

milik wajib pajak sesuai

dengan peraturan

penyitaan yang

diterbitkan oleh pejabat

setempat

7.    Penyitaan tambahan

barang yang telah disita

tidak cukup untuk

melunasi biaya

penagihan pajak dan

utang pajak

8.    Pencabutan sita

dilaksanakan apabila

penanggung pajak telah

melunasi biaya

penagihan pajak dan

utang pajak

Penerimaan pajak (Y) 1. Pajak Pusat 1.   Peran penerimaan Skala

pajak sangat penting Interval

merupakan realisasi bagi kemandirian


dari proses pembangunan

pemeriksaan pajak 2.   Sumber utama

yang optimal. penerimaan negara yaitu

berasal dari pajak

3.   Peningkatan

penerimaan pajak

memegang peranan

strategis karena akan

meningkatkan

kemandirian

pembiayaan pemerintah

4.   Pajak sebagai

sumber penerimaan

terbesar negara

5.   Dengan adanya

kewajiban dan

kepemilikan NPWP dan

penagihan pajak,

penerimaan pajak

semakin bertambah

6.   Kerjasama fiskus

dan wajib pajak

diperlukan dalam
meningkatkan

penerimaan pajak

dimasa depan.
Sumber : Pengolahan data

E.        Populasi dan Sampel

1.         Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Menurut

Sugiyono (2009:115) populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan

benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada

pada objek/subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh

karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subjek/objek itu. Populasi dalam

penelitian ini adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di wilayah

Jakarta Selatan.

2.         Sampel

Menurut Sugiyono (2012:81), sampel adalah bagian dari jumlah

dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Teknik

sampling   yang   digunakan   dalam   penelitian   ini   adalah Nonprobabili

ty Sampling Design. Menurut Sugiyono (2012:84), Nonprobability

Sampling Design adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi

peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur-unsur anggota populasi untuk


dipilih menjadi sampel. Jenis metode dari nonprobability sampling yang

dipilih adalah sampel berdasarkan kemudahan (convenience

sampling) adalah istilah umum yang mencakup variasi luasnya prosedur

pemilihan responden. Menurut Hamid (2010:18) convenience

sampling berarti unit sampel yang ditarik mudah dihubungi, tidak

menyusahkan, mudah untuk mengukur dan bersifat kooperatif. Dengan

demikian maka peneliti memilih pelayanan pajak dan penagihan pajak

sebagai sampel penelitian. Dalam penentuan kuotanya peneliti ingin

menyebar kuesioner ke perwakilan Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Pratama di wilayah Jakarta Selatan antara lain, KPP Pratama Kebayoran

Baru Dua, KPP Pratama Kebayoran Baru Tiga dan KPP Pratama Tebet.

Metode convenience sampling digunakan karena peneliti memiliki

kebebasan untuk memilih sampel dengan cepat dari elemen populasi yang

datanya mudah diperoleh peneliti. Sampel yang diambil dalam penelitian

ini menggunakan tabel penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu

yang dikembangkan dari Isaac  dan Michael. Hal ini dikarenakan ukuran

populasi diketahui dan asumsi bahwa populasi diketahui dan asumsi

bahwa populasi berdistribusi normal.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kasubag Umum di KPP Pratama

masing-masing, total keseluruhan petugas pajak dari divisi pelayanan,

pemeriksaan dan penagihan yaitu sekitar 230 orang dengan tingkat kesalahan 5%.

Maka jika dilihat dari total keseluruhan petugas pajak tersebut, didapat sampel
yaitu berjumlah 149 sesuai dengan tabel penentuan jumlah sampel dari populasi

tertentu yang dikembangkan dari Isaac dan Michael.

F.        Jenis Data

Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan data kualitatif

dan kuantitatif yang bersifat primer maupun sekunder.

1.         Data Kualitatif

Data kualitatif menurut Sugiyono (2010:23), adalah data yang berbentuk

kalimat, kata atau gambar. Yang digolongkan sebagai data kualitatif dalam

penelitian ini adalah sejarah singkat Kantor Pelayanan Pajak, dan juga gambaran

umum Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang ada di wilayah Jakarta Selatan.

2.         Data Kuantitatif

Data kuantitatif menurut Sugiyono (2010:23), adalah data penelitian yang

berupa angka-angka atau data kuantitatif yang diangkakan (scoring). Yang

digolongkan sebagai data kuantitatif dalam penelitian ini adalah kuesioner yang

didistribusikan secara langsung kepada personal dan wawancara (interview).

G.        Sumber Data

1.         Data Primer

Menurut Sugiyono (2009:103), data primer adalah sumber data yang

langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data primer dalam penelitian

ini adalah kuesioner dan wawancara.


2.         Data Sekunder

Menurut Kuncoro (2003:127), data sekunder adalah data yang telah

dikumpulkan oleh pihak lain atau lembaga pengumpul data dan dipublikasikan

kepada masyarakat pengguna data. Data sekunder dalam penelitian ini adalah

diperoleh dari penelitian terdahulu dan sumber lainnya.

H.        Teknik Pengumpulan Data

1.         Wawancara (Interview)

Menurut Indriantoro dan Supomo (2004:104), wawancara

(interview) merupakan teknik pengumpulan data dalam metode survei yang

menggunakan pertanyaan lisan kepada subjek penelitian. Wawancara dilakukan

secara langsung kepada pegawai pajak divisi pelayanan dan penagihan pada KPP

Pratama. Kemudian diolah berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.

2.         Kuesioner (questionnaires)

Menurut Sugiyono (2013:142), kuesioner merupakan teknik pengumpulan

data yang dilakukan dengan cara memberi seperagkat pertanyaan atau pernyataan

tertulis kepada responden untuk dijawabnya.

Kuesioner didistribusikan secara personal, sehingga peneliti dapat berhubungan

langsung dengan responden dan memberikan penjelasan seperlunya dan kuesioner

dapat langsung dikumpulkan setelah selesai dijawab oleh responden. Kuesioner

didistribusikan langsung kepada pegawai pajak divisi pelayanan dan penagihan

pada KPP Pratama. Kemudian diolah berdasarkan kriterita yang telah ditentukan.
Skala yang digunakan dalam tingkat pengukuran adalah skala interval atau

sering disebut skala LIKERT yaitu skala yang berisi 5 tingkat preferensi jawaban.

Menurut Ghozali (2011:47), skala likert dikatakan interval karena pernyataan

sangat setuju mempunyai tingkat atau prefensi yang “lebih tinggi” dari setuju dan

setuju “lebih tinggi” dari ragu-ragu.  Masing-masing jawaban dari 5 alternatif

jawaban yang telah tersedia diberi bobot nilai (skor) sebagai berikut:

Tabel 3

Pengukuran Terhadap Variabel Independen

No. Jawaban Responden Skor

1. Sangat Setuju (SS) 5

2. Setuju (S) 4

3. Ragu-Ragu (RR) 3

4. Tidak Setuju (TS) 2

5. Sangat Tidak Setuju (STS) 1

I.          Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan penulis adalah berupa alat tulis,

jaringan internet, printer, laptop dan perekam suara yang digunakan untuk

mengumpulkan data dan mengolah data ataupun informasi.

J.         Teknik Analisis Data


Untuk menganalisis apa yang telah dilakukan dalam penelitian, penulis

menggunakan teknik analisis deskriptif, yang terdiri atas:

1.         Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya

pelanggaran-pelanggaran yang terdapat pada model regresi linier sederhana yang

telah dibuat. Uji asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,

variabel pengganggu dan residual memiliki distribusi normal. Salah satu cara

untuk melihat normalitas residual adalah dengan melihat normal probability plot

yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi

normal akan membentuk satu garis lurus diagonal dan ploting data residual akan

dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data residual normal, maka

garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonal

(Ghozali, 2011:160). Pada prinsipnya normalitas dapat dideteksi dengan melihat

penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik atau dengan melihat

histogram dari residualnya. Dasar pengambilan keputusan (Ghazali, 2011:163):

1)        Jika data menyebar disekitar garis diagonal atau grafik histogramnya

menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi

normalitas.
2)        Jika data menyebar jauh dari diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis

diagonal atau grafik histogram tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka

model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.

Uji statistik lain yang dapat digunakan untuk menguji normalitas residual adalah

uji statistik non parametik Kolmogorov-Smirnov (K-S). kriteria pengujian uji

Kolmogorv-Smirnov adalah (Priyatno, 2013:38) :

a)        Jika nilai signifikansi > 0,05, maka data berdistribusi secara normal.

b)        Jika nilai signifikansi < 0,05, maka data tidak berdistribusi secara normal.

b. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi

terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan

yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap,

maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas.

Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi

heteroskedastisitas (Ghozali, 2011:139).

Deteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilihat dengan ada tidaknya

pola tertentu pada grafik scaterplot. Jika ada pola tertentu maka mengindikasikan

telah terjadi heteroskedastisitas. Tetapi jika tidak ada pola yang jelas serta titik-

titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi

heteroskedastisitas (Ghozali, 2011:175).

c. Uji Multikolonieritas
Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang

baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Jika variabel

independen saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak orthogonal.

Variabel orthogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama

variabel independen sama dengan nol. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya

multikolonieritas di dalam model regresi dapat dilihat dari:

1)        Nilai Tolerance/lawannya

2)        Variance Inflation Factor (VIF)

Nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tertinggi (karena VIF =

1/Tolerance), nilai cut off yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya

multikolonieritas adalah nilai tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10

dan tidak ada multikolonieritas dalam model regresi jika nilai tolerance > 0,10

atau sama dengan nilai VIF < 10 (Ghozali, 2011:105).

2.         Uji deskriptif Kualitatif

Deskriptif kualitatif adalah teknik analisis yang dilakukan secara

triangulasi (gabungan) dan hasil penelitiannya lebih menekankan makna daripada

generalisasi (Sugiyono, 2010:9). Analisis deskriptif kualitatif dilakukan pada

gambaran kewajiban kepemilikan NPWP dan penagihan pajak pada objek

penelitian di KPP Pratama di wilayah Jakarta Selatan.

3.         Analisis Deskriptif Kuantitatif


Deskrtiptif kuantitatif adalah teknik analisis yang dilakukan dengan cara

mengumpulkan data, mengklasifikasikan kemudian menganalisis serta

menginprestasikannya dengan menggunakan instrumen penelitian yang bertujuan

untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2010:8). Metode yang

digunakan untuk analisis data adalah :

a.         Regresi Linear Berganda

Analisis regresi linear berganda adalah hubungan secara linear antara dua atau

lebih variabel independen (X1, X2,….Xn) dengan variabel dependen (Y). Analisis

ini untuk memprediksikan nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel

independen mengalami kenaikan atau penurunan dan untuk mengetahui arah

hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-

masing variabel independen berhubungan positif atau negatif (Priyatno,

2013:116).

Berdasarkan hubungan antara variabel kewajiban kepemilikan NPWP (X 1),

pemeriksaan pajak (X2), penagihan pajak (X3) dan penerimaan pajak (Y), maka

akan digunakan model analisa regresi linier berganda adalah sebagai berikut:

Y = a + b1X1 + b2 X2 + e

Keterangan :

Y : penerimaan pajak

a : konstanta
b1 : Koefisien regresi (menunjukkan angka peningkatan atau penurunan variabel

dependen yang didasarkan pada hubungan nilai variabel independen)

X1 : variabel kewajiban kepemilikan NPWP

X2 : variabel penagihan pajak

e   : error

b.         Uji Koefisien Determinasi (R²)

Koefisien determinasi (R²) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan

model variabel independen dalam menerangkan variasi variabel dependen.

Dalam output SPSS, koefisien determinasi terletak pada Model Summaryb. Jika

nilai R² = 0 maka tidak ada sedikitpun presentase pengaruh yang diberikan

variabel independen terhadap variabel dependen. Sebaliknya R² = 1 maka

presentase pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap variabel

dependen adalah sempurna atau variasi variabel independen yang digunakan

dalam model menjelaskan 100% variabel variasi variabel dependen. Adjusted R

Square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan. Menurut Santoso (2001)

bahwa untuk regresi dengan lebih dari dua variabel independen

digunakan Adjusted R² sebagai koefisisen determinasi. Sedangkan Standard Error

of the Estimate adalah suatu ukuran banyaknya kesalahan model regresi dalam

memprediksi nilai Y (Priyatno, 2013:120).

b.         Koefisien Korelasi (Uji r) dan Koefisien Determinasi (Uji r2)

1)        Koefisien Korelasi
Menurut suliyanto, 2011:15, analisis korelasi digunakan untuk mengetahui derajat

huungan linier antara satu variabel dengan variabel lain. Koefisien korelasi adalah

nilai yang menunjukan kuat/tidaknya hubungan linier antar dua variabel.

Koefisien korelasi biasa dilambangkan dengan huruf r dimana nilai r dapat

bervariasi dari -1 sampai +1. Nilai r yang mendekati -1 atau +1 menunjukan

hubungan yang kuat antara dua variabel tersebut dan nilai r yang mendekati 0

mengindikasikan lemahnya hubungan antara dua variabel tersebut. Sedangkan

tanda + (positif) dan  – (negatif) memberikan informasi mengenai arah hubungan

antara dua variabel tersebut. Jika bernilai + (positif) maka kedua variabel tersebut

memiliki hubungan yang searah. Dalam arti lain peningkatan X akan bersamaan

dengan peningkatan Y dan begitu juga sebaliknya. Jika bernilai – (negatif) artinya

korelasi antara kedua variabel tersebut bersifat berlawanan. Peningkatan nilai X

akan dibarengi dengan penurunan Y.

Koefisien korelasi pearson atau Product Moment  Coefficient of

Correlation adalah nilai yang menunjukan keeratan hubungan linier dua variabel

dengan skala data interval atau rasio. Rumus yang digunakan adalah:

Bila koefisien korelasi semakin mendekati angka 1 berarti korelasi tersebut

semakin kuat, tetapi jika koefisien tersebut mendekati angka 0 berarti korelasi

tersebut semakin lemah.

2)        Koefisien Determinasi (Uji r2)

Menurut Suliyanto (2011:17), koefisien determinasi dengan simbol

r2 merupakan besarnya kontribusi variabel bebas terhadap variabel tergantungnya.


Semakin tinggi koefisien determinasi, maka semakin tinggi variabel bebas dalam

menjalankan variasi perubahan pada variabel tergantungnya.

c.         Uji Hipotesis

Uji hipotesis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah uji t

(uji parsial) dan uji F (uji simultan). Adapun uji hipotesis tersebut adalah sebagai

berikut:

1)        Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel

independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh

secara bersama-sama terhadap variabel dependen/terikat. Hipotesis nol (H0) yang

hendak diuji, apakah semua parameter dalam model sama dengan nol, atau:

H0 : b1 = b2 =   ……   =   bk   =   0

Artinya  apakah  semua  variabel  independen  bukan  merupakan

penjelas         yang   signifikan   terhadap   variabel   dependen.   Hipotesis

alternatifnya (HA) tidak semua parameter secara simultan sama dengan nol, atau:

Ha : b1 ≠ 2 ≠b……..k≠   0b

Artinya, semua variabel independen secara simultan merupakan penjelas yang

signifikan terhadap variabel dependen (Ghozali, 2011:98).

Artinya, semua variabel independen secara simultan merupakan

penjelas  yang  signifikan terhadap  variabel  independen. (Ghozali,2011:98).


Untuk menguji hipotesis ini digunakan statistik F dengan kriteria pengambilan

keputusan sebagai berikut:

1)        Quick look: bila nilai F lebih besar dari pada 4 maka Ho dapat ditolak pada

derajat kepercayaan 5%. Dengan kata lain kita

menerima  hipotesis           alternatif,   yang   menyatakan   bahwa   semua   variab

el independen  secara  serentak  dan  signifikan  mempengaruhi  variabel

dependen.

2)        Membandingkan nilai F hasil perhitungan dengan nilai F menurut tabel.

Bila nilai Fhitung lebih besar dari pada nilai Ftabel, maka Ho  ditolak dan menerima

Ha (Ghozali, 2011:98).

b.         Uji Signifikan Parameter Individual (Uji Statistik t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel

penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel

dependen. Cara melakukan uji t adalah sebagai berikut:

1)        Quick look: bila jumlah degree of freedom (df) adalah 20 atau lebih, dan

derajat kepercayaan sebesar 5%, maka Ho yang menyatakan bi = 0 dapat ditolak

bila nilai t lebih besar dari 2 (dalam nilai absolut). Dengan kata lain kita menerima

hipotesis alternatif, yang menyatakan bahwa suatu variabel independen secara

individual mempengaruhi variabel dependen.

2)        Membandingkan nilai statistik t dengan titik krisis menurut tabel. Apabila

nilai statistik thasil perhitungan lebih tinggi dibandingkan nilai ttable, kita menerima
hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa suatu variabel independen secara

individual mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2011:98).

Uji hipotesis dilakukan dengan uji t untuk menguji signifikansi koefisien regresi

dirumuskan sebagai berikut:

a.         Apabila thitung > ttabel atau probabilitas < 0,05 berarti Ha diterima atau

Ho ditolak, artinya kewajiban kepemilikan NPWP dan penagihan pajak

berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan pajak pada Kantor

Pelayanan Pajak Pratama diwilayah Jakarta Selatan.

b.          Apabila thitung < ttabel atau probabilitas > 0,05 berarti Ho diterima atau

Ha ditolak, artinya kewajiban kepemilikan NPWP dan penagihan pajak tidak

berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan pajak pada Kantor

Pelayanan Pajak Pratama diwilayah Jakarta Selatan.


DAFTAR PUSTAKA

Amanah, Desty Fitria. Dan Akie Rusaktiva Rustam. (2015). Pengaruh Sosialisasi

Perpajakan, Kepemilikan NPWP, Dan Pemeriksaan Pajak Terhadap

Penerimaan Pph Orang Pribadi Pengusaha (Studi KPP Pratama Malang

Selatan).

Jurnal Vol 3 No 2.Hlm 1-18. Amelia, Rizzky. (2014). Pengaruh Kewajiban

Kepemilikan NPWP, Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Pajak Terhadap

Penerimaan Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta

Tanah Abang Satu Jakarta Pusat. Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Mercu Buana.

Diana, Anastasia Dan Lilis Setiawati. (2010). Perpajakan Indonesia Edisi Kedua.

;Yogyakarta

Andi. Ghozali, Imam. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program

SPSS Semarang; Badan Penerbitan Universitas Diponegoro. Herryanto,

Marisa dan Agus Arianto Toli, (2013), Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak,

Kegiatan Sosialisasi Perpajakan, dan Pemeriksaan Pajak terhadap

Penerimaan Pajak Penghasilan; di KPP Pratama Surabaya Sawahan. Tax

and AccountingReview.Vol.1, No.1. Hlm 125-135,

Listyaningtyas, Ellya Florentin (2012). Efektivitas Pelaksanaan Pemeriksaan

Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Negara dari Sektor Pajak


(Studi kasus di KPP Tulungagung; Jurnal Akuntansi Unesa Vol. 1 No. 1.

Hlm 1-20

Mardiasmo.(2011). Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta

Andi. Masruroh, Siti Dan Zulaikha. (2013). Pengaruh Kemanfaaatan Npwp,

Pemahaman Wajib Pajak, Kualitas Pelayanan, Sanksi Perpajakan

Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Empiris Pada Wp Op; Di

Kabupaten Tegal). Diponegoro Journal Of Accounting Vol.2 No. 4. Hlm

1-15.

Nursheha, Riza Alhusna. (2014). Faktor-Faktor Yang

MempengaruhiPenerimaan Pajak. Accounting Analysis Journal 3 (1)

ISSN 2252-6765. Hlm 53-61.

Pangestu, Ferdyant Dan Oman Rusmana. (2012). Analisis Faktor-Faktor Yang

Berpengaruh Terhadap Tax Compliance Penyetoran Spt Masa (Survei

Pada Pkp Yang Terdaftar Di KPP Pratama Purwokerto). Simposium

Nasional Akuntansi 15 Banjarmasin. 83

Rahman, Abdul (2010). Panduan Pelaksanaan Administrasi Perpajakan Untuk

Karyawan, Pelaku Bisnis dan Perusahaan. Bandung : Nuansa.

Rahmawati, Fajar Nur dkk.(2014). Pengaruh Pemeriksaan Dan Kepatuhan

Wajib Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Badan Di Surakarta.Jupe

Uns, Vol 3, No 1. Hlm 72-82.


Santoso, Slamet. (2015). Penelitian Kuantitatif Metode dan Langkah Pengolahan

Data. Ponorogo: Umpo Press.

Sari, Yosi Widia. (2015). Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan,

Pemeriksaan Pajak, Dan Penagihan Pajak Terhadap Peningkatan

Penerimaan Pajak Penghasilan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama

Tampan Kota Pekanbaru.Jom Fekon Vol. 2 No. 2. Hlm 1-13.

Simanungkalit, Adelina Dkk. (2015). Pengaruh Kewajiban Kepemilikan

NPWP,Pemeriksaan Pajak Dan Penagihan Pajak Terhadap Penerimaan

Pajak (Studi Kasus Pada KPP Pratama Bitung). Jurnal Vol 10, No 4. Hlm

1-9.

Suandi, Erly. (2011). Hukum Pajak. Jakarta : Salemba Empat.

Subagiyo,Eviany Kusmanasari dkk. (2014). Analisis Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Wajib Pajak Dalam Merespon Surat Himbauan Terhadap

Kepatuhan Penyampaian Surat Pemberitahuan (Spt) Tahunan (Studi Pada

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu). Jurnal Perpajakan Vol. 3 No. 1.

Hlm 1-6.

Sugiyono.(2013). Statistika untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta.

Sukirman, (2011). Pengaruh Manajemen Pemeriksaan Pajak terhadap

Penerimaan Pajak. Analisis Manajemen. Vol.5, No.1. Hlm 87-101.

Suryarini, Trisni Dan Tarsis Tarmudji. (2012) Pajak Indonesia.

Yogyakarta: Graha Ilmu.


Sutrisno, Budi Dkk. (2016). Pengaruh Kewajiban Kepemilikan NPWP,

Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak, Surat Paksa Pajak Dan Kesadaran

Wajib Pajak Terhadap Penerimaan Pajak (Pada Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Di Kota Semarang). Journal Of Accounting, Volume 2 No.2.

Hlm 1-20.

Syahab Dan Gisijanto (2008).Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap

Penerimaan Pajak. Jurnal Ekonomi Bisnis Vol. 13 No.2. Hlm 137-152

Anda mungkin juga menyukai