Anda di halaman 1dari 7

Nama : Dara Anggelista

NPM : 1731030013

Prodi/Kelas : IAT/A

MU’TAZILAH

Materi :

1. Pengertian Mu’tazilah
2. Sejarah Singkat Timbulnya Mu’tazilah
3. Sikap Mu’tazilah Terhadap Al-Qur’an
4. Faktor Penyebab Penyimpangan Penafsiran
5. Contoh-Contoh Penafsiran Mu’tazilah
6. Bantahan Terhadap Penafsiran Mu’tazilah Yang Menyimpang
7. Dampak Adanya Penafsiran Mu’tazilah Dalam Tafsir

Pembahasan :

1. Pengertian Mu’tazilah

Kata Mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu yang aslinya adalah yang berarti
memisahkan atau menyingkirkan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala
mempunyai arti yang sama dengan asalnya. Penambahan hamzah dan huruf ta pada kata
I’tazala untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang berarti terpisah, tersingkir atau
terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir
atau terusir.

Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang


lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
khawarij dan murji’ah.1
1
Harun Nasution. Teologi Islam. 2008. Hlm 40

7
2. Sejarah Singkat Timbulnya Mu’tazilah

Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah muncul di kota Basrah (Iraq) pada abad ke-2
hijriah, tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan
dan Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Basrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-
Ghozzal. Ia berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir
yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih
berstatus mukmin.

Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan
guru dan akhirnya golongan mu’tazilah pun di nisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok
mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya, kemudian para petinggi
mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-
Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli
kalam yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah.2

Kata mu’tazilah sendiri tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri,
salah seorang Imam dikalangan tabi’in . Asy-Syihristani berkata : Suatu hari datanglah
seorang laki-laki kepada Hasan Al-Bashri seraya berkata : “Wahai Imam dalam agama,
telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Dan dosa
tersebut di yakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari
agama, mereka adalah Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran
dengan pelaku dosa besar, dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan.
Karena dalam mazhab mereka suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan
kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak
berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah. Bagaimanakah pendapatmu
dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip dalam beragama.

Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak, tiba-tiba Washil bin Atha’ berseloroh :
“Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan

2
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya, (UI Press, 1986) Jilid II Hlm 36

7
ia berada pada suatu keadaan diantara dua keadaan tidak mukmin dan tidak kafir.” Lalu
ia duduk berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil mengatakan
pendapatnya kepada murid-murid Hasan al-Bashri. Maka Hasan al-Bashri berkata : "‫اعتزل‬
‫ا واصل‬LLّ‫“ "عن‬Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para
pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah. Lalu pertanyaan itu dijawab oleh Hasan al-
Bashri dengan jawaban ahlu sunnah wal jamaah “Sesungguhnya pelaku dosa besar adalah
seorang mukmin yang tidak sempurna imannya, karena keimanannya, ia masih di sebut
mukmin dan karena dosanya ia disebut fasiq yakni keimanannya menjadi tak sempurna3

Versi lain di kemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin
Da’mah pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majlis Amr bin
Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan al-Bashri. Setelah mengetahui bahwa
majelis tersebut bukan majelis Hasan al-Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat
seraya berkata “ini kaum mu’tazilah”. Sejak saat itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah. Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan
Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan al-
Bashri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang
berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat di antara kafir
dan mukmin (al manzilah bain al-manzilataini)4

3. Sikap Mu’tazilah Terhadap Al-Qur’an

Masalah Khalqul Quran, pada waktu itu Khalifah Makmun menganjurkan kepada
para ulama untuk mengikuti pendapat kaum mu’tazilah bahwa al-quran itu adalah
makhluk dan bukan qadim.5

Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Quran itu baru (diciptakan); Al-Quran adalah


manifestasi dari kalam Tuhan; Al-Quran terdiri dari rangkaian huruf, kata dan bahasa
yang satunya mendahului yang lainnya.6

3
Ibid, Hlm 47
4
Abdul Rozak, Anwar, Rosihoa. Ilmu Kalam, cet iv, (Bandung : CV Pustaka Setia 2009). Hlm 78
5
A. Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. (Jakarta : PT. ALHUSNA ZIKRA, 1982) Hlm 375
6
Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010) Hlm 81

7
Ciri khas paling khusus dari mu’tazilah ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya
kemampuan akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukumi berbagai hal.
Mereka merupakan kelompok yang mirip dengan Descrates dari kalangan kaum
rasionalis modern. Mereka tidal mengingkari naql (teks Al-Quran dan Hadits) tetapi
tanpa ragu mereka menundukkan naql kepada hukum akal.7

Ayat-ayat Al-quran yang dipakai untuk berdalil dapat diketahui kebenarannya


lewat akal, sehingga menurut Ibn Taymiah meskipun dalil tersebut secara implisit disebut
dengan dalil naqli, tetapi secara explisit adalah dalil aqli karena informasi yang
disampaikan al-quran dapat dibuktikan dengan pembenaran akal, bahkan beberapa
analogi yang disampaikan al-quran merupakan bukti nyata diperlukanya akal dalam
beragama.8

Meskipun metode rasional sangat dominan di kalangan Mu’tazilah, namun


sebagai teolog islam tokoh-tokohnya juga tidak melupakan teks-teks wahyu (Al-Quran
dan Hadits) dalam memformulasikan pendapat-pendapatnya. Al-Quran dan Hadits adlah
sumber pokok kepercayaan yang meeka yakini kebenarannya. Hanya saja, sesuai metode
rasional yang mereka pegang teguh, yang sangat menjunjung tinggi akal, ayat-ayat al-
quran yang di terima akal, mereka jadikan sebagai pendukung pendapat-pendapat
mereka; sedangkan yang tidak demikian mereka takwilkan secara rasional atau
dilewatkan begitu saja.9 Begitu pula terhadap hadis yang sesuai dengan akal diterima,
tetapi yang dianggap tidak sesuai maka di takwilkan, malah di tolak sebagai hadis
meskipun dianggap hadits shahih oleh ahli hadits10

4. Faktor Penyebab Terjadinya Penyimpangan Penafsiran

Sudah diuraikan di atas bahwa mu’tazilah adalah sekte yang menafsirkan al-Quran
diambang batas kewajaran. Berikut faktor-faktor penyebab adanya penyimpangan dalam
menafsirkan Al-Quran yang di lakukan oleh kaum mu’tazilah:

7
Ibrahim Madkour. Aliran dan Teori Filsafat Islam. (Jakarta : BUMI AKSARA, 1995) Hlm 48
8
Andi Aderus. Karakteristik Pemikiran Salafi. (Jakarta : KEMENTRIAN AGAMA RI, 2011)
Hlm 72
9
Ali Syami. Manhaj Al-Bahts ‘ind Mufakkir al-islam, (Mesir : Dar al-Fikr, 1947) Hlm 110
10
Zurkani Jahja. Teologi al-Ghazali, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996) Hlm 34-35

7
a. Para mufassir mu’tazilah berusaha menafsirkan al-Quran berdasarkan makna yang
di mengerti olehnya semata, tanpa memperhatikan siapa yang berbicara dengan
(menggunakan) Al-Quran, kepada siapa Al-Quran diturunkan dan siapa pula yang
dibicarakan dalam Al-Quran.11
b. Mereka lebih senang menafsirkan ayat-ayat yang dapat di terima oleh akal dan
pikiran semata dan menyesuaikan dengan ideology mereka.
c. Tidak bersandar pada Qira’at yang mutawatir. Terkadang Mu’tazilah merubah
nash sebagian ayat al-Quran supaya sesuai dengan pandangan mereka, meskipun
bertentangan dengan Qiraat yang benar.

5. Contoh Penafsiran Mu’tazilah

Berikut contoh penafsiran ayat oleh kaum Mu’tazilah dalam Qur’an Surah al-
Qiyamah ayat 22-23.

(٢٣ ) ‫ة‬ٞ ‫َاظ َر‬


ِ ‫ (إِلَ ٰى َربِّهَا ن‬٢٢ ) ٌ‫ض َرة‬
ِ ‫ذ نَّا‬Lِٖ‫ُوه يَ ۡو َمئ‬
ٞ ‫ُوج‬

Maksudnya:
Pada hari akhirat itu, muka (orang-orang yang beriman) berseri-seri.
Melihat kepada Tuhannya.

Kaum Mu’tazilah beranggapan bahwa kata nazirah pada ayat di atas bukanlah
melihat dengan menggunakan mata kepala, seperti keyakinan yang dipunyai oleh ahli
sunnah wal jama’ah. Mu’tazilah mencoba memberikan tafsiran lain terhadap kata
tersebut. Supaya sesuai dengan pandangan mereka, maka kata il pada ayat itu tidak
mereka maknai dengan “kepada” sebagaimana yang dikenal dalam bahasa arab pada
umumnya. Tetapi kata itu mereka maknai dengan nikmat yang berarti karunia. Kata ila
menurut mereka adalah bentuk mufrad dari kata al-ala’ yang berarti nikmat yang banyak.

Muhammad Husayn al-Dhahabi, al-ittijahat al-Munharifah fi tafsir al-Quran al-Karim,


11

Dawafi’uha wa Daf’uha, (Kairo, Dar al-I’tisam, 1978) hlm 14

7
Dengan demikian ayat ini bermakna : melihat nikmat tuhan mereka. Dalam hal ini
menurut al-Zahabi mereka menggunakan konsep taqdim atau ta’khir12

Menurut Al-Zahabi hal itu mereka lakukan untuk menyesuaikan makna ayat
tersebut dengan keyakinan mereka, bahwa Allah itu tidak dapat dilihat oleh manusia yang
ada di dunia dan di akhirat.

6. Bantahan Terhadap Penafsiran Mu’tazilah yang Menyimpang

Para ulama Mu’tazilah memang telah berhasil menulis kitab-kitab tafsir al-quran
yang berasaskan pandangan mazhab mereka. Akan tetapi kitab-kitab tafsir tersebut
banyak yang tidak lagi dapat di jumpai, disebabkan perpustakaan islam pada umumnya
menolak keberadaan tafsir mereka. Diantara mufassir tersebut yaitu:

a. Abu Bakar Abdurrahman bin Kisan al-Ashom (wafat 240 H).


Dia adalah ulama Mu’tazilah yang paling awal yang telah menulis tafsir al-
Qur’an. Akan tetapi kitab tafsir itu tidak sampai kepada masa kini.
b. Muhammad bin Abdul Wahab bin Salam yang juga dikenal dengan abi Ali al-
Jubaci. (wafat 303 H) dia adalah salah seorang pemuka Mu’tazilah yang
sangat menguasai falsafah dan ilmu kalam. Al-Suyuti telah membahasnya
dalam thabaqat al -mufassirin.
c. Abu al Qasim Abdullah bin Ahmad al-Balkhi al-Hanafi atau yang lebih
masyhur dengan sebutan al-Kacby al-Mu’tazilah (wafat tahun 319 H). Abu al
Qasim telah membuat sebuah kitab tafsir berjumlah 12 jilid. Akan tetapi
hingga masa kini tafsir ini tidak pernah ditemukan.
d. Abu al-Hasyim Abdul Salām bin Abi Ali al-Jubāc (wafat tahun 321H).13
Inilah beberapa ulama tafsir Mu’tazilah yang telah berusaha menafsirkan al-
Qur’an dengan cara mereka tersendiri.

7. Dampak adanya Penafsiran Mu’tazilah dalam Tafsir

12
Husain al-Zahaby, 2003, Jilid 1. Hlm 13
13

7
Telah diuraikan di atas mengenai penafsiran yang dilakukan kaum mu’tazilah,
dapat kita ketahui dampak yang diakibatkan adanya penafsiran yang dirasa tidak
wajar sebagai berikut:

a. Menimbulkan pro dan kontra antara mufassir tentang kebeneran penafsiran


yang mereka lakukan
b. Penafsiran yang mereka lakukan cenderung menyesuaikan dengan keinginan
dan pemahaman golongan saja sehingga tidak bisa dipakai sebagai rujukan.
c. Pola penafsiran meraka yang bertumpu pada akal atau rasionalitas
memberikan peluang kesalahan besar karena tidak semua ayat-ayat al-Quran
bisa dipahami secara rasional.

Anda mungkin juga menyukai