10 - Menjaga Harta Tetap Halal
10 - Menjaga Harta Tetap Halal
Ketentuan Rezeki
Rezeki adalah ketentuan Allah. Dia telah menentukan kadarnya bagi masing-masing orang,
sebagaimana disabdakan Nabi bahwa rezeki itu telah ditetapkan sejak ditiupkannya ruh ke
dalam janin dalam kandungan.
Tugas seorang hamba adalah berusaha semaksimal mungkin menyongsong sampainya bagian
rezeki tersebut padanya. Begitulah Islam mengajarkan, agar setiap muslim memiliki etos kerja
yang tinggi dalam mencari rezeki dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan Allah
SWT.
Allah SWT sangat menghargai orang-orang yang bekerja mencari harta yang halal. Nabi
Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya Allah itu mencintai mu’min yang bekerja” (HR.
Thabrani & Baihaqi).
Dalam hadits lain disebutkan, “Siapa yang di waktu malam merasakan payah sebab kerja
tangannya (di waktu siang), maka di waktu malam itulah terampuni dosa-dosanya”. (HR.
Thabrani & Baihaqi).
Islam pun mengingatkan umatnya bahwa harta yang ia dapatkan dari bekerja hakikatnya adalah
amanah (57: 7) dan ujian (8: 28) dari Allah. Di akhirat kelak mereka akan ditanya tentang
hartanya itu; bagaimana ia diperoleh dan kemana ia dibelanjakan.
Oleh karena itu manusia harus memiliki pensikapan yang benar kepada harta; mereka
hendaknya sadar bahwa harta hakikatnya adalah sarana hidup dan bekal ibadah. Tidak boleh
sama sekali didapatkan dengan cara yang bathil, “Mencari harta yang halal itu wajib bagi
setiap orang Islam” (HR. Thabrani), demikian sabda Nabi.
Dalam hal bekerja (mencari harta) ada dua aturan pokok yang tidak boleh diabaikan:
1. Bekerja mencari harta tidak boleh membuat kita lalai dari mengingat Allah (63: 9)
2. Pekerjaan yang dilakukan hendaknya sesuai dengan syariat Allah, yakni menjauhi unsur
riba (QS. 2: 275-279), judi dan arak (2: 219; 5: 90), kolusi (83: 1-5), pencurian (5: 38),
dlsb.
Suatu saat Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya, “Akan datang suatu masa kepada
manusia, yang didalamnya manusia tidak kuasa mencari penghidupan melainkan dengan cara
maksiat, hingga seseorang berani berdusta dan bersumpah (palsu). Maka apabila masa itu
telah datang, hendaklah kalian berlari.”
Seorang sahabat bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, kemanakah kami harus berlari?”
Rasulullah menjawab, “(Berlarilah) kepada Allah dan kepada kitab-Nya dan kepada sunnah
Nabi-Nya”.
Sekelumit percakapan yang dimuat dalam hadits riwayat Ad-Dailami tersebut di atas
mengisyaratkan kepada kita tentang suatu masa di mana jiwa manusia sudah begitu lemah dan
cengeng menghadapi kehidupan, sehingga tak kuasa mencari sumber ma’isyah (penghidupan)
kecuali dengan cara maksiat.
Dalam hadits lain Nabi saw menyebut kondisi mental seperti ini dengan sebutan al-wahn
(kelemahan jiwa), yakni bersarangnya penyakit hubbud dunya (cinta dunia) dan penyakit
karohiyatul maut (takut mati). Penyakit inilah yang menyebabkan banyak manusia menjadi
gelap mata, berpikiran sempit, dan tidak mau bekerja keras; ingin untung dari enteng tanpa
memperhatikan halal dan haram.
Walhasil, korupsi dan kolusi jadi membudaya; aksi tipu menipu semakin marak; perbuatan
menyelisihi agama—seperti zina, miras, judi, pornografi, pornoaksi—nyaris dianggap biasa.
Bahkan dianggap sah—tentu saja sah menurut hawa nafsu mereka; bukan sah menurut syariat
agama.
Maha Benar Allah dengan firman-Nya, ”Seandainya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu
mereka, benar-benar akan hancur langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara
keduanya…” (QS. 23: 71)
Mencari maisyah dengan cara maksiat jelas harus dihindari karena sangat merugikan, bukan
hanya merugikan orang lain tapi juga merugikan diri sendiri. Kerugian-kerugian tersebut
diantaranya adalah:
Do’a tidak akan terkabul, amalnya tidak akan diterima dan terancam jadi penghuni Neraka.
Sa’ad bin Abi Waqash pernah meminta dido’akan Nabi agar do’a-do’anya senantiasa
dikabul. Maka Nabi bersabda, ”Hai Sa’ad, perbaiki makananmu, tentu do’amu akan
dikabulkan. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam kekuasaan-Nya,
sesungguhnya hamba yang memasukkan makanan haram di dalam mulutnya tidak
akan diterima amalnya selama empat puluh hari. Dan siapa saja hamba yang
dagingnya tumbuh dari barang haram, neraka lebih utama baginya!” (HR. Thabrani).
Tidak dipedulikan Allah dari pintu yang mana ia akan dimasukkan ke dalam Neraka
Asal tahu saja, neraka itu ada beberapa pintu, dan setiap pintu memiliki kadar siksaan
yang berbeda. Sedangkan orang yang tidak memperhatikan halal dan haram akan
dimasukkan ke dalam neraka tanpa dipedulikan melalui pintu yang mana.
Diremehkan Setan
Setan meremehkan orang yang makan dari barang yang haram, karena perbuatan itu
sudah cukup memasukkannya ke dalam neraka dan ibadah yang dilakukannya tidak
bernilai.
”Sesungguhnya jika ada seseorang yang beribadah, setan akan berkata kepada kawan-
kawannya, ’Lihatlah dari mana makanannya’. Jika makanannya berasal dari yang
haram, maka setan berkata, ’Biarkan dia berpayah-payah dan bersungguh-sungguh
(beribadah), sungguh telah cukup bagi kalian dirinya itu. Sesungguhnya kesungguhan
beribadahnya beserta makan barang haram tidak akan membawa manfaat”. (HR.
Muslim)
Ikhtiar Batin
Ikhtiar Lahir
Jadi, kita sebagai hamba yang beriman harus berupaya mencari harta dengan jalan halal yang
diridhoi Allah SWT. Ini tiada lain adalah agar keselamatan dan keberkahan selalu tercurah
kepada kita baik di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Allah tidak akan aniaya kepada
hamba-hamba-Nya yang berupaya membersihkan diri.