Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No.

2 (2019): 338-348
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PIDANA TERHADAP


PELANGGARAN RAHASIA MEDIS

Ridwan *
* Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sebelas Maret
Korespondensi: ridwanozil16@yahoo.com
Naskah dikirim: 24 Oktober 2018
Naskah diterima untuk diterbitkan: 13 Januari 2019

Abstract
Medical secrets are the patient's rights. This medical secret is a moral obligation
based on moral norms derived from Hippocrates' oath. This secret is also known in
various professions including advocates, religious scholars and priests, notaries and
so on, but the medical profession is the oldest profession that is obliged to keep
medical secrets. Maintaining the secret of medicine is an obligation for the medical
profession in carrying out its duties and practices as a respect for human dignity.
Medical secrets are regulated in international law, especially the law on human
rights, Declaration of Human Rights and the 1945 Indonesian Constitution and more
specifically in Article 48 of Law Number 29 of 2004 concerning Medical Practices.
Medical secrets are not absolute because they can be opened in certain circumstances
according to the laws and regulations. If this medical secret is leaked, it can be held to
account for the violator, especially Article 322 of the Criminal Code (KUHP).
Keywords: Secret Medicine, Criminal law accountability, Health Service.

Abstrak
Rahasia kedokteran atau rahasia medis merupakan hak pasien, Rahasia kedokteran ini
merupakan kewajiban moril berdasarkan norma kesusilaan yang berasal dari sumpah
Hippokrates. Rahasia ini dikenal juga dalam berbagai profesi diantaranya advokat,
alim ulama ustat dan pastor, notaris dan sebagainya, tetapi profesi kedokteran adalah
profesi tertua yang diwajibkan menjaga rahasia kedokteran. Menjaga rahasia
kedokteran merupakan kewajiban bagi profesi kedokteran dalam menjalankan tugas
dan praktiknya sebagai penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Rahasia
kedokteran diatur dalam hukum Internasional terutama hukum tentang hak asasi
manusia Declaration of Human Rights dan UUD 1945 dan lebih khusus lagi dalam
Pasal 48 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran. Rahasia
kedokteran tidak bersifat absolut karena dapat dibuka dalam keadaan tertentu sesuai
peraturan perundang-undangan. Apabila rahasia kedokteran ini dibocorkan dapat
dimintai pertanggungjawaban hukum bagi pelanggarnya khususnya Pasal 322 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kata Kunci: Rahasia Kedokteran, pertanggungjawaban hukum Pidana, Pelayanan
Kesehatan.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.2007
Pertanggungjawaban Hukum Pidana, Ridwan 339

I. PENDAHULUAN
Menjaga kerahasiaan kedokteran menjadi kewajiban profesi kedokteran dalam
bidang pelayanan kesehatan sesuai sumpah Hippokrates yang menjadi dasar sumpah
dokter diseluruh dunia.1 Kewajiban ini bukan saja merupakan kewajiban profesi
melainkan juga kewajiban moril berdasarkan norma kesusilaan yang menjadi
pegangan bagi dokter sejak dahulu kala yang menyatakan “segala sesuatu yang kulihat
dan kudengar dalam melakukan praktikku akan aku simpan sebagai rahasia”.2
Kewajiban ini, sebagai bentuk penghargaan terhadap kerahasiaan ini, selain
dalam sumpah Hippokrates, kewajiban menyimpan rahasia medis ini juga terdapat
pada: Declaration of Geneve suatu sumpah Hippokrates yang di mordenisasi dan di
Introduksikan oleh Medical Association yang berbunyi: ”I will respect the secrets
which are confided in me, even after the patient has died”.3
Rahasia kedokteran merupakan hak asasi manusia hak atas privacy yang harus
dijaga sebagai bentuk penghormatan harkat dan martabat manusia serta hak
konstitusional. Dalam pembukaan Undang-Undang 1945 dengan tegas dicantumkan
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam “Declaration of Human Rights”
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB, 1948) dengan jelas dirumuskan HAM yang antara
lain berbunyi sebagai berikut. (1) Setiap orang dilahirkan merdeka dan memiliki hak
yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan kehendaknya bergaul satu sama lain
dalam persaudaraan. (2) manusia dihormati sebagai manusia tanpa memperhatikan
wilayah asal dan keturunannya.4
Wajib simpan rahasia kedokteran adalah kewajiban seorang dokter di sarana
pelayanan kesehatan pada saat melaksanakan praktik, misalnya praktik mandiri,
puskesmas, balai pengobatan, rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lain bahkan
setelah melakukan praktik, kewajiban menjaga rahasia ini juga tertera, Pasal 48
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran mengatakan
bahwa setiap dokter atau dokter gigi wajib menyimpan rahasia kedokteran.5 Kode etik
dalam praktik kedokteran di Indonesia di adopsi dari International Code of Medical
Ethics, sehingga hingga saat ini Privacy dan Confidentiality ini diatur baik dalam kode
Etik Kedokteran Indonesia.6
Setiap orang mempunyai rahasia yang tidak ingin ia ceritakan kepada siapapun,
rahasia ini akan disembunyikan sehingga tidak seorangpun mengetahuinya. Pasien
bersedia menceritakan segala hal-hal yang terkait dengan penyakitnya karena dia
percaya bahwa rahasia itu akan disimpan oleh dokter yang mengobati atau
merawatnya.7 Dari uraian pasienlah sang dokter akan mengetahui kira-kira penyakit
pasiennya. Sebelumnya dokter tidak mengetahui apa yang dideritanya. Jadi asal
mulanya rahasia medis adalah dari pasien itu sendiri yang menceritakan kepada
dokter. Dan sewajarnyalah bahwa pasien itu sendiri adalah yang dianggap sebagai
pemilik rahasia medis itu atas dirinya, bukanlah dokter yang diberitahukan dan
menarik kesimpulan tentang penyakit yang diderita pasiennya. Jadi apa yang dahulu

1
Widodo Tresno Novianto, Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan, (Surakarta:UNS Press, 2017),
hal. 113.
2
Ibid.
3
Guwandi, Rahasia Medis, (Jakarta: FKUI,2010), hal. 3.
4
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, “Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan”, (Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran, 2017), hal. 66.
5
Judi, Tata Kelola Dokumen Rekam Medis Sebagai Upaya Menjaga Rahasia medis di
Pelayanan Kesehatan, Vol. 5 No 1 2017, hal. 99.
6
C.B Kusmaryanto, Bioetika, (Yogyakarta:Buku Kompas, 2018), hal.165.
7
Ratna Winahyu Lestari Dewi, 2013, Wajib Simpan Rahasia Kedokteran versus Kewajiban
Hukum Sebagai Saksi Ahli, Vol XVIII No. 3 2013, hal. 138.
340 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

dinamakan “rahasia kedokteran” adalah rahasia medis pasien, bukanlah rahasia


dokternya.8
Pasien sangat percaya apa yang telah ia ceritakan semua penyakit yang di derita
kepada seorang dokter, yang ia anggap sebagia rahasia yang paling intim sekalipun
dokter tidak akan menceritakan lagi kepada pihak lain tanpa seizin pasien tersebut.
Konfidentialitas medis adalah prinsip menghormati otonomi dan prinsip tidak
merugikan, hanya pasien yang boleh menentukan siapa yang mendapat akses kepada
privasinya dan siapa tidak.9
Apa yang sudah dijelaskan tadi rahasia kedokteran mutlak milik pasien karena
asal mulanya rahasia itu pasienlah yang menceritakan kepada dokter. Oleh karena
istilah “kedokteran” maka tidak mengherankan apabila masih ada sebagaian dokter
yang mengaggap itu adalah rahasia dokternya.10
Hubungan antara dokter dan pasien didasarkan atas saling percaya, dengan dasar
percaya ini lah pasien mempercayakan menjaga rahasia yang ia titipkan kepada dokter,
Dengan menjaga kerahasiaan itu, akan timbul kepercayaan pasien kepada dokternya
sehingga terjalinlah hubungan kepercayaan dan demikian akan mempermudah
pelayanan kesembuhannya. Kalau pelayan kesehatan mudah membocorkan rahasia itu
kepada orang lain, pasien tidak akan percaya kepada dokter padahal informasi itu
sering sangat berguna bagi proses terapi. Hal ini akan mengakibatkan proses
penyembuhannya akan sulit dan pasien tidak akan datang lagi kepada pelayan
kesehatan yang bersangkutan. Darisinilah lalu muncul aturan mengenai menjaga
kerahasiaan itu.11
Kurang pengetahuan sebagian dokter tentang kepemilikan rahasia kedokteran
menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak pasien di tempat pelayanan kesehatan.
Apabila kewajiban rahasia kedokteran tersebut dilanggar, tentu menjadi pertanggung
jawaban yang berat bagi seorang dokter, baik secara moral maupun hukum. Akibat
hukum dari pelanggaran yang ditimbulkan dapat berupa berbagi sanksi hukum bagi
dokter yang melanggar kewajiban memegang rahasia kedokteran.12
Berdasarkan uraian diatas, fokus masalah bagaimana pertanggungjawaban hukum
Pidana jika terjadi pelanggaran terhadap rahasia medis

II. METODE PENELITIAN


Dalam penulisan ini digunakan metode yuridis normatif, Untuk memecahkan isu
hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya
diperlukan sumber-sumber hukum berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-
bahan hukum sekunder.13

III. PEMBAHASAN
Pertanggungjawaban hukum terhadap pelanggaran rahasia medis oleh dokter dan
tenaga kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan dapat diterapkan aturan Umum
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 322, ayat (1), yang berbunyi,
“barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan dan pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu diancam dengan
8
Guwandi, Op. Cit, hal. 10.
9
K. Bertens, 2015, Etika Boimedis, (Yogyakarta:Kanisius, 2015), hal. 164.
10
Guwandi, Op. Cit. hal. 65.
11
C.B Kusmaryanto, Bioetika, Op. Cit hal. 164
12
Antarielya Dewi, Tanggung Jawab hukum Dokter Dalam Menjaga Rahasia Kedokteran, 2017,
hal. 6.
13
Ibid, hal. 181
Pertanggungjawaban Hukum Pidana, Ridwan 341

pidana penjara selama sembilan bulan dan denda enam ratus rupiah (2) jika kejahatan
ini dilakukan terhadap seseorang tertentu, ia hanya dituntut atas orang itu.”14 Hal ini
dikarenakan rahasia kedokteran atau medis juga merupakan rahasia jabatan, yang
diatur dalam KUHP.
Berbagai sengketa yang terjadi terkait dokter atau tenaga kesehatan diselesaikan
melalui melalui Majelis Kehormatan Disiplin Dokter Indonesia (MKDKI) tetapi
MKDKI tidak punya kewenagan untuk memeriksa terhadap perkara Pidana. Tugas dan
keberadaan MKDKI hanya menerima pengaduan, memeriksa, dan memberikan sanksi
disiplin terhadap dokter yang melakukan pelanggaran sesuai ketentuan Pasal 66 ayat
(3) Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu
pengaduan sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak
setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang
berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.15 Pelanggaran
terhadap rahasia kedokteran atau rahasia jabatan, pertanggungjawaban hukum tidak
diatur atau tidak bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang kesehatan, akan tetapi pertanggungjawaban hukum pelanggaran rahasia medis
bersumber pada kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) aturan umum.
Penelitian ini juga ada relevansinya dengan penelitian yang dilakukan oleh Antarielya
Dewi dengan judul tanggung jawab hukum dokter dalam menjaga rahasia kedokteran
persamaan dalam penilitian ini pelanggaran terhadap rahasia kedokteran dapat
dimintai pertanggungjawaban Hukum pidana Khususnya Pasal 322 bagi yang
Pelanggarnya.16

1. Pelanggaran Hukum Pidana Terhadap Wajib Simpan Rahasia Kedokteran


Hukum Pidana adalah suatu pelanggaran akibat perbuatan atau tindakan yang
merugikan seseorang disertai sanksi yang telah dibentuk oleh pihak yang berwenang,
perbuatan atau tindakan ini sering terjadi di lingkungan masyarakat, ilmu pengetahuan
hukum pidana pada hakikatnya adalah ilmu yang mempelajari, baik ilmu hukum
pidana yang sedang berlaku (ius constitutum) maupun hukum pidana yang masih
dicita-citakan (ius constitundeum).17 Norma atau perilaku ini sangat rentan dengan
masa depan bagi pihak yang menjadi korban, seseorang bisa saja kehilangan
aktifitas untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari sehingga sanksi pidana telah diatur
sebelum terjadi perbuatan. Lemaire menyatakan bahwa Hukum Pidana norma-norma
yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan (oleh pembuat undang-
undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yaitu suatu penderitaan
yang bersifat khusus sehingga akan membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam
melakukan suatu tindakan, dan menimbulkan efek jera dan tingkat kesadaran bagi
yang telah melanggar.18
Dokter merupakan ujung tombak menjaga rahasia seseorang yang dibebankan
kepadanya selain tenaga kesehatan yang lain, karena dokterlah yang lebih sering dan
berhadapan langsung dengan si sakit dan mendapatkan informasi pertama kali tentang
keluhan-keluhan pasien, dalam menjalankan profesinya, setiap profesional
berkewajiban untuk merahasiakan keterangan yang diperoleh dari kliennya.
Keterangan klien yang harus dirahasiakan ini merupakan rahasia jabatan bagi dokter

14
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Op. Cit, hal. 102.
15
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik, (Surakarta:UNS Press, 2017), hal. 100.
16
Antarielya Dewi, Tanggung Jawab hukum Dokter Dalam Menjaga Rahasia Kedokteran, Op.
Cit,hal. 98.
17
H. Muntaha, Hukum Pidana Malpraktik, (Jakarta:Sinar Grafika, 2017), hal. 100.
18
Ibid, hal. 103.
342 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

yang sebagai pejabat struktural atau dokter yang bekerja sebagai fungsional serta
tenaga kesehatan lainnya wajib merahasiakan keterangan langsung diperoleh dari
pasien tentang penyakitnya dan dicatat dalam rekam medik. Hak pasien dilindungi
oleh hukum dan sanksi bagi pelanggarnya pada Pasal 322 ayat (1) KUHP.19
Rekam medis juga merupakan unsur-unsur yang sangat penting untuk dijaga
kerahasiaannya, rekam medis berisikan dokumen tentang identitas pasien dan semua
pelayanan yang telah diberikan baik itu pengobatan, pemeriksaan subjektif dan
obyektif serta tindakan-tindakan yang telah diberikan oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain, dokumen ini dijaga agar tidak tercecer dan dijangkau bagi yang tidak
berhak dan tidak berkepentingan, pelanggaran kerahasiaan ini mempunyai
konsekuensi dibidang hukum, karena kewajiban ini ditetapkan juga dalam hukum,
dalam hal ini ketentuan-ketentuan hukum disetiap negara bebeda.20 Biasanya hukum
tidak khusus bicara tentang rahasia medis tapi tentang rahasia profesi pada umumnya.
Di Indonesia membuka rahasia pasien oleh dokter dapat dihukum berdasarkan Pasal
322 KUHP:
a) Barang siapa degan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak
enam ratus rupiah.
b) Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu
hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.21

2. Pembukaan Rahasia Kedokteran


Rahasia kedokteran dapat dibuka untuk suatu keadaan tertentu, hal ini
dimaksudkan memberikan manfaat bagi pasien itu sendiri dan kepentingan masyarakat
lain. Kewajiban untuk menjaga rahasia pasien dan melindungi privacy pasien
merupakan kewajiban profesi medis yang penting, tapi tidak bersifat absolut. Dengan
kata lain, kadang-kadang ada alasan untuk membuka informasi rahasia yang
dipercayakan kepada dokter. Dengan peristilahan yang sudah diterima umum dalam
etika, dapat dikatakan juga konfidensialitas bagi dokter merupakan suatu kewajiban
prima facie, artinya kewajiban ini berlaku sampai ada kewajiban yang lebih kuat lagi
yang mengalahkan kewajiban yang pertama.22
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pembukaan rahasia kedokteran dapat
dibuka sesuai ketentuan perundang-undangan. Di Indonesia pengungkapan rahasia
kedokteran diatur oleh UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran Pasal 48
ayat 2: “Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum untuk kepentingan penegakkan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.23
Ketentuan ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 Pasal 5
1) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepetingan kesehatan pasien
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakkan,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

19
Widodo Tresno Novianto, Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan, Op. Cit, hal.116.
20
K. Bertens, Etika Boimedis, Op. Cit, hal. 171.
21
Ibid.
22
K. Bertens, Op. Cit, hal. 164-165.
23
C.B Kusmaryanto, Bioetika, Op. Cit, hal. 172.
Pertanggungjawaban Hukum Pidana, Ridwan 343

2) Pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan


terbatas sesuai kebutuhan.24

Sesuai dengan ketentuan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kewajiban


menyimpan rahasia kedokteran tidak bersifat absolut dapat dibuka untuk kepentingan
pasien sendiri dan kepentingan masyarakat. Walaupun rahasia kedokteran tidak
bersifat absolut, untuk membuka rahasia ini harus melalui mekanisme-mekanisme
yang ada. Ada beberapa alasan pengecualian yang membolehkan dibukanya rahasia
atas rekam medis pasien, yaitu: Izin pasien, pembukaan rahasia medis dari sumber
rekam medik harus mendapat izin dari pasien terlebih dahulu sebagai pemilik rekam
medik, karena sipemilik rekam medik lah yang berhak kepada siapa ia
mengungkapkannya.25 Apabila pasien telah memberi izin dokter dibebaskan untuk
berdiam, izin ini dapat dinyatakan secara jelas, baik lisan, tertulis maupun tersirat.
Adapun kepentingan umum yang lebih tinggi adakalanya seorang dokter (tenaga
kesehatan) terbentur kepentingan-kepentingan yang berlawanan, dalam hal ini dokter
diperbolehkan untuk mengungkapkan rahasia penyakit pasien selama alasan
pengungkapannya diatur dalam undang-undang.26
Demi kepentingan-kepentingan pihak lain yang membutuhkan akses atas rahasia
kedokteran harus mendapatkan izin pasien yang bersangkutan untuk pembukaan untuk
kepentingan pasien sendiri dilakukan dengan persetujuan pasien meliputi kepentingan
pemeriksaan kesehatan, pengobatan, penyembuhan dan perawatan pasien dan
keperluan administrasi, pembayaran asuransi dan jaminan pembiayaan kesehatan,
pembukaan rahasia kedokteran untuk memenuhi permintaan aparatur pengadilan Ini
dapat dilakukan melalui visum et repertum, keterangan ahli, keterangan saksi dan/atau
ringkasan medis. Dalam sidang pengadilan seluruh rekam medis dapat diberikan.27
adapun pembukaan rahasia kedokteran dapat juga dilakukan tanpa mendapatkan
persetujuan tertulis maupun tidak tertulis yaitu dalam rangka kepentingan penegakan
etik atau disiplin serta kepentingan umum (audit medis, ancaman Kejadian Luar biasa
(KLB), penelitian kesehatan, pendidikan dan ancaman kesehatan orang lain). Ini
diberikan atas permintaan tertulis Majelis Kehormatan Etik Profesi (MKEK) Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Pembukaan atau
pengungkapan rahasia kedokteran dilakukan oleh penanggung jawab pelayanan
pasien, yang dapat menolak membuka rahasia kedokteran apabila permintaan tersebut
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.28
Dalam ketentuan hukum tertulis hukum positif di Indonesia yang berkaitan
dengan ketentuan pidana (KUHP) yang melindugi dokter yang terpaksa melakukan
pelanggaran rahasia jabatan antara lain Pasal 48 KUHP (overmacht), yang berbunyi
barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana; Pasal
50 KUHP; Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-
undang tidak dipidana; Pasal 51 ayat (1) KUHP, Barang siapa melakukan perbuatan
untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang
tidak dipidana.29

24
Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia
Medis, Pasal 5 ayat (1) dan (2)
25
Eko Yudhi Haryanto, Kedudukan Rekam Medis Dalam Pembuktian Perkara Malpraktik di
Bagian Kedokteran, Vol IV No 2, 2015, hal.155.
26
Ibid.
27
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir,Op.Cit, hal. 105-106.
28
Ibid.
29
Widodo Tresno Novianto, Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan, Op. Cit, hal. 120.
344 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

3. Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Pelanggaran Rahasia Medis


Kewajiban menjaga rahasia kedokteran ini harus di junjung tinggi oleh dokter
dan tenaga kesehatan lain, karena kerahasiaan ini merupakan hak atas privacy oleh
sipasien dan haknya kepada siapa iya akan mengungkapkannya, Masalah kerahasiaan
kedokteran ini mempunyai dasar perbuatan melawan hukum, antara lain karena adanya
kewajiban kepedulian (duty of care) dari dokter terhadap pasiennya. Kewajiban
tersebut merupakan salah satu unsur utama dari setiap perbuatan melawan hukum,
sehingga apabila dokter tanpa alasan yang sah membuka rahasia pasiennya, maka
tindakan dokter tersebut secara hukum dapat digolongkan kedalam suatu perbuatan
melawan hukum.30
Dokter dan tenaga kesehatan juga merupakan makhluk sosial, berinteraksi
dengan anggota masyarakat lain, dalam menjalankan tugasnya bentukan hukum dokter
dan tenaga kesehatan juga berkedudukan sebagai subyek hukum, dengan adanya
sumber-sumber hukum yang mengatur masalah hukum kedokteran, maka dokter
melanggar harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban
dokter disini merupakan suatu masalah dari banyak segi.31 Karena hukum kesehatan
sendiri mempunyai tiga aspek hukum, kedudukan dokter didalam masyarakat
mempunyai fungsi ganda disamping itu sebagai anggota masyarakat dan pelayan
kesehatan masyarakat itu sendiri. Sebagai anggota masyarakat, maka keseluruhan
hukum (pidana, administrasi, dan perdata) berlaku bagi dokter.32 Selain sanksi dan
penerapan hukum atas pelanggaran kerahasiaan kedokteran, dokter dan tenaga
kesehatan lainnya juga melakukan pelanggaran etik yang sanksi akan diberikan oleh
profesi masing-masing.
Pelanggaran terhadap Rahasia kedokteran bukan saja terkait pelanggaran di
ruang lingkup kedokteran atau tenaga kesehatan saja, pelanggaran atas rahasia
kedokteran juga merupakan pelanggaran rahasia jabatan sebagaimana diatur dalam
KUHP Pasal 322 (1) barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya, karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang ataupun yang
dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda
sebanyak enam ratus rupiah. (2) apabila kejahatan ini dilakukan seorang tertentu,
kejahatan ini hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan orang itu.33 Pembocoran
rahasia kedokteran atau rahasia jabatan merupakan delik aduan.
Ketentuan tentang rahasia kedokteran selain diatur dalam Kitab Undang- undang
Hukum Pidana (KUHP) ketentuan ini juga diatur dalam Undang-undang khusus dalam
hukum kesehatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang No 24
Tahun 2009 berbunyi: ayat (1) setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran; ayat (2) rahasia kedokteran
dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan
aparatur penegak hukum dalam rangka penegakkan hukum, permintaan pasien sendiri,
atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.34
Adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap ketertiban umum relevansinya
dengan pelanggaran pidana terkadang dokter dipanggil sebagai saksi ahli dalam proses
penyelidikan dan proses peradilan di pengadilan yang di dalamnya harus memberikan
keterangan yang wajib disimpannya, tidak dipidana. Hal ini disebabkan perbuatan

30
Ibid, hal. 119
31
Muhamad Sadi Is, Etika Hukum Kesehatan, (Jakarta:Prenamedia Group, 2015), hal. 95.
32
Ibid.
33
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 322 Ayat (1) dan (2)
34
Endang Wahyati Yustina, Hak atas Informasi Publik dan Hak atas Rahasia Medis: Problem
Hak Asasi Manusia dalam Pelayanan Kesehatan, Vol. 1 No. 2, 2014, hal. 259.
Pertanggungjawaban Hukum Pidana, Ridwan 345

memberikan keterangan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya yaitu


mendahulukan kepentingan yang lebih besar yang berupa kepentingan hukum untuk
tegaknya keadilan. Meskipun demikian ketentuan Pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004
tersebut tidak mengkriminalisasikan perbuatan menyimpan rahasia kedokteran, tetapi
ketentuan pasal 322 KUHP tetap dapat diberlakukan terhadap pekerjaan dokter.35
Pelanggaran terhadap kerahasiaan kedokteran selain pelanggaran hukum pidana
juga pelanggaran hukum administrasi dan pelanggaran etik, pelanggaran admisnitrasi
dan etik dapat diberikan oleh masing-masing organisasi profesi baik profesi dokter
ataupun organisasi profesi lain, misalnya perawat, bidan dan seabagainya. Dalam pasal
64 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 dijelaskan bahwa tugas dari Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia antara lain: menerima pengaduan,
memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang
diajukan, dan menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin
dokter dan dokter gigi. Hal ini berarti bahwa keberadaan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia hanya sebatas memeriksa dan memutus kasus pelanggaran
disiplin dokter dan dokter gigi dan tidak diberikan tugas atau kewenangan memeriksa
dan memutus perkara pidana. Sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu: “Pengaduan
sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang
untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang
dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.”36
Jika seseorang berbuat kesalahan terhadap pihak lain dan ada unsur kerugian
terhadap pihak tersebut, tentunya pihak yang mengalami kerugian akan meminta
pertanggungjawaban, pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang
berarti kewajiban menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan da sebagainya).37 Dalam istilah Belanda,
pertanggungjawaban hukum juga dikenal dengan istilah, ‘aansprakelijk’ yang berarti
terikat, bertanggung jawab, bertanggung jawab menurut hukum atas kesalahan atau
akibat suatu perbuatan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability
merujuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan
yang dilakukan oleh subyek hukum.38
Dalam ketentuan pidana adanya perbuatan melawan hukum atas kesalahan
seseorang akan diminta pertanggungjawaban, karena akibat Tindakan seseorang
membuat pihak lain mengalami kerugian. Menyangkut perbuatan melawan hukum
sebagai dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Tanpa suatu perbuatan yang
bersifat melawan hukum, maka sudah tentu tidak ada pertanggungjawaban pidana.
Berkaitan dengan istilah ‘melawan hukum’, Andi Hamzah memberikan defenisinya.
“melawan hukum adalah mengenai perbuatan yang abnormal secara objektif. Kalau
perbuatan itu sendiri tidak melawan hukum berarti bukan perbuatan abnormal. Untuk
hal ini tidak lagi diperlukan jawaban siapa pembuatnya. Kalau perbuatannya sendiri
tidak melawan hukum, berarti pembuatnya tidak bersalah. Kesalahan adalah unsur
subjektif, yaitu untuk pembuat tertentu.39
Setelah melakukan Tindakan atau perbuatan seseorang yang mengakibatkan
kerugian kepada orang lain, atas kesalahan yang diperbuat tentunya timbul berbagai
alasan dari pelaku tersebut dalam rangka pembelaan terhadap dirinya sendiri, istilah

35
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik , Cetakan I,(Surakarta: UNS Press, 2017), hal. 86.
36
Ibid, hal. 99-100.
37
Ibid, hal. 91.
38
Ibid, hal. 92
39
H. Muntaha, Op. Cit, hal. 215.
346 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

kesalahan (schuld) dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban


dan beban pertanggungjawaban yang merujuk kesengajaan (dolus/opzet) dan kelalaian
(culpa). Kesalahan (schuld) unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang
sebelum pada saat memulai suatu perbuatan sehingga unsur ini akan selalu melekat
pada diri pelaku/pembuat bersifat subjektif. Dan unsur ini menghubungkan antara
perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan dengan
sipelaku/pembuat.40
Seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat diindetifikasi dengan menilai
kesalahan yang dilakukannya. Melihat kedudukan kesalahan dalam perbuatan pidana
sangat penting artinya, karena dengan menentukan ada tidaknya kesalahan itu akan
menentukan pula berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada seseorang. Tidak
dapat dipungkiri, dan hal ini bukan rahasia umum lagi bahwa dalam hukum pidana
yang berlaku di Indonesia dari dulu sampai sekarang masih dianut doktrin tidak ada
pidana tanpa adanya kesalahan.41
Dalam putusan peradilan sebelum memberikan suatu putusan hakim akan
memeriksa suatu perkara dan menginterpretasi terkait pasal-pasal yang relevan dengan
kasus tersebut serta bukti-bukti yang mendukung. Pasal 183 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang KUHAP tidak memberi defenisi mengenai pembuktian,
melainkan hanya menjelaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana bagi
seseorang, kecuali sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah. Pasal 183
KUHAP: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”42
Belum lama ini, terjadi beberapa kasus contohnya ‘Kasus Mirna’ yang
meninggal diduga akibat kopi yang diminumya, kasus ini menggunakan alat bukti
elektronik. Di Indonesia alat bukti yang sah diatur didalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP
yang secara berturut-turut yaitu (a) keterangan saksi (b) keterangan ahli (c) surat (d)
petunjuk dan (e) keterangan terdakwa.43
Pihak yang disangkakan melakukan tindakan pidana belum tentu ia lah yang
melakukannya, karena menetapkan seseorang bersalah atau tidaknya membutuhkan
mekanisme proses peradilan yang harus dilalui. Pembuktian yang dilakukan mengenai
argumentasi atau dalil yang didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan dalam
pemeriksaan perkara, merupakan bagian yang paling penting dalam hukum acara
dipengadilan. Hal ini pihak yang bersengketa memiliki hak hukum bahkan hak asasi
manusia. Apalagi hukum pidana, seorang terdakwa yang didakwa bersalah harus
merujuk kepada alat-alat bukti dan keyakinan hakim, karena belum tentu terdakwalah
yang melakukanya.44
Penerapan hukum dalam proses penegakan hukum dipengaruhi pertimbangan-
pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya tetapi esensi hukum dan hakekat hukum
perlu menjadi suatu acuan. Peradilan adalah fungsi mengadili atau proses yang
ditempuh dalam mencari dan menemukan keadilan.45 “mata penegak hukum timur”
seyogianya tidak tertutup untuk mampu menyaksikan dan menyerap “rasa keadilan

40
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik, Op. Cit, hal. 33.
41
H. Muntaha, Op. Cit, hal. 227.
42
Ibid, hal. 165
43
Tolib Effendi, Hukum Acara Pidana, (Malang:Setara Press, 2015), hal.173.
44
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
Jakarta, hal.139.
45
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta;Prenadamedia Group, 2015), hal. 332.
Pertanggungjawaban Hukum Pidana, Ridwan 347

masyarakat,” mampu menyerap nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,


mampu manyerap tuntutan dan aspirasi masyarakatnya.46
Hakim dalam proses peradilan untuk memeriksa suatu perkara dikenal asas
bebas merdeka, bebas dari intervensi pihak luar. Tugas hakim pada umumnya adalah
melaksanakan hukum dalam hal konkret ada tuntutan hak, yaitu tindakan yang
bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah “eigenrechting” atau tindakan menghakimi sendiri. Jadi kalau ada tuntutan
hak yang konkret atau peristiwa diajukan kepada hakim barulah hakim melaksanakan
hukum. Hukum harus dilaksanakan, terutama apabila dilanggar, maka hukum yang
telah dilanggar itu haruslah ditegakkan, dipertahankan atau direalisasikan.47

IV. PENUTUP
Rahasia kedokteran merupakan hak autonomy setiap orang, rahasia yang wajib
dijaga kerahasiaanya oleh dokter di sarana pelayanan kesehatan, kewajiban ini
merupakan kewajiban moril berdasarkan norma kesusilaan, rahasia kedokteran tidak
bersifat absolut dan dapat dibuka pada beberapa keadaan tertentu yaitu: atas
permintaan pasien, karena daya paksa, memenuhi peraturan perundang-undangan,
adanya perintah jabatan dan kepentingan umum. Tetapi jika hak atas rahasia tersebut
dilanggar oleh dokter maupun tenaga kesehatan tidak sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang berlaku, pelanggar tersebut telah melakukan perbuatan melanggar
hukum yaitu pelanggaran pidana khususnya ketentuan yang ada dalam KUHP Pasal
322 dan Penegakkan hukumnya bisa diterapkan ke ranah hukum pidana bagi
pelanggarnya sehingga hukum dapat di tegakkan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Sulistiyono, Adi dan Isharyanto, Sistem Peradilan Di Indonesia Dalam Teori dan
Praktik, Jakarta: Prenadamedia Group, 2018.
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum & Teori Peradilan, Jakarta: Prenadamedia
Group, 2017.
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Kusmaryanto, C.B, Bioetika, Yogyakarta: Buku Kompas, 2018.
Guwandi, Rahasia Medis, Jakarta: FKUI, 2010.
Muntaha, H, Hukum Pidana Malpraktik, Jakarta: Sinar Grafika, 2017
Asshiddiqie, Jimly Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sinar Grafika,
2012
Bertens, K, Etika Boimedis, Yogyakarta: Kanisius,2015
Novianto, Widodo Tresno, Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan, Surakarta: UNS
Press, 2017
Novianto, Widodo Tresno, Sengketa Medik, Surakarta: UNS Press, 2017
Hanafiah, M. Jusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran, 2017

46
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum & Teori Peradilan, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2017)
Group, hal. 388
47
Adi Sulistiyono dan Isharyanto, Sistem Peradilan Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2018) hlm. 116
348 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Sadi Is, Muhamad, Etika Hukum Kesehatan, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia
Group, 2017
Efendi, Tolib, Hukum Acara Pidana, Malang: Setara Press, 2014

Jurnal
Judi, “Tata Kelola Dokumen Rekam Medis Sebagai Upaya Menjaga Rahasia medis di
Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Informasi Kesehatan Indonesia Vol. 5 No 1 2017.
Ratna Winahyu Lestari Dewi, “Wajib Simpan Rahasia Kedokteran versus Kewajiban
Hukum Sebagai Saksi Ahli, Jurnal Vol XVIII No. 3, 2013.
Antarielya Dewi, “Tanggung Jawab hukum Dokter Dalam Menjaga Rahasia
Kedokteran”, 2017.
Eko Yudhi Haryanto, “Kedudukan Rekam Medis Dalam Pembuktian Perkara
Malpraktik di Bagian Kedokteran”, Jurnal Vol IV No 2, 2015
Endang Wahyati Yustina, “Hak atas Informasi Publik dan Hak atas Rahasia Medis:
Problem Hak Asasi Manusia dalam Pelayanan Kesehatan,” Padjadjaran Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 1 No. 2, 2014

Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Tambahan
Negara Republik Indonesia Nomor 431
Peraturan Menteri Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Medis,
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 915.

Anda mungkin juga menyukai