Anda di halaman 1dari 137

Kedaruratan Obstetri, Perdarahan Dalam Kehamilan Pada TM III, Eklamsia,

Partus Lama atau Macet, Retensio Placenta, Perdarahan Post Partum Sekunder
dan Primer, Sepsis Puerperalis, Asfiksi Neonatorium, Syok Obstetri, Distosia
Bahu, Prolapse Tali Pusat, Cepalo Pelvik Diproportion (Cpd), Persalinan
Macet, Ruptur Uterus, dan Komplikasi Kala III

Mata Kuliah : Obstetri Ginekologi


Dosen Pengampu : Mertisa Dwi Klevina., S.ST, M.Kes

Disusun Oleh
Kelompok 1 :
1. Ayu Maulina S (201801005)
2. Devi Yollanda P (201801008)
3. Dewi Puspitasari (201801010)
4. Endah Maharani (201801012)
5. Ira Puji Rahayu (201801017)
6. Resisca Diofany H (201801024)

STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN


PRODI D3 KEBIDANAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr. Wb

Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Obstetri Ginekologi tepat
waktu. Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai salah satu metode pembelajaran bagi
mahasiswa Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun.

Pada kesempatan ini kami juga tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah
pembelajaran ini. Kami menyadari bahwa modul ini masih banyak kekurangannya oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, agar kelak
makalah ini dapat lebih baik lagi.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Waalaikumsalah, Wr. Wb

Madiun,

Penulis,

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Bekalang 4
B. Rumusan Masalah 5
C. Manfaat 5
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Kedaruratan Obstetri 6
B. Perdarahan Dalam Kehamilan Pada TM III 6
C. Eklamsia 9
D. Partus Lama atau Macet 16
E. Retensio Placenta 19
F. Perdarahan Post Partum Primer 34
G. Perdarahan Post Partum Sekunder 46
H. Sepsis Puerperalis 49
I. Asfiksia Neonatorium 58
J. Syok Obstetri 71
K. Distosia Bahu 76
L. Prolapse Tali Pusat 82
M. Cepalo Pelvik Dispropostion (CPD) 90
N. Persalinan Macet 101
O. Ruptura Uterus 111
P. Komplikasi Kala III 119
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 133
B. Saran 133
DAFTAR PUSTAKA 134

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegawatdaruratan obstetri dan neonatal merupakan suatu kondisi yang dapat
mengancam jiwa seseorang, hal ini dapat terjadi selama kehamilan, ketika kelahiran
bahkan saat hamil. Sangat banyak sekali penyakit serta gangguan selama kehamilan
yang bisa mengancam keselamatan ibu maupun bayi yang akan dilahirkan.
Kegawatan tersebut harus segera ditangani, karena jika lambat dalam menangani akan
menyebabkan kematian pada ibu dan bayi baru lahir (Walyani & Purwoastuti, 2015).
Angka Kematian Ibu di Indonesia masih merupakan angka tertinggi di negara
Asean walaupun berdasarkan data resmi Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia terus mengalami penurunan. Pada
tahun 2003 AKI di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun
2004 adalah 270 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2005 adalah 262 per
100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2006 adalah 255 per 100.000 kelahiran hidup,
dan pada tahun 2007 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi
(AKB) telah menurun dari 35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 34
per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target Millenium Development Goals
(MDGs) AKI di Indonesia tahun 2015 harus mencapai 125 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka Kematian Ibu tidak dapat turun seperti yang diharapkan karena masih
tingginya penyebab morbiditas dan mortalitas maternal yang meliputi kejadian
perdarahan, infeksi, dan penyakit preeklampsia/eklampsia.
Kegawatdaruratan obstetri adalah suatu keadaan yang datangnya tibatiba,
tidak diharapkan, mengancam jiwa, sehingga perlu penanganan yang cepat dan tepat
untuk mencegah morbiditas maupun mortalitas. Kegawatdaruratan obstetri
diantaranya disebabkan oleh pendarahan, eklampsia, infeksi, persalinan lama akibat
distosia, dan keguguran. Perdarahan merupakan penyebab kematian tertinggi pada
kegawatdaruratan obstetri, yaitu sebanyak 28%. Persentase tertinggi kedua
disebabkan oleh eklampsia, yaitu sebanyak 24%. Sebab-sebab lainnya antara lain
infeksi (14,9 %), abortus (12,9 %), partus lama (6,9 %), emboli (2,1 %), serta
komplikasi pasca persalinan (9,2 %).7
Perdarahan postpartum (pasca salin) merupakan penyebab kematian maternal
tertinggi di seluruh dunia terutama di negara-negara miskin dan berkembang, dengan
perkiraan sebanyak 140.000 wanita meninggal setiap tahun akibat komplikasi
4
perdarahan atau sebanyak 2% dari seluruh wanita yang melahirkan, yang berarti
terdapat seorang wanita yang meninggal setiap 4 menit.8 Angka kejadian preklampsia
di dunia berkisar 5-7% dari seluruh kehamilan. Sebaliknya di negara berkembang,
angkanya cukup tinggi dan di Indonesia berkisar 5-10%.5 Sibai et al, (2003),
menyatakan bahwa preeklampsia adalah sindroma yang merupakan komplikasi 3-5%
dari seluruh kehamilan dan berkontribusi terhadap tingginya tingkat morbiditas dan
mortalitas ibu dan janin.
Di Indonesia permasalahan gawat darurat obstetri tersebut terjadi karena
mengalami empat hal keterlambatan yaitu terlambat mengenali tanda bahaya dan
risiko, terlambat mengambil keputusan untuk mencari pertolongan, terlambat
mendapatkan transportasi untuk mencapai sarana pelayanan kesehatan yang lebih
mampu, dan terlambat mendapatkan pertolongan di fasilitas rujukan. Oleh karena itu
pelayanan obstetri memerlukan kontinuitas pelayanan serta akses terhadap pelayanan
obstetri emergensi ketika timbul komplikasi. Sehingga setiap persalinan harus
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, peningkatan terhadap pelayanan obstetri
emergensi ketika timbul komplikasi, serta sistem rujukan yang efektif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan bagaimana apa yang
dimaksud kedaruratan obstetri, apa saja yang menjadi faktor penyebab dan bagaimana
cara menanganinya.
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Dapat menerapkan ilmu yang diperoleh selama dibangku kuliah. Serta
mendapatkan pengalaman dalam melakukan asuhan kebidanan secara langsung
pada kedaduratan obstetri
2. Bagi Institusi Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun
Sebagai bahan pustaka dan bahan pertimbangan dalam menyusun materi
pembelajaran tentang ilmu kebidanan khususnya asuhan kebidanan tentang
kedaruratan obstetri

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kedaruratan Obstetri
Kedaruratan Obstetrik adalah suatu keadaan klinik yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kesakitan yang berat bahkan kematian ibu dan janinnya.
Secara umum terdapat 4 penyebab utama kematian ibu, janin dan bayi baru lahir,yaitu
(1)perdarahan (2)infeksi, sepsis (3)hipertensi, preeklampsia, eklampsia (4) persalinan
macet (distosia). Persalinan macet hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung,
sedangkan ketiga penyebab lain dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan, dan masa
nifas Setiap kehamilan berpotensi mengalami risiko kedaruratan.
Pengenalan kasus kedaruratan obstetri secara dini sangat penting agar
pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat klinis kasus kedaruratan
obstetri yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, setiap kasus sebaiknya
ditangani seyogyanya kasus gawat darurat lewat triase awal, sampai pemeriksaan
menunjukkan bahwa kasus tersebut bukan kedaruratan. Dalam menangani kasus
kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama (diagnosis) dan tindakan
pertolongan harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan segera mungkin.
Kedaruratan obstetrik adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang
terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat
sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam
keselamatan ibu dan bayinya 1,2 Jenis-jenis kedaruratan obstetri yang dibahas yakni1
1. Pendarahan Pasca Salin (PPS) 2. Ruptur uteri 3. Distosia Bahu 4. Hipertensi Dalam
Kehamilan (Wantania, 2015).
B. Perdarahan Dalam Kehamilan Pada TM III
1. Pengertian
Perdarahan trimester III adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan di
atas 28 minggu atau lebih dan biasa disebut dengan perdarahan antepartum
(Wiknjosastro, H, 2012).
2. Prinsip Penanganan
Pemeriksaan awal pada seorang pasien dengan perdarahan trimester III harus
mencakup riwayat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan khusus yang dirancang
untuk menetapkan penyebab perdarahan (Hacker, dkk, 2011).
3. Riwayat

6
Setiap riwayat cedera atau hubungan seksual sebelum permulaan perdarahan,
harus ditentukan lama berlangsungnya, dan jumlah perdarahan harus ditentukan.
Pasien harus ditanya mengenai setiap nyeri perut, kontraksi rahim atau keduanya.
Riwayat obstetrik harus ditinjau untuk seksio sesarea sebelumnya, persalinan
kurang bulan atau plasenta previa. Riwayat medis harus diperiksa untuk mencari
kelainan perdarahan atau penyakit hati. Riwayat sosial harus ditinjau mengenai
penyalahguaan tembakau dan kokain (Hacker,dkk,2011).
4. Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vital dan jumlah perdarahan harus diperiksa dengan segera begitu
juga status jiwa pasien.Pemeriksaan perut harus mencakup pengukuran tinggi
fundus dan penilaian nyeri tekan rahim.Pemeriksaan pelvis tidak boleh dilakukan
sebelum plasenta previa telah disingkirkan dengan ultrasonografi.(Hacker, dkk,
2011).
5. Penyelidikan
Cara yang paling tepat untuk menentukan penyebab perdarahan trimester III
adalah dengan ultrasonografi.Aktifitas rahim dan frekuensi denyut jantung janin
harus dipantau untuk menangani persalinan dan menetapkan kesehatan janin.
(Hacker, dkk, 2011).
6. Pembagian
Perdarahan trimester III dikelompokkan atau dibagi menjadi :
Plasenta previa adalah plasenta dengan implantasi di sekitar segmen bawah
lahir, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh osteum uteri internum
(Saifuddin, 2012).
Secara teoritis plasenta previa dibagi dalam bentuk klinis
Plasenta previa totalis :
a. Menutupi seluruh osteum uteri internum pada pembukaan 4cm.
b. Plasenta previa sentralis bila pusat plasenta bersamaan dengan sentral kanalis
servikalis
c. Plasenta previa partialis, bila menutupi sebagian osteum uteri internum pada
pembukaan 4cm.
d. Plasenta previa marginalis, bila tepi plasenta berada sekitar pinggir osteum
uteri internum pada pembukaan 4 cm (Manuaba,2008).
7. Gejala
a. Gejala umum

7
Perdarahan tanpa rasa sakit
Terjadi pada saat pembentukkan SBR, sehingga terdapat pergeseran atau
dinding rahim dengan plasenta yang menimbulkan perdarahan.
Bentuk perdarahan:
1). Sedikit tanpa menimbulkan gejalaklinis.
2). Banyak disertai gejala klinis ibu danjanin.
b. Gejala klinik pada ibu
1). Tergantung KU dan jumlah darah yang hilang, yang bersifat sedikit demi
sedikit atau dalam jumlah besar dalam waktu singkat
2). Terjadi gejala kardiovaskuler dalam bentuk :
a). Nadi menigkat dan tekanan darah menurun
b). Anemia disertai bagian ujung tubuh dingin
c). Perdarahan banyak dapat menyebabkan syok sampai kematian
c. Gejala klinik janin
1). Bagian terendah belum masuk PAP atau terdapat kelainanletak.
2). Perdarahan mengganggu sirkulasi retroplasenter, menimbulkan
asfiksia intrauterin sampai kematian janin.
3). Hb sekitar 5 % dapat menimbulkan kematian janin serta ibunya
(Manuaba,2008).
8. Dasar Diagnosa
a. Terdapat perdarahan tanpa rasa sakit
b. Keadaan umum setelah perdarahan tergantung dari:
1). Keadaan umum sebelumnya.
2). Jumlah, kecepatan, dan lamanyaperdarahan.
3). Menimbulkan gejala klinik pada ibu danjanin.
4). Perut ibu lemas sehingga mudah meraba bagian terendah.
5). Terdapat kelainan letak atau bagian terendah belum masukPAP.
c. Pemeriksaan Tambahan
1). Double set up di meja operasi, dapat menentukan klasifikasi plasenta
previa dengan memasukkan jari ke osteum uteri internum atau
merabafornik.
2). Melakukan pemeriksaan dengan ultrasonografi. (Manuaba,2008).
9. Penyebab

8
a. Gangguan kesuburan endometrium sehingga perlu perluasan implantasi,
seperti:
1). Multiparitas dengan jarak hamil pendek
2). Beberapa kali menjalani seksiosesarea
3). Bekas dilatasi dan kuretase
4). Ibu dengan gizirendah
5). Usia hamil pertama diatas 35tahun
b. Pelebaran implantasi plasenta
1). Kehamilan ganda,
2). Memerlukan perluasan plasenta untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin
karena endometrium kurang subur. (manuaba,2008).
10. Komplikasi
a. Komplikasi Ibu (Trias Komplikasi)
1). Perdarahan tambahan saat operasi plasenta dengan insersio didepan
2). Infeksi karena anemia
3). Robeka implantasi plasenta dibelakang SBR (dangreous plasenta previa)
4). Terjadi ruptura karena susunan jaringan rapuh dan sulit diketahui
b. Komplikasi janin (Trias Komplikasi)
1). Prematuritas dengan morbiditas dan mortalitas tinggi.
2). Mudah infeksi karena anemia disertai daya tahan rendah.
3). Asfiksia intra uterin sampai dengan kematian. (Manuaba,2008)
11. Penatalaksanaan
Plasenta previa dengan perdarahan merupakan keadaan darurat kebidanan
yang memerlukan penanganan yang baik. Bentuk pertolongan pada palasenta
previa adalah :
a. Segera melakukan operasi persalinan untuk dapat menyelamatkan ibu dan
anak atau untuk mengurangi kesakitan dan kematian.
b. Memecahkan ketuban diatas meja operasi selanjutnya pengawasan untuk
dapat melakukan pertolongan lebih lanjut.
c. Bidan yang menghadapi perdarahan plasenta previa dapat mengambil
sikap melakukan rujukan ketempat pertolongan yang mempunyai fasilitas
yang cukup. (Rayburn, 2014).
C. Eklampsia
1. Pengertian Eklampsia

9
Eklampsia adalah penyakit akut dengan kejang dan coma pada wanita hamil
dan dalam masa nifas disertai dengan hypertensi oedema dan proteinuria.
(obstetric patologi,unpad,1984).
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau
masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul akibat kelianan
neurologik) dan atau koma dimana sebeblumnya sudah menunjukkan gejala –
gejala pre eklampsia (Sujianti, 2009).
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeclampsia, yang disertai
dengan kejang menyeluruh dan koma. (Prawirohardjo, 2010).
Eklampsia lebih sering terjadi pada primagravidae dari pada multiparae.
Eklampsia juga sering terjadi pada : kehamilan kembar, hydramnion, mola
hidatidosa. Eklampsia post partum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam
pertama setelah persalinan.
2. Jenis-jenis eklampsia
Menurut saat terjadinya eklampsia kita mengenal istilah :
a. Eklampsia antepartum ialah eklampsia yang terjadi sebelum persalinan
b. Eklampsia intrapartum ialah eklampsia sewaktu persalinan
c. Eklampsia postpartum ialah eklampsia setalah persalinan
3. Gejala eklampsia
Eklampsia selalu didahului oleh gejala – gejala preeklampsia yang berat seperti :
a. Sakit kepala yang keras
b. Penglihatan kabur
c. Nyeri di ulu hati
d. Kegelisahan dan hyperrefleksi sering mendahuli serangan kejang. Serangan
dapat dibagi dalam 4 tingkat :
1). Tingkat invasi (tingkat permulaan)
Mata terpaku, kepala dipalingkan kesatu pihak, kejang –kejang hals
terlihat pada muka. Tingkat ini berlangsung beberapa detik.
2). Tingkat kontraksi (tingkat kejang tonis)
Seluruh badan menjadi kaku, kadang- kadang terjadi ephistholonus,
lamanya 15 sampai 20 detik.
3). Tingkat konvulsi (tingkat kejang clonis)
Terjadilah kejang yang timbul hilang, rahang membuka dan menutup
begitu pula mata, otot –otot muka dan otot badan berkontraksi dan

10
berelaksasi berulang. Kejang ini sangat kuat hingga pasien dapat terlempar
dari temapt tidur atau lidahnya tergigit. Ludah yang berbuih bercampur
darah keluar dari mulutnya, mata merah, muka biru, berangsur kejang
berkurang dan akhirnya berhenti. Lamanya ± 1 menit.
4). Tingkat coma
Setelah kejang clonis ini pasien jatuh dalam coma. Lamanya coma ini dari
beberapa menit sampai berjam – jam. Kalau pasien sadar kembali maka ia
tidak ingat sama sekali apa yang telah terjadi.
Gejala klinis :
1). Kehamilan lebih 20 minggu atau persalinan atau masa nifas
2). Tanda – tanda pre eklampsia (hipertensi, edema dan proteinuria)
3). Kejang dan atau koma
4). Kadang – kadang disertai gangguan fungsi organ.
Setelah beberapa waktu, terjadi serangan baru dan kejadian yang
dilukiskan diatas berulang lagi kadang –kadang 10 – 20 kali.
Sebab kematian eklampsia adalah odema paru –paru, apoplexy dan
acidosis. Atau pasien mati setelah beberapa hari karena pneumoni aspirasi,
kerusakan hati atau gangguan faal ginjal. Kadang–kadang terjadi eklampsia tanpa
kejang ;gejala yang menonjol ialah coma. Eklampsia semacam ini disebut
eklampsia sine eklampsia dan terjadi pada kerusakan hati yang berat. Karena
kejang merupakan gejala yang khas dari eklampsia maka eklampsia sine
eklampsia sering dimasukkan preeklampsia yang berat. Pada eklampsia tekanan
darah biasanya tinggi sekitar 180/110 mmHg.
Nadi kuat dan berisi tetapi kalau  keadaan sudah memburuk menjadi kecil
dan cepat. Demam yang tinggi memburuk prognosa. Demam ini rupa–rupanya
cerebral. Pernafasan biasanya cepat dan berbunyi, pada eklampsia yang berat ada
cyanosis.
Proteinuria hamper selalu ada malahan kadang – kadang sangat banyak
juga odema biasanya ada. Pada eklampsia antepartum biasanya persalianan mulai
setelah beberapa waktu. Tapi kadang –kadang pasien berangsr baik tidak kejang
lagi dan sadar sedangkan kehamilan ters berlangsung.
Eklampsia yang tidak segera disusul dengan persalinan disebut eklampsia
intercurrent. Dianggap bahwa pasien yang sedemikian bukan sembuh tapi jatuh ke
tingkat yang lebih ringan ialah dari eklampsia ke dalam keadaan preeklampsia.

11
Jadi kemngkinan eklampsia tetap mengancam pasien semacam ini sebelum
persalianan terjadi.
Setelah persalinan keadaan pasien berangsr baik, kira – kira dalam 12 – 24
jam. Juga kalau anak mati didalam kandungan sering kita lihat bahwa beratnya
penyakit berkurang. Proteinria hilang dalam 4 – 5 hari sedangkan tekanan darah
normal kembali dalam kira –kira 2 minggu. Ada kalanya pasien yang telah
menderita eklampsia menjadi psychotis, biasanya pada hari ke 2 atau ke 3
postpartum dan berlangsung 2 – 3 mingg. Prognosa pada munya baik, penyulit
laiannya ialah hemiplegic dan ganguuan penglihatan karena odema retina.
4. Patologi Eklampsia
Pada wanita yang mati karena eklampsia terdapat kelainan pada hati, ginjal,
otak, dan paru – paru dan jantung. Pada umumnya dapat ditemukan necrose,
haemorrhagia, odema, hyperaemia atau ischaemia dan thrombosis. Pada placenta
terdapat infakt – infarct karena degenarasi syncytium. Perubahan lain yang
terdapat ialah retensi air dan natrium, haemokonsentrasi dan kadang – kadang
acidosis.
5. Etiologi eklampsia
Sebab eklampsia belum diketahui benar, salah satu teori yang dikemukakan
ialah bahwa eklampsia disebabakan ischaemia rahim dan plasenta (ischaemia
utero placenta). Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak. Pada
molahydatidosa, hidramnion, kehamilan ganda, multipara, pada akhir kehamilan,
pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah ibu, diabetes, perdarahan
darah dalam dinding rahim kurang, maka keluarlah zat- zat dari plasenta atau
decidua yang menyebabkan vasospasmus dan hypertensi.
6. Diagnose Eklampsia
Untuk diagnose eklampsia harus dikesampingkan keadaan –keadaan lain
dengan kejang dan coma seperti ureami, keracunan, epilepsy, hysteri, ebcephalitis,
meningitis, tumor otak,dan atrofi kuning akut dari hati. Diagnose eklampsia lebih
24 jam postpartum harus dicurigai.
7. Prognosis Eklampsia
Eklampsia adalah suatu keadaan yang sangat berbahaya maka prognosa
kurang baik untuk ibu maupun anak. Prognosa juga dipengaruhi oleh paritas
artinya prognosa bagi multiparae lebih buruk, dipengaruhi juga oleh umur
terutama kalau umur melebihi 35 tahun dan juga oleh keadaan pada waktu pasien

12
masuk rumah sakit. Juga diurese dapat dipegang untuk prognosa jika diurese lebih
dari 800 cc dalam 24 jam atau 200 cc tiap 6 jam maka prognosa agak baik.
Sebaiknya oliguri dan anuri merupakan gejala yang buruk.
Gejala –gejala lain memberikan prognosa dikemukakan oleh Eden ialah :
a. Coma yang lama
b. Nadi di atas 120 x/menit
c. Suhu di atas 390 C
d. Tensi di atas 200 mmHg
e. Lebih dari 10x serangan
f. Proteinuria 10 gram sehari sehari atau lebih
g. Tidak adanya odema.
Odema paru –paru dan apoplexy merupakan keadaan yang biasanya
mendahului kematian.
8. Perawatan eklampsia
Perawatan dasar eklampsia ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi vital,
yang harus selalu diingat airway, breathing, circulation (ABC), mengatasi dan
mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia, mencegah trauma pada
pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu
krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang
tepat.
Perawatan medikamentosa dan perawatan suportif eklampsia merupakan
peraatan yang sangat penting. Tujuan utama pengobatan medikamentosa
eklampsia ialah mencegah dan menghentikan kejang, mencegah dan mengatasi
penyulit, khususnya hiprtensi krisis, mencapai stabilisasi ibu seoptimal mungkin
sehingga dapat melahirkan janin pada saat dan dengan cara yang tepat.
a. Pengobatan medikamentosa
1). Obat anti kejang
Obat anti kejang yang menjadi pilihan utama ialah magnesium sulfat.
Bila dengan jenis obat ini kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat
jenis lain, misalnya thiopental. Diazepam dapat dipakai sebagai alternative
pilihan, namun mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi, pemberian
diazepam hanya dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman.
Pemberian diuretikum hendaknya selalu disertai dengan memonitor

13
plasma elektrolit. Obat kardiotinika ataupun obat-obat anti hipertensi
hendaknya selalu disiapkan dan diberikan benar-benar atas indikasi.
2). Magnesium sulfat (MgSO4)
Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti pemberian
magnesium sulfat pada preeclampsia berat. Pengobatan suportif terutama
ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ penting, misalnya tindakan-
tindakan untuk memperbaiki asidosis, mempertahankan pentilasi paru-
paru, mengatur tekanan darah, mencegah dekompensasi kordis.
Pada penderita yang mengalami kejang dan koma, nursing care sanga
penting, misalnya meliputi cara-cara perawatan penderita dalam suatu
kamar isolasi, mencegah aspirasi, mengatur infuse penderita, dan
monitoring produksi urin.
3). Perawatan pada waktu kejang
Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama pertologan
ialah mencegah penderita mengalami trauma akibat kejang-kejang
tersebut.
Dirawat di kamar isolasi cukup terang, tidak di kamar gelap, agar bila
terjadi sianosis segera dapat diketahui. Penderita dibaringkan di tempat
tidur yang lebar, dengan rail tempat tidur harus dipasang dan dikunci
dengan kuat. Selanjutnya masukkan sudap lidah ke dalam mulut penderita
dan jangan mencoba melepas sudap lidah yang sedang tergigit karena
dapat mematahkan gigi. Kepala direndahkan dan daerah orofarim diisap.
Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita yang kejang tidak
terlalu kuat menghentak-hentak benda keras disekitarnya. Fiksasi badan
pada tempat tidur harus cukup kendor, guna menghindari fraktur. Bila
penderita selesai kejang-kejang, segera beri oksigen45.
4). Perawatan koma
Perlu diingat bahwa penderita koma tidak dapat beraksi atau
mempertahankan diri terhadap suhu yang ekstrim, posisi tubuh yang
menimbulkan nyeri dan aspirasi, karena hilangnya reflex muntah. Ahaya
terbesar yang mengancam penderita koma, ialah terbuntunya jalan napas
atas. Setiap penderita EKLAMPSIA yang jatuh dalm koma harus dianggap
bahwa jalan napas atas terbuntu, kecuali dibuktikan lain.

14
Oleh karena itu, tindakan pertama-tama pada penderita yang jatuh,
(tidak sadar), ialah menjaga dan  mengusahakan agar jalan napas atas tetap
terbuka. Untuk menghindari terbuntunya jalan napas atas oleh pangkal
lidah dan epiglottis dilakukan tindakan sebagai berikut. Cara yang
sederhana dan cukup efektif dalam menjaga terbukanya jalan napas atas,
ialah dengan maneuver head tilt-neck lift, yaitu kepala direndahkan dan
leher dalam posisi ekstensi ke belakang atau head tilt- chain lift, dengan
kepala direndahkan dan dagu ditarik ke atas, atau jaw-thrust, yaitu
mandibula kiri-kanan di ekstensikan ke atas sambil mengangkat kepala ke
belakang.
Tindakan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan pemasangan
orophary haringeal airway. hal penting ke dua yang perlu diperhatikan
ialah bahwa penderita, akan kehilangan reflex muntah sehingga
kemungkinan terjadinya aspirasi bahan lambung sangat besar. Lambung
ibu hamil harus selalu dianggap sebagai lambung penuh. Oleh karena itu,
semua benda yang ada dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa
lender maupun sisa makanan, hars segera diiasap secara intermiten.
Penderita ditidurkan dalam posisi stabil untuk drainase lendir.
Monitoring kesadaran dan dalamnya, memakai Glasgow, coma
escale.pada perawatan koma perlu diperhatikan pencehgahan dekubitus
dan makanan penderita. Pada koma yang lama, bila nutrisi tidak mungkin;
dapat diberikan melalui nasograstrik tube (NGT).
5). Perawatan edema paru
Bila terjadi edema paru sebaiknya penderita di rawat di ICU karena
membutuhkan perawatan animasi dengan respirator.
b. Pengobata obstetric
Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan
EKLAMPSIA harus diakhiri, tanpa memandang kehamilan dan keadaan janin.
Persalinan diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi (pemulihan).
Hemodinamika dan metabolism ibu.
Pada perawatan pasca persalinan, bila persalinan terjadi pervaginam,
monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.
9. Penanganan kejang
a. Selalu ingat ABC (airway, breathing, circulation)

15
b. Beri obat  anti kejang
c. Beri oksigen 4-6 liter per menit
d. Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi jangan diikat terlalu keras
e. Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi resiko aspirasi
f. Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokan jika perlu
D. Partus Lama atau Macet
1. Defenis
Persalinan yang berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir, yang dapat
terjadi karena pemanjangan kala I dan Kala II
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 18 jam, yang
dimulai dari tanda-tanda persalinan.
2. Faktor Penyebab
Persalinan lama dapat disebabkan oleh :
a. His tidak efisien (in adekuat)
HIS yang tidak normal dalam dalam kekurangan atau sifatnya menyebabkan
kerintangan pada jalan lahir yang yang lazim terdapat pada setiap persalinan ,
tidak dapat dilatasi sehingga persalinan mengalami hambatan atau kemacetan.
b. Faktor janin (malpresenstasi, malposisi, janin besar
Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain vertex (presentasi bokong,
dahi, wajah, atau letak lintang). Malposisi adalah posisi kepala janin relative
terhadap pelvis dengan oksiput sebagai titik referansi. Janin yang dalam
keadaan malpresentasi dan malposisi kemungkinan menyebabkan partus lama
atau partus macet
c. Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks, vagina, tumor
Panggul sempit atau disporporsi sefalopelvik terjadi karena bayi terlalu besar
dan pelvic kecil sehingga menyebabkan partus macet.
3. Gejala klinik partus lama
Pada ibu :
a. Gelisah
b. Letih
c. Suhu badan meningkat
d. Berkeringat
e. Nadi cepat
f. Pernafasan cepat

16
g. Meteorismus
h. Didaerah sering dijumpai bandle ring, oedema vulva, oedema serviks, cairan
ketuban berbau terdapat mekoneum.
Pada Janin :
a. Djj cepat, hebat, tidak teratur bahkan negative
b. Air ketuban terdapat mekoneum kental kehijau-hijauan, cairan berbau
c. Caput succedenium yang besar
d. Moulage kepala yang hebat
e. Kematian janin dalam kandungan
f. Kematian janin intrapartal
4. Diagnosis kelainan partus lama
Tanda Dan Gejala Klinis Diagnosis
Pembukaan serviks tidak membuka (kurang dari 3 cm) Belum inpartu, fase labor
tidak didapatkan kontraksi uterus
Pembukaan serviks tidak melewati 3 cm sesudah 8 jam Prolonged laten phase
inpartu
Pembukaan serviks tidak melewati garis waspada          inersia uteri
partograf
       frekuensi dan lamanya kontraksi kurang dari 3
kontraksi per 10 menit dan kurang dari 40 detik           disporporsi sefalopelvik
       secondary arrest of dilatation atau   arrest of descent
       secondary arrest of dilatation dan bagian terendah          obstruksi
dengan caput terdapat moulase hebat, edema serviks, tanda
rupture uteri immenens, fetal dan maternal distress
-       kelainan presentasi (selain vertex)
-          malpresentasi
Pembukaan serviks lengakap, ibu ingin kala II lama
(prolonged, mengedan, tetapi tidak ada kemajuan
second stage)

5. Penanganan partus lama


a. False labor (Persalinan Palsu/Belum inpartu
Bila his belum teratur dan porsio masih tertutup, pasien boleh pulang. Periksa
adanya infeksi saluran kencing, KPD dan bila didapatkan adanya infeksi obati
secara adekuat. Bila tidak pasien boleh rawat jalan.

17
b. Prolonged  laten phase (fase laten yang memanjang)
Diagnosis fase laten memanjang di buat secara retrospektif. Jika HIS berhenti
pasien tersebut belum inpartu atau persalinan palsu jika HIS makin teratur dan
pembukaan makinbertambah lebih dari 4 cm, pasien dalam fase aktif.
Penilaian ulang terhadap serviks :
1). Jika tidak ada perubahan pada pembukaan serviks dan tidak ada gawat
janin, mungkin pasien belum inpartu
2). Jika ada kemajuan pembukaan serviks lakukan amniotomi dan induksi
persalinan dengan oxytosin atau prostaglandin
a). Lakukan penilaian ulang setiap 4 jam
b). Jika pasien tidak masuk fase aktif setelah dilakukan pemberian
oksitosin, lakukan SC.
c. Prolonged active phase  (fase aktif memanjang)
1). Bila tidak didapatkan tanda adanya CPD (chepalo Pelvic Disporportion)
atau adanya obstruksi : Berikan berikan penanganan umum yang
kemungkinan akan memperbaiki kontraksi dan mempercepat kemajuan
persalinan
2). Bila ketuban intak, pecahkan ketuban. Bila kecepatan pembukaan serviks
pada waktu fase aktif kurang dari 1 cm/jam, lakukan penilaian kontraksi
uterusnya.
3). Kontraksi uterus adekuat
Bila kontraksi uterus adekuat (3 dalam 10 menit dan lamanya lebih dari 40
detik) pertimbangkan adanya kemungkinan CPD, obstruksi, malposisi atau
malpresentasi.
4). Chefalo Pelvic Disporpotion (CPD)
CPD terjadi karena bayi terlalu besar atau pelvis kecil. Bila dalam
persalinan terjadi CPD akan kita dapatkan persalinan yang macet. Cara
penilaian pelvis yang baik adalah dengan melakukan partus percobaan 
(trial of labor) kegunaan  pelvimetri klinis terbatas.
d. Obstruksi (Partus Macet)
Bila ditemukan tanda-tanda obstruksi :
1). Bayi hidup lahirkan dengan SC
2). Bayi mati lahirkan dengan kraniotomi/embriotomi.
e. Malposisi/Malpresentasi

18
Bila tejadi malposi atu malpresentasi pada janin secara umum
1). Lakukan evaluasi cepat kondisi ibu (TTV)
2). Lakukan evaluasi kondisi janin DJJ, bila air ketuban pecah lihat warna air
ketuban :
a). Bila didapatkan mekoneum awasi yang ketat atau intervensi
b). Tidak ada cairan ketuban pada saat ketuban pecah menandakan adanya
pengurangan jumlah air ketuban yang ada hubungannya dengan gawat
janin.
3). Pemberian bantuan secara umum pada ibu inpartu akan memperbaiki
kontraksi atau kemajuan persalinan
4). Lakukan penilaian kemajuan persalinan memakai partograf
5). Bila terjadi partus lama lakukan penatalaksanaan secar spesifik sesuai
dengan keadaan malposisi atau malpresentasi yang didapatkan. (Saifudin
AB, 2007 : h 191-192)
f. Kontraksi uterus tidak adekuat (inersia uteri)
Bila kontraksi uterus tidak adekuat dan disporporsi  atau obstruksi bias
disingkirkan, penyebab paling banyak partus lama adalah kontraksi yang tidak
adekuat
g. Kala II memanjang (prolonged explosive phase)
Upaya mengejan ibu menambah resiko pada bayi karena mengurangi jumlah
oksigen ke plasenta, maka dari itu sebaiknya dianjurkan mengedan secara
spontan, mengedan dan menahan nafas yang etrlalu lama tidak dianjurkan.
Perhatikan DJJbradikardi yang lama mungkin terjadi akibat lilitan tali pusat.
Dalam hal ini lakukan ekstraksi vakum / forcep bila syarat memenuhi.
h. Bila malpresentasi dan tanda obstruksi bias disingkirkan, berikan oksitosin
drip. Bila pemberian oksitosin drip tidak ada kemajuan dalam 1 jam, lahirkan
dengan bantuan ekstraksi vacuum / forcep  bila persyaratan terpanuhi.
Lahirkan dengan secsio sesarea.
E. Retensio Placenta
1. Pengertian Retensio Plasenta
Retensio Plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta
dan uterus.Retensio plasenta merupakan penyebab perdarahan sebesar 6-10% dari

19
seluruh kasus. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan retensio plasenta
berisiko 4,1 kali terjadi perdarahan postpartum. Perdarahan postpartum meningkat
dengan angka sebesar 2,6% (Kusumastuti,2018).
Retensio plasenta adalah apabila plasenta tidak lahir setengah jam setelah
lahirnya janin, penanaman yang kuat antara plasenta dengan uterus merupakan
penyebab terjadinya retensio plasenta (Prawirohardjo, 2010).
WHO menyatakan “Apabila plasenta tidak berhasil dilahirkan dalam 30 menit
setelah melahirkan bayi, maka pasien yang mengalami keadaan ini harus
didiagnosis sebagai kasus retensio plasenta. Pada keadaan tanpa perdarahan,
wanita yang baru melahirkan harus diobservasi selama 30 menit lagi sesudah 30
menit yang pertama sebelum kemudian dicoba melahirkan plasenta secara
manual” (WHO 2007, dikutip dalam Goswami et al, 2016).
Perdarahan pervaginam disebabkan oleh pelepasan plasenta secara Duncan
yaitu pelepasan/ separasi plasenta atau secara Schultze yaitu plasenta sudah
sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam. Pada retensio plasenta, sepanjang
plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian
plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak
(perdarahan kala tiga) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan manual
plasenta, meskipun kala uri belum lewat setengah jam (Kusumastuti,2018).
2. Jenis-Jenis Retensio Plasenta
a. Plasenta Adhesiva
Implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan
kegagalan mekanisme saparasi fisiologis.
b. Plasenta Akreta
Suatu plasenta yang tidak dapat dipisahkan dari dinding uterus baik sebagian
ataupun seluruhnya. Hal ini dikarenakan implantasi jonjot korion plasenta
hingga memasuki sebagian lapisan miometrium. Keadaan ini disebabkan
karena tidak adanya desidua basalis baik sebagian atau seluruhnya terutama
lapisan yang berbusa. Estimasi insiden plasenta akreta sebesar 1,7 per 10.000
persalinan. Penelitian lain menyatakan insiden plasenta akreta selama dekade
ini sebesar 3 per 1000 persalinan.28,37
c. Plasenta Inkreta
Implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/memasuki miometrium.
d. Plasenta Perkreta

20
Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga
mencapai lapisan serosa dinding uterus. Penetrasi abnormal elemenelemen
korionik ke dalam lapisn serosa uterus
e. Plasenta Inkarserata
Tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium
uteri(Kusumastuti,2018).
3. Etiologi dan Patofisiologi
Kegagalan plasenta untuk lahir dapat terjadi karena ketidaknormalan
perlekatan plasenta pada miometrium, atau karena plasenta telah berhasil terlepas
namun tetap berada dalam uterus karena sebagian serviks tertutup. Kegagalan
pelepasan plasenta jauh lebih mengkhawatirkan daripada terperangkapnya
plasenta di dalam uterus (Kusumastuti,2018)
Bila sebagian kecil plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut trest
placenta dan dapat menimbulkan perdarahan postpartum primer atau sekunder.
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan plasenta akan ditandai oleh
perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian
lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya
tahap ekspulsi, plasenta lahir (Prawirohardjo, 2010).
Sudah lama diketahui bahwa istilah retensio plasenta mencakup sejumlah
patologi. Beberapa plasenta hanya terjebak di belakang serviks yang tertutup, ada
pula yang patuh pada dinding rahim namun mudah dipisahkan secara manual
(placenta adherens) sedangkan yang lainnya secara patologis menyerang
miometrium (placenta accreta).
Terdapat 3 mekanisme utama penyebab dari retensio plasenta, yaitu:
a. Invasive Plasenta
Perlekatan plasenta yang tidak normal yang disebabkan karena trauma pada
endometrium karena prosedure operasi sebelumnya. Hal ini menyebabkan
kelainan pada perlekatan plasenta mulai dari plasenta adherent, akreta hingga
perkreta. Proses ini menghambat pelepasan plasenta yang mengarah ke
retensio plasenta. Mekanisme ini terdapat pada karakteristik pasien dan
riwayat obstetrik.
b. Hipoperfusi Plasenta
Hubungan antara hipoperfusi plasenta dengan retensio plasenta adalah adanya
oxidative stress, yang diakibatkan oleh remodelling arteri spiral yang tidak

21
lengkap dan plasentasi yang dangkal, hal ini umum pada hipoperfusi plasenta
dengan retensio plasenta. Pada model kedua ini terdapat pada hipoperfusi
plasenta, berkaitan dengan komplikasi kehamilan terkait plasenta.
c. Kontraktilitas yang tidak Adekuat
Tidak adekuatnya kontraksi pada retro-placental myometrium adalah
mekanisme ke tiga yang menyebabkan retensio plasenta. Pada model ketiga
berkaitan dengan persalinan itu sendiri (Kusumastuti,2018).
Secara normal dengan adanya kontraksi uterus yang kuat biasanya
pelepasan plasenta dapat terjadi dalam sekali atau dua kali kontraksi. Umumnya
plasenta dapat terlepas dari implantasinya dalam waktu 15 menit pada lebih
kurang 90% wanita dan dalam 30 menit pada kurang lebih 50% wanita
(Vitriyani.,dkk,2019).
Penting untuk segera memeriksa ukuran dan konsistensi fundus uteri
setelah lahirnya bayi. Jika konsistensi uterus teraba keras dan tidak terjadi
perdarahan yang berlebihan tunggu secara seksama hingga plasenta terlepas
sendiri, tidak dianjurkan memijat uterus namun sering kali fundus dipalpasi untuk
memeriksa bahwa tidak terjadi atonia uteri dan terisi dara akibat pelepasan
plasenta (Hardiana,2019).
4. Tanda dan Gejala Retensio Plasenta
a. Gejala pada Separasi/akreta parsial
konsistensi uterus Kenyal, tinggi fundus sepusat, bentuk uterus diskoid,
perdarahan sedang-banyak, tali pusat terjulur sebagian , ostium uteri terbuka,
separasi plasenta lepas, syok sering.
b. Gejala pada Plasenta inkarserata
Konsistensi uterus keras, tinggi fudus 2 jari bawah pusat, bentuk uterus agak
globuler, perdarahan sedang, tali pusat terjulur, ostium uteri kontriksi,
separasi plasenta sudah lepas, syok jarang,
c. Gejala pada Plasenta Akreta
Konsistensi uterus cukup,tinggi fundus sepusat, bentuk uterus dsikoid,
perdarahan sedikit atau tidak ada, tali pusat tidak terjulur, ostium uteri terbuka,
separasi plasenta melekat seluruhnya, syok jarang sekali kecuali akibat
inversio oleh tarikan kuat pada tali pusat (Kusumastuti,2018).
5. Faktor-Faktor Terjadinya Retensio Plasenta

22
Pada beberapa kasus retensio plasenta dapat terjadi retensio berulang (habitual
retensio plasenta), plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan
perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadi plasenta incarserata,
polip plasenta, degenarasi ganas khoriokarsinom (Mochtar, 2011, dalam Hardiana
2019).
Penyebab terjadinya retensio plasenta secara fungsional dapat terjadi karena
his kurang kuat (penyebab terpenting), dan plasenta sukar terlepas karena
tempatnya (insersi disudut tuba), bentuknya (plasenta membranasea, plasenta
anularis), dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil). plasenta yang sukar lepas
karena penyebab diatas disebut plasenta adhesive. (Rukiyah, 2010, dalam
Hardiana 2019).
Retensio plasenta disebabkan oleh berbagai faktor yaitu faktor maternal dan
faktor uterus. Faktor maternal antara lain gravida berusia lanjut. Faktor uterus
yaitu bekas sectio caesarea, bekas kuretase, riwayat retensio plasenta pada
persalinan terdahulu, riwayat endometritis. Retensio plasenta juga disebabkan oleh
multiparitas dan faktor plasenta yaitu implantasi plasenta seperti plasenta
adhesiva, plasenta akreta, plasenta inkreta dan plasenta perkreta. Faktor
predisposisi lainnya yaitu usia, jarak persalinan, penolong persalinan, riwayat
manual plasenta, anemia, riwayat pembedahan uterus, destruksi endometrium dari
infeksi sebelumnya atau bekas endometritis dan implantasi corneal
(Manuaba,2010 dalam Soejoenoes 2018).
a. Usia
Usia adalah masa hidup ibu yang dihitung sejak lahir dalam satuan
tahun. Seorang ibu dengan usia 35 tahun atau lebih merupakan faktor risiko
tinggi pada ibu yang dapat mempertinggi risiko kematian perinatal dan
kematian maternal. Usia 35 tahun keatas merupakan usia berisiko terjadi
kesakitan dan kematian maternal dengan risiko sebesar 5,4 kali dan semakin
meningkat pada usia >40 tahun dengan risiko sebesar 15,9 kali dibandingkan
usia lebih muda.Semakin meningkat usia ibu semakin meningkat pula risiko
untuk terjadi retensio plasenta. Semakin tinggi usia berisiko 1,8 kali untuk
terjadi retensio plasenta. Usia merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan
yang dapat mengakibatkan kematian maternal.
Hal ini disebabkan usia ibu berkaitan dengan penurunan kualitas dari
tempat plasentasi atau perbedaan angiogenesis yang bertanggung jawab atas

23
peningkatan risiko terjadinya retensio plasenta. Usia 30 tahun sudah mulai
berisiko terjadi perdarahan postpartum. Kala III lama dan retensio plasenta
berhubungan dengan perdarahan postpartum dengan risiko sebesar 4,1 kali.
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa usia merupakan salah satu
faktor risiko dari retensio plasenta, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Owolabi et al menyatakan bahwa usia ≥35 tahun 7.10 kali berisiko terjadi
retensio plasenta, penelitian yang dilakukan oleh Khotijah mengungkapkan
bahwa usia 35 tahun berhubungan dan berisiko 2 kali dengan kejadian retensio
plasenta, penelitian yang dilakukan oleh Anggrita Sari mengungkapkan bahwa
usia 35 tahun berhubungan dengan kejadian retensio plasenta, penelitian yang
dilakukan oleh Riyanto mengungkapkan bahwa usia 35 tahun berhubungan
dan berisiko 2.4 kali terjadi retensio plasenta, dan penelitian yang dilakukan
oleh Yulianus Sudarman mengungkapkan bahwa usia 35 tahun berhubungan
dan berisiko 3.383 kali terjadi retensio plasenta.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Mayang Notika Ratu yang
mengungkapkan bahwa usia risiko tinggi berhubungan dengan kejadian
retensio plasenta. Penelitian yang dilakukan oleh Naushaba Rizwan
mengungkapkan bahwa mayoritas ibu bersalin yang mengalami retensio
plasenta berusia 26-30 tahun. Penelitian yang dilakukan Elizabeth et al
menyatakan bahwa usia >30 tahun merupakan faktor risiko terjadinya retensio
plasenta. Faktor risiko semakin meningkat pada usia 35-39 tahun dan ≥35
tahun, pada penelitian yang dilakukan Elizabeth et al usia dibagi dalam 5
tahun yaitu usia (Kusumastuti,2018).
Hal ini dapat terjadi karena pada usia di bawah 20 tahun fungsi
reproduksi seorang wanita belum berkembang secara sempurna Sedangkan,
pada wanita usia lebih dari 35 tahun fungsi reproduksinya mengalami
penurunan sehingga terjadi komplikasi seperti perdarahan pasca persalinan
yang diakibatkan retensio plasenta. Oleh karena itu pertimbangan usia dalam
kehamilan atau persalinan menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan
(Wiknjosastro, 2009 dalam Vitriani 2019).
b. Paritas
Para adalah jumlah kehamilan yang berakhir dengan kelahiran bayi
atau bayi telah mencapai titik mampu bertahan hidup. Titik ini
dipertimbangkan dicapai pada usia kehamilan 20 minggu (atau berat janin 500

24
g), yang merupakan batasan pada definisi aborsi. Suatu peningkatan pada
paritas seorang dicapai hanya jika kehamilan menghasilkan janin yang mampu
bertahan hidup.
Sebagai contoh, wanita yang telah hamil dua kali dan telah melakukan
aborsi pada trimester pertama adalah gravida 2, para 0. Permasalahannya
bukan terletak pada jumlah janin yang mempu bertahan hidup, melainkan
jumlah kehamilan dengan janin yang mencapai titik bertahan hidup. Hal ini
yang menentukan paritas. Jadi, status wanita yang pernah hamil dan
melahirkan bayi dengan berat 2kg adalah gravida, para 1. Para tidak
dipengaruhi apakah janin lahir mati atau hidup. Wanita yang telah hamil dua
kali dengan salah satu kehamilan menghasilkan janin lahir mati dengan usia
cukup bulan dan janin yang lain lahir hidup dengan usia cukup bulan memiliki
status Gravida 2, Para 2.Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali
dengan janin mencapai titik mampu bertahan hidup. Sayangnya, istilah
primipara sering digunakan saling tertukar dengan primigravida. Namun, tidak
mungkin bagi primipara menjadi primigravida kecuali wanita tersebut
melahirkan bayi yang mencapai titik mampu bertahan hidup.
Sedangkan multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami dua
kehamilan atau lebih dengan janin memcapai titik mampu bertahan hidup.
Adalah hal yang mungkin bila multigravida tidak menjadi multipara karena
pada sistem ini, jumlah para dapat lebih sedikit, tetapi tidak perah melebihi
dari jumlah gravida. Seorang wanita yang kehamilannya tidak mencapai titik
bertahan hidup disebut nulllipara.
Para adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm, Primipara
adalah wanita yang telah melahirkan bayi aterm sebanyak satu kali, Multipara
(pleuripara) adalah wanita yang telah melahirkan anak hidup beberapa kali,
dimana persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali, dan Grandemultipara
adalah wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih dari lima kali.Para tidak
dapat memberi informasi cukup mengenai jumlah kehamilan yang pernah
dialami seorang wanita.
Untuk alasan ini, sistem dua angka Gravida/Para sangat jarang
digunakan. Sistem empat atau lima angka lebih umum digunakan sebagai
pengganti para, kendati pada praktiknya, angka-angka ini sering disalahartikan
sebagai para. Hal ini membingungkan karena sistem ini menghitung setiap

25
bayi yang dilahirkan, bukan menghitung jumlah kehamilan yang mencapai
titik janin mampu bertahan hidup, yang merupakan dasar untuk menentukan
para. Ibu bersalin dengan paritas yang tinggi berisiko terjadi kesakitan dan
kematian maternal. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, paritas 2
berisiko 1,19 kali terjadi kesakitan maternal dan meningkat pada paritas ≥3
berisiko 1,45 kali.
Kejadian Retensio Plasenta sering terjadi pada ibu multipara dan
grandemultipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk plasenta adhesiva,
plasenta akreta, plasenta inkreta, dan plasenta perkreta. Retensio plasenta akan
mengganggu kontraksi otot rahim dan akan menimbulkan perdarahan.
Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan bahwa darah penderita
terlalu banyak hilang, keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga
perdarahan tidak terjadi, kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.
Semakin meningkat paritas semakin meningkat pula kelainan pada
tempat implantasi plasenta. Dengan kehamilan berulang, otot rahim digantikan
oleh jaringan fibrosa, dengan penurunan dari kekuatan kontraktil rahim
akhirnya dapat menyebabkan atonia uteri dan retensio plasenta.
Pasien multipara dan grandemultipara memiliki risiko tinggi terhadap
kejadian perdarahan pasca persalinan dan retensio plasenta.Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, multiparitas berisiko 1,47 kali terjadi
perdarahan dan 1,03 kali terjadi retensio plasenta. Banyak penelitian yang
menyatakan bahwa paritas berhubungan dengan kejadian retensio plasenta
seperti penelitian yang dilakukan oleh Owolabi et al menyatakan bahwa
paritas ≥5 berhubungan dengan terjadinya retensio plasenta, penelitian yang
dilakukan oleh Khotijah juga menyatakan bahwa multiparitas berhubungan
dengan kejadian retensio plasenta, penelitian yang dilakukan oleh Mayang
Notika Ratu juga menyatakan bahwa multiparitas berhubungan dengan
kejadian retensio plasenta.
Tidak hanya pada multiparitas/grandemultipara yang merupakan faktor
terjadinya reteniso plasenta, menurut sumber yang lain mengungkapkan
nullipara merupakan faktor risiko terjadinya retensio plasenta. Penelitian yang
dilakukan oleh Shirley Greebaum et al menyatakan bahwa paritas
berhubungan dengan kejadian retensio plasenta. Penelitian yang dilakukan
oleh Anggrita Sari yang menyatakan bahwa multiparitas berhubungan dengan

26
kejadian retensio plasenta, penelitian yang dilakukan oleh Naushaba Rizwan
mengungkapkan bawa retensio plasenta terjadi pada ibu bersalin dengan
paritas yang rendah sebesar (44,4)%.
Penelitian yang dilakukan oleh Yulianus Sudarman mengungkapkan
bahwa paritas ≥2 berhubungan dengan kejadian retensio plasenta. Akan tetapi,
penelitian yang dilakukan oleh Hirokazu Naoi menyatakan bahwa primipara
berhubungan dengan kejadian retensio plasenta (Kusumastuti,2018).
c. Plasenta Previa
Plasenta Previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.
Angka kejadian plasenta previa adalah 0.4-0.6% dari keseluruhan persalinan.
Dengan penatalaksanaan dan perawatan yang baik, mortalitas perinatal adalah
50/1000 kelahiran hidup.
Menurut Fox dalam tinjauannya mengenai laporan 622 kasus plasenta
akreta yang dikumpulkan antara tahun 1945-1969, ditemukan plasenta previa
pada sepertiga kehamilan yang terlibat. karena di bagian isthmus uterus,
pembuluh sedikit sehingga perlu masuk jauh ke dalam.10,28Berdasarkan
penelitian yang sudah dilakukan, plasenta previa yang didiagnosis selama
kehamilan memiliki risiko 65,02 kali terjadi plasenta akreta hingga perkreta
(Kusumastuti,2018).
d. Kadar Hemoglobin (Hb)
Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah sel darah merah atau
penurunan konsentrasi hemoglobin di dalam sirkulasi darah. Definisi anemia
yang diterima secara umum adalah kadar Hb kurang dari 12.0 gram per 100
mililiter (12 gram/desiliter) untuk wanita tidak hamil dan kurang dari 10.0
gram per 100 milimeter (10gram/desiliter) untuk wanita hamil. Anemia pada
kehamilan yang disebabkan kekurangan zat besi mencapai kurang lebih 95
persen.
Kadar haemoglobin merupakan faktor predisposisi terjadinya plasenta
akreta. Bahaya anemia saat persalinan adalah gangguan his (kekuatan
mengejan), kala pertama dapat berlansung lama, dan terjadi partus terlantar,
kala dua berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan
tindakan operasi kebidanan, kala uri dapat diikuti retensio plasenta, dan

27
perdarahan postpartum karena atonia uteri, kala empat dapat terjadi
perdarahan postpartum sekunder dan atonia uteri.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Riyanto menyatakan bahwa
ada hubungan anemia dengan kejadian retensio plasenta. Ibu dengan anemia
dapat menimbulkan gangguan pada kala uri yang dikuti retensio plasenta. Ibu
yang memasuki persalinan dengan konsentrasi haemoglobin yang rendah
dibawah 10g/dl dapat mengalami penurunan yang cepat lagi jika terjadi
perdarahan. Anemia berkaitan dengan debilitas yang merupakan penyebab
lebih langsung terjadinya retensio plasenta (Kusumastuti,2018).
Pada interval kehamilan terlalu pendek (< 2 tahun) uterus belum cukup
waktu untuk kembali pulih secara fisiologis dari tekanan kehamilan
sebelumnya. Kondisi uterus pada jarak kehamilan pendek belum mampu
secara maksimal untuk memberikan cadangan nutrisi bagi ibu dan janin,
sehingga ibu mengalami gangguan gizi dan anemia serta gangguan
perkembangan janin.
Anemia (kadar Hb < 11 g/dl) trimester III berisiko signifikan terhadap
PPH OR 3,58; 95% CI (1,23 – 10,43); p value= 0,019. Berarti ibu yang
mengalami anemia berisiko 3,89 kali lebih untuk mengalami PPH
dibandingkan ibu yang kadar Hb-nya normal.
Hasil penelitian Buzaglo et al, juga menunjukkan bahwa kejadian
anemia berpengaruh signifikan terhadap kejadian perdarahan postpartum dini
pada persalinan pervaginam pertama kali p-value= < 0,001. Penelitian lain
menyebutkan bahwa anemia berpengaruh signifikan terhadap kejadian
perdarahan postpartum dengan OR;7,89; p= 0,000.33,34 Kadar Hb rendah
berhubungan dengan terjadinya retensio plasenta yang merupakan salah satu
penyebab kejadian PPH, semakin rendah kadar Hb maka kejadian retensio
plasenta semakin tinggi dengan OR= 2,11 p=0,001.
Anemia dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal
terutama di negara-negara miskin karena berkaitan erat dengan perdarahan.
Anemia pada saat kehamilan akan berpengaruh terhadap persalinan dan paska
persalinan (kala nifas).
Bahaya anemia selama persalinan dapat menimbulkan gangguan his,
kala satu dan kala dua berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan
sering memerlukan tindakan operasi kebidanan, gangguan kala uri yang dapat

28
diikuti retensio plasenta, dan PPH karena atonia uteri, kala empat dapat
terjadai PPH sekunder dan atonia uteri.
Oleh karena itu dalam upaya mencegah anemia pada ibu hamil
suplemen tablet Fe pada ibu hamil tetap perlu diberikan melihat kondisi sosial
ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang sebagian besar
masih miskin terutama daerah pedesaan. 25 Riwayat abortus berisiko
bermakna terhadap kejadian perdarahan postpartum dengan OR=4,93; 95% CI
1,2 – 20,32; pvalue= 0,027 (Soejoenoes,2018).
e. Riwayat Seksio Sesarea (SC)
Seksio Sesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan
berat diatas 500 gram, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh
(intact). Insiden dari plasenta akreta, inkreta, dan perkreta meningkat selama
beberapa dekade terakhir. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya jumlah
sectio caesarea. Insiden dari plasenta akreta, inkreta, dan perkreta juga
meningkat selama beberapa dekade terakhir.
Retensio plasenta/ perlengketan plasenta perlu diwaspadai terjadi pada
Vaginal Birth After Caesar (VBAC) saat melakukan penatalaksanaan kala III.
VBAC adalah proses melahirkan pervaginam setelah pernah melakukan seksio
sesarea. Hal ini dikarenakan perlekatan plasenta yang tidak normal dapat
disebabkan oleh trauma pada endometrium karena prosedure operasi
sebelumnya sehingga menyebabkan kelainan pada perlekatan plasenta mulai
dari plasenta adherent, akreta, hingga perkreta. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, risiko untuk terjadi plasenta akreta pada ibu bersalin dengan
riwayat seksio sesarea sebelumnya sebesar 7,9 kali.
Dalam penatalaksanaan kala tiga akan sangat berguna untuk mengingat
bahwa terdapat peningkatan insiden plasenta yang terimplantasi pada jaringan
parut uterus.
Penelitian yang dilakukan oleh Johanna Belachew et al menyatakan
bahwa perdarahan dan retensio plasenta berisiko tinggi terjadi pada ibu
bersalin dengan riwayat seksio sesarea pada persalinan sebelumnya. Penelitian
yang dilakukan oleh Elizabeth M Coviello et al menyatakan bahwa tidak ada
hubungan riwayat seksio sesarea dengan kejadian retensio plasenta. Hal ini
sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hirokazu Naoi yang menyatakan

29
bahwa tidak ada hubungan riwayat seksio sesarea dengan kejadian retensio
plasenta (Kusumastuti, 2018).
f. Riwayat Kuretase
Prosedure Kuretase adalah serangkaian proses pelepasan jaringan yang
melekat pada dinding kavum uteri dengan melakukan invasi dan
memanipulasi instrumen (sendok kuret) ke dalam kavum uteri. Sendok kuret
akan melepaskan jaringan tersebut dengan teknik pengerokan secara
sistematik. Hal ini dilakukan dengan indikasi abortus inkomplit dan abortus
septik.
Kuretase juga dapat dilakukan pascapersalinan. Pada prinsipnya,
tindakan kuretase adalah serangkaian proses dengan memanipulasi jaringan
dan instrumen untuk melepas jaringan yang melekat pada dinding kavum
uteri, dengan jalan mengerok jaringan tersebut secara sistematik.
Kuretase pasca persalinan menjadi khusus karena dilakukan setelah
plasenta lahir dan sebagian dari jaringan plasenta masih melekat pada dinding
kavum uteri. Uterus masih berukuran cukup besar dan lunak sehingga risiko
tindakan ini, cukup tinggi. Instrumen atau sendok kuret yang dipergunakan
adalah sendok besar dengan tangkai yang lebih panjang. Untuk fiksasi porsio,
digunakan klem ovum. Indikasi kuretase pascapersalinan adalah sisa plasenta
dan sisa selaput ketuban.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Owolabi et al menyatakan
bahwa riwayat kuretase berhubungan dan berisiko 4.44 kali terjadi retensio
plasenta. Hal ini berkaitan dengan hipotesis bahwa kuretase menyebabkan
luka dan membuat kerusakan pada endometrium yang menjadi predisposisi
villi khorionik melakukan penetrasi pada otot uterus. Menurut Fox dalam
tinjauannya mengenai 622 kasus plasenta akreta yang dikumpulkan pada tahun
1945-1969 ditemukan hampir sepertiga nya pernah mengalami kuretase
(Kusumastuti,2018).
g. Riwayat Manual Plasenta Sebelumnya
Manual Plasenta adalah tindakan prosedur pelepasan plasenta dari
tempat implantasinya pada dinding uterus dan mengeluarkannya dari cavum
uteri secara manual. Arti dari manual adalah dengan melakukan tindakan
invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan langsung

30
ke dalam kavum uteri. Indikasi dari manual plasenta adalah retensio
plasenta/plasenta adhesiva.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Owolabi et al meyatakan
bahwa riwayat retensio plasenta berhubungan dan berisiko 15 kali terjadi
retensio plasenta. Hal ini dikarenakan Separasi plasenta pada kelahiran
pervaginam dapat tertunda karena kontraktilitas miometrium yang buruk atau
perlekatan abnormal dari plasenta ke miometrium (Kusumastuti,2018).
h. Pre Eklamsia
Pre eklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai proteinuria. Pre eklamsia merupakan penyulit kehamilan
yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan postpartum. Dari gejala-gejala
klinik preeklamsia dapat dibagi menjadi preeklamsia ringan dan preeklamsia
berat.
Penelitian yang dilakukan oleh M Endler mengungkapkan bahwa pre
eklamsia berhubungan dengan kejadian retensio plasenta.5,47 Kondisi ini
sering ditemukan bersamaan dengan IUGR dan IUFD. Hal ini dianggap
menyebabkan gangguan plasentasi sehingga plasenta melekat lebih dalam.
Plasentasi yang terganggu dan IUGR terjadi akibat dari perbedaan model arteri
spiral yang tidak sempurna dengan otot polos di arteri spiral plasenta
menyebabkan reperfusi cedera perfusi di dalam jaringan plasenta dan stres
oksidatif.
Plasenta pada kehamilan dengan preeklamsia dan IUGR ditandai
dengan atherosis dan peningkatan tanda-tanda histologis maternal seperti
plasenta infark, meningkat ikatan jaringan dan fibrosis vili terminal.
Preeklmasia juga terkait dengan respon inflamasi sistemik yang berlebihan
pada tubuh ibu dan jaringan plasenta namun histologis akut peradangan tidak
meningkat (Kusumastuti,2018).
i. Persalinan Pre-term
Persalinan preterm adalah persalinan yang dimulai setiap saat setelah
awal minggu gestasi ke-20 sampai akhir minggu gestasi ke-37. Persalinan
prematur mencapai puncaknya pada kelahiran prematur yang merupakan
hampir 12 persen dari semua kelahiran di Amerika Serikat dan merupakan
urutan kedua penyebab defek kelahiran sebagai penyebab utama mortalitas
neonatus.

31
Faktor predisposisi dari persalinan preterm adalah abrupsio plasenta
atau plasenta previa dan kematian janin. Apabila dilihat dari faktor
predisposisinya hal ini berkaitan dengan faktor risiko terjadinya retensio
plasenta.
Penelitian yang dilakukan oleh M Endler mengungkapkan bawa pre
term berhubungan dengan kejadian retensio plasenta. Semakin kecil usia
kehamilan, risiko terjadinya retensio plasenta juga semakin
meningkat.Retensio plasenta ditemukan sangat berkaitan dengan persalinan
premature, terutama kurang dari 27 minggu usia kehamilan. Hal ini diyakini
bahwa faktor risiko seperti serangan jantung atau degenerasi fibrinoid dari
arteriol desidua sering menyebabkan persalinan prematur dan perlekatan
abnormal dari plasenta.4
j. Kelahiran Mati (Stillbirth)
Definisi yang direkomendasikan oleh WHO untuk perbandingan
internasional adalah bayi yang lahir tanpa tanda-tanda kehidupan pada atau
setelah kehamilan 28 minggu. Penyebab utama lahir mati meliputi komplikasi
kelahiran anak, kehamilan post-term, infeksi ibu hamil (malaria, sifilis dan
HIV), Gangguan maternal (terutama hipertensi, obesitas dan diabetes),
pembatasan pertumbuhan janin dan kelainan kongenital. Insidensi stillbirth
pada tahun 2015 ada 2,6 juta kelahiran mati secara global, dengan lebih dari
7178 kematian per hari.
Mayoritas kematian ini terjadi di negara-negara berkembang.
Sembilan puluh delapan persen terjadi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Sekitar setengah dari semua kelahiran mati lahir terjadi pada
periode intrapartum, mewakili waktu risiko terbesar. Perkiraan proporsi
kelahiran mati yang intrapartum bervariasi dari 10% di daerah maju menjadi
59% di Asia selatan.
Pada penelitian-penelitian yang telah ada mengungkapkan bahwa baik
dalam masa kehamilan atau masa persalinan stillbirth termasuk salah satu
alasan yang menyatakan bahwa kematian pada masa persalinan merupakan
refleksi insufisiensi plasenta dikarenakan plasentasi yang tidak tepat.
Mayoritas kematian ini terjadi di negara-negara berkembang. Sembilan
puluh delapan persen terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Sekitar setengah dari semua kelahiran mati lahir terjadi pada periode

32
intrapartum, mewakili waktu risiko terbesar. Perkiraan proporsi kelahiran mati
yang intrapartum bervariasi dari 10% di daerah maju menjadi 59% di Asia
selatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth et al yang mengungkapkan
bahwa stillbirth berhubungan dengan kejadian retensio plasenta. Dari
penelitiannya ia mengungkapkan bahwa dari penelitian sebelumnya ditemukan
bahwa hal itu berkaitan dengan placenta pathology dan infeksi intrauterin.
Penelitian lain yang dilakukan oleh M Endler juga mengungkapkan bahwa
stillbirth berhubungan dengan kejadian retensio plasenta (Kusumastuti,2018).
k. Kehamilan Kembar
Kehamilan kembar adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih.
Kehamilan kembar dapat memberikan risiko yang lebih tinggi terhadap bayi
dan ibu. Oleh karena itu, dalam menghadapi kehamilan kembar harus
dilakukan pengawasan hamil yang lebih intensif. Setelah persalinan, terjadi
gangguan kontraksi otot rahim yang menyebabkan atonia uteri, retensio
plasenta, dan plasenta rest. Pada kehamilan kembar perlu di waspadai
komplikasi postpartum berupa retensio plasenta, atonia uteri, plasenta rest,
perdarahan postpartum, dan infeksi (Kusumastuti,2018).
l. Small Pacenta
Plasenta berbentuk bundar dengan ukuran 15 cm x 20 cm dengan tebal 2.5
sampai 3 cm dan berat plasenta 500 gram. Tali menghubungkan plasenta
panjangnya 25 sampai 60 cm. Penelitian yang dilakukan oleh Owolabi et al
menyatakan bahwa plasenta dengan berat ≤500 gram berhubungan dengan
kejadian retensio plasenta (Kusumastuti,2018).
m. Riwayat Abortus
Abortus adalah terhentinya dan dikeluarkannya hasil konsepsi sebelum
mampu hidup di luar kandungan, usia kehamilan sebelum 28 minggu, berat
janin kurang dari 1000 gram. Abortus merupakan salah satu faktor risiko yang
mempengaruhi kejadian retensio plasenta. Teori menyatakan bahwa riwayat
abortus merupakan etiologi dari terjadinya plasenta akreta karena gangguan
perlekatan plasenta pada miometrium (Kusumastuti, 2018).
n. Delieryin a labour bed

33
Persalinan yang dilakukan di meja persalinan merupakan faktor etiologi dari
trapped placenta. Hal ini dikarenakan kehilangan gaya gravitasi atau
tertutupnya serviks (Kusumastuti, 2018).
o. Penggunaan Ergometrin
Penggunaan ergometrin secara rutin sebelum melahirkan plasenta dapat
menyebabkan plasenta tertahan karena ergometrin menyebabkan klonik atau
kontraksi secara tetanik. Hal ini, meningkatkan faktor risiko terjadinya
retensio plasenta (Kusumastuti,2018).
p. Augmented Labour by Oxytocin
Penggunaan oksitosin pada saat persalinan merupakan salah satu faktor risiko
dari terjadinya retensio plasenta. Hal ini disebabkan karena plasenta yang
persisten sehingga menyebabkan terganggunya pelepasan plasenta. Penelitian
yang dilakukan oleh Margit Endler et al menyatakan bahwa augmented labour
berisiko 1.74 terjadinya retensio plasenta. Pada penelitian ini juga
diungkapkan bahwa penggunaan oksitosin selama 415 menit meningkatkan
risiko terjadinya retensio plasenta sebesar 6.24 kali (Kusumastuti,2018).
6. Komplikasi Retensio Plasenta
Retensio plasenta memiliki makna klinis yang cukup penting karena
morbiditas dan mortalitas yang timbulkannya. Komplikasinya meliputi:
a. Perdarahan postpartum
Retensio plasenta menjadi salah satu penyebab terjadinya perdarahan
postpartum. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Endler et al
menyatakan bahwa retensio plasenta berhubungan dengan kehilangan darah
sebesar ≥500 ml dengan OR 33,07 kali, ≥1000 ml dengan OR 43,44 kali, dan
sebesar ≥2000 ml dengan OR sebesar 111,24 kali.
b. Infeksi
Penatalaksanaan retensio plasenta dengan manual plasenta meningkatkan
risiko terjadinya endometritis (Kusumastuti,2018).
F. Perdarahan Post Partum Primer
1. Pengertian Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih
setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir) (Wiknjosastro, 2000).
Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari 4
cm sampai penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks sudah

34
membuka lengkap sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak, kemudian
dilanjutkan dengan kala III persalinan yang dimulai dengan lahirnya bayi dan
berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan postpartum terjadi setelah kala
III persalinan selesai (Saifuddin, 2002).
Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok, ataupun
merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus dan ini
juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak yang
mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok.
2. Penyebab Perdarahan Postpartum
a. Atonia uteri 50% - 60%
b. Retensio plasenta 16% - 17%
c. Sisa plasenta 23% - 24%
d. Laserasi jalan lahir 4% - 5%
e. Kelainan darah 0,5% - 0,8%
3. Klasifikasi Perdarahan Postpartum
Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 2010)
a. Perdarahan Postpartum Primer
Perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama
kelahiran.
Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
Terbanyak dalam 2 jam pertama.
b. Perdarahan Postpartum Sekunder
Perdarahan pascapersalinan yang terjadi setelah 24 jam pertama
kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi,
penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.
b. Gejala Klinik Perdarahan Postpartum
Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak
10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru
tampak pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan
pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah
tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah

35
rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain
(Wiknjosastro, 2005).
4. Diagnosis Perdarahan Postpartum
Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut ini
Gejala dan tanda yang Gejala dan tanda yang Diagnosis
No
selalu ada kadang-kadang ada kemungkinan
1 a. Uterus tidak
berkontraksi dan
lembek
b. Perdarahan segera
Syok Atonia Uteri
setelah anak lahir
(Perdarahan
Pascapersalinan
Primer atau P3)
2 a. Perdarahan segera
(P3)
b. Darah segar yang
mengalir segera a. Pucat
setelah bayi lahir b. Lemah Robekan Jalan Lahir
(P3) c. Menggigil
c. Uterus kontraksi
baik
d. Plasenta lengkap
3 a. Plasenta belum lahir a. Tali pusat putus
setelah 30 menit akibat traksi
b. Perdarahan segera berlebihan
Retensio plasenta
(P3) b. Inversio uteri akibat
c. Uterus kontraksi tarikan
baik c. Perdarahan lanjutan
4 a. Plasenta atau Uterus berkontraksi Tertinggalnya sebagian
sebagian selaput tetapi tinggi fundus tidak plasenta
(mengandung berkurang
pembuluh darah)
tidak lengkap
b. Perdarahan segera

36
(P3)
5 a. Uterus tidak teraba
b. Lumen vagina terisi
massa
c. Tampak tali pusat
(jika plasenta belum a. Syok neurogenik
Inversio uteri
lahir) b. Pucat dan limbung
d. Perdarahan segera
(P3)
e. Nyeri sedikit atau
berat
6 a. Sub-involusi uterus
b. Nyeri tekan perut
bawah
c. Perdarahan lebih
dari 24 jam setelah a. Perdarahan
persalinan terlambat
a. Anemia
d. Perdarahan sekunder b. Endometritis atau
b. Demam
atau P2S. sisa plasenta
e. Perdarahan (terinfeksi atau
bervariasi (ringan tidak)
atau berat, terus
menerus atau tidak
teratur) dan berbau
(jika disertai infeksi)
7 a. Perdarahan segera
(P3) (Perdarahan a. Syok
Robekan dinding
intraabdominal dan b. Nyeri tekan perut
uterus (ruptura uteri)
atau vaginum) c. Denyut nadi ibu cepat
b. Nyeri perut berat
5. Penyebab Perdarahan Postpartum Primer
a. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi
setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar,
lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat

37
dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri
ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya
plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan (Faisal, 2008).
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan
bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan
pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan
ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah
lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka
delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas,
jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan
miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan
pasca persalinan (Faisal, 2008).
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :
1). Partus lama
2). Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil
kembar, hidramnion atau janin besar
3). Multiparitas
4). Anestesi yang dalam
5). Anestesi lumbal
Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah
penanganan kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya
ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta
belum terlepas dari dinding uterus (Wiknjosastro, 2005).
b. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam
setelah janin lahir. Hal tersebut disebabkan (Wiknjosastro, 2005)
1). Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2). Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan,
tapi bila sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini
merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta belum lepas
dari dinding uterus disebabkan :
1). Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva

38
2). Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus desidua sampai miometrium (plasenta akreta)
3). Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta).
Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio
plasenta).
c. Sisa Plasenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.
Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi
potonganpotongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan
bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus
harus dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan (Faisal, 2008).
d. Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.
Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya
disebabkan oleh robekan serviks atau vagina (Saifuddin, 2002).
Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan
perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga perlu
dilakukan setelah persalinan. Robekan jalan lahir selalu memberikan
perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal
dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan
sehingga dapat diatasi.
Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan
robekan uterus (ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan
robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat arterill atau pecahnya
pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat
dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum setelah
sumber perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan
melakukan ligasi.
e. Inversio Uteri

39
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam
kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan.
Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus
uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali
ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.
Sebab inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala
III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada
plasenta yang belum terlepas dari insersinya.
Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam beberapa tingkat
(Wiknjosastro, 2005) :
1). Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari
ruang tersebut
2). Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
3). Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di
luar vagina.
Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi,
apabila kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa
nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok.
f. Penanganan Perdarahan Postpartum Primer
Pencegahan Perdarahan Postpartum Primer Penanganan terbaik
perdarahan postpartum adalah pencegahan. Mencegah atau sekurang-
kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan terjadi
perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu
bersalin, namun sudah dimulai sejak wanita hamil dengan antenatal care yang
baik. Pengawasan antenatal memberikan manfaat dengan ditemukannya
berbagai kelainan secara dini, sehingga dapat diperhitungkan dan dipersiapkan
langkah-langkah dalam pertolongan persalinannya.
Kunjungan pelayanan antenatal bagi ibu hamil paling sedikit 4 kali
kunjungan dengan distribusi sekali pada trimester I, sekali trimester II, dan
dua kali pada trimester III. Anemia dalam kehamilan harus diobati karena
perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang
sudah anemia. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan yang banyak,
kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta. Apabila sebelumnya

40
penderita sudah mengalami perdarahan postpartum, persalinan harus
berlangsung di rumah sakit.
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb,
golongan darah dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi
persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim
(uterus tonikum). Setelah ketuban pecah kepala janin mulai membuka vulva,
infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan ampul methergin atau
kombinasi 5 satuan sintosinon (sintometrin intravena) (Mochtar, 1995).
Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum
plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk
mencegah perdarahan postpartum. Sepuluh satuan oksitosin diberikan
intramuskulus segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan
plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin
intramuskulus. Kadang-kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan
bayi lahir dengan tekanan pada fundus uteri plasenta dapat dikeluarkan dengan
segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian
ergometrin setelah bahu depan bayi lahir adalah kemungkinan terjadinya
jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gemelli yang tidak
diketahui sebelumnya (Wiknjosastro, 2005).
Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal harus
dilakukan, yakni menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi
akibat perdarahan. Setelah plasenta lahir perlu ditentukan apakah disini
dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Jika
plasenta belum lahir (retensio plasenta), segera dilakukan tindakan untuk
mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2005).
g. Manajemen Aktif Kala III
Manajemen aktif persalinan kala III terdiri atas intervensi yang
direncanakan untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan
kontraksi rahim dan untuk mencegah perdarahan pasca persalinan dengan
menghindari atonia uteri, komponennya adalah (Shane, 2002) :
1). Memberikan obat uterotonika (untuk kontraksi rahim) dalam waktu dua
menit setelah kelahiran bayi Penyuntikan obat uterotonika segera setelah
melahirkan bayi adalah salah satu intervensi paling penting yang
digunakan untuk mencegah perdarahan pasca persalinan. Obat uterotonika

41
yang paling umum digunakan adalah oxytocin yang terbukti sangat efektif
dalam mengurangi kasus perdarahan pasca persalinan dan persalinan lama.
Syntometrine (campuran ergometrine dan oxytocin) ternyata lebih efektif
dari oxytocin saja. Namun, syntometrine dikaitkan dengan lebih banyak
efek Universitas Sumatera Utara samping seperti sakit kepala, mual,
muntah, dan tekanan darah tinggi. Prostaglandin juga efektif untuk
mengendalikan perdarahan, tetapi secara umum lebih mahal dan memiliki
bebagai efek samping termasuk diarrhea, muntah dan sakit perut.
2). Menjepit dan memotong tali pusat segera setelah melahirkan Pada
manajemen aktif persalinan kala III, tali pusat segera dijepit dan dipotong
setelah persalinan, untuk memungkinkan intervensi manajemen aktif lain.
Penjepitan segera dapat mengurangi jumlah darah plasenta yang dialirkan
pada bayi yang baru lahir. Diperkirakan penjepitan tali pusat secara dini
dapat mencegah 20% sampai 50% darah janin mengalir dari plasenta ke
bayi. Berkurangnya aliran darah mengakibatkan tingkat hematokrit dan
hemoglobin yang lebih rendah pada bayi baru lahir, dan dapat mempunyai
pengaruh anemia zat besi pada pertumbuhan bayi. Satu kemungkinan
manfaat bagi bayi pada penjepitan dini adalah potensi berkurangnya
penularan penyakit dari darah pada kelahiran seperti HIV.
3). Melakukan penegangan tali pusat terkendali sambil secara bersamaan
melakukan tekanan terhadap rahim melalui perut Penegangan tali pusat
terkendali mencakup menarik tali pusat ke bawah dengan sangat hati-hati
begitu rahim telah berkontraksi, sambil secara bersamaan memberikan
tekanan ke atas pada rahim dengan mendorong perut sedikit di atas tulang
pinggang. Dengan melakukannya hanya selama kontraksi rahim, maka
mendorong tali pusat secara hati-hati ini membantu plasenta untuk keluar.
Tegangan pada tali pusat harus dihentikan setelah 30 atau 40 detik bila
plasenta tidak turun, tetapi tegangan dapat diusahakan lagi pada kontraksi
rahim yang berikut.
h. Beberapa Faktor yang Memengaruhi Perdarahan Postpartum Primer
1). Umur
2). Pendidikan Menurut Depkes RI (2002),
Pendidikan yang dijalani seseorang memiliki pengaruh pada
peningkatan kemampuan berfikir, dimana seseorang yang berpendidikan

42
lebih tinggi akan dapat mengambil keputusan yang lebih rasional,
umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru dibandingkan
dengan individu yang berpendidikan lebih rendah. Pendidikan adalah
upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau
melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi
masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau
tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh
pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan
kesadarannya melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2003).
Wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk menikah pada
usia yang lebih tua, menunda kehamilan, mau mengikuti Keluarga
Berencana (KB), dan mencari pelayanan antenatal dan persalinan. Selain
itu, mereka juga tidak akan mencari pertolongan dukun bila hamil atau
bersalin dan juga dapat memilih makanan yang bergizi. Menurut Thadeus
dan Maine (1990) yang dikutip dari Suryani (2008), dari beberapa
penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara penggunaan pelayanan obstetri dan
tingkat pendidikan ibu.
3). Paritas
Paritas merupakan faktor risiko yang memengaruhi perdarahan
postpartum primer. Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat
menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan sehingga
ibu hamil tidak mampu dalam menangani komplikasi yang terjadi selama
kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan semakin sering wanita
mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari 3) maka uterus
semakin lemah sehingga besar risiko komplikasi kehamilan.
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut
perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal.
Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian
perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi
kematian maternal. Risiko pada paritas dapat ditangani dengan asuhan
obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat
dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan
pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro, 2005).

43
Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa paritas lebih dari 3
bermakna sebagai faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum
primer (OR=2,87; 95% CI 1,23;6,73). Penelitian Miswarti (2007)
menyatakan proporsi ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer
dengan paritas 1 sebesar 12%, paritas 2-3 sebesar 40% dan paritas lebih
dari 3 sebesar 48%, serta terdapat hubungan yang signifikan antara paritas
dengan perdarahan postpartum primer. Demikian juga dengan penelitian
Milaraswati (2008) menyatakan bahwa proporsi ibu yang mengalami
perdarahan postpartum primer dengan paritas >4 yaitu 69% dan
didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan
perdarahan postpartum primer.
4). Jarak Antar Kelahiran
Jarak antar kelahiran adalah waktu sejak kelahiran sebelumnya sampai
terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak antar kelahiran yang terlalu dekat
dapat menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan. Menurut Moir dan
Meyerscough (1972) yang dikutip Suryani (2008) menyebutkan jarak antar
kelahiran sebagai faktor predisposisi perdarahan postpartum karena
persalinan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang singkat akan
mengakibatkan kontraksi uterus menjadi kurang baik. Selama kehamilan
berikutnya dibutuhkan 2-4 tahun agar kondisi tubuh ibu kembali seperti
kondisi sebelumnya.
Bila jarak antar kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2
tahun, rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan
dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan terjadinya
perdarahan pasca persalinan. Menurut penelitian Yuniarti (2004) proporsi
kasus dengan jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun sebesar 41%
dengan OR jarak antar kelahiran 2,82. Hal ini berarti ibu yang memiliki
jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun berisiko 2,82 kali mengalami
perdarahan pasca persalinan.
5). Riwayat Persalinan Buruk Sebelumnya
Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan dengan hasil
kehamilan dan persalinan berikutnya. Bila riwayat persalinan yang lalu
buruk petugas harus waspada terhadap terjadinya komplikasi dalam
persalinan yang akan berlangsung. Riwayat persalinan buruk ini dapat

44
berupa abortus, kematian janin, eklampsi dan preeklampsi, sectio caesarea,
persalinan sulit atau lama, janin besar, infeksi dan pernah mengalami
perdarahan antepartum dan postpartum.
Menurut Sulistiowati (2001) yang dikutip Suryani (2008), bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat persalinan buruk
sebelumnya dengan perdarahan pasca persalinan dan menemukan OR 2,4
kali pada ibu yang memiliki riwayat persalinan buruk dibanding dengan
ibu yang tidak memiliki riwayat persalinan buruk.
6). Anemia
Menurut World Health Organization (WHO) anemia pada ibu hamil
adalah kondisi dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari
11,0 gr%. Volume darah ibu hamil bertambah lebih kurang sampai 50%
yang menyebabkan konsentrasi sel darah merah mengalami penurunan.
Bertambahnya sel darah merah masih kurang dibandingkan dengan
bertambahnya plasma darah sehingga terjadi pengenceran darah.
Perbandingan tersebut adalah plasma 30%, sel darah 18% dan
haemoglobin 19%. Keadaan ini tidak normal bila konsentrasi turun terlalu
rendah yang menyebabkan hemoglobin sampai 11,0 gr% disebut tidak
anemia 2. Hb 9,0 gr% - 10,9 gr% disebut anemia ringan 3. Hb 7,0 gr% -
8,9 gr% disebut anemia sedang 4. Hb < 6,9 gr% disebut anemia berat
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan, yaitu
pada trimester I dan trimester III.
Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa anemia bermakna sebagai
faktor risiko yang mempengaruhi perdarahan postpartum primer. Ibu yang
mengalami anemia berisiko 2,8 kali mengalami perdarahan postpartum
primer dibanding ibu yang tidak mengalami anemia (OR= 2,76; 95% CI
1,25;6,12). 2.5
7). Pengaruh Paritas terhadap Perdarahan Postpartum Primer
Paritas atau para adalah wanita yang pernah melahirkan bayi
(Manuaba, 1998). Paritas adalah keadaan seorang wanita sehubungan
dengan kelahiran anak yang dapat hidup (Dorland, 2002).
Menurut Prawirohardjo (2002), paritas dapat dibedakan menjadi
primipara, multipara dan grandemultipara.
a). Primipara

45
Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak yang
cukup besar untuk hidup di dunia luar.
b). Multipara
Multipara adalah wanita yang telah melahirkan anak lebih dari satu
kali.
c). Grandemultipara
Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak
atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan
persalinan.
Kematian maternal lebih banyak terjadi dalam 24 jam pertama
postpartum yang sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan
darah. Sebab yang paling umum dari perdarahan yang terjadi dalam 24
jam pertama pascapersalinan atau yang biasa disebut perdarahan
postpartum primer adalah kegagalan rahim untuk berkontraksi
sebagaimana mestinya setelah melahirkan, plasenta yang tertinggal dan
uterus yang turun atau inversi. Dari beberapa sebab perdarahan
tersebut, salah satu faktor pemicunya adalah paritas (Milaraswati,
2008).
\Pada paritas yang rendah (paritas 1), menyebabkan
ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan sehingga ibu hamil
tidak mampu dalam menangani komplikasi yang terjadi selama
kehamilan, persalinan dan nifas. Pada paritas tinggi (lebih dari 3),
fungsi reproduksi mengalami penurunan, otot uterus terlalu regang dan
kurang dapat berkontraksi dengan baik sehingga kemungkinan terjadi
perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar.
G. Perdarahan Postpartum Sekunder
1. Pengertian
Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang volumenya melebihi 400-
500cc, kondisi dalam persalinan menyebabkan sulit untuk menentukan jumlah
perdarahan yang terjadi karena tercampur dengan air ketuban dan serapan pakaian
atau kain alas tidur. Pada periode pasca persalinan, sulit untuk menentukan
terminologi berdasarkan batasan kala persalinan yang terdiri dari kala I hingga
kala IV (Prawirohardjo, 2009:523).

46
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500cc yang terjadi setelah
bayi lahir per vaginam atau lebih dari 1000 ml setelah persalinan abdominal.
Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah
perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai
perdarahan yang lebih dari normal yang telah menyebabkan perubahan tanda vital,
antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil,
hiperapnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100x/ menit, kadar
Hb < 8 g/dL (Joseph dan Nugroho, 2011:164).
Perdarahan post partum dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Perdarahan Post Partum primer (Early postpartum hemorrhage )
Perdarahan Post Partum primer adalah Perdarahan yang terjadi dalam 24
jam pertama dengan jumlah 500 cc atau lebih setelah kala III.
b. Perdarahan postpartum sekunder (Late postpartum hemorrhage)
Perdarahan yang terjadi sesudah 24 jam pertama dengan jumlah 500 cc
atau lebih (Joseph dan Nugroho,2011:164).
2. Etiologi
Penyebab perdarahan post partum sekunder menurut (Joseph dan Nugroho,
2011:165) , (Harry dan William, 2010:461) dan (Prawirohardjo,2009:523).
a. Retensio plasenta
1). Pengertian
Sisa plasenta (rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian
plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan
postpartum dini (early postpartum hemorrhage) atau perdarahan post
partum lambat (late postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi
dalam 6-10 hari pasca persalinan. Plasenta harus dikeluarkan karena
dapat menimbulkan banyak perdarahan, infeksi karena sebagai benda
mati, dapat terjadi plasenta inkarserata, polip plasenta dan terjadi
degenerasi ganas koriokarsinoma.
2). Tanda dan Gejala
Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak
lengkap dan perdarahan segera. Gejala yang kadang-kadang timbul adalah
uterus berkontraksi baik yang ditandai dengan perut di bagian fundus
teraba keras dan ibu merasakan mules pada bagian perut tersebut tetapi
tinggi fundus uteri tidak berkurang

47
3). Penanganan
Lakukan eksplorasi digital (bidan boleh melakukan bila serviks terbuka)
dan mengeluarkan bekuan darah/jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui
oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan
kuretase (dilakukan oleh dokter obgyn).
b. Inversio plasenta
1). Pengertian
Inversio uteri adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus
(endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat
bersifat inkomplit sampai komplit.
2). Tanda dan Gejala
Syok karena kesakitan, perdarahan banyak bergumpal, di vulva tampak
endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat, bila
baru terjadi maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup
lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus
mengalami iskemia, nekrosis dan infeksi.
3). Penanganan
a). Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk
cairan/darah pengganti dan pemberianobat-obatan.
b). Beberapa serter memberikan tokolitik / MgSO4 untuk melemaskan
uterus yang terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu
mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan terus
melewati serviks sampai tangan masuk kedalam uterus pada posisi
normalnya. Hal ini dapat dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas
atau belum terlepas
c). Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil
dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat
infus atau IM (intra muskular), tangan tetap dipertahankan untuk
konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru
dilepaskan.
d). Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan
kebutuhannya.
e). Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras
menyebabkan manuver diatas tidak bisa dikerjakan, maka

48
dilakukan laparotomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan
histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis.
c. Endometritis
1). Pengertian
Endometritis adalah radang pada endometrium, kuman- kuman
memasuki endometrium, biasanya pada luka bekas insertio plasenta dan
dalam waktu singkat mengikutsertakan seluruh endometrium. Pada infeksi
dengan kuman yang tidak seberapa patogen, radang terbatas
padaendometrium.
2). Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala tergantung pada virulensi kuman, daya tahan
penderita dan derajat trauma jalan lahir. Kadang lokhia tertahan oleh
darah, sisa-sisa plasenta, dan selaput ketuban, keadaan ini dinamakan
lokiometra dan dapat menyebabkan kenaikan suhu yang segera hilang
setelah diatasi. Tanda yang sering muncul adalah uterus agak membesar,
nyeri pada perabaan, uterus lembek, pada endometritis tidak meluas pada
hari pertama penderita merasa kurang sehat, nyeri perut, mulai hari ke-3
suhu meningkat, nadi cepat, lokia kadang-kadang berbau.
3). Penanganan
a). Jika bidan menemukan kasus di tempat praktek lakukan kolaborasi
dengan dokter untuk dilakukan rujukan yang paling penting
stabilkan dulu kondisi ibu dengan pemberian cairan jika kondisi
tidak terlalu parah beri minum lewat mulut kemudian lakukan
pemasangan infus sebelum dirujuk ke rumah sakit.
b). Di rumah sakit setelah kolaborasi dengan dokter segera siapkan
transfusi darah jika ada perdarahan, berikan antibiotik kombinasi
sampai ibu bebas demam selama 48 jam berupa Ampisilin 2gr IV
setiap 6 jam, gentamisin 5mg/lg berat badan lewat IV tiap 24 jam,
metronidazol
H. Sepsis Puerperalis
1. Pengertian
Sepsis puerperalis adalah infeksi pada traktus genetilia yang dapat terjadi
setiap saat antara pecah ketuban (ruptur membran) atau persalinan dan 42 hari

49
setelah persalinan atau abortus dimana terdapat dua atau lebih dari hal-hal berikut
ini :
a. Nyeri pelvik
b. Demam 38,5 c atau lebih yang diukur melalui oral kapan saja
c. Cairan vagina yang abnormal
d. Cairan vagina berbau busuk
e. Keterlambatan dalam kecepatan penurunan ukuran uterus.
2. Penyebab
a. Streptokokus
b. Stafilokokus
c. Escherichia coli (e. Coli)
d. Clostridium tetani
e. Clostridium width
f. Chlamidia dan gonokokus (bakteri penyebab penyakit menular seksual).
Infeksi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gabungan antara beberapa
macam bakteri. Bakteri tersebut bisa endogen atau eksogen.
a. Bakteri Endogen
Bakteri ini secara normal hidup di vagina dan rektum tanpa menimbulkan
bahaya (misal, beberapa jenis stretopkokus dan stafilokokus, E. Coli,
Clostridium welchii). Bahkan jika teknik steril sudah digunakan untuk
persalinan, infeksi masih dapat terjadi akibat bakteri endogen.
Bakteri endogen juga dapat membahayakan dan menyebabkan infeksi jika :
1). Bakteri ini masuk ke dalam uterus melalui jari pemeriksa atau melalui
instrumen pemeriksaan pelvik
2). Bakteri terdapat dalam jaringan yang memar, robek/laserasi, atau jaringan
yang mati (mis., setelah persalinan traumatik atau setelah persalinan
macet)
3). Bakteri masuk sampai ke dalam uterus jika terjadi pecah ketuban yang
lama.
b. Bakteri eksogen
Bakteri ini masuk ke dalam vagina dari luar (streptokokus, Clostridium tetani,
dsb). Bakteri eksogen dapat masuk ke dalam vagina :
1). Melalui tangan yang tidak bersih dan instrumen yang tidak steril

50
2). Melalui substansi / benda asing yang masuk ke dalam vagina (misal,
ramuan atau jamu, minyak, kain)
3). Melalui aktivitas seksual.
Tetanus postpartum adalah infeksi pada ibu atau bayi yang disebabkan oleh
Clostridium tetani.
c. Bakteri tetanus
Hidup di tanah terutama tanah basah yang kaya akan pupuk hewani. Bakteri
tetanus dapat masuk ke tubuh ibu jika tangan yang tidak bersih, kain, kotoran
sapi, atau ramu – ramuan dimasukkan ke dalam vagina. Bakteri ini masuk ke
tubuh bayi melalui umbilikus jika tali pusat dipotong dengan instrumen yang
tidak bersih, atau ramu – ramuan, atau kotoran sapi digunakan untuk
membalut tali pusat
d. Infeksi tetanus
Sangat berat dan menyebabkan kekakuan, spasme, konvulsi, dan
kematian. Tetanus dapat dicegah dengan memastikan bahwa setiap ibu hamil
mendapatkan imunisasi tetanus toksoid selama kehamilan. Imunisasi ini akan
melindungi ibu dan bayi dari infeksi tetanus.
Di tempat – tempat di mana penyakit menular seksual (PMS) (misal,
gonorrhea dan infeksi klamidial) merupakan kejadian yang biasa, penyakit
tersebut merupakan penyebab terbesar terjadinya infeksi uterus. Jika seorang
ibu terkena PMS selama kehamilan dan tidak diobati, bakteri penyebab PMS
itu akan tetap berada di vagina dan bisa menyebabkan infeksi uterus setelah
persalinan.
e. Infeksi uterus
Yang disebabkan oleh PMS dapat dicegah dengan mendiagnosis dan
mengobati ibu yang terkena PMS selama kehamilan mereka.
3. Etiologi
Dalam obstetri modern, sepsis puerperalis yang gawat jarang terjadi, pernah
dilaporkan epidemi yang disebabkan grup A streptoccocus hemolitikus. Infeksi
nifas pada umumnya disebabkan oleh bakteri yang pada keadaan normal berada
pada usus atau jalan lahir. Gorback mendapatkan dari 70% biakan cervix normal
dapat pula ditemukan bakteri aerob dan anaerob yang patogen. Walaupun dari
cerviks dan jalan lahir ditemukan kuman-kuman tersebut cavum uteri adalah steril
sebelum ketuban pecah. Kuman anaerob adalah coccus gram positif

51
( Peptostreptococus, Peptococus, Bakteriodes, dan Clostridium). Kuman aerob
adalah bermacam gram positif dan E.colli
Selain itu infeksi nifas dapat disebabkan oleh:
a. Streptococcus Hemoliticus Aerobicus. Streptococcus ini merupakan sebab
infeksi yang berat khususnya golongan A. Infeksi ini biasanya eksogen (dari
penderita lain, alat atau kain yang tidak steril, infeksi tenggorokan orang lain)
b. Stapylococcus Aureus, kuman ini biasanya menyebabkan infeksi terbatas
walaupun kadang-kadang dapat menyebabkan infeksi umum. Stafilococcus
banyak ditemukan di Rumah Sakit dan dalam tenggorokan orang yang terlihat
sehat
c. E.Coli, kuman ini umumnya berasal dari kandung kencing dan rektum dan
dapat menyebabkan infeksi terbatas dalam perineum, uvula, dan endometrium.
Kuman ini merupakan sebab penting dari infeksi traktus urinarius.
d. Clostridium Welchii, infeksi dengan kuman ini yang bersifat anaerobik jarang
ditemukan, akan tetapi sangat berbahaya, infeksi lebih sering terjadi pada
abortus kriminalis
4. Patofisiologis
Sepsis puerperalis dapat terjadi dimasa intrapartum atau postpartum.Sebelum
kelahiran,membran amniotik dan membran korionik dapat terinfeksi jika ketuban
pecah (ruptur membran) terjadi berjam-jam sebelum persalinan dimulai.bakteri
kemudian mempunyai cukup waktu untuk berjalan dari vagina kedalam uterus
dan menginfeksi membran, plasenta, bayi, dan ibu. Korioamnionitis merupakan
suatu masalah yang sangat serius dan dapat membahayakn hidup ibu dan bayinya.
Setelah persalinan,sepsis puerperalis mungkin terlokalisasi di perineum,
vagina, serviks atau uterus. Infeksi pada uterus dapat menyebar dengan cepat
sehingga menyebabkan infeksi pada tubafallopi atau ovarium, parametritis,
peritonitis, menyebar ke pembuluh limfe yang kemudian akan menyebabkan
septikemia jika masuk kealiran darah.Ini semakin diperumit dengan adanya syok
septik dan koagulasi intravaskuler diseminata (disseminated intravaskuler
coagulation [DIC] ) yang dapat menimbulkan masalah perdarahan.Sepsis
puerperalis dengan cepat akan berakibat fatal.
Ibu di masa postpartum (masa nifas) memang rentam terhadap infeksi karena
adanya faktor-faktor berikut:

52
a. Sisi perlengkatan plasenta merupakan tempat yang besar,hangat,gelap,dan
basah.I ni memungkinkan bakteri tumbuh dengan sangat cepat.Tempat seperti
ini merupakan suatu media yang ideal untuk pembiakan bakteri.Di
laboratorium,kondisi-kondisi yang hangat,gelap,dan basah sengaja dibuat
untuk membantu bakteri tumbuh dan berbiak.
b. Sisi plasenta memiliki persedian darah yang kaya,dengan pembuluh-pembuluh
darah yang besar yang langsung menuju sirkulasi vena utama.Hal ini
memungkinkan bakteri di sisi plasenta untuk bergerak dengat sangat cepat
kedalam aliran darah.Ini disebut septikemia.Septikimia dapat menyebabkan
kematian dengan sangat cepat.
c. Sisi plasenta tidak jauh dari bagian luar tubuh ibu.Hanya panjang vagina (9-10
cm) yang memisahkan jalan masuk ke uterus dari lingkungan luar.Ini berarti
bahwa bakteri yang biasanya hidup direktum (seperti E.coli) dapat dengan
mudah pindah kedalam vagina dan kemudian menuju uterus.Disini bakteri
menjadi bahaya atau “patogenik” karena menyebabkan infeksi pada sisi
plasenta.
d. Selama pelahiran,area serviks ibu,vagina,atau area perineumnya mungkin
robek atau diepisiotomi.area jariangan yang terluka ini rentan terhadap
infeksi,terutama jika teknik steril pada persalinan tidak digunakan.Infeksi
biasanya terlokalisasi,tetapi pada kasus-kasus berat infeksi ini dapat menyebar
ke jaringan dibawahnya.
5. Tanda dan Gejala
Ibu biasanya mengalami demam tetapi mungkin tidak seperti demam pada
infeksi klostridial. Ibu dapat mengalami nyeri pelvik, nyeri tekan di uterus, lokia
mungkin berbau menyengat (busuk), dan mungkin terjadi suatu keterlambatan
dalam kecepatan penurunan ukuran uterus. Di sisi laserasi atau episiotomi
mungkin akan terasa nyeri, membengkak, dan mengeluarkan cairan bernanah.
6. Faktor Risiko
Ada beberapa ibu yang lebih mudah terkena sepsis puerperalis, misalnya ibu
yang mengalami anemia atau kekurangan gizi atau ibu yang mengalami persalinan
lama.
7. Penatalaksanaan
Prioritas di dalam penatalaksanaan sepsis puerperalais,antara lain:
a. Kaji kondisi pasien

53
b. Resusitasi ibu,jika perlu
c. Isolasi ibu sesegera mungkin jika ada dugaan infeksi
d. Ambil spesimen untuk memeriksa organisme penyebab dan pastikan
dianosis,dan
e. Mulai berikan terapi antibiotik berspektrum luas.
Penatalaksanaan:
a. Isolasi dan batasan pada perawatan ibu
Tujuan dari kegiatan ini adalah mencegah penyebaran infeksi pada ibu lain
dan bayi mereka. Prinsip-prinsip keperawatan dasar adalah
penting.perawat/bidan harus :
1). Merawat ibu disuatu ruang terpisah ,atau jika hal ini tidak mungkin di
pojok bangsal terpisah dari pasien lain.
2). Memungkinkan gown dan sarung tangan pada saat mengunjungi ibu dan
gown serta sarung tangan khusus ini hanya dipakai ketika berhadapan
dengan ibu.
3). Menyimpan satu set peralatan,alat makan ,dan peralatan dapur lainnya
hanya digunakan untuk ibu dan memastikan bahwa peralatan ini tidak
digunakan oleh orang lain.
4). Mencuci tangan sampai bersih sebelum dan setelah mengurusi ibu.
5). Jika memungkinkan, seorang bidan/perawat khusus harus ditempatkan
untuk merawat ibu dan bayinya.kalau ada kerabat yang mau membantu
merawat pasien itu,hal ini sangat menolong.Jika begitu,kerabat tersebut
harus diajurkan tentang prinsip-prinsip dasar pencegahan penularan
penyakit.Selain itu,penunjang juga harus dibatasai.
b. Pemberian Dosis Tinggi Antibiotik Berspektrum Luas
Kegiatan ini biasanya diresapkan oleh dokter,petugas kebidanan harus
mengetahui cara meresepkan dan memberikan obat-obatan yang tepat.jika
secara hukum tidak memungkinkan,peraturan tersebut harus dikaji kembali.
1). Pilihan Antibiotik
Jika ibu tidak sangat sakit (mis, tidak demam atau hanya demam ringan
,denyut tidak sangat tinggi,status kesadaran normal).
2). Tidak Lanjut

54
Jika ibu tidak membaik setelah 48 jam atau laporan laboratorium
menyatakan bahwa bakteri resisten terhadap anti biotik yang
diberikan,antibiotik harus diganti.
3). Tetanus toksoid
Jika ada kemungkinan ibu terserang tetanus (mis.akibat kotaran
sapi,lumpur,atau ramu-ramuan dimasukan kedalam vagina) dan ada
keraguan tentang riwayat vaksinasinya,maka berikan tetanus toksoid.
c. Pemberian Cairan yang Banyak
Tujuan pemberian cairan ini adalah memperbaiki atau mencegah dehidrasi dan
membantu menurunkan demam.
d. Pengeluaran Fragmen Plasenta yang Tertahan
Fragmen plasenta yang tertahan dapat menjadi penyebab terjadinya sepsis
puerperalis.curigai keadaan ini jika uterus lunak dan membesar dan jika lokea
berlebihan dan mengandung bekuan darah.Ibu harus segera di rujuk.
e. Pemberian Asuhan Kebidanan yang Terlatih
Hal ini memerlukan perhatian yang seksama baik untuk kenyamanan ibu
maupun untuk melaksanakan instruksi dokter. Berikut ini adalah hal yang
penting :
1). Menganjurkan ibu untuk beristiraht di tempat tidur
2). Memantau tanda-tanda vital
3). Mengukur asupan dan pengeluaran
4). Menjaga agar catatan tetap akurat,dan
5). Mencegah penyebaran infeksi dan infeksi silang
Masalah praktik yang mungkin muncul,meliputi:
1). Fasilitas tidak memungkinkan untuk melakukan isolasi yang layak
2). Kurangnya staf menyebabkan tidak mungkin untuk mengalokasikan
seorang bidab/perawat untuk memberikan perawatan.
3). Bidan juga harus akurat dalam semua obsevasi, catatan dan juga
pelaporannya
8. Epidemiologi
Secara keseluruhan  angka insiden dan prevalensi infeksi postpartum di
Amerika Serikat adalah kurang. Dalam sebuah studi oleh Yokoe et al pada tahun
2001, 5,5%  persalinan vagina dan 7,4% dari persalinan sesar mengakibatkan
infeksi postpartum. Tingkat infeksi postpartum secara keseluruhan adalah 6,0%.

55
Endometritis menyumbang hampir setengah dari infeksi pada pasien setelah
persalinan sesar (3,4% dari persalinan sesar). Mastitis dan infeksi saluran kencing
bersama-sama menyumbang 5% dari persalinan vagina. Dalam review paling
mutakhir, angka kematian ibu yang berhubungan dengan infeksi postpartum
berkisar dari 4-8%, atau sekitar 0,6 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Sebuah surveilans mortalitas yang berhubungan dengan kehamilan oleh Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit infeksi ditunjukkan tersebut adalah sekitar
11,6% dari semua kematian berikut kehamilan yang menghasilkan kelahiran
hidup, lahir mati , atau ektopik. Risiko infeksi saluran kemih postpartum
meningkat dalam African American, Native American, dan populasi Hispanik.
9. Presdiposisi
Faktor Predisposisi yang penting pada waktu nifas adalah:
a. Keadaan yang dapat menurunkan daya tahan penderita seperti perdarahan
banyak, pre-eklampsia, juga adanya infeksi lain seperti pneumonia, penyakit
jantung dan sebagainya.
b. Partus lama terutama ketuban pecah lama
c. Tindakan bedah vagina yang menyebabkan perlukaan pada jalan lahir
d. Tertinggalnya sisa plasenta, selaput ketuban dan bekuan darah
e. Setelah kala III, daerah bekas insersio plasenta merupakan sebuah bekas luka
dengan diameter 4cm, permukaan tidak rata, berbenjol-benjol karena
banyakknya vena yang tertutup trombus. Daerah ini merupakan tempat yang
baik bagi tumbuhnya kuman-kuman dan masuknya jenis-jenis yang patogen
dalam tubuh wanita. Serviks sering mengalami perlukaan dalam persalinan
begitu juga pulva, vagina, dan perineum, yang semuanya merupakan tempat
masuknya kuman patogen, proses radang dapat terjadi terbatas pada luka
tersebut atau dapat menyebar keluar luka asalnya.
Penanganan Komplikasi
a. Peritonitas
Peritonitas menyeluruh adalah peradangan pada semua bagian peritonium.ini
berarti baik peritoneum parietal,yaitu membran yang melapisi dinding
abdomen,maupaun peritoneum viseral,yang terletak di atas vasera atau organ-
organ internal meradang.
1). Diagnosis :

56
Penting untuk mengetahui cara mengenali peritonitis peritonitis dan/
abses multipel didalam abdomen dapat muncul setelah secsio sesaria atau
ruptur uterus boleh jadi merupakan suatu komplikasi dari sepsis
puerperalis. Selain demam, dan tanda – tanda gejala berikut ini jga muncul
:
a). Nyeri lepas
b). Nyeri abdomen
c). Abdomen berdistensi 3 – 4 hari
d). Muntah
e). Bising usus lemah
f). Diare
2). Penanganan peritonitis menyeluruh :
Obati secara aktif jika diduga, tanpa menunggu kepastian diagnosis.
Mulai dengan antibiotik seperti: benzil penisilin ditambah dengan
gentamisin dan metronidazol,cairan 4 dan analgesik (seperti petidin 50-
100 mg secara IM setiap 6 jam).
Jika tersedia, pasang selang nasogastrik (NGT) dan aspirasikan isi
lambung. Pastikan bahwa ibu segera di bawa ketingkat rujukan yang lebih
tinggi yang memiliki pertolongan medis/ beda terampil.
b. Salpingo-ooforitis dan Parametritis
Adalah infeksi pada ovariun dan tuba fallopi. Parametritis adalah infeksi
pada parametrium. Parametrium adalah jaringan renggang yanmg ditemukan
disekitar uterus.
Jaringan ini memanjang sampai kesisi servik dan kepertengahan lapisan-
lapisan ligamen besar.
1). Diagnosa salpingo-ooforitis:
a). Demam
b). Nyeri bilateral
c). Nyeri tekan bawah abdomen
2). Diagnosa parametritis :
a). Demam
b). Nyeri atau nyeri tekan pada kedua sisi abdomen
c). Nyeri tekan yang cukup terasa pada pemeriksaan vagina
3). Penanganan dari salpingo- ooforitis atau parametritis :

57
Mulai dengan antibiotik seperti: benzil penisilin ditambah gentamisin
dan metrodinazol. Jika perlu berikan obat pereda nyeri seperti : petidin 50
– 100 mg secara IM setiap 6 jam. Jika ibu tidak membaik dalam 2 – 3 hari
iya harus segera di bawa kerumah sakit.
c. Septikemia
Adalah ada dan berkembangbiaknya bakteri di dalam aliran darah.
1). Diagnosa :
a). Demam
b). Menggigil
c). Denyut nadi cepat
d). Dan ibu sangat sakit
2). Penatalaksanaannya :
Mulai dengan antibiotik, misalnya benzilpenisilin tambah gentamisin dan
metronidazol. Segera rujuk ibu ke rumah sakit bila perlu dipertimbangkan
untuk memberikan heparin jika diduga terjadi disseninatet intravascular
coagulation.
d. Abses
1). Diagnosa :
Masa yang menonjol dan berfluktuasi pada pemeriksaan vagina, nyeri
yang hebat dan nyeri tekan, demam tidak menurun meskipun diberikan
antibioti
2). Penatalaksaannya :
Rujuk ibu ke rumah sakit untuk kolpotomi posterior ( insisi bedah kedalam
dinding posterior vagina).laparatomi untuk abses di abdomen
I. Asfiksia Neonatorium
1. Konsep Dasar
Asifiksia Neonatorium adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir (Ai yeyeh & Lia, 2013:249).
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,
hiperkarbia, dan asidosis (Anik & Eka, 2013:296).
Asfiksia adalah kegagalan untuk memulai dan melanjutkan pernafasan secara
spontan dan teratur pada saat bayi baru lahir atau beberapa saat sesudah lahir.
Bayi mungkin lahir dalam kondisi asfiksia (Asfiksia Primer) atau mungkin dapat

58
bernafas tetapi kemudian mengalami asfiksia beberapa saat setelah lahir ( Asfiksia
Skunder) ( Icesmi & Sudarti, 2014:158).
2. Klasifikasi Asfiksia Menurut Anik dan Eka (2013:296)
Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR :
a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3.
b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai 4-6.
c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9.
d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10.
Menurut Icesmi dan Sudarti (2014:159) klasifikasi asfiksia dibagi menjadi:
a. Vigorous baby Skor APGAR 7-10, bayi sehat kadang tidak memerlukan
tindakan istimewa
b. Moderate asphyksia Skor APGAR 4-6
c. Severe asphyksia Skor APGAR 0-3
Menurut Vidia dan Pongki (2016:364) klasifikasi asfiksia terdiri dari :
a. Bayi normal atau tidak asfiksia : Skor APGAR 8-10. Bayi normal tidak
memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen secara terkendali.
b. Asfiksia Ringan : Skor APGAR 5-7. Bayi dianggap sehat, dan tidak
memerlukan tindakan istimewa, tidak memerlukan pemberian oksigen dan
tindakan resusitasi.
c. Asfiksia Sedang : Skor APGAR 3-4. Pada Pemeriksaan fisik akan terlihat
frekuensi jantung lebih dari 100 kali/menit, tonus 10 otot kurang baik atau
baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada dan memerlukan tindakan resusitasi
serta pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas normal.
d. Asfiksia Berat : Skor APGAR 0-3. Memerlukan resusitasi segera secara aktif
dan pemberian oksigen terkendali, karena selalu disertai asidosis, maka perlu
diberikan natrikus dikalbonas 7,5% dengan dosis 2,4 ml/kg berat badan, dan
cairan glukosa 40% 1- 2 ml/kg berat badan, diberikan lewat vena umbilikus.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100
kali/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, refleks
iritabilitas tidak ada.
3. Etiologi dan faktor Resiko
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan
dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada
pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa

59
sehingga gangguan pada aliran darah umbilical maupun plasental hampir selalu
akan menyebabkan asfiksia (Anik & Eka, 2013:297).
Penyebab asfiksia menurut Anik & eka (2013:297) adalah :
a. Asfiksia dalam kehamilan :
1). Penyakit infeksi akut
2). Penyakit infeksi kronik
3). Keracunan oleh obat-obat bius
4). Uremia dan toksemia gravidarum
5). Anemia berat
6). Cacat bawaan
7). Trauma
b. Asfiksia dalam persalinan :
1). Kekurangan O2 :
a). Partus lama (rigid serviks dan atonia /insersi uteri)
b). Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus terusmenerus
mengganggu sirkulasi darah ke plasenta
c). Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta
d). Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul
e). Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya
f). Perdarahan banyak: plasenta previa dan solusio plasenta
g). Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus, disfungsi uteri)
2). Paralisis pusat pernafasan : Trauma dari luar seperti tindakan forceps dan
Trauma dari dalam seperti akibat obat bius
Menurut ai yeyeh & Lia (2013:250). Beberapa faktor yang dapat
menimbulkan gawat janin (Asfiksia) :
a). Gangguan sirkulasi menuju janin, menyebabkan adanya gangguan
aliran pada tali pusat seperti : lilitan tali pusat, simpul tali pusat,
tekanan pada tali pusat, ketuban telah pecah, kehamilan lewat waktu,
pengaruh obat, karena narkoba saat persalinan.
b). Faktor ibu misalnya, gangguan his: tetania uterihipertoni, turunnya
tekanan darah dapat mendadak, perdarahan pada plasenta previa,
solusio plasenta, vaso kontriksi arterial, hipertensi pada kehamilan dan
gestosis preeklamsia-eklamsia, gangguan pertukaran nutrisi/O2, solusio
plasenta.

60
Menurut Vidia & Pongki (2016:362), beberapa kondisi tertentu pada
ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter
sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di
dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut
menjadi asfiksia bayi baru lahir, Beberapa faktor tertentu diketahui dapat
menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya
adalah faktor ibu, tali pusat dan bayi berikut ini :
3). Faktor Ibu
a) Pre Eklamsi dan Eklamsi
b) Perdarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
c) Partus lama atau partus macet
d) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
e) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
4). Faktor Tali Pusat
a). Lilitan Tali Pusat
b). Tali Pusat Pendek
c). Simpul Tali Pusat
d). Prolapsus Tali Pusat
5). Faktor Bayi
a) Bayi Prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
c) Kelainan bawaan (kongenital)
d) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
4. Patofisiologi
Menurut Anik & Eka (2013:298), patofisiologi asfiksia neonatorum, dapat
dijelaskan dalam dua tahap yaitu dengan mengetahui cara bayi memperoleh
oksigen sebelum dan setelah lahir, dan dengan mengetahui reaksi bayi terhadap
kesulitan selama masa transisi normal, yang dijelaskan sebagai berikut :
a. Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir :
1). Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau
jalan untuk mengeluarkan karbondioksida.
a). Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan
konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.

61
b). Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru
karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan
melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus
kemudian masuk ke aorta.
2). Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen.
a). Cairan yang mengisi alveoli akan diserap kedalam jaringan paru, dan
alveoli akan berisi udara.
b). Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir
kedalam pembuluh darah disekitar alveoli.
3). Arteri dan vena umbikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan
pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat
tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah
paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah
berkurang.
4). Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan
tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran
pada duktus arteriosus menurun.
a). Oksigen yang diabsorbsi dialveoli oleh pembuluh darah divena
pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke
bagian jantung kiri, kemudian dipompakan keseluruh tubuh bayi baru
lahir.
b). Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk
menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru.
c). Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami
relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit.
d). Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui
paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan keseluruh
jaringan tubuh.
5). Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen.
a). Tangisan pertama dan tarikan nafas yang dalam akan mendorong
cairan dari jalan nafasnya.

62
b). Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi
pembuluh darah paru.
c). Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit
bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.
b. Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal :
1). Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara kedalam
paru-parunya.
a). Hal ini mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan
insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol
pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi.
b). Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap
kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik
tidak mendapat oksigen.
2). Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi kontriksi arteriol pada
organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke
jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan
pasokan oksigen.
a). Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan
fungsi organ-organ vital.
b). Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka
terjadi kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah,
yang mengakibatkan aliran darah ke seluruh organ berkurang.
3). Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan,
akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan
organ tubuh lain, atau kematian.
a). Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau
lebih tanda-tanda klinis :
b). Tanda-tanda tonus otot tersebut seperti :
(1).Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan
organ lain: depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen.
(2).Brakikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan
oksigen pada otot jantung atau sel otak.

63
(3).Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot
jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang
kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan.
(4).Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-
paru dan sianosis karena kekurangan oksigen didalam darah.
Menurut Vidia dan Pongki (2016:362), penafasan spontan BBL
tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Bila
terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan o2 selama kehamilan
atau persalinan akan terjadi asfiksia yang berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan
kematian asfiksia yang terjadi dimulai suatu periode apnu disertai dengan
penurunan frekuensi. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas tidak
tampak dan bayi selanjutnya berada pada periode apnu kedua. Pada tingkat
ini terjadi brakikardi dan penurunan tekanan darah.
Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan penurunan
keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya
terjadi asidosis respiratorik. Bila berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi
proses metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh,
sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang.
Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang
disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya
(1). Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi
fungsi jantung.
(2). Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan
otot jantung.
(3). Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan
tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi
darah ke paru dan ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami
gangguan.
(4). Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia :
(a) Tidak bernafas atau nafas mega-megap
(b) Warna kulit kebiruan
(c) Kejang
(d) Penurunan kesadaran

64
(e) DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak
teratur
(f) Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
5. Diagnosis
Menurut Ai yeyeh dan Lia (2013:250), Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya
merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin. Diagnosis anoksia/hipoksia
janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin.
Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:
a. Denyut jantung janin : frekuensi normal ialah antara 120 dan 160 denyutan
semenit. Apabila frekuensi denyutan turun sampai dibawah 100 permenit
diluar his dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
b. Mekonium dalam air ketuban : adanya mekonium pada presentasi kepala
mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan gawat janin, karena terjadi
rangsangan nervus X, sehingga pristaltik usus meningkat dan sfingter ani
terbuka. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan
dengan mudah.
c. Pemeriksaan Ph darah janin : adanya asidosis menyebabkan turunnya PH.
Apabila PH itu turun sampai bawah 7,2 hal ini dianggap sebagai tanda bahaya.
Menurut Anik dan Eka (2013:302), untuk menegakkan diagnosis,
dapat dilakukan dengan berbagai cara dan pemeriksaan berikut ini:
a. Anamnesis : anamnesis diarahkan untuk mencari faktor resiko terhadap
terjadinya asfiksia neonatorium.
b. Pemeriksaan fisik : memperhatikan apakah terdapat tanda-tanda berikut atau
tidak, antara lain:
1). Bayi tidak bernafas atau menangis
2). Denyut jantung kurang dari 100x/menit
3). Tonus otot menurun
4). Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa
mekonium pada tubuh bayi
5). BBLR
c. Pemeriksaan penunjang Laboratorium :
Hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali
pusat jika:

65
1). PaO2 < 50 mm H2o
2). PaCO2 > 55 mm H2
3). pH < 7,30
6. Komplikasi
Menurut Anik dan Eka (2013:301) Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan
komplikasi pasca hipoksia, yang dijelaskan menurut beberapa pakar antara lain
berikut ini:
a. Pada keadaan hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga
organ vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran
yang lebih banyak dibandingkan organ lain. Perubahan dan redistribusi aliran
terjadi karena penurunan resistensi vascular pembuluh darah otak dan jantung
serta meningkatnya asistensi vascular di perifer.
b. Faktor lain yang dianggap turut pula mengatur redistribusi vascular antara lain
timbulnya rangsangan vasodilatasi serebral akibat hipoksia yang disertai saraf
simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor yang diikuti pelepasan
vasopressin.
c. Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan
energy bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis an
aerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruverat)
menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya
pH darah sehingga terjadilah asidosis metabolic. Perubahan sirkulasi dan
metabolisme ini secara bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik
sementara ataupun menetap
Menurut Vidia dan Pongki (2016:365), komplikasi meliputi berbagai
organ :
a. Otak : Hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsiserebralis
b. Jantung dan Paru : Hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan
paru, edema paru
c. Grastrointestinal : Enterokolitis nekrotikan
d. Ginjal : Tubular nekrosis akut, siadh
e. Hematologi : Dic
7. Penatalaksanaan
Menurut Vidia dan Pongki (2016:365), penatalaksanaan Asfiksia meliputi :
a. Tindakan Umum

66
1). Bersihkan jalan nafas : Kepala bayi diletakkan lebih rendah agar lendir
mudah mengalir, bila perlu digunakan laringoskop untuk membantu
penghisapan lendir dari saluran nafas yang lebih dalam.
2). Rangsang refleks pernafasan : dilakukan setelah 20 detik bayi tidak
memperlihatkan bernafas dengan cara memukul kedua telapak kaki
menekan tanda achilles.
3). Mempertahankan suhu tubuh.
b. Tindakan Khusus
1). Asfiksia Berat
Berikan o2 dengan tekanan positif dan intermenten melalui pipa
endotrakeal. Dapat dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya
dengan o2. o2 yang diberikan tidak lebih 30 cm H 20. Bila pernafasan
spontan tidak timbul lakukan massage jantung dengan ibu jari yang
menekan pertengahan sternum 80-100 x/menit.
2). Asfiksia Sedang/Ringan
Pasang Relkiek pernafasan (hisap lendir, rangsang nyeri) selama 30-60
detik. Bila gagal lakukan pernafasan kodok (Frog Breathing) 1-2 menit
yaitu kepala bayi ekstensi maksimal beri o2 1-21/menit melalui kateter
dalam hidung, buka tutup mulut dan hidung serta gerakkan dagu ke
atasbawah secara teratur 20 x/menit.
3). Penghisapan cairan lambung untuk mencegah regurgitasi.
8. Cara Resusitasi
Menurut Vidia dan Pongki (366:2016) agar tindakan resusitasi dapat
dilaksanakan dengan cepat dan efektif, kedua faktor utama yang perlu dilakukan
adalah :
a. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirnya bayi dengan depresi dapat
terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau
asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan
intrapartum.
b. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan trampil. Persiapan
minimum antara lain :
1). Alat pemanas siap pakai
2). Alat penghisap
3). Alat sungkup dan balon resusitasi

67
4). Oksigen
5). Alat intubasi
6). Obat-obatan
Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :
(a) Tenaga kesehatan yang siap pakai dan terlatih dalam resusitasi
neonatal harus merupakan tim yang hadir pada setiap persalinan.
(b) Tenaga kesehatan dikamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa
yang harus dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif
dan efisien.
(c) Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus
bekerjasama sebagai satu tim yang terkoordinasi.
(d) Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan
berikutnya ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari
pasien.
(e) Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia
dan siap pakai.
Langkah-langkah resusitasi : Resusitasi neonatus merupakan suatu
prosedur yang diaplikasikan untuk neonatus yang gagal bernafas secara
spontan :
(a) Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh
bayi dan selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi.
(b) Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi telentang pada alas
yang datar.
(c) Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).
(d) Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut
sudah bersih kemudian lanjutkan ke hidung.
(e) Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi
dan mengusap-usap punggung bayi.
(f) Nilai pernafasan jika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung
selama 6 detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung >100x/menit, nilai
warna kulit jika merah/sianosis perifer lakukan observasi, apabila biru
beri oksigen. Denyut jantung 100x/menit dan bayi dapat nafas
spontan.

68
(g) Jika denyut jantung 0 atau < 10x/menit, lakukan pemberian
epinefrin 1:10.000 dosis 0,2 – 0,3 mL/kg BB secara IV.
(h) Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika >100x/menit hentikan
obat.
(i) Jika denyut jantung 100 x/menit Tidak Lakukan pengisapan mulut
(dengan membuka mulut lebih lebar) lakukan vetilasi Asuhan
Normal Bayi baru Lahir  Keringkan dan hangatkan  Bersihkan
mulut dan hidung secukupnya  Kontak kulit ibu-bayi  ASI dini
Prinsip Dasar Penanganan Gawat Darurat Menurut Anik dan Eka
(2013:3) dalam menangani kasus gawatdarurat, penentuan masalah utama
(diagnosis) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat,
dan tenang (tidak panik), walaupun suasana keluarga pasien ataupun
pengantarnya mungkin dalam kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat,
cermat, dan terarah. Walupun prosedur pemeriksaan dan pertolongan
dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan antara petugas
kesehatan-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap
diperhatikan.
a. Menghormati Pasien :
1). Setiap pasien harus diperlukan dengan rasa hormat, tanpa memandang
status sosial dan ekonominya.
2). Dalam hal ini petugas juga harus memahami dan peka bahwa dalam situasi
dan kondisi gawatdarurat perasaan cemas, ketakutan, dan keprihatinan
adalah wajar bagi setiap manusia dan keluarga yang mengalaminya.
b. Kelembutan :
1). Dalam melakukan penegakan diagnosis, setiap langkah harus dilakukan
dengan penuh kelembutan.
2). Dalam hal ini, termasuk dalam menjelaskan kepada pasien bahwa rasa
sakit atau kurang enak tidak dapat dihindari sewaktu melakukan
pemeriksaan atau memberikan pengobatan, tetapi prosedur itu akan
dilakukan selembut mungkin sehingga perasaan kurang enak itu
diupayakan sedikit mungkin.
c. Komunikatif :

69
1). Petugas kesehatan harus memiliki ketrampilan dalam berkomunikasi,
tentunya dalam bahasa dan kalimat yang mudah dimengerti, mudah di
pahami, dan memperhatikan nilai norma kebudayaan setempat.
2). Dalam melakukan pemeriksaan petugas kesehatan harus menjelaskan
kepada pasien yang diperiksa apa yang sedang dilakukan dan apa yang
diharapkan.
3). Apabila hasil pemeriksaan normal atau kondisi pasien sudah stabil, upaya
memastikan hal itu harus dilakukan.
4). Menjelaskan kondisi yang sebenarnya pada pasien sangatlah penting.
d. Hak Pasien :
1). Hak-hak pasien harus di hormati, seperti penjelasan dalam pemberian form
persetujuan tindakan (inform consent).
2). Hak pasien tersebut dapat berupa hak untuk menolak pengobatan yang di
berikan dan kerahasiaan status medik pasien.
e. Dukungan Keluarga
1). Dukungan keluarga menjadi sangat penting bagi pasien.
2). Oleh karena itu petugas kesehatan harus mengupayakan hal itu antara lain
dengan senantiasa memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang
kondisi terakhir pasien, peka akan masalah keluarga yang berkaitan
dengan keterbatasan keuangan (finansial), keterbatasan transportasi, dan
sebagainya.
3). Dalam kondisi tertentu, prinsip-prinsip tersebut dapat dinomorduakan,
misalnya apabila pasien dalam keadaan syok dan petugas kesehatan
kebetulan hanya sendirian, maka tidak mungkin untuk meminta inform
consent kepada keluarga pasien.
4). Prosedur untuk menyelamatkan jiwa pasien (live-saving) harus dilakukan
walaupun keluarga pasien belum diberi informasi.
9. Penilaian Bayi Untuk Tanda- Tanda Kegawatan
Semua bayi baru lahir harus dinilai adanya tanda-tanda kegawatan/kelainan
yang menunjukkan suatu penyakit.
Menurut Prawirohardjo (2010:139) bayi baru lahir dinyatakan sakit apabila
mempunyai salah satu atau beberapa tanda-tanda berikut :
a. Sesak nafas
b. Frekuensi pernafasan 60 kali/menit

70
c. Gerakan retraksi di dada
d. Malas minum
e. Panas atau suhu badan bayi rendah
f. Kurang aktif
g. Berat lahir rendah (1500-2500 gram) dengan kesulitan minum.
Tanda-tanda bayi sakit berat : Apabila terdapat salah satu atau lebih tanda-
tanda berikut:
a. Sulit minum
b. Sianosis sentral (lidah biru)
c. Perut kembung
d. Periode apneu
e. Kejang/periode kejang-kejang kecil
f. Merintih
g. Perdarahan
h. Sangat kuning
i. Berat badan lahir < 1500 gram (Prawirohardjo, 2010).
Segera setelah lahir letakkan bayi diatas kain bersih dan kering yang disiapkan
diatas perut ibu (bila tidak memungkinkan letakkan di dekat ibu atau disebelah
ibu) pastikan area tersebut bersih dan kering, keringkan bayi terutama muka dan
permukaan tubuh dengan kain kering, hangat dan bersih. Kemudian lakukan 2
penilaian awal sebagi berikut :
a. Apakah menangis kuat atau bernafas tanpa kesulitan?
b. Apakah bergerak aktif atau lemas? Jika bayi tidak bernafas atau megap-
megap, atau lemah maka segera lakukan resusitasi bayi baru lahir (Ai yeyeh &
Lia, 2013:6).

71
Tabel 2.1 Nilai APGAR

J. Syok Obstetri
1. Pengertian
Syok adalah suatu keadaan disebabkan gangguan sirkulasi darah ke dalam
jaringan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan
dan tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme.
Syok ialah suatu yang keadaan yang timbul di mana sistem peredaran tubuh
terganggu sehingga tidak dapat memenuhi keperluan. Alat vital tubuh akan
kehilangan cairan dan zat – zat yang di perlukannya. Akibatnya fungsi alat – alat
vital itu pun terganggu. (Kartono Mohamad)

72
Syok sulit di definisikan, Hal ini berhubungan dengan sindrom klinik yang di
namis, yang di tandai dengan perubahan sehubungan penurunan sirkulasi volume
darah yang menyebabkan ketidaksadaran jika tidak di tangani dapat menyebabkan
kematian. ( Ti, 1993 ).
Syok adalah berkurangnya darah dalam peredaran darah umum dengan di
sertai gangguan pembuluh darah dalam jaringan pada tingkat pembuluh darah
kapiler jaringan tubuh. (AS. Keb pat. 2011, 82 ).
2. Jenis Syok
a. Syok Hemoragik
Suatu syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak. Akibat
perdarahan pada kehamilan muda, misalnya abortus, kehamilan ektopik dan
penyakit trofoblas (mola hidatidosa); perdarahan antepartum seperti plasenta
previa, solusio plasenta, rupture uteri, dan perdarahan pasca persalinan karena
atonia uteri dan laserasi jalan lahir.
b. Syok Neurogenik
Syok yang akan terjadi karena rasa sakit yang berat disebabkan oleh
kehamilan ektopik yang terganggu, solusio plasenta, persalinan dengan
forceps atau persalinan letak sungsang di mana pembukaan serviks belum
lengkap, versi dalam yang kasar, firasat/tindakan crede, ruptura uteri, inversio
uteri yang akut, pengosongan uterus yang terlalu cepat (pecah ketuban pada
polihidramnion), dan penurunan tekanan tiba-tiba daerah splanknik seperti
pengangkatan tiba-tiba tumor ovarium yang sangat besar.
c. Syok Kardiogenik
Syok yang terjadi karena kontraksi otot jantungyang tidak efektif yang
disebabkan oleh infark otot jantung dan kegagalan jantung. Sering dijumpai
pada penyakit-penyakit katup jantung.
d. Syok Endotoksik/septic
Merupakan suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah disebabkan
oleh lepasnya toksin. Penyebab utama adalah infeksi bakteri gram nagatif.
Sering dijumpai pada abortus septic, korioamnionitis, dan infeksi
pascapersalinan.
e. Syok Anafilatik
Syok yang sering terjadi akibat alergi /hipersensitif terhadap obat-obatan.
3. Penyebab syok yang lain

73
a. Emboli air ketuban
b. Udara atau thrombus
c. Komplikasi anastesi dan kombinasi seperti pada abortus inkompletus
(hemoragik dan ensotoksin)
d. Kehamilan ektopik terganggu dan rupture uteri (hemoragik dan neurogenik).
4. Etiologi
a. Pendarahan
b. Abortus
c. Infeksi berat
d. Solusio Plasenta
e. Luka jalan lahir
f. Emboli air ketuban
g. Inversio uteri
h. Syok postular
i. Kolaps Vasomotor pospartum
j. Fakta predisposisi timbulnya syok
5. Syok hemoragik dalam obstetri dijumpai pada :
a. Antepartum : Plasenta previa, solusio plasenta, abortus.
b. Intrapartum : Rupture uteri.
c. Pospartum : Pendarahan post partum, Luka jalan lahir.
6. Patofisiologi
a. Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan cara mengaktifkan
4 sistem major fisiologi tubuh:
1). Sistem hematologi
System hematologi berespon kepada perdarahan hebat yag terjadi
secara akut dengan mengaktifkan cascade pembekuan darah dan
mengkonstriksikan pembuluh darah (dengan melepaskan thromboxane A2
lokal) dan membentuk sumbatan immatur pada sumber perdarahan.
Pembuluh darah yang rusak akan mendedahkan lapisan kolagennya, yang
secara subsekuen akan menyebabkan deposisi fibrin dan stabilisasi dari
subatan yang dibentuk. Kurang lebih 24 jam diperlukan untuk
pembentukan sumbatan fibrin yang sempurna dan formasi matur
2). Sistem kardiovaskular

74
Sistem kardiovaskular awalnya berespon kepada syok hipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meninggikan kontraktilitas
myocard, dan mengkonstriksikan pembuluh darah jantung. Respon ini
timbul akibat peninggian pelepasan norepinefrin dan penurunan tonus
vagus (yang diregulasikan oleh baroreseptor yang terdapat pada arkus
karotid, arkus aorta, atrium kiri dan pembuluh darah paru. System
kardiovaskular juga merespon dengan mendistribusikan darah ke otak,
jantung, dan ginjal dan membawa darah dari kulit, otot, dan GI
3). Sistem renal
System urogenital (ginjal) merespon dengan stimulasi yang
meningkatkan pelepasan rennin dari apparatus justaglomerular. Dari
pelepasan rennin kemudian dip roses kemudian terjadi pembentukan
angiotensi II yang memiliki 2 efek utama yaitu memvasokontriksikan
pembuluh darah dan menstimulasi sekresi aldosterone pada kortex adrenal.
Adrenal bertanggung jawab pada reabsorpsi sodium secra aktif dan
konservasi air.
4). Sistem neuroendokrin.
System neuroendokrin merespon hemoragik syok dengan
meningkatkan sekresi ADH. ADH dilepaskan dari hipothalmus posterior
yang merespon pada penurunan tekanan darah dan penurunan pada
konsentrasi sodium. ADH secara langsung meningkatkan reabsorsi air dan
garam (NaCl) pada tubulus distal. Ductus colletivus dan the loop of Henle.
b. Patofisiology dari hipovolemik syok lebih banyak lagi dari pada yang telah
disebutkan . untuk mengexplore lebih dalam mengenai patofisiology, referensi
pada bibliography bias menjadi acuan. Mekanisme yang telah dipaparkan
cukup efektif untuk menjaga perfusi pada organ vital akibat kehilangan darah
yang banyak. Tanpa adanya resusitasi cairan dan darah serta koreksi pada
penyebab hemoragik syok, kardiak perfusi biasanya gagal dan terjadi
kegagalan multiple organ.
7. Tanda dan Gejala
a. Kesadaran penderita menurun
b. Nadi berdenyut cepat ( Lebih dari 140 x/menit ) Kemudian melemah, lambat
dan menghilang.
c. Penderita merasa mual ( mau muntah )

75
d. Kulit penderita dingin, lembab dan pucat.
e. Nafas dangkal dan kadang tak teratur.
f. Mata penderita nampak hampa, tidak bercahaya dan manik matanya/pupil )
melebar.
g. Adapun dari buku lain tanda – tanda terjadinya syok obstetri yaitu :
1). Nadi cepat dan halus ( > 112 / menit )
2). Menurunnya tekanan darah ( diastotik < 60 )
3). Pernapasan cepat ( Respirasi > 32 / menit )
4). Pucat ( terutama pada konjungtiva palpebra, telapak tangan, bibir )
5). Berkeringat, gelisa, aptis / bingungan / pingsan / tidak sadar.
6). Penanganan awal sangat penting untuk menyelamatkan jiwa pasien.
8. Mekanisme Terjadinya Syok
a. Syok Hipovolemik
Terjadi karena volume cairan darah intravaskula berkurang dalam
jumlah yang banyak dan dalam waktu yang singkat. Penyebab utama adalah
pendarahan akut. 20% volume darah total.
b. Syok septik
Sering terjadi pada orang dengan gangguan imunitas dan pada usia tua.
Akibat dari reaksi tubuh melawan infeksi, bakteri mati dan mengeluarkan
Endotaksin melalui mekanisme yang belum jelas mempengaruhi metabolisme
sel dan merusak sel jaringan di sekitarnya.
Sel yang di rusak ini mengeluarkan enzim usosom dan Histamin.
Enzim usosom masuk peredaran darah sampai ke jaringan lain dan
menyebabkan kerusakan sel lebih banyak lagi serta sebagai pemicu
dikeluarkannya Bradikinin. Bradikinin dan Histamin menyebabkan vasodilasi
pembulu darah tepi secara masif dan meningkatkan permeabilitas kapler ( fase
hangat syok septik ).
9. Penanganan Syok Hipovolemik
a. Periksa tanda vital.
Selimuti tubuh pasien agar hangat karena hipotermia akan memperburuk
kondisi pasien. Jangan berikan sumber panas dari luar. Miringkan kepala /
tubuh pasien untuk mencegah aspirasi muntahan. Jangan berikan sesuatu
melalui mulut ( dapat terjadi aspirasi atau persiapan tindakan operatif ).
b. Bebaskan jalan nafas

76
Pastikan jalan nafas bebas, bila tersedia, berikan oksigen melalui slang atau
mamasker dengan kecepatan 6-8 liter / menit.
c. Tinggikan tungkai
Posisi demikian akan membantu beban kerja jantung bila setelah posisi
tersebut, ternyata pasien menjadi sesak, mungkin terjadi kegagalan jantung
dan edema paru. Segeracairan
Pada keadaan seperti itu, turunkan lagi tungkai pada posisi datar /
semula dan tinggikan tubuh untuk mengurangi tekanan hidrostatik di paru.
d. Perbaiki cairan tubuh, berikan segera cairan isotonik.
Berikan isotonic (Ringer Laktat atau garam fisiologis) 1 liter dalam 15-
20 menit kemudian lanjutkan hingga mencapai 3 liter (lihat kondisi pasien)
dalam 2-3 jam. Pada umumnya syok hipovelemik memerlukan tiga liter cairan
untuk stabilisasi atau mengembalikan cairan tubuh yang hilang. Jangan
berikan cairan per oral.
e. Tranfusi darah.
Bila konsetrasi Hb < 6 gr % atau hematokrit < 20 keadaan ini menunjukkan
kondisi yang kritis (kehilangan sangat banyak butir – butir darah merah)
sehingga mutlak diberi transfuse darah agar perfusi ( pasokan oksigen) ke
jaringan pulih kembali.
f. Pemeriksaan Labaratorium.
Periksa hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit,
trombosit, golongan darah, uji padanan silang (crossmatch) dan bila tersedia,
periksa gas dan nitrogen urea darah. Ukur jumlah dan produksi urin, produksi
dibawah 50 ml / jam menunjukkan hipovolemia.
g. Antibiotik
Bila terdapat tanda-tanda infeksi (demam, menggigil, darah bercampur
secret berbau, hasil periksa apusan atau biakan darah) segera berikan
antibiotika spektrun luas.
h. Periksa dan bersihkan bekuan darah atau massa kehamilan didalam lumen
vagina disebabkan oleh sisa konsepsi dalam kavum uteri maka lakukan
evakuasi konsepsi dengan prosedur Aspirasi Vakum Manual (AVM)
K. Distosia Bahu
1. Pengertian Distosia Bahu

77
Distosia bahu adalah suatu keadaan diperlakukannha tanbahan manuver
obstetrik oleh karena dengan tarikan biasa ke arah belakang pada kepala bayi.
Pada persalinan dengan presentasi kepala, setelah kepalah lahir bahu tidak dapat
dilahirkan dengan cara pertolongan biasa dan tidak didapatkan sebab lain dari
kesulitan tersebut. Insidensi distosia bahu sebesar 0,2-0,3% dari sekuruh
persalinan pervaginal presentasi kepala. Apabila distorsia bahu didefinisikan
sebagai jarak waktu antara lahirnya kepala dengan badan bayi lebih dari 60 detik,
maka insidensinya menjadi 11%.
Pada mekanisme persalinan normal, ketika kepaa dilahirkan, maka bahu
memasuki panggul dalam posisi iblik.Bahu posterior memasuki panggul lebih
dahulu sebelum bahu anterior.Ketika kepala melakukan putaran paksi luar, bahu
posterior berada dicekungan tulang sakrum atau disekitar spina iskhiadika, dan
memberikan ruang yang cukup bagi bahu anterior untuk memasuki panggul
melalui belakang tulang pubis atau berotasi dari foramen obturatir.Apabila bahu
berada dalam posisi antero-posterior ketika hendak memasuki pintu atas panggul,
maka bhu posterior dapat tertahan prontorium dan bahu anterior tertahan tulang
pubis. Dalam keadaan demikt kepala yang sudah dilahirkan akan tidak dapat
melakuy putar paksi luar, dan tertahan akibat adanya tarikan yang terjadi antara
bhu posterior dengan kepala (disebut dengan turtlr sign).
2. Komplikasi
Komplikasi distosia bahu pada janin adalah fraktur tulang (klavikula dan
humerus), cedera pleksus brakhialis, dan hipoksia yang dapat menyebabkan
kerusakan permanen diotak.Dislokasi tulng servikalis yang fatal juga dapat tert
akibat melakukan tarikan dan putarat pada kepala dan leher.Fraktur tulang pada
umumnya dapat sembuh sempurna tanpa sekuele, apabila didiagnosis dan diterapi
dengan memadai.Cedera pleksus brakhialis dapat membaik dengan berjalannya
waktu, tetapi sekuele dapat terjadi pda 50% kasus.Pada ibu, komplikasi yang
dapat terjadi adalah perdarahan akibat laserasi jalan lahir episiotomi, ataupun
atonia uteri.
3. Faktor resiko dan pencegahan
Belum ada cara untuk memastikan akan terjadinya distosia bahu pada suatu
persalinan. Meskipun sebagian besar distosia bahu dapat ditolong tanpa
morbiditas, tetapi apabila terjadi komplikasi dapat menimbulkan kekecewaan dan
adanya potensi tuntutan terhadap penolong persalinan.Untuk mengurangi risiko

78
morbiditad pada bayi dan mencegah terjadiy tuntutan, penolong persalt perlu
mengidentifikasi faktor risiko terjadinya distosia bahu daj mengkomunikasikan
akibat yang dapat terjadi pada ibu serta keluarganya.
Bayi cukup bulan pada umumnya memiliki ukuran bahu yang lebih lebar dari
kepalanya, sehingga mempunyai risiko terjadi distosia bahu. Risiko akan
meningkat dengam bertambahnya perbedaan antara ukuran badan dan bahu
dengan ukuran kepalanya. Pada bayi makrosomia, perbedaan ukuran tersebut
lebih besar dibanding bayi tanpa makromasia, sehingga bayi makromasia lebih
berisiko. Dengan demikian, kewaspadaan terjadinya distosia bhu diperlukan pada
detit pertolongan persalinan dan semakin penting bila terdapat faktor-faktor yang
meningkatkan risiko makromasia. Adanya DOPE (diabetes, obestity, prolonged
pregnancy, excessive fetal size or matermal weight gain) akan meningkatkan
risiko kejadian. Keadaan intrapartum yang banyak dilaporkan berhubungan
dengan kejadian distosia bahu adalah kala I lama, partus macet, kala II lama,
stimulasi oksitosin, dan persalinan vaginal dengan tindakan.Meskipun demikian,
perlu disadari bahwa sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diprediksi
dengan tepat sebelumnya.
Upaya pencegahan distosia bahu dan cedera yang dapat ditimbulkannya dapat
dilakukan dengan cara:
a). Tawarkan untuk dilakukan bedah sesar pada persalinan vaginal berisiko
tinggi: janin luar bisa besar (>5kg), janin sangat besar (>4,5kg) dengan ibu
diabetes, janin besar (>4kg) dengan riwayat distosia bahu pada persalinan
sebelumnya, kala II yang memanjang dengan janin besar.
b). Identifikasi dan obati diabetes pada ibu.
c). Selalu bersiap bila sewaktu-waktu terjadi.
d). Kenali distosia bahu seawal mungkin. Upaya mengejan, menekan suprapubis
atau fundus dan traksi berpotensi meningkatkan risiko cedera pada janin.
e). Perhatikan waktu dan degera minta pertolongan begitu distosua diketahy.
Bantuan diperlukan untuk membuat posisi McRoberts, pertolongan persalinan,
resusitasi bayi, dan tindakan anestesua (bila perlu).
4. Penanganan
Diperlukan seorang asisten untuk membantu, sehit bersegeralah minta
bantuan.Jangan melakukan tarikan atau dorongan sebelum memastikan bahwa
bahu posterior sudah masuk ke panggul. Bahu posterior yang belum melewati

79
pintu atas panggul akan semakin sulit dilahit bila dilakukan tarikan pada kepala.
Untuk mengendorkan ketegangan yang menyulitkan bahu posterior masuk
panggul tersebut, dapat dilakukan episiotomi yang luas, posisi McRobert, atau
posisi dada-lutut.
Dorongan pada fundus juga tidak diperkenankan karena semakin menyulitkan
bahu untuk dilhirkat dan berisiko menimbulkan ruptura uteri.Disampinh perlunya
asisten dan pemahaman yang baik tentang mekanisme persalinan, keberhasilan
pertolongan persalinan dengan distosia bahu juga ditentukan oleh waktu. Setelah
kepala lahir akan terjadi penuruan pH arteria umbilikalis dengan laju 0,04
unit/menit. Dengan demikan, pada bayi yang sebelumnya tidak mengalay hipoksia
tersedia waktu 4-5 menit untuk melakuy manuver melahirkan bahu sebelum
terjadi cedera hipoksik pada otak.
5. Secara sistematis tindakan pertolongan distosia bahu adalah sebagai berikut.
Diagnosis

Hentikan traksi pada kepala, segera memanggil bantuan

Manuver McRobert
(Posisi McRobert, episiotomi bila perlu, tekanan suprapubik, tarikan kepala)

Manuver Rubin
(Posisi tetap McRobert, rotasikan bahu, tekanan suprapubik, tarikan kepala)

Lahirkan bahu posterior, atau posisi merangkkt, atau manuver Wood
a). Langkah pertama: Manuver McRobert
Manuver McRobert dimulai dengan memosisikan ibu dalam posisi
McRobert, yaitu ibu telentang, memfleksikan kedua paha sehingga lutut
menjadi sedekat mungkin ke dada, dan rotasikan kedua kaki ke arah luar
(abduksi).Lakukan episiotomi yang cukup lebar. Gabungan episiotomi dan
posisi McRobert akan mempermudah bahu posterior melewati promontorium
dan masuk ke dalam panggul. Mintalah asisten menekan bahu suprasimfisis ke
arah posterior menggunakan pangkal tangannya untuk menekan bahu amteriot

80
agar mau masuk dibawah simfisis.Sementara itu lakukan tarikan pada kepala
janin ke arah posterokaudal dengan mantap.
Langkah tersebut akan melahirkan bahu anterior. Hindari tarikan yang
berlebihat karena akam mencederai pleksus brakhialis. Setelah bahu anterior
dilahatikan, langkah selanjutnya sama dengan pertolonhan persalinan
presentasi kepala. Manuver ini cukup sederhana, aman dan dapat mengatasi
sebagian besar distosia bahu derajat ringan sampai sedang.

b). Langkah Kedua: Manuver Rubin


Oleh karena diameter anteroposterior pintu atas panggul lebih sempit
daripada diameter oblik atau transversanga, maka apabila bahu dalam
anteroposterior perlt diubah menjadi posisi oblik atau transversa untuk
memudahkan melahirkannya.
Tidak boleh melakukan putaran pada kepala atau leher bayi untuk
mengubah posisi bahu.Yang dapat dilakukan adalah memutar bahu secara
langsung atau melakukan tekanan suprapubik ke arah dorsal. Pada umumnya
sulit menjangkau bahu anterior, sehingga pemutaran bahu lebih mudah
dilakukan pada bahu posteriornya.Masih dalam posisi McRobert, masukkan
tangan pada bagian posterior vagina, tekanlah daerah ketiak bayi sehingga
bahu berputar menjadi posisi oblik atau transversa.
Lebih menguntungy bila pemutarat itu ke arah yang membuat
punggung bayi menghadap ke arah anteriot (manuver Rubin anterior) oleh
karena kekuatan tarikan yanh diperlukan untuk melahirkannya lebih rendah
dibandingkan dengan posisi bahu anteroposterior atau punggung bayi
menghadap ke arah posterior. Ketika dilakukan penekanan suprapubik pada

81
posisi punggy janin anterior akan membuat bahu lebih abduksi, sehingga
diameternya mengecil. Dengan bantuan tekanan siprasimfisis ke arah
posterior, lakukan tarikan kepalt ke arah posterokaudal dengan mantap untuk
melahirkan bahu anterior.
c). Langkah Ketiga: Melahirkan bahu posterior, posisi merangkak, atau manuver
Wood
Melahirkan bahu posterior dilakukan pertama kali dengan
mengidentifikasi dulu posisi punggung bayi.Masukkan tangan penoo yang
berseberangan dengan punggung bayi (punggung kanan berarti tangan kanan,
punggung kiti berarti tangan kiri) ke vagina.Temukan bahu posterior, telusuri
lengan atas dan buatlah sendi siku menjadi fleksi (bisa dilakukan dengan
menekan fossa kubiti).Penganglah lengan bawah dan buatlh gerakan
mengusap ke arah dada bayi. Langkah ini akan membuat bahu posterior lahir
dan memberikan ruanh cukup bagi bahu anterior masuk ke bawah simfisis.
Dengan bantuan tekanan suprasimfisis ke arah posterior, lakukan tarikan
kepala ke arah posterokaudal dengan mantap untut melahirkan bahu anterior.

Manfaat posisi merangkak didasarkan asumsi fleksibi sendi sakroiliaka


bisa meningkatkan diameter sagital pintu atas panggul sebesar 1-2 cm dan
pengaruh gravitasi akan membntut bahu posterior melewati promontorium.
Pada posisi telentang atau litotomi, sendi sakroiliaka menjadi terbatas
mobilitasnya.Pasien menopang tubuhnya dengan kedua tangan dan kedua

82
lututnya.Pada manuver ini bahu posterior dilahirkan terlebih dahulu dengan
melakukan tarikan kepala.
Bahu melalui panggul ternyata tidak dalam gerak lurus, tetapi berputar
seperti uliran sekrup. Berdasarkan hal itu, memutar bahu akan mempermudah
melahirkannya. Manuver Wood dilakukan dengan menggunakan dua jari dari
tangan yang berseberangan dengan punggung bayi (punggung kanan berarti
tangan kanan, punggung kiri berarti tangan kiri) yang diletakkan dibagian
depan bahu posterior. Bahu posterior dirotasi 180 derajat.Denga det, bahu
posterior menjadi bahu anterior dan posisinya berada dibawah arkus pubis,
sedangkan bahu anterior memasuki pintu atas panggy dan berubah menjadi
bahu posterior. Dalam posisi seperti itu, bahu anterior akan dengan mudah
dapat dilahirkan.
Setelah melakukan prosedur pertolongan distosia bahu, tindakan
selanjutnya adalah melakukan proses dekontaminasi dan pencegahan infeksi
pascatindakan serta perawatan pascatindakan. Perawatan pascatindakan
termasuk menuliskan laporan dilembar catatan medik dan memberikan
konseling pascatindakan.

6. Diagnosis
Distosi bahu dapat dikenali apabila didapatkan adanya:
a). Kepala bayi sudah lahir, tett bahu tertahan dan tidak dapat dilahirkan
b). Kepala bayi sudah lahir, tetapi tetapa menekan vulva dengan kencang.
c). Dagu tertarik dan menekan perineum.
d). Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap tertahan
dikranial simfisis pubis.
Begitu distosia bahu dikenali, maka prosedur tindakat untuk menolongnya harus
segera dilakukan.
L. Prolapse Tali Pusat
1. Pengertian
Prolaps tali pusat adalah penurunan tali pusat ke dalam vagina mendahului
bagian terendah janin yang mengakibatkan kompresi tali pusat di antara bagian
terendah janin dan panggul ibu (Prawiroharjo, 2012).
Prolaps tali pusat adalah keadaan darurat obstetrik langka yang terjadi ketika
tali pusat turun di samping atau di luar bagian presentasi janin. Hal ini dapat

83
mengancam jiwa janin karena aliran darah melalui pembuluh pusar tidak mampu
mengkompromi kompresi tali pusar diantara janin dan rahim, leher rahim, atau
leher panggul. Keadaan ini membuat janin dapat mengalami hipoksia yang dapat
berakibat pada asfiksia (Phelan, 2013).
Dari beberapa definisi tersebut disimpulkan bahwa prolaps tali pusat adalah
letak tali pusat yang berada di samping atau dibagian terendah yaitu jalan lahir
janin yang dapat menyebabkan kompresi pada tali pusat sehingga fungsi tali pusat
menjadi terganggu.

2. Klasifikasi
Prolaps Tali pusat dapat dibedakan menjadi 3 derajat yaitu :
a. Occult prolapsed, jika tali pusat terletak di samping kepala atau di
dekat pelvis tapi tidak dalam jangkauan jari pada pemeriksaan vagina.
b. Tali pusat terdepan (tali pusat terkemuka), jika tali pusat berada disamping
bagian besar janin dapat teraba pada kanalis servikalis, atau lebih rendah dari
bagian bawah janin sedangkan ketuban masih intek atau belum pecah.
c. Tali pusat menumbung (prolapsus funikuli), jika tali pusat teraba keluar atau
berada disamping dan melewati bagian terendah janin di dalam jalan lahir, tali
pusat dapat prolaps ke dalam vagina atau bahkan di luar vagina setelah
ketuban pecah (Winkjosastro, 2005).

84
3. Epidemiologi
Myles melaporkan hasil penelitiannya dalam kepustakaan dunia bahwa angka
kejadian prolaps tali pusat berkisar antara 0,3% sampai 0,6% persalinan atau
sekitar 1:3000 kelahiran, tali pusat menumbung kira-kira 1:200 kelahiran, tetapi
insiden dari occult prolapse 50% tidak diketahui. Keadaan prolaps tali pusat
mungkin terjadi pada mal presentasi atau mal posisi janin, antara lain: presentasi
kepala 0,5% , letak sungsang 5%, presentasi kaki 15%, dan letak lintang 20%.
Prolaps tali pusat juga sering terjadi jika tali pusat panjang dan jika plasenta letak
rendah (Sodikin, 2008).
4. Etiologi
a. Etiologi fetal
1). Presentasi yang abnormal seperti letak lintang, letak sungsang, presentasi
bokong, terutama presentasi kaki.
2). Prematuritas. Seringnya kedudukan abnormal pada persalinan prematur,
yang salah satunya disebabkan karena bayi yang kecil sehingga
kemungkinan untuk aktif bergerak.
3). Gemeli dan multiple gestasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi
gangguan adaptasi, frekuensi presentasi abnormal yang lebih besar,
kemungkinan presentasi yang tidak normal.
4). Polihidramnion, sering dihubungkan dengan bagian terendah janin yang
tidak engage.
5). Ruptur membran amnion spontan. Keadaan ketuban pecah dini tersebut
membawa sejumlah besar cairan mengalir ke luar dan tali pusat hanyut ke
vagina.
b. Etiologi Maternal

85
1). Disproporsi kepala panggul
Disproporsi antara panggul dan bayi menyebabkan kepala tidak dapat
turun dan pecahnya ketuban dapat diikuti tali pusat menumbung.
2). Bagian terendah yang tinggi
Tertundanya penurunan kepala untuk sementara dapat terjadi meskipun
panggul normal.
c. Etiologi dari tali pusat dan plasenta
1). Tali pusat yang panjang
2). Semakin panjang tali pusat, maka semakin mudah menumbung.
3). Plasenta letak rendah
4). Jika plasenta dekat serviks maka akan menghalangi penurunan bagian
terendah. Disamping itu insersi tali pusat lebih dekat serviks.
5. Tanda dan Gejala
a. Tali pusat kelihatan menonjol keluar dari vagina.
b. Tali pusat dapat dirasakan atau diraba dengan tangan didalam bagian yang
lebih sempit dari vagina.
c. Keadaan jalan lahir yang berbahaya mungkin terjadi sebagai mana tali pusat
ditekan antara bagian presentase dan tulang panggul.
d. Auskultasi terdengar jantung janin ireguler
e. Terdapat bradikardia janin ( DJJ <100x/menit)
f. Hipoksia janin ditandai dengan gerakan janin yang jarang dan lemah.
6. Patofisiologi
Beberapa etiologi yang dapat menyebabkan prolapsus tali pusat diantaranya
ruptur membran amnion spontan, kehamilan kembar, polihidroamnion, kehamilan
prematur, janin terlalu kecil, kelainan presentasi. Penyebab primer yang timbul
akibat prolaps tali pusat adalah ruptur membran yang spontan terjadi sebelum
bagian presentasi berada pada leher panggul.
Ketika kantung cairan amnion ruptur, tiba-tiba terjadi desakan yang kuat
menyebabkan cairan mengalir dengan cepat terus menuju vagina sehingga
membuat tali pusat menuju vagina. Pada kehamilan ganda maka kemungkian
terjadinya prolaps tali pusat akan semakin besar karena jika terjadi desakan antara
janin akan membuat janin mengalami kelainan presentasi seperti letak melintang.
Keadaan polihidroamnion, dimana terdapat cairan ketuban banyak
menyebabkan janin dapat bergerak lebih leluasa dalam rahim. Dan keadaan ini

86
dapat mengakibatkan kelainan presentasi (letak sungsang, lintang, presentasi
kepala).
Sedangkan pada kehamilan prematur selain terjadi hidramnion juga terjadi
ukuran janin yang kecil karena usia gestasi yang masih muda sehingga janinnya
memiliki ukuran kepala yang kecil. Keadaan tali pusat yang panjang dan plasenta
previa juga menjadi penyebab terjadinya prolaps tali pusat. Semua keadaan
tersebut akan menyebabkan janin sulit beradaptasi terhadap panggul ibu, sehingga
PAP (pintu atas panggul) tidak tertutupi oleh bagian bawah janin, dan inilah yang
mengakibatkan tali pusat bergeser atau turun dari tempatnya sehingga terjadilah
prolaps tali pusat.
Prolaps tali pusat akan mengakibatkan tali pusat terjepit antara bagian
terendah janin dan jalan lahir sehingga sirkulasi janin akan terganggu dan ini
mengakibatkan terjadi hipoksia fetal dan bila berlanjut dapat mengakibatkan  fetal
distress yang ditandai dengan melemahnya detak jantung janin.
Gangguan aliran darah yang lama melalui tali pusat juga dapat menghasilkan
asidosis respiratorik dan metabolik yang berat, berkurangnya oksigenasi janin,
bradikardi yang menetap, bila keadaan ini terus berlangsung dapat mengakibatkan
terjadinya kematian pada janin. Namun bila dapat dan segera ditangani maka janin
tetap hidup, hal ini ditandai dengan adanya teraba denyutan pada tali pusat
(Prawirohardjo, 2012)
7. Komplikasi dan Prognosis
a. Komplikasi
1). Pada Ibu
Dapat menyebabkan infeksi intra partum, pecahnya ketuban menyebabkan
bakteri di dalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi
desidua  serta pembuluh korion sehingga terjadi bakterimia dan sepsis
pada ibu dan janin. Sedangkan pemeriksaan serviks dengan jari tangan
akan memasukkan bakteri vagina kedalam uterus. Pemeriksaan ini harus
dibatasi selama persalinan, terutama apabila dicurigai terjadi distosia.
Infeksi merupakan bahaya yang serius yang mengancam ibu dan janinnya
pada partus lama (Chuningham dkk, 2005). Komplikasi lain seperti
laserasi jalan lahir, ruptura uretri, atonia uretri dapat terjadi akibat upaya
menyelamatkan janin.
2). Pada janin

87
a). Gawat janin
Gawat janin adalah keadaan atau reaksiketika janin tidak memperoleh
oksigen yang cukup. Gawat janin dapat diketahui dari tanda-tanda
berikut:
1)). Frekuensi bunyi jantung janin kurang dari 120x/menit atau lebih
dari 160x/menit.
2)). Berkurangnya gerakan janin (janin normal bergerak lebih dari
10x/hari).
3)). Adanya air ketuban bercampur mekonium, warna kehijauan, atau
tali pusat pulsasinya lemah, maka prognosis janin akan memburuk
(Prawirohardjo, 2012)
4)). Cerebral palsy adalah gangguan yang mempengaruhi otot, gerakan,
dan ketrampilan motorik (kemampuan untuk bergerak dalam cara
yang terkoordinasidan terarah) akibat dari rusaknya otak karena
trauma lahir atau patologi intrauterin (Chuningham dkk, 2005).
b. Prognosis
Prognosisnya baik apabila diagnosis serta penatalaksanaan yang tepat
sesuai klasifikasi prolaps, memburuk jika prolaps tidak segera diketahui dan
ditangani sehingga menyebabkan hipoksia pada bayi sehingga bayi mati dalam
kandungan. Kematian perinatal sekitar 20%-30% pada janin, prognosis janin
akan membaik dengan sectio caesar (Prawirohardjo,2012)
8. Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus prolaps tali pusat, pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan:
a. Tes prenatal dapat menunjukkan polihidramnion, janin besar atau gestasi
multiple.
b. Pemeriksaan vagina  menunjukkan perubahan posisi tali pusat, dapat terlihat
dari vagina, teraba secara kebetulan, auskultasi terdengar jantung janin.
c. Fundoskop digunakan untuk mendeteksi denyut  jantung janin atau monitoring
DJJ.
d. Ultrasound atau pelvimetri sinar-x, mengevaluasi arsitektur pelvis, presentasi
janin, posisi dan formasi.
9. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan tali pusat adalah sebagai berikut:
a. Tali pusat berdenyut

88
1). Jika tali pusat berdenyut, berarti janin masih hidup.
2). Beri oksigen 4-6 liter/menit melalui masker atau nasal kanul
3). Posisi ibu knee chest, trendelenberg atau posisi sim (Prawirohardjo, 2012)
4). Diagnosis tahapan persalinan melalui pemeriksaan dalam segera.
5). Jika ibu pada persalinan kala I : 
a). Dengan sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi (DTT) masukan tangan
kedalam vagina dan bagian terendah janin segera didorong ke atas,
sehingga tahanan pada tali pusat dapat dikurangi.
b). Tangan yang lain menahan bagian terendah di supra pubis dan evaluasi
keberhasilan reposisi.
c). Jika bagian terbawah janin sudah terpegang dengan kuat diatas rongga
panggul, keluarkan tangan dari vagina, letakan tangan tetap diatas
abdomen sampai dilakukan sesio cesarea.
d). Jika tersedia, berikan salbutamol 0,5 mg IV secara berlahan
untuk mengurangi kontraksi rahim.
e). Segera lakukan sectio caesaria.
6). Jika ibu pada persalinan kala II :
a). Pada persentasi kepala, lakukan persalinan segera dengan ekstraksi
vakum atau ekstraksi cunam/forseps.
b). Jika persentase bokong/sungsang lakukan ekstraksi bokong atau
kaki,dan gunakan forseps pipa panjang untuk melahirkan kepala
yang menyusul.
c). Jika letak lintang, siapkan segera sectio caesaria.
d). Siapkan segera resusitasi neonatus.
e). Tali pusat tidak berdenyut
Jika tali pusat tidak berdenyut berarti janin telah meninggal. Keadaan
ini sudah tidak merupakan tindakan darurat lagi, lahirkan bayi secara
normal tanpa mencederai ibu. Pergunakan waktu untuk memberikan
konseling pada ibu dan keluarganya tentang apa yang terjadi serta
tindakan apa yang akan dilakukan.
b. Polindes
1). Lakukan pemeriksaan dalam bila ketuban sudah pecah dan bagian
terbawah janin belum turun

89
2). Jika teraba tali pusat, pastikan tali pusat masih berdenyut atau tidak dengan
meletakkan tali pusat diantara 2 jari.
3). Lakukan reposisi tali pusat. Jika berhasil usahakan bagian terendah janin
memasuki rongga panggul, dengan menekan fundus uteri dan usahakan
segera persalinan pervaginam.
4). Suntikkan terbutalin 0,25 mg subkutan.
5). Dorong ke atas bagian terbawah janin dan segera rujuk ke Puskesmas/RS.
c. Puskesmas
1). Penanganan sama seperti di atas.
2). Jika persalinan pervaginam tidak mungkin dilaksanakan, segera rujuk ke
Rumah sakit.
d. Rumah Sakit.
1). Lakukan evaluasi atau penanganan seperti pada manajemen medik.
2). Jika persalinan pervaginam tidak mungkin terjadi, segera lakukan sectio
caesaria.
Penatalaksanan tali pusat bedasarkan klasifikasinya adalah sebagai berikut:
a. Prolaps tali pusat menumbung (prolapsus funikuli )
1). Posisiskan ibu pada posisi kneechest. Jika mampu kembalikan tali pusat
ke dalam vagina menggunakan tekanan ke atas menghadap bagian
presentasi untuk mengangkat janin jauh dari prolaps tali pusat. Hal ini
dapat dilakukan secara manual (bersarung tangan steril/2 jari mendorong
ke atas terhadap bagian presentasi atau sekali bagian presentasi di atas
pinggir panggul, menggunakan tekanan suprapubik terus menerus dalam
arah ke atas).
2). Jika tali pusat tidak dapat dimasukkan ke dalam vagina, hindari memegang
tali pusat yang berada di luar vagina, karena hal ini menyebabkan
vasospasme
3). Tutupi tali pusat dengan kasa steril lembab yang dibasahi normal salin
hangat untuk menjaga agar tidak kering dan dingin.
4). Lanjutkan ke bagian darurat caesar sesegera mungkin.
5). Jika tersedia, memberikan terbutaline 0,25 mg subkutan untuk mengurangi
kontraksi ketika terdapat kelainan denyut jantung janin
b. Prolaps occult
1). Tempatkan ibu dalam posisi lateral ataupun kneechest.

90
2). Jika denyut jantung janin normal, berikan ibu O2 dan denyut jantung janin
serta pulsasi tali pusat yang terus dipantau
3). Jika denyut jantung janin tetap normal, persiapkan operasi Caesar yang
cepat.
4). Persalinan normal hanya dapat dilakukan jika waktu persalinan sudah
dekat, serviks sepenuhnya melebar dan tidak ada kontra-indikasi.
c. Prolaps terkemuka
Penangannya sama seperti prolaps occult. Pantau denyut jantung janian
serta pulsasi tali pusat sambil mempersiapkan persalinan baik normal jika
tidak ada kontra indikasi maupun caesar.
10. Pencegahan
Prolaps tali pusat tidak dapat dicegah, tetapi komplikasi janin selanjutnya
telah terbukti sering dapat dicegah, dengan penurunan yang signifikan dalam
morbiditas dan mortalitas janin bila kondisi ini ditangani dengan segera dan tepat.
M. Cepalo Pelvik Dispropostion (CPD)
1. Pengertian
Cephalopelvik Disproportion (CPD) atau Disproporsi sefalo-Pervik adalah
ketidak cocokan antara kepala janin dan bagian pervis tertentu yang harus
dilaluinya (Kamus Kebidanan).
Janin dapat terletak melitang pada panggul ibu yang berukuran terlalu kecil
atau bentuknya abnormal, atau letak presentasi kepala yang diameternya tidak
menguntungkan abnormal besar. Keadaan ini akan diketahui dalam 3 minggu
terakhir kehamilan dengan tidak berhasilnya kepala janin masuk kedalam PAP,
baik secara spontan maupun secara penekanan.
Derajat disproporsi dapat dinilai secara akurat dengan bantuan sinar x (ultra
suara) dengan derajat yang ringan, kerja uterus dalam persalinan cukup memadai
untuk mengubah bentuk kepala janin hingga dapat melewati panggul ibu.
Perubahan bentuk kepala janin ini sering disertai peningkatan pleksi. Pada
keadaan ini persalinan dapat berlangsung tampa komplikasi pada janin atau
ibunya. Pada disproporsi dengan derajat sedang hingga berat kelahiran bayi harus
dilakukan Seksio Cesaria (SC).
2. Disproporsi Sefalo – Pelvik
Ada beberapa kemungkinan :
a. Imbang Sefalo-Pelvik baik

91
Partus dapat direncanakan pervaginam,namun demikian his,posisi kepala dan
keadaan serviks harus diperhatikan selama partus.
b. Disproporsi Sefalo-Pelvik
Artinya bahwa janin tidak dapat dilahirkan secara normal pervaginam,bila
anak hidup lakukan seksio sesaria (SC).
c. Kemungkinan Disproporsi
Mengandung arti yaitu imbang baik atau dapat terjadi disproporsi. ‘’Untuk
mendapat kepastian maka harus dilakukan pemeriksaan radiologi dan atau
Partus percobaan’’.
3. Bagian Panggul
a. Pintu Atas Panggul
Pintu atas panggul dibentuk oleh promontorium corpus vertebra
sacrum, linea innominata, serta pinggir atas simfisis. Konjugata diagonalis
adalah jarak dari pinggir bawah simfisis ke promontorium, Secara klinis,
konjugata diagonalis dapat diukur dengan memasukkan jari telunjuk dan jari
tengah yang dirapatkan menyusur naik ke seluruh permukaan anterior sacrum,
promontorium teraba sebagai penonjolan tulang. Dengan jari tetap menempel
pada promontorium, tangan di vagina diangkat sampai menyentuh arcus pubis
dan ditandai dengan jari telunjuk tangan kiri. Jarak antara ujung jari pada
promontorium sampai titik yang ditandai oleh jari telunjuk merupakan panjang
konjugata diagonalis.
Konjugata vera yaitu jarak dari pinggir atas simfisis ke promontorium
yang dihitung dengan mengurangi konjugata diagonalis 1,5 cm, panjangnya
lebih kurang 11 cm. Konjugata obstetrika merupakan konjugata yang paling
penting yaitu jarak antara bagian tengah dalam simfisis dengan promontorium,
Selisih antara konjugata vera dengan konjugata obstetrika sedikit sekali.

92
b. Panggul Tengah (Pelvic Cavity)
Ruang panggul ini memiliki ukuran yang paling luas. Pengukuran
klinis panggul tengah tidak dapat diperoleh secara langsung. Terdapat
penyempitan setinggi spina isciadika, sehingga bermakna penting pada
distosia setelah kepala engagement. Jarak antara kedua spina ini yang biasa
disebut distansia interspinarum merupakan jarak panggul terkecil yaitu sebesar
10,5 cm. Diameter anteroposterior setinggi spina isciadica berukuran 11,5 cm.
Diameter sagital posterior, jarak antara sacrum dengan garis diameter
interspinarum berukuran 4,5 cm.
c. Pintu Bawah Panggul
Pintu bawah panggul bukanlah suatu bidang datar namun terdiri dari
dua segitiga dengan dasar yang sama yaitu garis yang menghubungkan tuber
isciadikum kiri dan kanan. Pintu bawah panggul yang dapat diperoleh melalui
pengukuran klinis adalah jarak antara kedua tuberositas iscii atau distansia
tuberum (10,5 cm), jarak dari ujung sacrum ke tengah-tengah distensia
tuberum atau diameter sagitalis posterior (7,5 cm), dan jarak antara pinggir
bawah simpisis ke ujung sacrum (11,5 cm).
d. Panggul Sempit
Distosia adalah persalinan yang sulit dan ditandai oleh terlalu lambatnya
kemajuan persalinan. Distosia dapat disebabkan oleh kelainan pada servik,
uterus, janin, tulang panggul ibu atau obstruksi lain di jalan lahir. Kelainan ini
oleh ACOG dibagi menjadi tiga yaitu:
1). Kelainan kekuatan (power) yaitu kontraktilitas uterus dan upaya ekspulsif
ibu.
2). Kelainan his : inersia uteri / kelemahan his

93
3). kekuatan mengejan yang kurang misalnya pada hernia atau sesak nafas.
4). Kelainan yang melibatkan janin (passenger), misalnya letak lintang, letak
dahi, hidrosefalus.
5). Kelainan jalan lahir (passage), misalnya panggul sempit, tumor yang
mempersempit jalan lahir.
6). Pola Kelainan Persalinan, Diagnostik, Kriteria dan Metode Penanganannya

Panggul dengan ukuran normal tidak akan mengalami kesukaran


kelahiran pervaginam pada janin dengan berat badan yang normal. Ukuran
panggul dapat menjadi lebih kecil karena pengaruh gizi, lingkungan atau hal
lain sehingga menimbulkan kesulitan pada persalinan pervaginam. Panggul
sempit yang penting pada obstetric bukan sempit secara anatomis namun
panggul sempit secara fungsional artinya perbandingan antara kepala dan
panggul. Selain panggul sempit dengan ukuran yang kurang dari normal, juga
terdapat panggul sempit lainnya. Panggul ini digolongkan menjadi empat,
yaitu:

94
1). Kelainan karena gangguan pertumbuhan intrauterine: panggul Naegele,
panggul Robert, split pelvis, panggul asimilasi.
2). Kelainan karena kelainan tulang dan/ sendi: rakitis, osteomalasia,
neoplasma, fraktur, atrofi, nekrosis, penyakit pada sendi sakroiliaka dan
sendi sakrokoksigea.
3). Kelainan panggul karena kelainan tulang belakang: kifosis, skoliosis,
spondilolistesis.
4). Kelainan panggul karena kelainan pada kaki: koksitis, luksasio koksa,
atrofi atau kelumpuhan satu kaki. Setiap penyempitan pada diameter
panggul yang mengurangi kapasitas panggul dapat menyebabkan distosia
saat persalinan. penyempitan dapat terjadi pada pintu atas panggul, pintu
tengah panggul, pintu bawah panggul, atau panggul yang menyempit
seluruhnya.
e. Penyempitan pintu atas panggul
Pintu atas panggul dianggap sempit apabila diameter anterioposterior
terpendeknya (konjugata vera) kurang dari 10 cm atau apabila diameter
transversal terbesarnya kurang dari 12 cm. Diameter anteroposterior pintu atas
panggul sering diperkirakan dengan mengukur konjugata diagonal secara
manual yang biasanya lebih panjang 1,5 cm. Dengan demikian, penyempitan
pintu atas panggul biasanya didefinisikan sebagai konjugata diagonal yang
kurang dari 11,5 cm. Mengert (1948) dan Kaltreider (1952) membuktikan
bahwa kesulitan persalinan meningkat pada diameter anteroposterior kurang
dari 10 cm atau diameter transversal kurang dari 12 cm. Distosia akan lebih
berat pada kesempitan kedua diameter dibandingkan sempit hanya pada salah
satu diameter.
Diameter biparietal janin berukuran 9,5-9,8 cm, sehingga sangat sulit
bagi janin bila melewati pintu atas panggul dengan diameter anteroposterior
kurang dari 10 cm. Wanita dengan tubuh kecil kemungkinan memiliki ukuran
panggul yang kecil, namun juga memiliki kemungkinan janin kecil. Dari
penelitian Thoms pada 362 nullipara diperoleh rerata berat badan anak lebih
rendah (280 gram) pada wanita dengan panggul sempit dibandingkan wanita
dengan panggul sedang atau luas.
Pada panggul sempit ada kemungkinan kepala tertahan oleh pintu atas
panggul, sehingga gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi uterus secara

95
langsung menekan bagian selaput ketuban yang menutupi serviks. Akibatnya
ketuban dapat pecah pada pembukaan kecil dan terdapat resiko prolapsus
funikuli. Setelah selaput ketuban pecah, tidak terdapat tekanan kepala terhadap
serviks dan segmen bawah rahim sehingga kontraksi menjadi inefektif dan
pembukaan berjalan lambat atau tidak sama sekali. Jadi, pembukaan yang
berlangsung lambat dapat menjadi prognosa buruk pada wanita dengan pintu
atas panggul sempit.
Pada nulipara normal aterm, bagian terbawah janin biasanya sudah
masuk dalam rongga panggul sebelum persalinan. Adanya penyempitan pintu
atas panggul menyebabkan kepala janin megapung bebas di atas pintu panggul
sehingga dapat menyebabkan presentasi janin berubah. Pada wanita dengan
panggul sempit terdapat presentasi wajah dan bahu tiga kali lebih sering dan
prolaps tali pusat empat sampai enam kali lebih sering dibandingkan wanita
dengan panggul normal atau luas.
f. Penyempitan panggul tengah
Dengan sacrum melengkung sempurna, dinding-dinding panggul tidak
berkonvergensi, foramen isciadikum cukup luas, dan spina isciadika tidak
menonjol ke dalam, dapat diharapkan bahwa panggul tengah tidak akan
menyebabkan rintangan bagi lewatnya kepala janin. Penyempitan pintu tengah
panggul lebih sering dibandingkan pintu atas panggul.Hal ini menyebabkan
terhentunya kepala janin pada bidang transversal sehingga perlu tindakan
forceps tengah atau seksio sesarea.
Penyempitan pintu tengah panggul belum dapat didefinisikan secara
pasti seperti penyempitan pada pintu atas panggul. Kemungkinan penyempitan
pintu tengah panggul apabila diameter interspinarum ditambah diameter
sagitalis posterior panggul tangah adalah 13,5 cm atau kurang. Ukuran
terpenting yang hanya dapat ditetapkan secara pasti dengan pelvimetri
roentgenologik ialah distansia interspinarum. Apabila ukuran ini kurang dari
9,5 cm, perlu diwaspadai kemungkinan kesukaran persalinan apalagi bila
diikuti dengan ukuran diameter sagitalis posterior pendek.
g. Penyempitan Pintu Bawah Panggul
Bawah panggul bukan suatu bidang datar melainkan dua segitiga
dengan diameter intertuberosum sebagai dasar keduanya. Penyempitan pintu
bawah panggul terjadi bila diameter distantia intertuberosum berjarak 8 cm

96
atau kurang. Penyempitan pintu bawah panggul biasanya disertai oleh
penyempitan pintu tengah panggul.
Disproporsi kepala janin dengan pintu bawah panggul tidak terlalu
besar dalam menimbulkan distosia berat. Hal ini berperan penting dalam
menimbulkan robekan perineum. Hal ini disebabkan arkus pubis yang sempit,
kurang dari 900 sehingga oksiput tidak dapat keluar tepat di bawah simfisis
pubis, melainkan menuju ramus iskiopubik sehingga perineum teregang dan
mudah terjadi robekan.
4. Pemeriksaan Panggul
a. Pemeriksaan Panggul Luar
b. Pemeriksaan panggul dalam (VT), yang dievaluasi antara lain : Promotorium,
linea innominata, spina ischiadika, dinding samping, kurvatura sakrum, Ujung
sakrum, dan arkus pubis.
Pada pemeriksaan ini dicoba memperkirakan ukuran :
a. Konjugata Diagonalis dan konjungata vera
b. Distansia Inter Spinarum ( diameter dispinarum )
c. Diameter antaro – posterior pintu bawah panggul.
‘’Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan antara kehamilan pada minggu ke 34 –
35’’
d. Kesempitan pada Pintu Atas Panggul\
PAP sempit apabila konjungata vera kurang dari 10 cm atau diamter
transversa kurang dari 12 cm.
e. Kesempitan Panggul Tengah
Dengan sakrum melengkung sempurna, dinding- dinding panggul tidak
berkonvergensi, foramen ischiadikum mayor cukup luas dan spina ischiadika
tidak menonjol kedalam dapat diharapkan bahwa panggul tengah tidak akan
menyebabkan rintangan. Ukuran terpenting adalah Distansia Interspinarum,
apabila ukuaran ini kurang dari 9,5 cm, perlu diwaspadai tentang kesukaran
persalinan.
f. Kesempitan Pintu Bawah Panggul
Pintu bawah panggul tidak merupakan bidang datar, tetapi terdiri atas segi tiga
depan dan segi tiga belakang yang memmpunyai dasar yang sama, yakni
distansia tuberrum. Apabila ukuran terakhir ini lebih kecil dari pada yang
biasa maka sudut Arkus pubis mengecil pula ( kurang dari 80 0 ). Agar supaya

97
dalam hal ini kepala janin dapat lahir, diperlukan ruangan yang lebih besar
pada bagian belakang pintu bawah panggul. Dengan diameter sagitalis
posterior yang cukup panjang, persalinan pervaginam dapat dilaksanakan,
walaupun dengan perlukaan luas pada perineum. Dengan distansia tuberrum
bersama dengan diameter sagitalis posterior kurang dari 15 cm timbul
kemacetan pada kelahiran janin ukuran biasa.
Conjungata vera = Conjungata Diagonal – 1 1/2 cm.
CV = CD - 1 1 /2 cm.
Caranya :
Lakukan VT sampai teraba promotorium lalu ukur jari tangan yang masuk
(CD), kemudian kurangkan 1 1/2 cm,kalau kurang dari 10 cm berarti panggul
sempit.
g. Perkiraan Kesempitan Panggul
Sebenarnya panggul hanya merupaka salah satu faktor yang
menentukan apakah anak dapat lahir spontan atau tidak, disamping banyak
faktor lain yang memegang peranan dalam prognosa persalinan.
Kesempitan pintu atas panggul berdasarkan ukuran conjugata vera (CV):
1). CV 8,5 – 10 cm dilakukan partus percobaan yang kemungkinan
berakhir dengan partus spontan atau dengan ekstraksi vakum, atau
ditolong dengan secio caesaria sekunder atas indikasi obstetric lainnya.
2). C V = 6 - 8 , 5 c m d i l a k u k a n S C p r i m e r .  
3). C V = 6 c m d i l a k u k a n S C p r i m e r m u t l a k .
Disamping hal-hal tersebut diatas juga tergantung pada :
1). His atau tenaga yang mendorong anak.
2). Besarnya janin, presentasi dan posisi janin
3). B e n t u k p a n g g u l
4). U m u r i b u d a n a n a k b e r h a r g a
5). P e n y a k i t ibu
Perkiraan panggul sempit dapat diperoleh dari pemeriksaan umum dan
anamnesa. Misalnya pada tuberculosis vertebra, poliomyelitis, kifosis. Pada
wanita dengan tinggi badan yang kurang dari normal ada kemungkinan
memiliki kapasitas panggul sempit, namun bukan berarti seorang wanita
dengan tinggi badan yang normal tidak dapat memiliki panggul sempit. Dari
anamnesa persalinan terdahulu juga dapat diperkirakan kapasitas panggul.

98
Apabila pada persalinan terdahulu berjalan lancar dengan bayi berat badan
normal, kemungkinan panggul sempit adalah kecil.
Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan salah satu cara untuk
memperoleh keterangan tentang keadaan panggul. Melalui pelvimetri dalama
dengan tangan dapat diperoleh ukuran kasar pintu atas dan tengah panggul
serta memberi gambaran jelas pintu bawah panggul. Adapun pelvimetri luar
tidak memiliki banyak arti.
Pelvimetri radiologis dapat memberi gambaran yang jelas dan
mempunyai tingkat ketelitian yang tidak dapat dicapai secara klinis.
Pemeriksaan ini dapat memberikan pengukuran yang tepat dua diameter
penting yang tidak mungkin didapatkan dengan pemeriksaan klinis yaitu
diameter transversal pintu atas dan diameter antar spina iskhiadika.
Tetapi pemeriksaan ini memiliki bahaya pajanan radiasi terutama bagi
janin sehingga jarang dilakukan.4 Pelvimetri dengan CT scan dapat
mengurangi pajanan radiasi, tingkat keakuratan lebih baik dibandingkan
radiologis, lebih mudah, namun biayanya mahal. Selain itu juga dapat
dilakukan pemeriksaan dengan MRI dengan keuntungan antara lain tidak ada
radiasi, pengukuran panggul akurat, pencitraan janin yang lengkap.
Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena biaya yang mahal.
Dari pelvimetri dengan pencitraan dapat ditentukan jenis panggul,
ukuran pangul yang sebenarnya, luas bidang panggul, kapasitas panggul, serta
daya akomodasi yaitu volume dari bayi yang terbesar yang masih dapat
dilahirkan spontan.
Pada kehamilan yang aterm dengan presentasi kepala dapat dilakukan
pemeriksaan dengan metode Osborn dan metode Muller Munro Kerr. Pada
metode Osborn, satu tangan menekan kepala janin dari atas kearah rongga
panggul dan tangan yang lain diletakkan pada kepala untuk menentukan
apakah kepala menonjol di atas simfisis atau tidak. Metode Muller Munro
Kerr dilakukan dengan satu tangan memegang kepala janin dan menekan
kepala ke arah rongga panggul, sedang dua jari tangan yang lain masuk ke
vagina untuk menentukan seberapa jauh kepala mengikuti tekanan tersebut
dan ibu jari yang masuk ke vagina memeriksa dari luar hubungan antara
kepala dan simfisis.
5. Janin Besar

99
Normal berat neonatus pada umumnya 4000gram dan jarang ada yang
melebihi 5000gram. Berat badan neonatus lebih dari 4000gram dinamakan bayi
besar. Frekuensi berat badan lahir lebih dari 4000gram adalah 5,3%, dan berat
badan lahir yang melihi 4500gram adalah 0,4%. Biasanya untuk berat janin 4000-
5000 gram pada panggul normal tidak terdapat kesulitan dalam proses melahirkan.
Factor keturunan memegang peranan penting sehingga dapat terjadi bayi besar.
Janin besar biasanya juga dapat dijumpai pada ibu yang mengalami diabetes
mellitus, postmaturitas, dan pada grande multipara. Selain itu, yang dapat
menyebabkan bayi besar adalah ibu hamil yang makan banyak, hal tersebut masih
diragukan.
Untuk menentukan besarnya janin secara klinis bukanlah merupakan suatu hal
yang mudah. Kadang-kadang bayi besar baru dapat kita ketahui apabila selama
proses melahirkan tidak terdapat kemajuan sama sekali pada proses persalinan
normal dan biasanya disertai oleh keadaan his yang tidak kuat. Untuk kasus
seperti ini sangat dibutuhkan pemeriksaan yang teliti untuk mengetahui apakah
terjadi sefalopelvik disproporsi. Selain itu, penggunaan alat ultrasonic juga dapat
mengukur secara teliti apabila terdapat bayi dengan tubuh besar dan kepala besar.
Pada panggul normal, biasanya tidak menimbulkan terjadinya kesulitan dalam
proses melahirkan janin yang beratnya kurang dari 4500gram. Kesulitan dalam
persalinan biasanya terjadi karena kepala janin besar atau kepala keras yang
biasanya terjadi pada postmaturitas tidak dapat memasuki pintu atas panggul, atau
karena bahu yang lebar sulit melalui rongga panggul. Bahu yang lebar selain dapat
ditemukan pada janin yang memiliki berat badan lebih juga dapat dijumpai pada
anensefalus. Janin dapat meninggal selama proses persalinan dapat terjadi karena
terjadinya asfiksia dikarenakan selama proses kelahiran kepala anak sudah lahir,
akan tetapi karena lebarnya bahu mengakibatkan terjadinya macet dalam
melahirkan bagian janin yang lain. Sedangkan penarikan kepala janin yang terlalu
kuat ke bawah dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada nervus brakhialis dan
muskulus sternokleidomastoideus.

6. Prognosis
Apabila persalinan dengan disproporsisefalo pelvik dibiarkan berlangsung sendiri
tampa-bilamana perlu. Pengambiilan tindakan yang tepat, timbulnya bahaya bagi
ibu dan janin (Sarwono)

100
Bahaya Pada Ibu
a. Partus lama yang sering disertai pecahnya ketuban pada pembukaan kecil
dapat menimbulkan dehidrasi serta asidosis dan infeksi intrapartum
b. Dengan his yang kuat, sedang kemajuan janin dalam jalan lahir tertahan dapat
timbul regangan segmen bawah uerus dan pembentukan lingkaranretrasi
patologik (Bandl). Keadaan ini terkenal dengan ruptura uteri mengancam.
Apabila tidak segera diambil tindakan untuk mengurangi regangan, akan
timbul ruptur uteri
c. Dengan persalinan tidak maju karena disproporsi sefalo pelvik jalan lahir pada
suatu tempat mengalami tekanan yang lama antara kepala janin dan tulang
panggul. Hal ini meninbulkan gangguan sirkulasi dengan akibat terjadinya
Iskemia dan kemudian nekrosis pada tempat tersebut. Beberapa hari post
partum akan terjadi fistula vesiko servikalis, atau fitula vesiko vaginalis atau
fistula rekto vaginalis
Bahaya Pada Janin
a. Patuslama dapat meningkatkan kematian Perinatal, apabila jika ditambah
dengan infeksi intrapartum
b. Prolasus Funikuli, apabila terjadi, mengandung bahaya yang sangat besar bagi
janin dan memerlukan kelahiranya dengan apabila ia masih hidup.
c. Dengan adanya disproporsi sefalopelvik kepala janin dapat melewati rintangan
pada panggul dengan mengadakan moulage dapat dialami oleh kepala janin
tampa akibat yang jelek sampai batas – batas tertentu. Akan tetapi apabila
batas – batas tersebut dilampaui, terjadi sobekan pada tentorium serebelli dan
pendarahan intrakrahial
d. Selanjutnya tekanan oleh promontorium atau kadang – kadang oleh simfiksi
pada panggul picak menyababkan perlukaan pada jaringan diatas tulang
kepala janin, malahan dapat pula meninbulakan fraktur pada Osparietalis
7. Penatalaksanaan
a. Persalinan Percobaan
Setelah dilakukan penilaian ukuran panggul serta hubungan antara
kepala janin dan panggul dapat diperkirakan bahwa persalinan dapat
berlangsung per vaginan dengan selamat dapat dilakukan persalinan
percobaan. Cara ini merupakan tes terhadap kekuatan his, daya akomodasi,

101
termasuk moulage karena faktor tersebut tidak dapar diketahui sebelum
persalinan.
Persalinan percobaan hanya dilakukan pada letak belakang kepala,
tidak bisa pada letak sungsang, letak dahi, letak muka, atau kelainan letak
lainnya. Ketentuan lainnya adalah umur keamilan tidak boleh lebih dari 42
minggu karena kepala janin bertambah besar sehingga sukar terjadi moulage
dan ada kemungkinan disfungsi plasenta janin yang akan menjadi penyulit
persalinan percobaan.
Pada janin yang besar kesulitan dalam melahirkan bahu tidak akan
selalu dapat diduga sebelumnya. Apabila dalam proses kelahiran kepala bayi
sudah keluar sedangkan dalam melahirkan bahu sulit, sebaiknya dilakukan
episiotomy medioateral yang cukup luas, kemudian hidung dan mulut janin
dibersihkan, kepala ditarik curam kebawah dengan hati-hati dan tentunya
dengan kekuatan terukur. Bila hal tersebut tidak berhasil, dapat dilakukan
pemutaran badan bayi di dalam rongga panggul, sehingga menjadi bahu depan
dimana sebelumnya merupakan bahu belakang dan lahir dibawah simfisis.
Bila cara tersebut masih juga belum berhasil, penolong memasukkan
tangannya kedalam vagina, dan berusaha melahirkan janin dengan
menggerakkan dimuka dadanya. Untuk melahirkan lengan kiri, penolong
menggunakan tangan kanannya, dan sebaliknya. Kemudian bahu depan
diputar ke diameter miring dari panggul untuk melahirkan bahu depan.
Persalinan percobaan ada dua macam yaitu trial of labour dan test of
labour. Trial of labour serupa dengan persalinan percobaan di atas, sedangkan
test of labour sebenarnya adalah fase akhir dari trial of labour karena baru
dimulai pada pembukaan lengkap dan berakhir 2 jam kemudian. Saat ini test
of labour jarang digunakan karena biasanya pembukaan tidak lengkap pada
persalinan dengan pangul sempit dan terdapat kematian anak yang tinggi pada
cara ini.
Keberhasilan persalinan percobaan adalah anak dapat lahir sontan per
vaginam atau dibantu ekstraksi dengan keadaan ibu dan anak baik. Persalinan
percobaan dihentikan apabila pembukaan tidak atau kurang sekali
kemajuannnya, keadaan ibu atau anak kurang baik, ada lingkaran bandl,
setelah pembukaan lengkap dan ketuban pecah kepala tidak masuk PAP dalam

102
2 jam meskipun his baik, serta pada forceps yang gagal. Pada keadaan ini
dilakukan seksio sesarea.
b. Seksio Sesarea
Seksio sesarea elektif dilakukan pada kesempitan panggul berat dengan
kehamilan aterm, atau disproporsi sephalopelvik yang nyata. Seksio juga dapat
dilakukan pada kesempitan panggul ringan apabila ada komplikasi seperti
primigravida tua dan kelainan letak janin yang tak dapat diperbaiki.
Seksio sesarea sekunder (sesudah persalinan selama beberapa waktu)
dilakukan karena peralinan perobaan dianggap gagal atau ada indikasi untuk
menyelesaikan persalinan selekas mungkin sedangkan syarat persalinan
pervaginam belum dipenuhi.
c. Simfisiotomi
Tindakan ini dilakukan dengan memisahkan panggul kiri dan kanan
pada simfisis. Tindakan ini sudah tidak dilakukan lagi.
d. Kraniotomi dan Kleidotomi
Kraniotomi adalah suatu tindakan yang memperkecil ukuran kepala
janin dengancara melubangi tengkorak janin dan mengeluarkan isi tengkorak,
sehingga janin dapatdengan mudah lahir pervaginam.
Sedangkan kleidotomi adalah tindakan yang dilakukan setelah janin
pada presentasi kepala dilahirkan, akan tetapi kesulitan untuk melahirkan bahu
karena terlalu lebar. Setelah janin meninggal, tidak ada keberatan untuk
melakukan kleidotomi (memotong klavikula) pada satu atau kedua klavikula
N. Persalinan Macet
1. Definisi
Partus macet adalah suatu keadaan dari suatu persalinan yang mengalami
kemacetan dan berlangsung lama sehingga timbul komplikasi ibu maupun janin
(anak).
Partus macet adalah persalinan dengan tidak ada penurunan kepala > 1 jam
untuk nulipara dan multipara.
2. Etiologi
Penyebab persalinan macet diantaranya adalah:
a). Kelainan letak janin
b). Kelainan jalan lahir

103
Jalan lahir dibagi  atas bagian tulang yang terdiri atas tulang-tulang
panggul dengan sendi-sendinya dan bagian lunak terdiri atas otot-otot,
jaringan-jaringan dan ligamen-ligamen. 
c). Distosia karena kelainan panggul
Kelainan panggul dapat disebabkan oleh; gangguan pertumbuhan, penyakit
tulang dan sendi (rachitis, neoplasma, fraktur, dll), penyakit kolumna
vertebralis (kyphosis, scoliosis,dll), kelainan ekstremitas inferior (coxitis,
fraktur, dll).  Kelainan panggul dapat menyebabkan kesempitan panggul. 
Kesempitan panggul dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu;
1). Kesempitan pintu atas panggul, pintu atas panggul dikatakan sempit jika
ukuran konjugata vera kurang dari 10 cm atau diameter transversa kurang
dari 12 cm. Kesempitan pintu atas panggul dapat menyebabkan persalinan
yang lama atau persalinan macet karena adanya gangguan pembukaan
yang diakibatkan oleh ketuban pecah sebelum waktunya yang disebabkan
bagian terbawah kurang menutupi pintu atas panggul sehingga ketuban
sangat menonjol dalam vagina dan setelah ketuban pecah kepala tetap
tidak dapat menekan cerviks karena tertahan pada pintu atas panggul.
2). Kesempitan panggul tengah, bila jumlah diameter 13,5 cm (normalnya
10,5 +5interspinarum ditambah diameter sagitalis posterior cm =15,5 cm
). Pada panggul tengah yang sempit, lebih sering ditemukan posisi
oksipitalis posterior persisten atau presentasi kepala dalam posisi  lintang
tetap (transverse arrest)
3). Kesempitan pintu bawah panggul, diartikan jika 8 cm dan diameter
transversa + diameter sagitalisdistansia intertuberum posterior < 15 cm
(N =11 cm+7,5 cm = 18,5 cm), hal ini dapat menyebabkan kemacetan
pada kelahiran janin ukuran biasa. Sedangkan kesempitan panggul umum,
mencakup adanya riwayat fraktur tulang panggul, poliomielitis,
kifoskoliosis, wanita yang bertubuh kecil, dan dismorfik, pelvik kifosis
d). Distosia karena kelainan jalan lahir lunak
Persalinan kadang-kadang terganggu oleh karena kelainan jalan lahir lunak
(kelainan tractus genitalis).  Kelainan tersebut terdapat di vulva, vagina,
cerviks uteri, dan uterus:
1). abnormalitas vulva ( atresia vulva, inflamasi vulva, tumor dekat vulva)

104
2). abnormalitas vagina (atresia vagina, seeptum longitudinalis vagina, striktur
anuler)
3). abnormalitas serviks (atresia dan stenosis serviks, Ca serviks)
4). Kelainan letak uterus (antefleksi, retrofleksi, mioma uteri, mioma serviks)
5). Tumor ovarium
e). Kelainan keluaran his dan menera
His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan
hambatan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, jika
tidak dapat diatasi dapat megakibatkan kemacetan persalinan. His yang normal
dimulai dari salah satu sudut di fundus uteri yang kemudian menjalar merata
simetris ke seluruh korpus uteri dengan adanya dominasi kekutan pada fundus
uteri, kemudian mengadakan relaksasi secara merata dan menyeluruh.  Baik
atau tidaknya his dinilai dengan kemajuan persalinan, sifat dari his itu sendiri
(frekuensinya, lamanya, kuatnya dan relaksasinya) serta besarnya caput
succedaneum. Adapun jenis-jenis kelainan his sebagai berikut:
1). Inersia uteri
His bersifat biasa, yaitu fundus berkontraksi lebih kuat dan lebih dahulu
daripada bagian lain.  Kelainannya terletak dalam hal bahwa kontaksi
berlangsung terlalu lama dapat meningkatkan morbiditas ibu dan
mortalitas janin.  Keadaan ini dinamakan dengan inersia uteri primer.  Jika
setelah belangsungnya his yang kuat untuk waktu yang lama dinamakan
inersia uteri sekunder.  Karena dewasa ini persalinan tidak dibiarkan
berlangsung lama (hingga menimbulkan kelelahan otot uterus) maka
inersia uterus sekunder jarang ditemukan.
2). His yang terlalu kuat
His yang terlalu kuat dan terlalu efisien menyebabkan persalinan selesai
dalam waktu yang sangat singkat.  Partus yang sudah selesai kurang dari
tiga jam disebut partus presipitatus.  Sifat his normal, tonus otot diluar his
juga normal, kelainannya hanya terletak pada kekuatan his.  Bahaya dari
partus presipitatus bagi ibu adalah perlukaan pada jalan lahir, khususnya
serviks uteri, vagina dan perineum.  Sedangkan bagi bayi bisa mengalami
perdarahan dalam tengkorak karena bagian tersebut menglami tekanan
kuat dalam waktu yang singkat.
3). Kekuatan uterus yang tdak terkoordinasi

105
Disini kontraksi terus tidak ada koordinasi antara kontraksi bagian atas,
tengah dan bawah, tidak adanya dominasi fundal, tidak adanya
sinkronisasi antara kontraksi daripada bagian-bagiannya.  Dengan
kekuatan seperti ini, maka tonus otot terus meningkat sehingga
mengakibatkan rasa nyeri yang terus menerus dan hipoksia janin.
Macamnya adalah hipertonik lower segment, colicky uterus, lingkaran
kontriksi dan distosia servikalis
f). Kelainan Mengejan
Pada umumnya persalinan kala II kemajuannya sangat dibantu oleh hejan
perut, yang biasanya dikerjakan bersama-sama pada waktu his.  Kelainan
mengejan disebabkan oleh:
1). Otot dinding perut lemah
2). Distasis recti, abdomen pendulans dan jarak antara kedua m. recti lebar
3). Refleks mengejan hilang oleh karena pemberian narkose atau anestesi
4). Kelelahan (otot dinding perut menjadi lemah)
g). Pimpinan persalinan yang salah
Pimpinan persalinan yang salah dari penolong juga bisa menjadi salah satu
penyebab terjadinya partus macet.
3. Diagnosis
a. Keadaan umum ibu
1). Dehidrasi, panas
2). Meteorismus, shock
3). Anemia, oliguri.
b. Palpasi
1). His lemah
2). Gerak janin tidak ada
3). Janin mudah diraba
c. Auskultasi
Denyut jantung janin, takikardia, irreguler, negatif (jika janin sudah mati).
d. Pemeriksaan dalam
1). Keluar air ketuban yang keruh dan berbau bercamput dengan mekonium
2). Bagian terendah anak sukar digerakkan, mudah didorong jika sudah terjadi
rupture uteri
3). Suhu rectal lebih tinggi 37,50c.

106
4. Diagnosa banding
Kehamilan / persalinan dengan infeksi ektra genital, disini suhu aksila lebih tinggi
dari rectal dan ketuban biasanya masih utuh
5. Komplikasi
a. Pada Ibu
1). Infeksi sampai sepsis
2). Asidosis dengan gangguan elektrolit
3). Dehidrasi, syock, kegagalan fungsi organ-organ
4). Robekan jalan lahir
5). Fistula buli-buli, vagina, rahim dan rectum
b. Janin
1). Gawat  janin dalam rahim sampai meninggal\
2). Lahir dalam asfiksia berat sehingga dapat menimbulkan cacat otak
menetap
3). Trauma persalinan, fraktur clavicula, humerus, femur
6. Pencegahan
a. Memperhatikan status gizi saat hamil, status gizi harus baik dengan demikian
tenaganya saat persalinan akan bagus.
b. Membiasakan senam hamil, karena Senam hamil diperlukan untuk
melemaskan otot-otot, belajar bernafas selama persalinan, dan
memperkenalkan posisi , persiapan mental menjelang persalinan.
c. Jangan meneran  sebelum diperintahkan karena jika tidak teratur, tenaga
makin berkurang, dan jalan lahir bisa membengkak. Hal ini diakibatkan karena
saat meneran, terdapat cairan yang keluar di jalan lahir. Akibat lebih jauh,
akan menyulitkan penjahitan jika vagina ibu mengalami pembengkakan.
d. Rutin kontrol kehamilan agar bisa mendeteksi sedini mungkin bila ada
kelainan.
11. PENATALAKSANAAN
a. Bila kemacetan tersebut terjadi saat janin sudah terlanjur keluar sebagian
badannya, biasanya akan digunakan manual aid. Pertolongan ini harus segera
dilakukan, karena jika terlambat, maka bisa mengakibatkan gawat janin atau
asfiksia, dan terganggunya saluran kencing.
b. Bila kemacetan terjadi pada saat pembukaan sudah lengkap tapi jalan lahir
tidak muat, maka rahim juga bisa pecah.

107
c. Saat pembukaan sudah lengkap, tapi kepala tak turun-turun, dinding rahim
akan semakin menipis, maka kepala bayi bisa keluar ke perut. Bayinya bisa
meninggal dan ibunya bisa perdarahan, yang bisa membawa ke kematian.
d. Sedangkan jika diagnosis menunjukkan penyebab distosia tersebut karena
gangguan his, maka akan dilakukan perbaikan pada hisnya. Caranya bisa
dengan diinfus, diberi obat, atau dipecahkan ketubannya. Dan bila hisnya
terlalu kuat/sering, maka diberi obat untuk mengurangi/mengatur hisnya
kembali.
e. Pada kasus dengan dugaan CPD/cepalo palvik disproporsi (panggul sempit),
maka akan dilakukan partus percobaan. Dengan mulas yang bagus akan dinilai
dalam 2 jam. Jika ada pembukaan yang bertambah, ada putaran posisi kepala
janin (baik berputar sendiri atau dengan bantuan), serta adanya penurunan
kepala, maka dinilai partus maju. Tapi kalau tidak ada perubahan ketiga hal
tersebut, maka partus percobaan itu dinilai gagal.
f. Bila kemacetan terjadi pada saat persalinan kala 2, misalnya sudah pembukaan
tapi tak kunjung lahir, entah itu karena bayinya sedikit miring atau mulasnya
tak ada, atau ibunya tak mau meneran, maka dokter akan segera memberi
tindakan, dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forcep
12. PERSALINAN DENGAN VACUM
a. Pengertian
Ekstraksi vacuum adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan
dengan ekstraksi tenaga negative (vakum) pada kepalanya Alat yang
umumnya digunakan adalah vacum ekstraktor dari malmstrom. Prinsip dari
cara ini adalah bahwa kita mengadakan suatu vacum (tekanan negatif) melalui
suatu cup pada kepala bayi. Dengan demikian akan timbul caput secara
artifisial dan cup akan melekat erat pada kepala bayi. Pengaturan tekanan
harus diturunkan secara perlahan-lahan untuk menghindarkan kerusakan pada
kulit kepala, mencegah timbulnya perdarahan pada otak bayi dan supaya
timbul caput succedaneum.
b. Alat-alat Ekstraksi Vacum
1). Mangkok (cup)
Mangkok ini dibuat untuk membuat caput succedaneum buatan sehingga
mangkuk dapat mencekam kepala janin. Sekarang ini terdapat dua macam
mangkuk yaitu mangkuk yang terbuat dari bahan logam dan plastik.

108
Beberapa laporan menyebutkan bahwa mangkuk plastik kurang traumatis
dibanding dengan mangkuk logam. mangkuk umumnya berdiameter 4 cm
sampai dengan 6 cm. pada punggung mangkuk terdapat: Tonjolan
berlubang tempat insersi rantai penarik
a). Tonjolan berlubang yang menghubungkan rongga mangkuk dengan
pipa penghubung
b). Tonjolan landai sebagai tanda untuk titik petunjuk kepala janin ( point
of direction ) Pada vakum bagian depan terdapat logam/ plastik yang
berlubang untuk menghisap cairan atau udara.
2). Rantai Penghubung
Rantai mangkuk tersebut dari logam dan berfungsi menghubungkan
mangkuk dengan pemegang.
3). Pipa Penghubung
Terbuat dari pipa karet atau plastik lentur yang tidak akan berkerut oleh
tekanan negatif. Pipa penghubung berfungsi penghubung tekanan negatif
mangkuk dengan botol.
4). Botol
Merupakan tempat cadangan tekanan negatif dan tempat penampungan
cairan yang mungkin ikut tersedot (air ketuban, lendir servicks, vernicks
kaseosa, darah, dll). Pada botol ini terdapat tutup yang mempunyai tiga
saluran:
1)).Saluran manometer
2)).Saluran menuju ke mangkuk
3)).Saluran menuju ke pompa penghisap
5). Pompa penghisap
6). Dapat berupa pompa penghisap manual maupun listrik
c. Teknik Tindakan Ekstraksi Vacum
1). Ibu dalam posisi litotomi dan dilakukan disinfeksi daerah genetalia ( vulva
toilet ). Sekitar vulva ditutup dengan kain steril
2). Setelah semua alat ekstraktor terpasang, dilakukan pemasangan mangkuk
dengan tonjolan petunjuk dipasang di atas titik petunjuk kepala janin. Pada
umumnya dipakai mangkuk dengan diameter terbesar yang dapat
dipasang.  

109
3). Dilakukan penghisapan dengan tekanan negatif -0,3 kg/cm2 kemudian
dinaikkan -0,2 kg /cm2 tiap 2 menit sampai mencapai -0,7 kg/cm2.
maksud dari pembuatan tekanan negatif yang bertahap ini supaya caput
succedaneum buatan dapat terbentuk dengan baik.
4). Dilakukan periksa dalam vagina untuk menemukan apakah ada bagian
jalan lahir atau kulit ketuban yang terjepit diantara mangkuk dan kepala
janin.
5). Bila perlu dilakukan anastesi local, baik dengan cara infiltrasi maupun
blok pudendal untuk kemudian dilakukan episiotomi.
6). Bersamaan dengan timbulnya his, ibu dipimpin mengejan dan ekstraksi
dilakukan dengan cara menarik pemegang sesuai dengan sumbu panggul.
Ibu jari dan jari telunjuk serta jari tanan kiri operator menahan mangkuk
supaya tetap melekat pada kepala janin. Selama ekstraksi ini, jari-jari
tangan kiri operator tersebut, memutar ubun-ubun kecil menyesuaikan
dengan putaran paksi dalam. Bila ubun-ubun sudah berada di bawah
simfisis, arah tarikan berangsur-angsur dinaikan ( keatas ) sehingga kepala
lahir. Setelah kepala lahir, tekanan negatif dihilangkan dengan cara
membuka pentil udara dan mangkuk kemudian dilepas. Janin dilahirkan
seperti pada persalinan normal dan plasenta umumnya dilahirkan secara
aktif. 

d. Keuntungan Tindakan Ekstraksi Vacum


1). Cup dapat dipasang waktu kepala masih agak tinggi, H III atau  kurang
dari demikian mengurangi frekuensi SC.
2). Tidak perlu diketahui posisi kepala dengan tepat, cup dapat dipasang di
belakang kepala, samping kepala ataupun dahi.
3). Tarikan tidak dapat terlalu berat. Dengan demikian kepala tidak dapat
dipaksakan melalui jalan lahir. Apabila tarikan terlampau berat cup akan
lepas dengan sendirinya.
4). Cup dapat dipasang meskipun pembukaan belum lengkap, misalnya pada
pembukaan 8-9 cm, untuk mempercepat pembukaan, untuk ini dilakukan
tarikan ringan yang kontinu sehingga kepala menekan pada cervik. Tarikan
tidak boleh terlalu kuat untuk mencegah robekan cervik. Di samping itu

110
cup tidak boleh terpasang lebih dari ½ jam untuk menghindari
kemungkinan timbulnya perdarahan pada otak.
5). Vacum ekstraktor dapat juga dipergunakan untuk memutar kepala dan
mengadakan fleksi kepala ( misal pada letak dahi ).

e. Kerugian Tindakan Ekstraksi Vacum


Kerugian dari tindakan vakum adalah waktu yang diperlukan untuk
pemasangan cup sampai dapat ditarik relatif lebih lama ( kurang lebih 10
menit ) cara ini tidak dapat dipakai apabila ada indikasi untuk melahirkan anak
dengan cepat seperti misalnya pada fetal distress ( gawat janin ) alatnya relatif
lebih mahal dibanding dengan forcep biasa.
f. Yang Harus Diperhatikan Dalam Tindakan Ektraksi Vacum
1). Cup tidak boleh dipasang pada ubun-ubun besar
2). Penurunan tekanan harus berangsur-angsur
3). Cup dengan tekanan negative tidak boleh terpasang lebih dari ½ jam
4). Penarikan waktu ekstraksi hanya dilakukan pada waktu ada his dan ibu
mengejan
5). Apabila kepala masih agak tinggi ( H III ) sebaiknya dipasang cup terbesar
(diameter 7 cm)
6). Cup tidak boleh dipasang pada muka bayi
7). Vacum ekstraksi tidak boleh dilakukan pada bayi premature
g. Syarat Tindakan Ekstraksi Vakum
1). Pembukaan 7 cm atau lebih
2). Kepala di Hodge II-III
3). Tidak ada disproporsi kepala panggul
4). Konsistensi kepala normal
5). Ketuban sudah pecah atau dipecahkan
h). Kontraindikasi
1). Letak muka (kerusakan pada mata)
2). Kepala menyusul
3). Bayi premature (tarikan tidak boleh keras)
4). Gawat janin
i). Kegagalan
Ekstraksi vacum dianggap gagal jika:

111
1). Kepala tidak turun pada tarikan.
2). Jika tarikan sudah tiga kali dan kepala bayi belum turun, atau tarikan
sudah 30 menit,
3). Mangkok lepas pada tarikan pada tekanan maksimum.
Setiap aplikasi vacum harus dianggap sebagai ekstraksi vacum percobaan.
Jangan lanjutkan jika tidak terdapat penurunan kepala pada setiap tarikan.
j). Penyebab Kegagalan
1). Tenaga vacum terlalu rendah
2). Tekanan negatif dibuat terlalu cepat.
3). Selaput ketuban melekat.
4). Bagian jalan lahir terjepit.
5). Koordinasi tangan kurang baik
6). Traksi terlalu kuat.
7). Cacat alat, dan
8). Disproporsi sefalopelvik yang sebelumnya tak diketahui.
k). Bahaya-Bahaya Tindakan Ekstraksi Vacum
Terhadap Ibu
1). Trauma persalinan
a). Robekan bibir cervic atau vagina karena terjepit kepala bayi dan cup
b). Robekan perineum yang lebih luas
2). Perdarahan
a). Robekan jalan lahir
b). Atonia uteri
3). Infeksi
Terhadap Anak
1). Luka-luka pada kulit kepala
2). Cephal haematoma
3). Caput succedaneum
4). Perdarahan atau kerusakan otak
5). Asfiksia
6). Trauma langsung pada bagian janin tempat cup vakum
O. Ruptura Uterus
1. Pengertian

112
Ruptur Uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat
dilampauinya daya regang miomentrium.
Rupture uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam
persalinan dengan atau tanpa robeknya perioneum visceral .
Terjadinya rupture uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih
merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian
ibu dan anak karena rupture uteri masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang
tinggi kita jumpai dinegara-negara yang sedang berkembang, seperti afrika dan
asia. Angka ini sebenarnya dapat diperkecil bila ada pengertian dari para ibu dan
masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas
pengangkutan dari daerah-daerah periver dan penyediaan darah yang cukup juga
merupakan faktor yang penting.
Ibu-ibu yang telah melakukan pengangkatan rahim, biasanya merasa dirinya
tidak sempurna lagi dan perasaan takut diceraikan oleh suaminya. Oleh karena itu,
diagnosis yang tepat serta tindakan yang jitu juga penting, misalnya menguasai
teknik operasi
2. Etiologi
Penyebab (etiologi) dari ruptur uteri adalah sebagai berikut :
a. Riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus uterus
b. Induksi dengan oksitosin yang sembarangan atau persalinan yang lama
c. Presentasi abnormal ( terutama terjadi penipisan pada segmen bawah uterus)
Secara etiologi yang penyebabnya dibagi menjadi 2:
a. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC,
miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta secara
manual
b. Karena peregangan yang luar biasa pada rahim, misalnya pada panggul sempit
atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti janin penderita DM, hidrops
fetalis, post maturitas dan grande multipara.
c. Rupture uteri vioventa (traumatika), karena tindakan dan trauma lain seperti;
1). Ekstraksi forsef
2). Versi dan ekstraksi
3). Embriotomi
4). Versi brakston hicks
5). Sindroma tolakan (pushing sindrom)

113
6). Manual plasenta
7). Curetase
8). Ekspresi kisteler/cred
9). Pemberian pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
10). Trauma tumpul dan tajam dari luar
3. Patofisiologi
Pada umumnya uterus dibagi atas 2 bagian besar corpus uteri dans ervik uteri.
Batas keduanya disebut ishmus uteri pada rahim yang tidak hamil. Bila kehamilan
sudah kira-kira kurang lebih dari 20 minggu, dimana ukuran janin sudah lebih
besar dari ukuran kavum uteri, maka mulailan terbentuk SBR ishmus ini.
Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran dari
bandl. Lingkaran bandl ini dianggap fisiologi bila terdapat pada 2 sampai 3 jari
diatas simpisis, bila meninggi, kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya
rupture uteri mengancam (RUM).
Rupture uteri terutama disebabkan oleh peregangna yang luar biasa dari
uterus. Sedangkan uterus yang sudah cacat, mudah dimengerti, karena adanya
lokus minoris resisten. Pada waktu inpartu, korpus uteri mengadakan kontraksi
sedang SBR tetap pasif dan servik menjadi lunak (efacement dan pembukaan).
Bila oleh sesuatu sebab partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus
uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat) maka SBR yang pasif ini akan
tertarik keatas, menjadi bertambah reggang dan tipis. Lingkaran bandl ikut
meninggi, sehingga sewaktu-waktu terjadi robekan pada SBR tadi. Dalam hal
terjadinya rupture uteri jangan dilupakan peranan dari anchoring apparrtus untuk
memfiksir uterus yaitu ligamentum rotunda, ligamentum sacro uterina dan
jaringan parametra.
4. Tanda dan Gejala
Diagnosisi dan gejala klinis
a. Gejala rupture uteri mengancam
1). Dalam tanya jawab dikatakan telah ditolong atau didorong oleh dukun atau
bidan, partus sudah lama berlangsung.
2). Pasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri diperut.
Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang
kesakitan, bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
3). Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasanya.

114
4). Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged laboura), yaitu
mutut kering, lidah kering dan halus badan panas (demam).
5). His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus menerus.
6). Ligamentum rotundum teraba seperrti kawat listrik yang tegang, tebal dan
keras terutama sebelah kiri atau keduannya.
7). Pada waktu datangnya his, korpus uteri teraba keras (hipertonik)
sedangkan sbr teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
8). Penilaian korpus dan SBR nampak lingkaran bandl sebagai lekukan
melintang yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukkan sbr yang
semakin tipis dan teregang.sering lingkaran bandl ini dikelirukan dengan
kandung kemih yang penuh untuk itu lakukan kateterisasi kandung kemih.
Dapat peregangan dan tipisnya sbr didinding belakang sehingga tidak
dapat kita periksa. Misalnya terjadi pada asinklintismus posterior atau
letak tulang ubun-ubun belakang.
9). Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan
teregang keatas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka
pada kateterisasi ada hematuria.
10). Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia).
11). Pada pemeriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi,
seperti edema portio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.
b. Gejala-gejala rupture uteri:
1). Anamnesis dan infeksi
a). Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar
biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi
gelisah, takut, pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.
b).Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
c). Muntah-muntah karena rangsangan peritoneum
d).Syok nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak teratur
e). Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tidak begitu banyak,
lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan
menyumbat jalan lahir.
f). Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ketungkai bawah
dan dibahu.
g).Kontraksi uterus biasanya hilang.

115
h).Mula-mula terdapat defans muskuler kemudian perut menjadi
kembung dan meteoristis (paralisis khusus).
2). Palpasi
a). Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema
subkutan.
b). Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari PAP.
c). Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada dirongga perut,
maka teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut, dan di
sampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras
sebesar kelapa.
d). Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek
3). Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa
menit setelah rupture, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk
kerongga perut
4). Pemeriksaan dalam
a). Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah, dengan mudah
dapat didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam
yang agak banyak.
b). Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding
rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi maka
dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin
c). Kateterisasi hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada
kandung kemih.
d). Catatan :
1)).Gejala rupture uteri incomplit tidak sehebat komplit
2)).Rupture uteri yang terjadi oleh karena cacat uterus biasanya tidak
didahului oleh uteri mengancam.
3)).Sangat penting untuk diingat lakukanlah selalu eksplorasi yang
teliti dan hati-hati sebagai kerja tim setelah mengerjakan sesuatu
operative delivery, misalnya sesudah versi ekstraksi, ekstraksi
vakum atau forsef, embriotomi dan lain-lain
5. Komplikasi

116
Komplikasi yang paling menakutkan dan dapat mengancam hidup ibu dan
janin adalah ruptura uteri. Ruptura uteri pada jaringan parut dapat dijumpai secara
jelas atau tersembunyi. Secara anatomis, ruptura uteri dibagi menjadi ruptura uteri
komplit (symptomatic rupture) dan dehisens (asymptomatic rupture). Pada ruptura
uteri komplit, terjadi diskontinuitas dinding uterus berupa robekan hingga lapisan
serosa uterus dan membran khorioamnion. Sedangkan disebut dehisens bila terjadi
robekan jaringan parut uterus tanpa robekan lapisan serosa uterus, dan tidak
terjadi perdarahan.
Ketika ruptura uteri terjadi, histerektomi, transfusi darah masif, asfiksia
neonatus, kematian ibu dan janin dapat terjadi. Tanda ruptura uteri yang paling
sering terjadi adalah pola denyut jantung janin yang tidak menjamin, dengan
deselerasi memanjang. Deselerasi lambat, variabel, bradikardi, atau denyut
jantung hilang sama sekali juga dapat terjadi. Gejala dan tanda lain termasuk nyeri
uterus atau perut, hilangnya stasion bagian terbawah janin, perdarahan
pervaginam, hipotensi.
Angka ruptura uteri pada VBAC < 1 %, pada wanita yang menjalani seksio
elektif ulang tanpa persalinan masih mempunyai risiko 0,03 – 0,2 %. Dari wanita
yang menjalani VBAC, angka ruptura uteri sangat bervariasi tergantung faktor
risiko yang ada. Adapun risiko ruptura uteri adalah sebagai berikut   :
a. Jenis parut uterus
b. Penutupan uterus satu lapis atau dua lapis
c. Jumlah SS sebelumnya
d. Riwayat persalinan pervaginam
e. Jarak kelahiran
f. Usia ibu
g. Demam pasca seksio
h. Ketebalan segmen bawah uterus ( SBU )
Diperlukan upaya untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi ruptura uteri, yaitu:
a. Anamnesis yang teliti mengenai riwayat persalinan sebelumnya, jumlah SS,
riwayat persalinan pervaginam, jarak antar kehamilan, riwayat demam pasca
SS serta usia ibu.
b. Faktor - faktor  yang berhubungan dengan kehamilan sekarang  :
1). Makrosomia
2). Usia kehamilan

117
3). Kehamilan ganda
4). Ketebalan segmen bawah uterus
5). Presentasi janin.
c. Faktor yang berhubungan dengan penatalaksanaan persalinan
Induksi dan augmentasi, maupun kemungkinan adanya disfungsi pada
persalinan.
d. Pemantauan penatalaksanaan VBAC terhadap tanda ancaman ruptura uteri
seperti takikardi ibu, nyeri suprasimpisis dan hematuria.
e. Kemampuan mengadakan operasi dalam waktu kurang lebih 30 menit bila
terjadi ancaman ruptura uteri.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Umum
Takikardi dan hipotesis merupakan indikasi kehilangan darah akut, biasanya
perdarahan eksternal dan perdarahan intra abdominal
b. Pemeriksaan Pelvis
Menjelang kelahiran, bagian presentasi mengalami regresi dan tidak
lagi terpalpasi melalui vagina bila janin telah mengalami ekstrusi ke dalam
rongga peritoneum. Perdarahan pervaginam mungkin hebat.
Ruptur uteri setelah melahirkan dikenali melalui eksplorasi manual
segmen uterus bagian bawah dan kavum uteri. Segmen uterus bagian bawah
merupakan tempat yang paling lazim dari ruptur. Apabila robekannya lengkap,
jari-jari pemeriksa dapat melalui tempat ruptur langsung ke dalam rongga
peritoneum, yang dapat dikenali melalui :
1). Permukaan serosa uterus yang halus dan licin
2). Adanya usus dan ommentum
3). Jari-jari dan tangan dapat digerakkan dengan bebas
c. Tes Labroratorium
1). Hitung Darah lengkap dan Apusan Darah
Batas dasar hemoglobin dan nilai hematokrit dapat tidak menjelaskan
banyaknya kehilangan darah
2). Urinalisis
Hematuria sering menunjukkan adanya hubungan denga perlukaan
kandung kemih

118
3). Golongan Darah dan Rhesus 4 sampai 6 unit darah dipersiapkan untuk
tranfusi bila diperlukan
7. Penatalaksanaan
Ruptura uteri merupakan malapetaka untuk ibu maupun janin oleh karena itu
tindakan pencegahan sangat penting dilakukan setiap ibu bersalin yang disangka
akan mengalami distosia, karena kelainan letak janin, atau pernah mengalami
tindakan operatif pada uterus seperti seksio sesarea, memektomi dan lain-lain,
harus diawali dengan cermat. Hal ini perlu dilakukan agar tindakan dapat segera
dilakukan jika timbul gejala-gejala ruptura uteri membakar, sehingga ruptura uteri
dicegah terjadinya pada waktu yang tepat.
a. Penanganan
1). Pertolongan yang tepat untuk ruptura uteri adalah laporotomi sebelumnya
penderita diberi trasfusi darah atau sekurang-kurangnya infus cairan garam
fisiologik/ringer laktat untuk mencegah terjadinnya syok hipovolemik.
2). Umumyna histerektomi dilakukan setelah janin yang berada dalam rongga
perut dikeluarkan. Penjahitan luka robekan hanya dilakukan pada kasus-
kasus khusus, dimana pinggir robekan masih segar dan rata, serta tidak
terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan tidak terdapat jaringan yang rapuh
dan nekrosis. Histerorofi pada ibu-ibu yang sudah mempunyai cukup anak
dianjurkan untuk dilakkan pula tubektomi pada kedua tuba (primary),
sedang bagi ibu-ibu yang belum mempunyai anak atau belum merasa
lengkap keluarganya dianjurkan untuk orang pada persalinan berikutnya
untuk dilakukan seksio sesaria primer.
3). Gejala dan tanda ruptura uteri sangat ber variasi.
Secara klasik, ruptura uteri ditandai dengan nyeri abdomen akut dan
perdarahan pervaginam berwarna merah segar serta keadaan janin yang
memburuk.
b. Gejala Ruptura “iminens”
1). Lingkaran retraksi patologis Bandl
2). Hiperventilasi
3). Gelisah – cemas
4). Takikardia

119
c. Setelah terjadi ruptura uteri, nyeri abdomen hilang untuk sementara waktu dan
setelah itu penderita mengeluh adanya rasa nyeri yang merata dan disertai
dengan gejala dan tanda:
1). Abnormalitas detik jantung janin (gawat janin sampai mati)
2). Pasien jatuh kedalam syok
3). Bagian terendah janin mudah didorong keatas
4). Bagian janin mudah diraba melalui palpasi abdomen
5). Contour janin dapat dilihat melalui inspeksi abdomen
6). Bila sudah diagnosa dugaan ruptura uteri sudah ditegakkan maka tindakan
yang harus diambil adalah segera memperbaiki keadaan umum pasien
(resusitasi cairan dan persiapan tranfusi) dan persiapan tindakan
laparotomi atau persiapan rujukan ke sarana fasilitas yang lebih lengkap.
Sebagai bentuk tindakan definitif maka bila tobekan melintang dan tidak
mengenai daerah yang luas dapat dipertimbangkan tindakan histerorafia ;
namun bila robekan uterus mengenai jaringan yang sangat luas serta sudah
banyak bagian yang nekrotik maka tindakan terbaik adalah histerektomi.
d. Pencegahan
Resiko absolut terjadinya ruptura uteri dalam kehamilan sangat rendah namun
sangat bervariasi tergantung pada kelompok tertentu :
1). Kasus uterus utuh
2). Uterus dengan kelainan kongenital
3). Uterus normal pasca miomektomi
4). Uterus normal dengan riwayat sectio caesar satu kali
5). Uterus normal dengan riwayat sectio lebih dari satu kali
Pasien dengan uterus normal dan utuh memiliki resiko mengalami ruptura
uteri paling kecil ( 0.013% atau 1 : 7449 kehamilan ).
Strategi pencegahan kejadian ruptura uteri langsung adalah dengan
memperkecil jumlah pasien dengan resiko ; kriteria pasien dengan resiko
tinggi ruptura uteri adalah:
1). Persalinan dengan SC lebih dari satu kali
2). Riwayat SC classic ( midline uterine incision )
3). Riwayat SC dengan jenis “low vertical incision “
4). LSCS dengan jahitan uterus satu lapis
5). SC dilakukan kurang dari 2 tahun

120
6). LSCS pada uterus dengan kelainan kongenital
7). Riwayat SC tanpa riwayat persalinan spontan per vaginam
8). Induksi atau akselerasi persalinan pada pasien dengan riwayat SC
9). Riwayat SC dengan janin makrosomia
10). Riwayat miomektomi per laparoskop atau laparotomi
Ibu hamil dengan 1 kriteria diatas akan memiliki resiko 200 kali lebih besar
dibandingkan ibu hamil umumnya.
P. Komplikasi Kala III
1. Pengertian kala III.
Kala III dimulai sejak lahirnya bayi hingga lahirnya plasenta. Tujuan dari
penanganan tahap ketiga ialah pelepasan dan ekspulsi segera plasenta, yang
dicapai dengan cara yang paling mudah dan paling aman. Pada umumnya kala III
berlangsung ± 6 menit setelah bayi lahir. Plasenta melekat pada lapisan desi dua
lapisan basal tipis endometrium oleh banyak vili fibrosa sama seperti sebuah
perangko yang ditempel pada sebuah amplop. Setelah janin dilahirkan dengan
adanya kontraksi uterus yang kuat, sisi plasenta akan jauh lebih kecil sehingga
tonjolan vili akan pecah dan plasenta akan lepas dari perlekatannya.
Dalam keadaan normal, beberapa kontraksi kuat pertama lima sampai tujuh
menit kelahiran bayi plasenta akan lepas dari lapisan basal. Plasenta tidak akan
mudah lepas dari uterus yang kendur karena ukuran permukaan sisi plasenta tidak
akan berkurang.
2. Perdarahan pada kala III
Perdarahan pada kala III umum terjadi dikarenakan terpotongnya pembuluh-
pembuluh darah dari dinding rahim bekas implantasi plasenta/karena sinus-sinus
maternalis ditempat insersinya pada dinding uterus terbuka. Biasanya perdarahan
itu tidak banyak, sebab kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pembuluh-
pembuluh darah yang terbuka, sehingga lumennya tertutup, kemudian pembuluh
darah tersumbat oleh bekuan darah. Jumlah darah yang umum keluar tidak lebih
dari 500cc atau setara dengan 2,5 gelas belimbing.
Apabila  setelah lahirnya bayi darah yang keluar melebihi 500cc maka dapat
dikategorikan mengalami perdarahan pascapersalinan primer. Pada pasien yang
mengalami perdarahan pada kala III atau mengalami pengeluaran darah sebanyak
>500cc, tanda-tanda yang dapat dijumpai secara langsung diantaranya perubahan

121
pada tanda-tanda vital seperti pasien mengeluh lemah, linlung, berkeringat dingin,
menggigil, hiperpnea, sistolik <90 mmHg, nadi >100 x/mnt, kadar Hb <8 g%. 
Perdarahan primer terjadi dalam 24 jam pertama dan sekunder sesudah itu.
Hal-hal yang menyebabkan perdarahan post partum adalah Atonia uteri, Perlukaan
jalan lahir, Terlepasnya sebagian plasenta dari uterus, Tertinggalnya sebagian dari
plasenta seperti klotiledon atau plasenta suksenturiata.
Kadang-kadang perdarahan disebabkan kelainan proses pembekuan darah
akibat dari hipofibrinogenemia(solution plasenta, retensi janin mati dalam uterus,
emboli air ketuban). Apabila sebagian plasenta lepas sebagian lagi belum, terjadi
perdarahan karena uterus tidak bisa berkontraksi dan beretraksi dengan baik pada
batas antara dua bagian itu. Selanjutnya apabila sebagian plasenta sudah lahir,
tetapi sebagian kecil masih melekat pada dinding uterus, dapat timbul perdarahan
dalam masa nifas. Sebab terpenting pada perdarahan post partum adalah atonia
uteri
3. Macam-Macam Komplikasi Kala III
a. Atonia uteri
1). Pengertian
Atonia uteri adalah tidak adanya tegangan/ kekuatan otot pada daerah
uterus/rahim (Dorland, 2002).
Atonia uteri adalah dimana rahim tidak dapat berkontraksi dengan baik
setelah persalinan, terjadi pada sebagian besar perdarahan pasca persalinan
(Obstetri edisi ke 2, 1998:254).
Atonia uteri adalah keadaan dimana uterus tidak berkontraksi setelah
anak lahir (Phantom:358).
2). Penyebab
Atonia uteri dapat terjadi karena:
a). Partus lama, karena tak ada pemicu kontraksi/hormon oksitosin lemah.
b). Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada
hamil kembar,  hidramnion, janin besar.
c). Kegagalan kontraksi uterus/ otot rahim.
d). Multiparitas.
e). Anastesi yang dalam.
f). Anestesi  lummbal.
g). Terjadinya retroplasenta hingga perdarahan plasenta dalam uterus.

122
Atonia juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan,
dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan
plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.
11). Gejala Klinis
a). Uterus tidak berkontraksi dan lunak
b). Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3)
Gejala
a). Nadi serta pernafasan menjadi lebih cepat.
b). Tekanan darah menurun.
c). Syok karena perdarahan.
d). Kala III : perdarahan  dari liang senggama 500cc/lebih.
12). Pencegahan
Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu
pemberian oksitosin segera setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U IM,
atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U perliter Intravenous drips
100-150 cc/jam.
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi
kebutuhan obat tersebut sebagai terapi.
Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam
persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.Oksitosin mempunyai
onset yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau
kontraksi tetani seperti preparat ergometrin.
Masa paruh oksitosin lebih cepat dari Ergometrin yaitu 5-15 menit.
Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan
perdarahan postpartum.
Perbedaan perdarahan atonia uteri dan perdarahan karena robekan serviks.
Perdarahan Karena Atonia Perdarahan Karena Robekan Serviks
a). Kontraksi uterus lemah. a). Kontraksi uterus lemah.
b). Darah berwarna merah tua karean b). Darah berwarna merah muda
berasal dari vena. karena    berasadari arteri
c). Biasanya timbul setelah persalinan
operatif.

123
13). Penanganan Atonia uteri
Terapi terbaik adalah pencegahan;
a). Anemia
Anemia dalam kehamilan harus diobati, karena perdarahan dalam
batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah
menderita anemia.
b). Apabila sebelumnya penderita sudah mengalami perdarahan post
partum, persalinan harus berlangsung  dirumah sakit.
c). Kadar fibrinogen harus diperiksa pada perdarahan banyak, kematian
janin dalam uterus dan solution plasenta.
d). Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum
plasenta lepas dari dindingnya.
e). Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan post
partum. Sepuluh    satuan oksitosin diberikan intramuscular setelah
anak lahir untuk mempercepat pelepasan     plasenta. Sesudah plasenta
lahir hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskulus.
14). Pengobatan:
Pengobatan perdarahan post partum pada uteri tergantung pada banyaknya
perdarahan yang diderita dan derajat atonia uteri. Dibagi dalam 3 tahap:
a). Tahap I :
Perdarahan yang tidak begitu banyak dapat diatasi dengan cara:
1)).Pemberian uterotonika, misalnya oksitosin 10IU dan infuse 20 IU
dalam 500 ml    NS/RL tetes/guyur.
2)).Mengurut rahim
3)).Memasang gurita
b). Tahap II :
Bila perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak selanjutnya
berikan infuse dan transfuse darah, dan dapat dilakukan
1)).Kompresi bimanual
2)).Kompresi aorta
3)).Tamponade uterovaginal
4)).Jepitan arteri uterine dengan cara Henkel
c). Tahap III :

124
Bila semua upaya diatas tidak menolong juga, maka usaha terakhir
adalah menghilngkan sumber perdarahan, dapat ditempuh dengan dua
cara yaitu dengan metigrasi arteri hipogastrika/histerektomi.
b. Restensio Plasenta
1). Pengertian
Retensio Plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta
hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.Plasenta yang
sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh
adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus.Retensio plasenta merupakan
penyebab perdarahan sebesar 6-10% dari seluruh kasus. Berdasarkan
penelitian yang sudah dilakukan retensio plasenta berisiko 4,1 kali terjadi
perdarahan postpartum. Perdarahan postpartum meningkat dengan angka
sebesar 2,6% (Kusumastuti,2018).
Retensio plasenta adalah apabila plasenta tidak lahir setengah jam
setelah lahirnya janin, penanaman yang kuat antara plasenta dengan uterus
merupakan penyebab terjadinya retensio plasenta (Prawirohardjo, 2010).
WHO menyatakan “Apabila plasenta tidak berhasil dilahirkan dalam
30 menit setelah melahirkan bayi, maka pasien yang mengalami keadaan
ini harus didiagnosis sebagai kasus retensio plasenta. Pada keadaan tanpa
perdarahan, wanita yang baru melahirkan harus diobservasi selama 30
menit lagi sesudah 30 menit yang pertama sebelum kemudian dicoba
melahirkan plasenta secara manual” (WHO 2007, dikutip dalam Goswami
et al, 2016).
Perdarahan pervaginam disebabkan oleh pelepasan plasenta secara
Duncan yaitu pelepasan/ separasi plasenta atau secara Schultze yaitu
plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam. Pada
retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala tiga) dan
harus diantisipasi dengan segera melakukan manual plasenta, meskipun
kala uri belum lewat setengah jam (Kusumastuti,2018).
2). Patofisiologi.
Retensio plasenta dalam rahim akan mengganggu kontraksi dan
retraksi, menyebabkan sinus-sinus darah tetap terbuka, dan menimbulkan

125
HPP. Begitu bagian plasenta terlepas dari dinding uterus, perdarahan
terjadi di daerah itu. Bagian plasenta yang masih melekat merintangi
retraksi miometrium dan perdarahan berlangsung terus sampai sisa organ
tersebut terlepas serta dikeluarkan.
3). Diagnosa
a). Pada pemeriksaan luar: fundus/korpus ikut tertarik apabila tali pusat
ditarik.
b). Pada pemeriksaan dalam: sulit ditentukan tepi plasenta karena
implantasi yang dalam.
4). Jenis-jenis retensio plasenta:
a). Plasenta Adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi
fisiologis. 
b). Plasenta Akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
memasuki sebagian lapisan miometrium. 
c). Plasenta Inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai/memasuki miometrium.
d). Plasenta prekreta adalah implantasi jonjot korion yang menembus
lapisan otot hingga mencapai lapisan serasa dinding uterus.
e). Plasenta inkarsereta adalah tertahannya plasenta didalam kavum uteri
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
5). Etiologi
Perlekatan plasenta/ plasenta belum lepas dari dinding uterus, karena
tumbuh melekat lebih dalam yang menurut tingkat pelengkatannya dibagi
menjadi:
a). Plasenta Adhesiva, yang melekat pada desidua endometrium lebih
dalam.
b). Plasenta Inkreta, dimana villi koriales tumbuh lebih dalam dan
menembus desidua sampai ke miometrium.
c). Plasenta Akreta, yang menembus lebih dalam kedalam miometrium
tetapi belum menembus serosa.
d). Plasenta prekreta, yang menembus samapi serosa/peritoneum dinding
rahim.

126
e). Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena Atonia uteri dan akan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya  lingkaran
kontriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala
III, yang akan menghalangi plasenta keluar(plasenta inkarsereta).
f). Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak akan terjadi perdarahan,
tapi jika lepas sebagian, akan terjadi perdarahan yang merupakan
indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta mungkin pula tidak keluar
karena kandung kemih/rectum penuh, karena itu keduanya harus
dikosongkan.
6). Faktor-faktor predisposisi
a). Gemeli.
b). Overdisyensi Rahim.
c). Atonia Uteri.
d). Anomoli Rahim.
e). Fibroid.
f). Bentuk Perdarahan:
1)).Perdarahan pasca partus berkepanjangan sehingga patrun
pengeluaran lokhea, disertai darah lebih    dari 7-10 hari
2)).Dapat terjadi perdarahan baru setelah patruin pengeluaran lokhea
normal.
3)).Dapat berbau, akibat infeksi.
7). Gejala Retensio Plasenta.
Gejala Separasi/ akreta Plasenta inkarsereta Plasenta akreta
parsial
a). Konsistensi a). Kenyal a). Keras a). Cukup
uterus
b). Tinggi fundus b). Sepusat b). 2 jari bawah b). Sepusat
pusat
c). Bentuk uterus c). Discoid c). Agak globuler c). Discoid
d). Perdarahan d). Sedang-banyak d). Sedang d). Sedikit/tidak ada
e). Tali pusat e). Terjulur e). Terjulur e). Tidak terjulur
f). Ostium uteri sebagian f). Konstriksi f). Terbuka
g). Separasi f). Terbuka g). Sudah lepas g). Melekat
plasenta g). Lepas sebagian seluruhnya

127
h). Syok h). Jarang h). Jarang sekali,
h). Sering kecuali akibat
inversion oleh
tarikan kuat
pada tali pusat.

15). Komplikasi :
a). Sumber infeksi.
b). Terjadi plasenta polip.
c). Degenerasi korio karsinoma.
d). Dapat menimbulkan gangguan pembekuan darah.
16). Penanganan.
Apabila plasenta belum lahir 30 menit setelah bayi lahir, harus
diusahakan untuk mengeluarkannya. Tindakan yang biasa dilakukan
adalah manual plasenta. Dapat dicoba dulu prast menurut Crede. Tindakan
ini sekarang tidak banyak dianjurkan karena memungkinkan terjaadinya
inversio uteri; tekanan yang keras pada uterus dapat pula menyebabkan
perlukaam pada otot uterus dan rasa nyeri keras dan kemungkinan syok.
Akan tetapi dengan teknik yang sempurna hal itu dapat dihindarkan.
Cara lain untuk pengeluaran plasenta adalah cara Brandt. Dengan salah
satu tangan penolong memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain
diletakkan pada dinding perut diatas simfisis sehingga permukaan palmar
jari-jari tangan terletak dipermukaan depan rahim, kira-kira pada
perbatasan segmen bawah dan badan rahim. Dengan melakukan tekanan
kearah atas belakang, maka badan rahim akan terangkat. Apabila plasenta
telah lepas maka, tali pusat tidak tertarik keatas. Kemudian tekanan diatas
simfisis diarahkan kebawah belakang, kearah vulva. Pada saat ini
dilakukan tarikan ringan pada tali pusat untuk membantu mengeluarkan
plasenta. Yang selalu tidak dapat dicegah adalah bahwa plasenta tidak
dapat dilahirkan seluruhnya, melainkan sebagian masih ketinggalan yang
harus dikeluarkan dengan tangan. Pengeluaran plasenta dengan tangan kini
dianggap cara yang paling baik.
Dengan tangan kiri menahan fundus uteri supaya uterus jangan naik
keatas, tangan kanan dimasukkan dalam kavum uteri. Dengan mengikuti

128
taki pusat, tangan itu sampai pada plasenta dan mencari pinggir plasenta.
Kemudian jari-jari tangan itu dimasukkan pinggir plasenta dan dinding
uterus. Biasanya tanpa kesulitan plasenta sedikit demi sedikit dapat
dilepaskan dari dinding uterus untuk kemudian dilahirkan.Banyak
kesulitan dialami dalam pelepasan plasenta pada plasenta akreta. Plasenta
hanya dapat dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahan
serta pervorasi mengancam. Apabila berhubungan dengan kesulitan-
kesulitan tersebut diatas akhirnya diagnosis plasenta inkreta dibuat,
sebaiknya usaha mengeluarkan plasenta secara bimanual di hentikan, lalu
dilakukan histerekt.
Pada plasenta yang sudah lepas, akan tetapi terhalang untuk dilahirkan
karena lingkaran konstriksi(inkarsearsio plasenta) tangan kiri penolong
dimasukkan kedalam vagina dan kebagian bawah uterus dengan dibantu
oleh anesthesia umum untuk melonggarkan konstriksi. Dengan tangan
tersebut sebagai petunjuk dimasukkan cunam ovum melalui lingkaran
konstriksi untuk memegang plasenta, dan perlahan-lahan plasenta sedikit
demi sedikit ditarik kebawah melalui tempat sempit itu.
c. Inversio uteri.
Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga
fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini
jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III/ segera setelah
plasenta keluar.
Menurut perkembangannya inversion uteri dapat dibagi dalam beberapa
tingkat, yaitu Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri, tetapi belum keluar
dari ruang tersebut, Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina,
Uterus dengan vagina, semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar
vagina.
1). Gejala-gejala klinik
Inversio uteri bisa terjadi spontan/ sebagai akibat tindakan. Pada
wanita dengan atonia uteri kenaikan tekanan intra abdominal dengan
mendadak karena batuk/ meneran, dapat menyebabkan masukmya fundus
kedalam kavum uteri yang merupakan permulaan inversion uteri.
Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri adalah prasat Crede
pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik, dan tarikan pada talil pusat

129
plasenta yang belum lepas dari dinding uterus. Gejala-gejala inversion
uteri pada permukaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila kelainan itu
sejak awalnya tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang
keras dan bisa menyebabkan syok. Rasa nyeri yang keras disebabkan
kareana fundus uteri menarik adneksa serta ligamentum
infundibulopelvikum dan ligamentum rotundum kanan dan kirinkedalam
terowongan inversion dan dengan demikian mengadakan tarikan yang kuat
pada peritoneum parietal. Kecuali jika plasenta yang seringkali belum
lepas dari uterus masih melekat seluruhnya pada dinding uterus, terjadi
juga perdarahan.
2). Diagnosis
Diagnosis tidak sukar dibuat jika dingat kemungkinan inversion uteri.
Pada perdarahan dengan syok, perdarahan dan fundus uteri tidak
ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III/ setelah persalinan
selesai, pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas
servik uteri/ didalam vagina, sehingga diagnosis inversion uteri dapat
dibuat.
Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam vagina terdapat pula
tumor yang serupa, akan tetapi fundus uteri ditemukan dalam bentuk dan
pada tempat biasa, sedang konsistensi mioma lebih keras daripada korpus
uteri setelah persalinan. Selanjutnya jarang sekali mioma submukosum
ditemukan pada persalinan cukup bulan/ hampir cukup bulan.
3). Prognosis.
Walaupun kadang-kadang inversio uteri bisa terjadi tanpa banyak
gejala dengan penderita tetap dalam keadaan baik, namun umumnya
kelainan tersebut menyebabkan keadaan gawat dengan angka kematian
tinggi(15-70%). Reposisi secepat mungkin memberikan harapan yang
terbaik untuk keselamatan penderita.
4). Penanganan.
Dalam memimpin persalinan harus dijaga kemungkinan timbulnya
inversion uteri. Tarikan pada tali pusat sebelum plasenta benar-benar
lepas, jangan dilakukan apabila dicoba melakukan prasat Crede harus
diindahkan sebelumnya syarat-syaratnya.

130
Apabila terdapat inversio uteri dengan gejala syok, gejala-gejala itu
perlu diatasi terlebih dahulu dengan infuse intravena cairan elektrolit dan
transfuse darah, akan tetapi segera setelah itu reposisi harus dilakukan.
Makin kecil jarak waktu antara terjadinya inversion uteri dan reposisinya,
makin mudah tindakan ini dapat dilakukan.
Untuk melakukan reposisi yang perlu diselenggarakan dengan
anesthesia umum, tangan seluruhnya dimasukkan kedalam vagina sedang
jari-jari tangan dimasukkan kedalam kavum uteri melalui serviks uteri
yang mungkin sudah mulai menciut, telapak tangan menekan korpus
perlahan-lahan tetapi terus menerus kearah atas agak kedepan sampai
korpus uteri melewati serviks dan inversio ditiadakan. Suntikan intravena
0,2 mg ergometrin kemudian diberikan dan jika dianggap masih perlu,
dilakukan tamponade uterovaginal.
Apabila reposisi pervaginam gagal, sebaiknya dilakukan pembedahan
menurut Haultein. Dikerjakan laparotomi, dinding belakang lingkaran
konstriksi dibuka, sehingga memungkinkan penyelenggaraan reposisi
uterus sedikit demi sedkit, kemudian luka dibelakang uterus dijahit dan
luka laparotomi ditutup.
Pada inversion uteri menahun, yang ditemukan beberapa lama setelah
persalinan, sebaiknya ditunggu berakhirnya involusi untuk kemudian
dilakukan pembedahan pervaginam(pembedahan menurut Spinelli).
d. Robekan / Perlukaan Jalan Lahir
1). Pengertian Robekan Jalan Lahir
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan
kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal
dari perlukaan jalan lahir.
Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
a). Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan
pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan
perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas
apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil
daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan

131
ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito
bregmatika.
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang
membentuk perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan
anus, panjangnya kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999).
Jaringan yang terutama menopang perinium adalah diafragma
pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus levator
ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta selubung fasia dari
otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk otot yang lebar
bermula dari permukaan posterior ramus phubis superior, dari
permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia obturatorius.Serabut otot
berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar vagina dan rektum,
membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada persatuan garis
tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di bawah
rektum dan pada tulang ekor. Diafragma urogenitalis terletak di
sebelah luar diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara
tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital terdiri dari
muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus konstriktor uretra
dan selubung fasia interna dan eksterna (Cunningham, 1995).
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan
pada bagian perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo
S,1999).
Luka perinium, dibagi atas 4 tingkatan :
Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau
tanpa mengenai kulit perinium
Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea
transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum
b). Umumnya terjadi pada persalinan karena :
1)).Kepala janin terlalu cepat lahir
2)).Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3)).Jaringan parut pada perinium
4)).Distosia bahu

132
c). Tanda dan Gejala yang selalu ada :
1)).Pendarahan segera
2)).Darah segar yang mengalir segera setelah bayi hir
3)).Uterus kontraksi baik
4)).Plasenta baik
d). Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada
1)).Pucat
2)).Lemah
3)).Menggigil
e. Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang
kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang
terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum
abdomen.
Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah
robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat dilampauinya daya regang
mio metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul,
partus macet atau traumatik.
Ruptura uteri termasuk salahs at diagnosis banding apabila wanita
dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti dengan
syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai kandung
kemih dan organ vital di sekitarnya. Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri
dapat dibedakan:
1). Ruptur Uteri Gravidarum adalah rupture yang terjadi waktu sedang hamil,
sering berlokasi pada korpus. 
2). Ruptur Uteri Durante Partum adalah rupture yang terjadi waktu
melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.
f. Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara :
1). Menurut lokasinya:
a). Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah
mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ),
miemoktomi\

133
b). Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang
sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis
dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya
c). Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi
forsipal atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
d). Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina
2). Menurut robeknya peritoneum
a). Rupture uteri Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut
peritoneumnya ( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan
langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya
peritonitis 
b). Rupture uteri Inkompleta : robekan otot rahim tanpa ikut robek
peritoneumnya. Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke
ligamen latum
3). Menurut etiologinya
Ruptur uteri spontanea menurut etiologinya dikarenakan dinding rahim
yang lemah dan cacat, bekas seksio sesarea, bekas miomectomia, bekas
perforasi waktu keratase.
Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :
a). Ruptur uteri kompleta
1)).Jaringan peritoneum ikut robek
2)).Janin terlempar ke ruangan abdomen
3)).Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
4)).Mudah terjadi infeksi
b). Ruptura uteri inkompleta
1)).Jaringan peritoneum tidak ikut robek
2)).Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
3)).Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
4)).Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma

134
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kedaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang
terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat
sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam
keselamatan ibu dan bayinya (Chamberlain,1999).
Di Indonesia permasalahan gawat darurat obstetri tersebut terjadi karena
mengalami empat hal keterlambatan yaitu terlambat mengenali tanda bahaya dan
risiko, terlambat mengambil keputusan untuk mencari pertolongan, terlambat
mendapatkan transportasi untuk mencapai sarana pelayanan kesehatan yang lebih
mampu, dan terlambat mendapatkan pertolongan di fasilitas rujukan. Oleh karena itu
pelayanan obstetri memerlukan kontinuitas pelayanan serta akses terhadap pelayanan
obstetri emergensi ketika timbul komplikasi. Sehingga setiap persalinan harus
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, peningkatan terhadap pelayanan obstetri
emergensi ketika timbul komplikasi, serta sistem rujukan yang efektif.

B. Saran
1. Bagi Penulis Selanjutnya
Untuk mengaplikasikan teori selama pendidikan kedalam praktik yang lebih
nyata.
2. Bagi Institusi Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun
Untuk bahan pustaka dan bahan pertimbangan dalam menyusun materi
pembelajaran tentang ilmu kebidanan khususnya asuhan kebidanan tentang
kedaruratan obstetri.

135
DAFTAR PUSTAKA
Ai & Lia. (2013) . Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita, Edisi ke tiga. : TIM, DKI
Jakarta.
Anik Maryunani dan Eka puspita Sari (2013) Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Trans Info media
Arif, Mansjoer. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Medika Aesculapius FKUI
Atika, Vidia dan Pongki Jaya. 2016. Asuhan kebidanan pada Neonatus, Bayi, Balita dan
Anak Pra Sekolah. Jakarta : Trans Info Media.
Cunningham, F. Gary, dkk. 2006. Obstetri Williams. Jakarta: EGC.
Fauziah,A, & Sudatri. 2013. Asuhan Neonatus Resiko Tinggi dan Kegawatan. Yogyakarta :
Nuha medika
Hardiana, 2019. Hubungan Umur Ibu Dengan Kejadian Retensio Plasenta Di Rsud Raden
Mattaher Jambi Tahun 2019. Scientia Journal Vol.8 No. 1 Mei 2019.
http://repository.lppm.unila.ac.id/7251/1/kehamilan%20aterm%20dgn%20distosia
%20bahu.pdf(Diakses pada tanggal29 september 2020 pukul 19.45 WIB)
http://eprints.umpo.ac.id/4028/2/BAB%20I.pdf (Diakses pada tanggal 29 september 2020
pukul 20.21 WIB).
Ikee, 2018. AsuhanKebidanan Contuinity Of Care Pada Ny.M. Ponorogo.
JNPKKR-POGI. 2001. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT Bina
Pustaka
Kartono Muhammad, 2001. Pertolongan Pertama. PT. Gramedia Pustaka Utama:Jakarta.
Kurniarum Ari, 2016, Asuhan Kebidanan dan Persalinan dan Bayi Baru Lahir, Jakarta:
Pusdik SDM Kesehatan
Kusumastuti, S. 2018. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Retensio Plasenta Di
Rsud Kota Yogyakarta Tahun 2013-2017. Yogyakarta : Politeknik Kesehatan
Yogyakarta.
Manuaba, 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta: EGC.
Manuaba,dkk. 2013. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan KB. Edisi 2. Jakarta: EGC
Maryuni,A. 2013. Asuhan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah. Jakarta: Trans info
Medika
Murei Skeet, 1993.Tindakan Paramedis Tahap Kegawatan dan Pertolongan Pertama. Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

136
NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
Nugroho, dr. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.
Phelan, T. Sharon dkk. 2013. Umbilical Cord Prolaps. http://contemporaryobgyn.modern-
medicine.com/contemporary-obgyn/content/tags/bradley-holbrook-md/umbilical-cord-
prolapse?page=full dikases pada 15 Oktober 2020 pukul 19.00
Prawirohardjo, 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.
Prawirodihardjo, 2018. Ilmu Kebidanan.Jakarta. Jakarta.: PT Bina Pustaka
Rukiyah, AY, Yulianti, L. 2013. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta:Trans Info
Media.
Sodikin. 2009. Buku Saku Perawatan Tali Pusat. Jakarta: EGC.
Soejoenoes, A.,dkk. 2018. Beberapa Faktor Kejadian Perdarahan Postpartum Ibu Bersalin
yang Dirawat Di Rumah Sakit. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas JEK 3
(1), 2018, 7 – 17.
Sujiantini.,dkk. 2009. Asuhan Patologi Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.
Stright, Barbara R. 2004. Panduan Belajar: Keprerawatan Ibu-Bayi Baru Lahir. Jakarta:
EGC.
Vitriani, O.,dkk. 2019. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Retensio
Plasenta Di Rsud Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2017. Jurnal Ibu dan Anak.
Volume 7, Nomor 1, Mei 2019.
Wantania,2105. Kedaruratan obstetrik (clinical emergencies in obstetrics).
http://repo.unsrat.ac.id/1588/1/16._Clinical_Emergency_in_Obstetric.pdf
Winkjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: YBBSP
World Health Organization (WHO).2012. WHO Recommendations for prevention and
treatment of postpartum haemorrhage: WHO. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2020.

137

Anda mungkin juga menyukai