Anda di halaman 1dari 2

REVOLUSI MENTAL DALAM BERBAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia adalah penanda identitas berbangsa dan bernegara. Namun pada
perkembanagn belakangan,identitas berbahasa itu semakin meluntur. Ada fenomena
semakin lemahnya kecenderungan penggunaa bahasa Indonesia sebagai bahasa
komunikasi publik. Alih-alih penguatan bahasa Indonesia, ada kecenderungan di tengah
komponen bangsa untuk lebih mengutamakan penggunaan bahasa inggris daipada bahsa
nasionlanya sendiri. Penggunaan istilah-istilah bahasa inggris sangat mudah di jumpai
di sejumlah kantor pemerintahan dan layanan public di Negara ini dalam babakan waktu
terakhir. Saat berada di tengah lalu lintas, mata oublik segera bisa menangkap istilah
asing seperti savety riding cenderung sering di kampanyekan dari pada “ berkendaraan
aman”. Kasus umbar bahsa asing dari pada bahasa Indonesia di atas tidak hanya di
lakukan di jalanan oleh para aparatur pemerintah

Ada krisis identitas yang akut di tengah-tengah sikap bangsa ini terhadap bahasa
nasionalnya sendiri. Ironisnya aparatur pemerintah dan Negara menjadi pelakunya.
Mereka gagal menjadi panutan atau teladan terhadap sikap bangga dengan bahasa
nasionalnya sendiri termasuk menjadi pemakai bahasa nasional secara baik dan
benar.pemegang kekuasaan di negri ini patut menyadari sepenuhnya bahwa kegagalan
mereka untuk menjadi model pemakai bahsa Indonesia yang baik memiliki dampak
besar di masyarakat secara luas.

Pertama, publik segera akan merasa bahwa peningkatan kemampuan berbahasa


Indonesia yang baik dan benar hanya retorika kosong dari pemerintah dan Negara.
Tiadanya teladan dari aparatur pemerintah dan Negara haynya akan menjauhkan
maksud kebutuhan atas kemampuan berbhasa nasional secara baik dan benar.
Penggunaan bahasa asing dalam program penmerintahan justru akan menimbulkan
ketidak percayaan diri anak bangsa terhadap bahasa Indonesia. Pada titik paling
ekstrom, kepentingan lebih untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia akan di tawar
oleh pereferensi penggunaan bahasa inggris daripada bahasa Indonesia oleh aparat
pemerintah dan Negara sendiri.

Kedua, kasus umbar bahasa asing menjadikan kampanye dan sosialisasi kebijakan
nasional tidak akan maksimal penggunaan istilah asing untuk program pemerintah, alih-
alih membantu sampainya pesan ke masyarakat, malah membuat bingung publik. Publik
akan merasa tercerabut dari akar tradisionalnya, baik di sisi bahasa maupun budaya.
Seharusnya komunikasi yang baik di lakukan dengan menggunakan instrument dan
kekayaan komunikasi, khususnya bahasa yang dekat dengan perbendaharaan kulturan
dan social audiens. Memang sungguh ironis, kebutuhan untuk memperkuat kemampuan
berbahasa Indonesia secara baik dan benar di tantang secara langsung oleh
pengeroposan terhadap kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Maka
dari itu, di perlikan refolusi mental dalam berbahasa Indonesia. Refolusi ini menjadi
ikon kebijakan pemerintahan yang sepatutnya di perkuat dengan menyentuh sikap serta
perilaku berbahasa yang baik harus di awali melalui teladan elite bangsa.

Anda mungkin juga menyukai