Anda di halaman 1dari 10

PENGENDALIAN RUANG DAN INVESTASI PEMBANGUNAN

DI TINGKAT LOKAL UNTUK PENGURANGAN RESIKO


BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM: PERAN
INFORMASI GEOSPASIAL1

Iwan Gunawan, Ph.D.

Senior Disaster Management Adviser


The World Bank – Indonesia2

Ringkasan Eksekutif

Indonesia merupakan negara yang terletak di salah satu titik panas bencana (disaster hot spot)
dunia. Dari data nasional kejadian bencana untuk kurun waktu beberapa tahun terakhir, terlihat
meningkatnya resiko bencana (termasuk yang diakibatkan oleh perubahan iklim) karena
pertambahan penduduk dan urbanisasi yang tidak seimbang dengan investasi pembangunan
infrastruktur dasar perkotaan dan kawasan permukiman. Meningkatnya intensitas beberapa
ancaman seperti banjir, kekeringan dan gelombang pasang sejalan dengan membesarnya jumlah
populasi yang terjanan (exposed) terhadap bencana telah meningkatkan resiko bencana secara
keseluruhan. Menurunnya ketahanan (resilience) sebagian penduduk, khususnya kelompok
miskin dan rentan yang cenderung menempati kawasan-kawasan yang rawan bencana seperti
bantaran sungai dan sempadan pantai merupakan tantangan yang perlu dipecahkan. Peran
pemerintah dan masyarakat daerah dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan pelaksanaan
investasi pembangunan fisik dan non-fisik menjadi sangat penting. Tersedianya data geospasial
yang memadai merupakan syarat mutlak dalam upaya pengurangan resiko bencana dan adaptasi
perubahan iklim di tingkat lokal.

1.0. Pendahuluan

Indonesia terletak di salah satu titik pusat bencana yang paling aktif di dunia, dimana
beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir,
tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan sering terjadi. Menurut analisa risiko
global yang dilakukan oleh Bank Dunia, Indonesia berada di antara 35 negara terbesar
yang mempunyai risiko mortalitas yang tinggi akibat berbagai jenis ancaman (multiple
hazards) di mana sekitar 50% penduduknya tinggal di daerah risiko bencana (World
Bank, 2005). Untuk suatu negara yang berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa, persentase

1
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Revitalisasi Data dan Informasi Keruangan Untuk
Meningkatkan Efisiensi Pengelolaan Sumberdaya Daerah”, dalam rangka Setengah Abad Teknik
Geodesi-FT-UGM. Yogyakarta 26 Juni 2009.
2
Pandangan-pandangan yang disajikan dalam tulisan ini adalah semata-mata dari Penulis dan belum tentu
mewakili padangan dari The World Bank Group
ini berarti lebih dari 90 juta jiwa berisiko mengalami malapetaka kemanusiaan yang
dahsyat seandainya terjadi bencana skala besar.
Menurut data bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)3, dari
tahun 2001 sampai 2007 saja terdapat lebih dari 4.000 kali peristiwa bencana di
Indonesia yang mencakup banjir (37%), kekeringan (24%), tanah longsor (11%), dan
angin badai (9%). Karena bencana-bencana ini merusak sarana publik dan rumah-rumah
penduduk yang sebagian besar tidak diasuransikan, maka terdapat beban yang sangat
besar pada pengeluaran publik untuk memperbaiki sarana-sarana tersebut.

KEJADIAN BENCANA DI INDONESIA Angka Kematian Akibat Bencana Alam di Indonesia


NEGARA-NEGARA
DENGAN RESIKO
450 1000000
400 Hujan Badai
100000
Banjir

RELATIF
350
GEMPA BUMI
10000 Gempa Bumi
300
BANJIR Tsunami
250 Kebakaran Hutan

MORTALITAS
1000
KEKERINGAN
200 Kekeringan
KEBAKARA HUTAN DAN LAHAN
100 Konflik Sosial
150

TERTINGGI
Letusan Gunung Api
100 TANAH LONGSOR 10
Tanah Longsor
50 GELOMBANG PASANG DAN 1
0
TSUNAMI
LETUSAN GUNUNG API
TERHADAP
01

02

03

04

05

06

07

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007


20

20

20

20

20

20

20

BENCANA GANDA 1
BADAI HUJAN
Source: DiBi-BNPB Source: DiBi-BNPB

(Peringkat 35 Teratas
berdasar Penduduk)
Pengeluaran Pemerintah untuk Bencana Alam
Billion IDR 1. Taiwan, China
3000
2. El Salvador
2500 2,459
3.Costa Rica
Coastal Protection and Mitigation

2,125
Lava Flow Control
Flood Mitigation
4. Dominica
2000
5. Philippines
Prevention of Land, Water, Forest Degradation
Dev. of National Disaster Mgmt. System
Capacity Building of Local Gov.

1500
Early Warning
Spatial Planning of Hazard Zones
6. Antigua and Barbuda
7. Guatemala
1,324 Research and Mapping
Disaster Preparedness
Total Expenditure (HK 2005)
1,019
1000
892
Total Expenditure (Nominal)
8. Japan
500
569 9. Dominican Rep.
10. Jamaica
0
2001 2002 2004 2005 2006 2007
11. Nicaragua
Source: Budget Disbursement Database, Min. of Finance
12. INDONESIA
16. Bangladesh
17. Colombia
35. Panama

Gambar 1. Peringkat resiko dan dampak bencana Indonesia

Tingginya frekuensi kejadian alam yang menjadi bencana yang memakan korban jiwa
serta kerusakan infrastruktur, menuntut penanganan yang lebih mendasar dari sekedar
upaya reaktif melalui kegiatan tanggap darurat saja. Walaupun kegiatan tanggap darurat
yang efektif tetap penting untuk menyelamatkan jiwa pada saat terjadinya bencana,
tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan akibat
kejadian alam tersebut agar tidak menjadi bencana. Dalam kerangka ini, peran

3
DiBi database (Data dan Informasi Bencana Indonesia), Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNBP), http://dibi.bnbp.go.id
pemerintah dan masyarakat daerah dalam memperkecil resiko melalui peningkatan
kualitas pembangunan fisik seperti sarana umum, kondisi lingkungan dan permukiman,
serta peningkatan ketahanan sosial ekonomi untuk menghadapi kejutan eksternal
(external shock) menjadi sangat penting. Kaitan yang erat antara upaya lokal dimaksud
dengan karakter lokasi tentu saja menuntut adanya informasi geospasial yang memadai.

Makalah ini mengulas secara singkat gambaran umum profil resiko kebencanaan
Indonesia, tantangan yang dihadapi dalam mengurangi resiko bencana, termasuk yang
ditimbulkan oleh variabilitas dan perubahan iklim, serta pentingnya aspek pengendalian
ruang dan investasi pembangunan di tingkat lokal didalam Pengurangan Resiko
Bencana (PRB). Selanjutnya tulisan ini mengulas pentingnya peran informasi
geospasial (keruangan) di dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengendalian
ruang dan investasi pembangunan daerah guna pelasanaan PRB.

2.0. Profil Kebencanaan Indonesia

Seperti halnya di banyak negara berkembang lain, pertumbuhan ekonomi di Indonesia


sangat berkaitan dengan urbanisasi, baik dalam pengertian penduduk yang pindah dari
desa ke kota maupun dalam hal perubahan pemukiman pedesaan menjadi perkotaan.
Pada tahun 2008, diperkirakan sedikitnya 50 persen penduduk tinggal di kota-kota dan
luas daerah perkotaan bertambah 4,4% per tahun, jauh melebihi pertumbuhan penduduk
secara nasional. Dengan demikian, lebih dari 110 juta orang tinggal di sekitar 60 kota
yang kebanyakan berlokasi di daerah-daerah pesisir yang rawan terhadap risiko-risiko
yang umum seperti gempa bumi, banjir dan penyakit menular. Kepadatan penduduk
yang tinggi di kebanyakan kota-kota yang lebih besar juga meningkatkan kerawanan
penduduk terhadap bencana berskala besar.

Tingginya angka urbanisasi di Indonesia di tengah kapasitas pusat perkotaan yang


terbatas dalam menyediakan perumahan dan prasarana yang memadai telah
menyebabkan timbulnya banyak pemukiman yang kurang ditata dengan baik. Buruknya
kualitas dan pelaksanaan zonasi tata guna lahan akhirnya menyebabkan banyak lokasi
yang rawan bencana dihuni oleh penduduk sehingga meningkatkan kerawanan
penduduk terhadap bencana. Departemen Pekerjaan Umum memperkirakan bahwa
seperempat jumlah penduduk di kota-kota (atau sekitar 25 juta orang) tinggal di
kawasan kumuh dan pemukiman-pemukiman yang tidak resmi (Kirmanto, 2008).
Kondisi pemukiman yang buruk disertai dengan prasarana yang tidak memadai ini telah
menyebabkan Indonesia rawan terhadap risiko-risiko, khususnya ketika terjadi bencana
yang berskala besar.

Keunikan lingkungan geologis Indonesia yang disertai dengan kompleksitas


pemukiman penduduk secara umum telah meningkatkan jumlah bencana dengan
kecenderungan dampak yang signifikan terhadap penduduk (misalnya, korban jiwa
maupun kerugian ekonomi). Meskipun peristiwa-peristiwa alam yang menyebabkan
bahaya tidak dapat dihentikan, tingkat konsekuensi dapat diminimalkan atau bahkan
dihindari melalui kesiapsiagaan dan ketahanan masyarakat yang lebih baik. Secara
keseluruhan, penduduk Indonesia menghadapi risiko yang lebih tinggi akibat kerawanan
yang meningkat dan ketahanan yang menurun.

Variabilitas dan perubahan iklim juga dapat memperbesar risiko bencana bagi
masyarakat Indonesia. Selain peningkatan intensitas peristiwa-peristiwa yang
dipengaruhi oleh faktor meteorologi seperti banjir dan kekeringan, iklim juga telah
mempengaruhi pola dan hasil produksi pangan sehingga memperbesar ketidakpastian
ketika terjadi bencana yang dapat semakin memperparah dampaknya. Meskipun
kesadaran akan pentingnya mempertimbangkan dampak perbedaan dan perubahan iklim
semakin meningkat, penanganan dan tindakan adaptasi berdasarkan langkah dan bukti
manfaat yang nyata masih perlu dikembangkan dan dikaji lebih jauh.

3.0. Tantangan Indonesia dalam Pengurangan Resiko Bencana dan Adaptasi


Perubahan Iklim

Laporan Kajian Global Pengurangan Resiko Bencana 2009 yang dikeluarkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-ISDR) menempatkan Indonesia pada urutan ke 5
dalam peringkat pajanan (exposure) penduduk terhadap bencana banjir. Laporan yang
sama menempatkan Indonesia pada peringkat ke 2 dalam hal bencana tanah longsor,
urutan ke 3 pada kekeringan, dan urutan pertama pada tsunami (United Nations, 2009).
Yang menarik dalam kajian global ini adalah bahwa jika dihitung potensi kerugian
ekonomi dari berbagai bencana tersebut, maka dalam hal dampak terhadap Produk
Domestik Bruto (PDRB) nasional, peringkat Indonesia relatif rendah yang berarti
bencana-bencana tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap ekonomi nasional
Indonesia yang cukup besar ukurannya. Namun demikian, baik laporan terbaru PBB
tersebut, maupun data kejadian bencana yang dikumpulkan oleh BNPB secara konsisten
menunjukkan bahwa masalah terbesar yang dihadapi Indonesia adalah meningkatnya
pajanan (exposure) terhadap bencana. Peningkatan ini disebabkan oleh penurunan
kualitas lingkungan secara umum dan juga - akibat pertumbuhan penduduk – oleh
makin meluasnya kawasan terbangun hingga menjangkau wilayah-wilayah yang rawan
becana.

Penurunan kualitas dan perubahan kondisi lingkungan sendiri, baik dalam skala lokal
maupun global juga meningkatkan sebaran dan intensitas ancaman (hazard), seperti
meningkatnya intensitas hujan dan pancaran sinar matahari yang dapat berakibat pada
banjir, longsor, kekeringan dan juga angin kencang (destructive winds). Dampak
perubahan lingkungan umumnya terjadi karena kurangnya upaya pengendalian dampak
atas perubahan fisik yang terjadi karena proses pembangunan. Konversi hutan atau
bagian daerah tangkapan air menjadi perkotaan misalnya, seyogyanya perlu diimbangi
dengan upaya pemeliharaan fungsi ekologis dan hidrologis, baik melalui konservasi
kawasan sensitif maupun dengan pembuatan struktur buatan seperti penahan aliran
maupun penampung air.

Meluasnya kawasan terbangun hingga menjangkau wilayah rawan bencana dapat terjadi
karena tidak berjalannya proses pengendalian pemanfaatan ruang. Indonesia yang sudah
sejak lama menerapkan sistem Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik pada tingkat
nasional, propinsi maupun kabupaten/kota, sudah cukup memiliki dokumen
perencanaan penggunaan ruang. Kelemahan justru terjadi pada proses implementasi dan
pengendalian pemanfaatan yang tidak sesuai dengan rencana. Kurangnya pelibatan
masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang merupakan awal dari tidak
diindahkannya rencana tersebut oleh masyarakat.

Pada dasarnya paling tidak ada tiga tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam
upaya mengurangi resiko bencana dan melakukan adaptasi perubahan iklim. Tantangan
yang terkait dengan faktor-faktor resiko mendasar (underlying risk factors) bencana
tersebut adalah:
1) masih lemahnya kerangka hukum dan pelaksanaan panatagunaan lahan dan
pengendalian ruang untuk dapat mengarahkan pembangunan permukiman
menjauhi wilayah-wilayah rawan bencana untuk dapat menurunkan pajanan
(exposure) penduduk terhadap bencana;
2) masih tingginya proporsi kelompok miskin dan rentan di dalam komposisi
penduduk di kawasan perkotaan dan pedesaan yang rawan bencana sehingga
menurunkan ketahanan sosial dan ekonomi dan dengan sendirinya kemampuan
mengatasi (coping capacity) terhadap bencana kecil sekalipun;
3) belum masuknya unsur pencegahan bencana (disaster proofing) di dalam
program investasi pembangunan daerah, khususnya pada pembangunan sarana
fisik perkotaan dan pedesaan, penerapan standar bangunan, dan penataan
permukiman untuk pencegahan dan kesiapsiagaan bencana.

Di dalam tata pemerintahan yang terdesentralisasi yang dianut Indonesia, maka upaya
yang perlu dilakukan untuk mengurangi faktor-faktor resiko di atas ada di dalam area
tanggung jawab pemerintah daerah di tingkat lokal. Walaupun tidak seluruh
kewenangan yang dibutuhkan untuk memecahkan persoalan resiko bencana ada di
tangan pemerintah daerah, namun sebagai lini terdepan (front liner), pemerintah daerah,
khususnya di tingkat kabupaten/kota dan tingkat wilayah kecamatan dan kelurahan/desa
memegang peran yang sangat penting. Peran penting tersebut khususnya adalah dalam
pengenalan resiko bencana terbesar, pengenalan dan pemberdayaan kelompok rentan,
dan pengendalian ruang dan pemeliharaan lingkungan dan infrastruktur publik.

4.0. Pengendalian Ruang dan Investasi Pembangunan Tingkat Lokal Sebagai


Upaya Penting Dalam Pengurangan Resiko Bencana dan Adaptasi Perubahan
Iklim

Resiko bencana yang merupakan produk perkalian dari pajanan ancaman (hazard
exposure) dan kerentanan (vulnerability) dibagi kemampuan mengatasi (coping
capacity) dapat diperkecil jika tingkat pajanan dan/atau kerentaan dapat dikurangi, atau
juga jika tingkat kemampuan mengatasi dapat diperbesar. Dengan meninjau nilai dari
faktor-faktor resiko yang terdapat di suatu wilayah, pada dasarnya dapat ditentukan
langkah pengurangan resiko bencana melalui upaya-upaya yang terarah pada setiap
faktor tersebut.
Bagi Indonesia yang rawan bencana sebagai akibat dari peningkatan pajanan penduduk
terhadap ancaman, maka faktor ini dapat diperkecil melalui upaya pengendalian
penggunaan ruang guna menjauhkan penduduk dari lokasi ancaman. Demikian pula
pada faktor kerentanan dapat pula dikurangi melalui investasi pembangunan untuk
meningkatkan kondisi sosial ekonomi kelompok rentan yang umumnya sekaligus
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mereka mengatasi dampak bencana.

Dalam kenyataannya, resiko terbesar bencana umumnya menimpa kelompok rentan


yang dengan sendirinya cenderung menempati permukiman informal yang menduduki
ruang publik seperti bantaran sungai, kawasan dengan kelerengan tinggi, serta
sepanjang sempadan pantai yang kesemuanya rawan bencana (dalam hal ini banjir,
longsor dan tsunami). Tingkat pajanan yang tinggi terhadap ancaman bencana ini dapat
dikurangi idealnya dengan merelokasi permukiman tersebut ke tempat yang lebih aman
di luar zona ancaman. Di dalam praktek tentu saja proses relokasi ini tidaklah mudah,
apalagi jika masyarakat penghuni lokasi-lokasi rawan tersebut telah memegang status
kepemilikan tertentu (tenure) atas tanah mereka, atau kelompok masyarakat tersebut
sama sekali tidak memiliki alternatif tempat tinggal lain.

Di dalam Undang Undang 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan rawan
bencana hanya dapat diperuntukan sebagai kawasan lindung (Republik Indonesia,
2007). Untuk kawasan yang telah dinyatakan sebagai kawasan budidaya dan sudah
terbangun namun rawan bencana, maka pengendalian yang dapat dilakukan adalah
dengan menggunakan ketentuan tentang Tata Bangunan dan Lingkungan yang diatur
dalam Undang Undang 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalam ketentuan
undang-undang ini ketentuan tentang persyaratan teknis bangunan gedung, termasuk
yang dibangun pada daerah lokasi bencana diatur dalam Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan (RTBL) oleh Pemerintah Daerah (Republik Indonesia, 2002).
Pengendalian, penataan dan rehabilitasi ruang dan lingkungan skala mikro (micro
zoning) untuk pengurangan resiko bencana pada dasarnya dapat dilakukan dengan
menggunakan instrumen RTBL ini.

Untuk mengurangi kerentanan masyarakat, khususnya penduduk miskin, kelompok


rentan balita, lansia dan wanita, maka upaya dapat dilakukan melalui pemberdayaan.
Investasi publik yang umumnya dilakukan sebagai pelayanan dasar adalah dalam
bentuk infratsruktur perekonomian (misal jaringan distribusi melalui jalan dan alat
transportasi, pasar dan juga sarana jasa keuangan), dan infrastruktur sosial (misal
fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan dan kemasyarakatan). Selain melalui
penyediaan infrastruktur dalam wujud fisik, kerentanan juga dapat dikurangi melalui
kegiatan non-fisik seperti pelatihan kesiap-siagaan dan tindakan pencegahan. Di sinipun
peran pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat menjadi sangat
penting dalam menentukan pilihan investasi publik yang paling tepat sesuai kebutuhan
masyarakat lokal.

Mengingat profil kebencanaan Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas dimana


resiko bencana dan dampak perubahan iklim meningkat sejalan dengan proses
pembangunan dan urbanisasi yang jauh lebih cepat dari penyediaan infrastruktur
pendukung, maka upaya pengurangan resiko bencana dan adaptasi perubahan iklim
pada dasarnya menuntut dilakukannya investasi perbaikan guna mengejar kecepatan
kebutuhan tadi. Pada tingkat lokal perlu dilaksanakan bentuk-bentuk kegiatan
pembangunan yang tahan bencana dan iklim (disaster and climate proof development)
melalui tambahan investasi yang sekaligus menjadi bagian dari kegiatan ekonomi lokal.
Sebagai contoh di daerah yang rawan gempa bumi perlu diciptakan industri perumahan
yang menghasilkan teknologi dan jasa bangunan dan permukiman yang tahan gempa.
Demikian pula di daerah yang rawan banjir dan gelombang pasang, perlu ditumbuhkan
industri konstruksi dan teknologi yang dapat membantu penduduk untuk dapat
mengatur (adaptasi) pola kehidupannya sesuai dengan siklus terjadinya kejadian alam
tersebut.

5.0. Peran Informasi Geospasial

Untuk mendukung peran pemerintah daerah dalam mengendalikan penggunaan ruang


dan melaksanakan program investasi pembangunan bagi pengurangan resiko bencana
dan adaptasi perubahan iklim, maka sangat diperlukan tersedianya informasi keruangan
yang memadai. Pada tingkat analisa dan perencanaan yang berbeda diperlukan
informasi dengan skala dan kerincian yang berbeda pula. Tabel 1 memberikan
gambaran umum tentang berbagai tingkat kebutuhan informasi geospasial untuk PRB
dan Adaptasi Perubahan Iklim (API).

Tabel 1. Tingkat kebutuhan informasi geospasial untuk PRB dan API

Tingkat Kebutuhan Kebutuhan Data Kebutuhan


Pengelolaan dan Informasi Analisa
Penggunaan Geospasial
Nasional-regional: • Gambaran umum • Peta dasar seamless • Pola spasial sebaran
analisa resiko karakter wilayah dengan unit terkecil ancaman (historis)
bencana • Sebaran geografis Kabupaten atau • Pola spasial sebaran
peringkat resiko Kecamatan ancaman (prediksi)
• Sebaran geografis • Data Ancaman dan • Peringkat komparatif
daerah potensi kerentaan pada unit resiko berdasarkan
dampak analisis yang sama jenis ancaman
nasional/regional • Data infrastruktur
sosial dan ekonomi sosial ekonomi

Daerah • Gambaran detail • Peta dasar • Pola spasial sebaran


Propinsi/Kabupaten: karakter zona propinsi/kabupaten kawasan (cluster)
Pemetaan resiko ancaman seamless dengan unit ber resiko tinggi dan
bencana untuk • Sebaran detail terkecil desa kelompok rentan
penentuan prioritas kawasan ber-resiko • Data Ancaman dan • Proyeksi kerugian
bencana kerentaan pada unit ekonomi untuk
• Sebaran geografis analisis yang sama berbagai bencana
kelompok rentan • Data detail lokasi utama
infrastruktur sosial propinsi/kabupaten
ekonomi

Daerah Kabupaten: • Gambaran detail • Peta skala menengah • Pola spasial wilayah
Pemetaan kebutuhan wilayah prioritas (1:10.000) (cluster) resiko
investasi PRB dan investasi PRB dan menggambarkan prioritas
API dalam API sebaran wilayah • Perhitungan detail
pembangunan • Sebaran geografis resiko prioritas nilai tanah dan
kawasan yang • Peta situasi untuk bangunan yang
membutuhkan setiap kawasan tercakup dalam
rehabilitasi tata ruang, rehabilitasi lingkup rehabilitasi
tata bangunan dan
lingkungan

Daerah • Gambaran persepsi • Peta dasar • Penggambaran


Kecamatan/Desa: warga atas ancaman kecamatan/desa pada persepsi bersama
Pemetaan dan resiko bencana skala optimum untuk berdasarkan
permasalahan dan yang dirasakan paling dapat digunakan pemetaan partisipatif
solusi bencana besar dalam survey • Sketsa-sketsa yang
berbasis masyarakat • Gambaran persepsi partisipatif menggambarkan
warga tentang bentuk- • Data posisi geografis kesepakatan prioritas
bentuk solusi bencana (GPS) obyek-obyek masalah dan solusi
yang dapat penting serta lokasi yang dipilih oleh
dilaksanakan berbasis solusi pembangunan warga
masyarakat yang disepakati
warga
Di dalam praktek, penyediaan data geospasial untuk keperluan pengurangan resiko
bencana dan adaptasi perubahan iklim tidak dapat dilakukan dengan pendekatan
pemetaan dasar berdasarkan urutan nomor lembar peta semata. Batas wilayah rawan
bencana umumnya mengikuti batas fisik alam seperti daerah aliran sungai, bentang
pantai, maupun zona-zona geologis. Dilain pihak, wilayah yang dihuni kelompok
rentan umunya terkait pula dengan pola batas-batas sosial seperti status lahan,
kedekatan dengan jalur transportasi, ataupun batas yang berkaitan dengan karakter
budaya (adat istiadat, perilaku sosial, dsb.). Oleh karenanya penyediaan data dasar harus
dapat menjawab kebutuhan prioritas, khususnya untuk daerah ber-resiko tinggi.

Dengan berkembangnya teknologi geomatika, sumber data geospasialpun dapat


beragam bentuknya. Selain peta dasar digital, foto udara skala besar (small format)
mosaik, citra satelit resolusi tinggi, maupun data posisi GPS dan peta jalan kota
merupakan sumber yang data yang sangat penting. Kemampuan untuk menggabungkan
data multi-skala dan multi-sumber menjadi suatu basis data hirarkis yang nampak tak
berbatas (seamless) di mata pengguna, merupakan prasyarat penting dalam penyediaan
data untuk kepentingan daerah dalam pengurangan resiko bencana dan adaptasi
perubahan iklim.

6.0. Daftar Rujukan

Kirmanto, D., 2008. Menuju Pembangunan Kota yang Bebas dari Kawasan Kumuh,
2025. Makalah Utama yang disampaikan dalam acara Hari Habitat Dunia
2008. Departemen Pekerjaan Umum, Bali 30 Oktober 2008.

Republik Indonesia, 2002. Undang Undang Nomor 28 Tahun 202 tentang Bangunan
Gedung. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134.

Republik Indonesia, 2007. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tetang Penataan
Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68.

United Nations, 2009. Risk and poverty in a changing climate. 2009 Global
Assessment Report on Disaster Risk Reduction. ISDR (2009) Global
Assessment Report on Disaster Risk Reduction. United Nations, Geneva,
Switzerland.

World Bank, 2005. Natural Disaster Hotspots, A Global Risk Analysis. Washington,
DC: Disaster Risk Management Series, 2005.

Anda mungkin juga menyukai