Ringkasan Eksekutif
Indonesia merupakan negara yang terletak di salah satu titik panas bencana (disaster hot spot)
dunia. Dari data nasional kejadian bencana untuk kurun waktu beberapa tahun terakhir, terlihat
meningkatnya resiko bencana (termasuk yang diakibatkan oleh perubahan iklim) karena
pertambahan penduduk dan urbanisasi yang tidak seimbang dengan investasi pembangunan
infrastruktur dasar perkotaan dan kawasan permukiman. Meningkatnya intensitas beberapa
ancaman seperti banjir, kekeringan dan gelombang pasang sejalan dengan membesarnya jumlah
populasi yang terjanan (exposed) terhadap bencana telah meningkatkan resiko bencana secara
keseluruhan. Menurunnya ketahanan (resilience) sebagian penduduk, khususnya kelompok
miskin dan rentan yang cenderung menempati kawasan-kawasan yang rawan bencana seperti
bantaran sungai dan sempadan pantai merupakan tantangan yang perlu dipecahkan. Peran
pemerintah dan masyarakat daerah dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan pelaksanaan
investasi pembangunan fisik dan non-fisik menjadi sangat penting. Tersedianya data geospasial
yang memadai merupakan syarat mutlak dalam upaya pengurangan resiko bencana dan adaptasi
perubahan iklim di tingkat lokal.
1.0. Pendahuluan
Indonesia terletak di salah satu titik pusat bencana yang paling aktif di dunia, dimana
beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir,
tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan sering terjadi. Menurut analisa risiko
global yang dilakukan oleh Bank Dunia, Indonesia berada di antara 35 negara terbesar
yang mempunyai risiko mortalitas yang tinggi akibat berbagai jenis ancaman (multiple
hazards) di mana sekitar 50% penduduknya tinggal di daerah risiko bencana (World
Bank, 2005). Untuk suatu negara yang berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa, persentase
1
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Revitalisasi Data dan Informasi Keruangan Untuk
Meningkatkan Efisiensi Pengelolaan Sumberdaya Daerah”, dalam rangka Setengah Abad Teknik
Geodesi-FT-UGM. Yogyakarta 26 Juni 2009.
2
Pandangan-pandangan yang disajikan dalam tulisan ini adalah semata-mata dari Penulis dan belum tentu
mewakili padangan dari The World Bank Group
ini berarti lebih dari 90 juta jiwa berisiko mengalami malapetaka kemanusiaan yang
dahsyat seandainya terjadi bencana skala besar.
Menurut data bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)3, dari
tahun 2001 sampai 2007 saja terdapat lebih dari 4.000 kali peristiwa bencana di
Indonesia yang mencakup banjir (37%), kekeringan (24%), tanah longsor (11%), dan
angin badai (9%). Karena bencana-bencana ini merusak sarana publik dan rumah-rumah
penduduk yang sebagian besar tidak diasuransikan, maka terdapat beban yang sangat
besar pada pengeluaran publik untuk memperbaiki sarana-sarana tersebut.
RELATIF
350
GEMPA BUMI
10000 Gempa Bumi
300
BANJIR Tsunami
250 Kebakaran Hutan
MORTALITAS
1000
KEKERINGAN
200 Kekeringan
KEBAKARA HUTAN DAN LAHAN
100 Konflik Sosial
150
TERTINGGI
Letusan Gunung Api
100 TANAH LONGSOR 10
Tanah Longsor
50 GELOMBANG PASANG DAN 1
0
TSUNAMI
LETUSAN GUNUNG API
TERHADAP
01
02
03
04
05
06
07
20
20
20
20
20
20
BENCANA GANDA 1
BADAI HUJAN
Source: DiBi-BNPB Source: DiBi-BNPB
(Peringkat 35 Teratas
berdasar Penduduk)
Pengeluaran Pemerintah untuk Bencana Alam
Billion IDR 1. Taiwan, China
3000
2. El Salvador
2500 2,459
3.Costa Rica
Coastal Protection and Mitigation
2,125
Lava Flow Control
Flood Mitigation
4. Dominica
2000
5. Philippines
Prevention of Land, Water, Forest Degradation
Dev. of National Disaster Mgmt. System
Capacity Building of Local Gov.
1500
Early Warning
Spatial Planning of Hazard Zones
6. Antigua and Barbuda
7. Guatemala
1,324 Research and Mapping
Disaster Preparedness
Total Expenditure (HK 2005)
1,019
1000
892
Total Expenditure (Nominal)
8. Japan
500
569 9. Dominican Rep.
10. Jamaica
0
2001 2002 2004 2005 2006 2007
11. Nicaragua
Source: Budget Disbursement Database, Min. of Finance
12. INDONESIA
16. Bangladesh
17. Colombia
35. Panama
Tingginya frekuensi kejadian alam yang menjadi bencana yang memakan korban jiwa
serta kerusakan infrastruktur, menuntut penanganan yang lebih mendasar dari sekedar
upaya reaktif melalui kegiatan tanggap darurat saja. Walaupun kegiatan tanggap darurat
yang efektif tetap penting untuk menyelamatkan jiwa pada saat terjadinya bencana,
tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan akibat
kejadian alam tersebut agar tidak menjadi bencana. Dalam kerangka ini, peran
3
DiBi database (Data dan Informasi Bencana Indonesia), Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNBP), http://dibi.bnbp.go.id
pemerintah dan masyarakat daerah dalam memperkecil resiko melalui peningkatan
kualitas pembangunan fisik seperti sarana umum, kondisi lingkungan dan permukiman,
serta peningkatan ketahanan sosial ekonomi untuk menghadapi kejutan eksternal
(external shock) menjadi sangat penting. Kaitan yang erat antara upaya lokal dimaksud
dengan karakter lokasi tentu saja menuntut adanya informasi geospasial yang memadai.
Makalah ini mengulas secara singkat gambaran umum profil resiko kebencanaan
Indonesia, tantangan yang dihadapi dalam mengurangi resiko bencana, termasuk yang
ditimbulkan oleh variabilitas dan perubahan iklim, serta pentingnya aspek pengendalian
ruang dan investasi pembangunan di tingkat lokal didalam Pengurangan Resiko
Bencana (PRB). Selanjutnya tulisan ini mengulas pentingnya peran informasi
geospasial (keruangan) di dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengendalian
ruang dan investasi pembangunan daerah guna pelasanaan PRB.
Variabilitas dan perubahan iklim juga dapat memperbesar risiko bencana bagi
masyarakat Indonesia. Selain peningkatan intensitas peristiwa-peristiwa yang
dipengaruhi oleh faktor meteorologi seperti banjir dan kekeringan, iklim juga telah
mempengaruhi pola dan hasil produksi pangan sehingga memperbesar ketidakpastian
ketika terjadi bencana yang dapat semakin memperparah dampaknya. Meskipun
kesadaran akan pentingnya mempertimbangkan dampak perbedaan dan perubahan iklim
semakin meningkat, penanganan dan tindakan adaptasi berdasarkan langkah dan bukti
manfaat yang nyata masih perlu dikembangkan dan dikaji lebih jauh.
Laporan Kajian Global Pengurangan Resiko Bencana 2009 yang dikeluarkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-ISDR) menempatkan Indonesia pada urutan ke 5
dalam peringkat pajanan (exposure) penduduk terhadap bencana banjir. Laporan yang
sama menempatkan Indonesia pada peringkat ke 2 dalam hal bencana tanah longsor,
urutan ke 3 pada kekeringan, dan urutan pertama pada tsunami (United Nations, 2009).
Yang menarik dalam kajian global ini adalah bahwa jika dihitung potensi kerugian
ekonomi dari berbagai bencana tersebut, maka dalam hal dampak terhadap Produk
Domestik Bruto (PDRB) nasional, peringkat Indonesia relatif rendah yang berarti
bencana-bencana tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap ekonomi nasional
Indonesia yang cukup besar ukurannya. Namun demikian, baik laporan terbaru PBB
tersebut, maupun data kejadian bencana yang dikumpulkan oleh BNPB secara konsisten
menunjukkan bahwa masalah terbesar yang dihadapi Indonesia adalah meningkatnya
pajanan (exposure) terhadap bencana. Peningkatan ini disebabkan oleh penurunan
kualitas lingkungan secara umum dan juga - akibat pertumbuhan penduduk – oleh
makin meluasnya kawasan terbangun hingga menjangkau wilayah-wilayah yang rawan
becana.
Penurunan kualitas dan perubahan kondisi lingkungan sendiri, baik dalam skala lokal
maupun global juga meningkatkan sebaran dan intensitas ancaman (hazard), seperti
meningkatnya intensitas hujan dan pancaran sinar matahari yang dapat berakibat pada
banjir, longsor, kekeringan dan juga angin kencang (destructive winds). Dampak
perubahan lingkungan umumnya terjadi karena kurangnya upaya pengendalian dampak
atas perubahan fisik yang terjadi karena proses pembangunan. Konversi hutan atau
bagian daerah tangkapan air menjadi perkotaan misalnya, seyogyanya perlu diimbangi
dengan upaya pemeliharaan fungsi ekologis dan hidrologis, baik melalui konservasi
kawasan sensitif maupun dengan pembuatan struktur buatan seperti penahan aliran
maupun penampung air.
Meluasnya kawasan terbangun hingga menjangkau wilayah rawan bencana dapat terjadi
karena tidak berjalannya proses pengendalian pemanfaatan ruang. Indonesia yang sudah
sejak lama menerapkan sistem Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik pada tingkat
nasional, propinsi maupun kabupaten/kota, sudah cukup memiliki dokumen
perencanaan penggunaan ruang. Kelemahan justru terjadi pada proses implementasi dan
pengendalian pemanfaatan yang tidak sesuai dengan rencana. Kurangnya pelibatan
masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang merupakan awal dari tidak
diindahkannya rencana tersebut oleh masyarakat.
Pada dasarnya paling tidak ada tiga tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam
upaya mengurangi resiko bencana dan melakukan adaptasi perubahan iklim. Tantangan
yang terkait dengan faktor-faktor resiko mendasar (underlying risk factors) bencana
tersebut adalah:
1) masih lemahnya kerangka hukum dan pelaksanaan panatagunaan lahan dan
pengendalian ruang untuk dapat mengarahkan pembangunan permukiman
menjauhi wilayah-wilayah rawan bencana untuk dapat menurunkan pajanan
(exposure) penduduk terhadap bencana;
2) masih tingginya proporsi kelompok miskin dan rentan di dalam komposisi
penduduk di kawasan perkotaan dan pedesaan yang rawan bencana sehingga
menurunkan ketahanan sosial dan ekonomi dan dengan sendirinya kemampuan
mengatasi (coping capacity) terhadap bencana kecil sekalipun;
3) belum masuknya unsur pencegahan bencana (disaster proofing) di dalam
program investasi pembangunan daerah, khususnya pada pembangunan sarana
fisik perkotaan dan pedesaan, penerapan standar bangunan, dan penataan
permukiman untuk pencegahan dan kesiapsiagaan bencana.
Di dalam tata pemerintahan yang terdesentralisasi yang dianut Indonesia, maka upaya
yang perlu dilakukan untuk mengurangi faktor-faktor resiko di atas ada di dalam area
tanggung jawab pemerintah daerah di tingkat lokal. Walaupun tidak seluruh
kewenangan yang dibutuhkan untuk memecahkan persoalan resiko bencana ada di
tangan pemerintah daerah, namun sebagai lini terdepan (front liner), pemerintah daerah,
khususnya di tingkat kabupaten/kota dan tingkat wilayah kecamatan dan kelurahan/desa
memegang peran yang sangat penting. Peran penting tersebut khususnya adalah dalam
pengenalan resiko bencana terbesar, pengenalan dan pemberdayaan kelompok rentan,
dan pengendalian ruang dan pemeliharaan lingkungan dan infrastruktur publik.
Resiko bencana yang merupakan produk perkalian dari pajanan ancaman (hazard
exposure) dan kerentanan (vulnerability) dibagi kemampuan mengatasi (coping
capacity) dapat diperkecil jika tingkat pajanan dan/atau kerentaan dapat dikurangi, atau
juga jika tingkat kemampuan mengatasi dapat diperbesar. Dengan meninjau nilai dari
faktor-faktor resiko yang terdapat di suatu wilayah, pada dasarnya dapat ditentukan
langkah pengurangan resiko bencana melalui upaya-upaya yang terarah pada setiap
faktor tersebut.
Bagi Indonesia yang rawan bencana sebagai akibat dari peningkatan pajanan penduduk
terhadap ancaman, maka faktor ini dapat diperkecil melalui upaya pengendalian
penggunaan ruang guna menjauhkan penduduk dari lokasi ancaman. Demikian pula
pada faktor kerentanan dapat pula dikurangi melalui investasi pembangunan untuk
meningkatkan kondisi sosial ekonomi kelompok rentan yang umumnya sekaligus
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mereka mengatasi dampak bencana.
Di dalam Undang Undang 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan rawan
bencana hanya dapat diperuntukan sebagai kawasan lindung (Republik Indonesia,
2007). Untuk kawasan yang telah dinyatakan sebagai kawasan budidaya dan sudah
terbangun namun rawan bencana, maka pengendalian yang dapat dilakukan adalah
dengan menggunakan ketentuan tentang Tata Bangunan dan Lingkungan yang diatur
dalam Undang Undang 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalam ketentuan
undang-undang ini ketentuan tentang persyaratan teknis bangunan gedung, termasuk
yang dibangun pada daerah lokasi bencana diatur dalam Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan (RTBL) oleh Pemerintah Daerah (Republik Indonesia, 2002).
Pengendalian, penataan dan rehabilitasi ruang dan lingkungan skala mikro (micro
zoning) untuk pengurangan resiko bencana pada dasarnya dapat dilakukan dengan
menggunakan instrumen RTBL ini.
Daerah Kabupaten: • Gambaran detail • Peta skala menengah • Pola spasial wilayah
Pemetaan kebutuhan wilayah prioritas (1:10.000) (cluster) resiko
investasi PRB dan investasi PRB dan menggambarkan prioritas
API dalam API sebaran wilayah • Perhitungan detail
pembangunan • Sebaran geografis resiko prioritas nilai tanah dan
kawasan yang • Peta situasi untuk bangunan yang
membutuhkan setiap kawasan tercakup dalam
rehabilitasi tata ruang, rehabilitasi lingkup rehabilitasi
tata bangunan dan
lingkungan
Kirmanto, D., 2008. Menuju Pembangunan Kota yang Bebas dari Kawasan Kumuh,
2025. Makalah Utama yang disampaikan dalam acara Hari Habitat Dunia
2008. Departemen Pekerjaan Umum, Bali 30 Oktober 2008.
Republik Indonesia, 2002. Undang Undang Nomor 28 Tahun 202 tentang Bangunan
Gedung. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134.
Republik Indonesia, 2007. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tetang Penataan
Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68.
United Nations, 2009. Risk and poverty in a changing climate. 2009 Global
Assessment Report on Disaster Risk Reduction. ISDR (2009) Global
Assessment Report on Disaster Risk Reduction. United Nations, Geneva,
Switzerland.
World Bank, 2005. Natural Disaster Hotspots, A Global Risk Analysis. Washington,
DC: Disaster Risk Management Series, 2005.